Minggu, 22 Mei 2016

Catatan Kecil 161 : GHAUTSIYAH (PENOLONG DAN PEMBIMBING ZAMAN) - Bahasan 03

YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
Catatan Kecil 161 : KULIAH WAHIDIYAH
GHAUTSIYAH (PENOLONG DAN PEMBIMBING ZAMAN) - Bahasan 03
3. Sunnah ulama.
Banyak manusia dalam memandang tuntunan agama terbatas ritual lahiriyah/ syari’ah saja. Maka, agar Islam tetap berjalan diatas landasan Islam yang murni (syariat dan hakikat), para ulama yang ahli diperintahkan untuk menggali dan mancari cara (metode/ sunnah/ kurikulum/ thariqah) agar sunnah rasul dan sunnah sahabat, mudah untuk dipahami dan diamalkan oleh orang mukmin. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda : [16]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Dalam kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I/ 442 diterangkan; para ulama terdahulu (salafus shalih) berpendapat : thariqah (system/ metode/ amalan) adalah jalan kebaikan yang memiliki dasar (baik secara tersurat atau tersirat) dari sunnah Rasullah Saw :
وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ
Sunnah, adalah thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat).[17]
Bahkan dalam hadis riwayat Imam Thabrani, dijelaskan didalam syariah Islam terdapat 360 macam thariqah/ sistem. Rasulullah Saw bersabda : [18].
إِنَّ شَرِيْعَتِي جَاءتْ عَلَى ثَلاَثِمِائَةٍ وَسِتِّيْنَ طَرِيْقَةً. مَا سَلَكَ أَحَدٌ مِنْهَا إِلاَّ نَجَا
Sesungguhnya syariat-ku datang dengan 360 thariqah (jalan, cara, sistem). Tidak seorang-pun mengambil dari salah satunya, kecuali mendapat keselamatan.
Dan dalam catatan jam’iyah thariqah an-nahdliyah (jamaah thariqah yang bernaung dibawah Nahdlatul Ulama), jumlah thariqah yang masyhur (mu’tabarah) sebanyak 44 thariqah. Sedangkan thariqah selain yang tercatat dalam jam’iyah NU tersebut hukumnya sah dan baik, selama berpedoman kepada aqidah ahlus sunnah wal jama’ah dan merujuk kepada kitab-kitab sunny yang mu’tabar.[19]
Sebagaimana lazimnya dalam kehidupan setiap agama, setelah ditinggal oleh pembawanya, terjadi penyimpangan oleh sebagian pengikutnya. Namun, dalam Islam, Allah Swt menolong ummatnya, dengan memberikan petunjuk kepada para ulama yang dikehendaki-Nya. Ulama tersebut dengan sekuat tenaga berupaya membersihkan Islam dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Diantara sunnah para ulama :
a. Pembersihan dari pemalsuan hadis.
Dicatat dalam sejarah, pemalsuan hadis terjadi setelah khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Ra). Hasil dari upaya para ulama hadis tersebut telah dibukukan dalam berbagai macam kitab hadis yang mu’tabar.[20]
b. Pembersihan dari usaha pendangkalan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.
Sebagian mukmin dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadis serta syariat Islam, hanya secara harfiah (verbalisme), tanpa mau mengambil makna dibalik teks. Diantara hasil yang diupayakan para ulama, lahirlah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan madzhab lainnya.
c. Pembersihan dari penyimpangan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan iman kepada Allah Swt, dan yang telah disepakati oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Para ulama dari kaum sufi, waliyullah dan khususnya al-Ghauts Ra lebih memfokuskan upaya mereka dalam bidang pelurusan iman, penyadaran tantang keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, pembersihan jiwa dari penyakit hati yang buruk/ (syirik, ujub, riya’, takabbur dan lain sebagainya) dan kemudian menghiasi hati dengan sifat-sifat yang terpuji (ihsan, sabar, syukur, ridla, dan sifat terpuji lainnya).
d. Pembersihan dari paham yang mengutamakan tuntunan lahiriyah (syariat) saja tanpa memperhatikan tuntunan batiniyah (hakikat), atau sebaliknya. Syariat dan hakikat merupakan ajaran Islam yang tidak boleh dipilih salah satunya. Setiap mukmin wajib memadukan keduanya. [21] Mukmin dilarang mengamalkan syariat atau hakikat saja.
e. Menta’lif redaksi doa/ dzikir atau shalawat ghairu maktsurah.
Rasulullah Saw telah memberikan tuntunan yang mudah serta jelas dan dapat diamalkan oleh siapa saja. Yakni mengamalkan shalawat nabi dan memahami maknanya. Para ulama dari kelompok ketiga tersebut, dalam menyusun doa, senantiasa disertai dengan bershalawat, atau dalam menyusun sebuah metode, system, kurikulum atau thariqah untuk mencapai iman dan Islam yang ihsan. Dan pula redaksi tersebut sering disertai dengan penjelasan tentang keberadaan dan kemulyaan Rasulullah Saw.
Bershalawat kepada Rasulullah Saw merupakan jalan (metode/ kurikulum/ tarekat) yang paling cepat untuk menuju sadar/ makrifat kepada Allah Swt (iman, Islam dan ihsan). Sebagaimana penjelasan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Nabhani Ra (w. 1933 M) :
أَنَّ طَرِيْقَ الوصُولِ إِلَى حَضْرَةِ اللهِ مِنْ طَرِيْقِ الصَلاَةِ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَقْرَبِ الطُرُقِ.
Sesungguhnya jalan wushul kepada hadlratullah dengan shalawat kepada Nabi (Muhammad) Saw merupakan sedekat-dekatnya jalan (thariqah). [22]
Dan dalam kitab yang sama (Afdlalus Shalawat), Syeh an-Nabhani Ra menjelaskan :
أَقْرَبُ الطُرُقِ إِلَى اللهِ فِي أَخِرِ الزَمَانِ خُصُوصًا عَلَى المُسْرِفِ كَثْرَةُ الإِسْتِغْفَارِ والصَلاَةِ عَلَى النَبي صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Jalan (thariqah) yang paling dekat kepada Allah pada akhir zaman khususnya bagi orang yang berlumuran dosa, adalah memperbanyak istigfar dan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.
Shalawat dapat dijadikan thariqah, juga dijelaskan oleh Syeh Ahmad Zawawi (murid al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Zakaria al-Anshari {w. 915 H}) : [23]
طَرِيْقُنَا أَنْ نُكَثِّرَ مِنَ الصَلاَةِ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى يَصِيْرَ يُجَالِسُنَا وَنَصْحَبُهُ مِثْلَ الصَحَابَةِ وَيَسْأَلُهُ عَلَى أُمُورِ دِيْنِنَا
Jalan/ thariqah kita (untuk menuju Allah Swt) dengan memperbanyak shalawat kepada Nabi (Muhammad) Saw, hingga Nabi menjadi teman duduk kita secara jaga, dan kita bersahabat dengannya sebagaimana persahabatan para sahabatnya, dan kita bertanya kepadanya tentang urusan agama kita.
Memahami keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, merupakan sarana yang paling tepat dan cepat untuk memahami keagungan Allah Swt, dan merupakan realisasi dari keimanan yang telah diterangkan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis. Tanpa melalui Rasulullah Saw, sudah tentu salik akan dibimbing oleh setan.
f. Menta’lif redaksi doa yang pada umumnya didalamnya mengandung makna ajaran tentang pentingnya bertawassul kepada Nabi Saw.
Al-Qur’an dan hadis telah memberikan tuntunan dalam mencapai dan menyempurnakan iman dan ihsan, yakni bertawassul kepada Rasulullah Saw :
a) Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah : 35 :
يَاأيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah. Dan carilah wasilah (media/ thariqah) untuk menuju kepada-Nya. Dan sunguh-sungguhlah kamu semua didalam jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu semua memperoleh keberuntungan.
b) HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal, Rasulullah Saw bersabda : [24]
الوَسِيْلَةُ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَن يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ
Wasilah adalah derajat disisi Allah, yang tidak ada derajat lagi. Maka mohonkan aku kepada Allah, agar Ia memberiku derajat wasilah.
Asal makna wasilah adalah perantara. Para ulama kaum sufi mengartikan kata wasilah sepadan arti dengan makna kata thariqah dalam ayat 16 surat al-Jin. Penafsiran kata wasilah dalam ayat ini secara tepat adalah sebagaimana dijelaskan oleh hadis riwayat dari Ibnu Amr, Rasulullah Saw bersabda :[25]
إِذَا سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِي الوَسِيْلَةَ. فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعِبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَهَا لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Ketika kalian mendengar muaddzin, ucapkanlah sebagaimana ia mengucapkannya. Kemudian bershalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya, barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya dengan shalawatnya tersebut sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kamu semua untukku “WASILAH”. Sesungguhnya wasilah adalah tempat yang mulya dalam surga, yang mana (tempat itu) tidak patut kecuali diperuntukkan bagi satu hamba dari beberapa hamba-Nya. Barang siapa memohonkan untukku wasilah, maka ia halal mendapat syafaat (dariku).
Demikian pula Syekh as-Sindi, dalam memberi penjelasan makna ‘wasilah” menjelaskan :
لاَيُخْرَجُ رِزْْقٌ وَمَنْزِلَةٌ إِلاَّ عَلَى يَدَ يْهِ وَبِواَسِطَتِهِ
Tidak keluar (dari Allah) rizki dan kedudukan, kecuali ditangan Rasulullah dan dengan perantaraannya. (dalam Sunan Nasa’i bi Hasyiyah as-Sindi juz II, pada bab shalawat)
Hadis riwayat Imam Muslim (Shahih Muslim, bab “adzan”), Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ الوَسِيْلَةَ أَعْلَى مَنْزِلَةٍ فِي الجَنَّةِ وَلاَ يَنَالُهَا إِلاَّ رَحُلٌ وَأَنَا أَرْجُو مِنْ ذَالِكَ الرَّجُلِ
Sesungguhnya wasilah itu setinggi-tinggi tempat dalam surga, dan tidak dapat memperolehnya kecuali seorang lelaki. Dan Aku berharap sebagai lelaki tersebut.
Sebagaimana ketentuan Allah Swt (sunnatullah), semua pertolongan yang Dia berikan kepada makhluk-Nya, disalurkan melalui makhluk lainnya. Misalnya, air dapat menghilangkan haus, nasi (snack) dapat mengilangkan lapar, racun dapat mematikan. Kekuatan menghilangkan haus dan lapar, atau mematikan tersebut pada hakikinya adalah kekuatan Allah Swt yang dipancarkan kepada benda tersebut. Mukmin mendekati air atau nasi, serta menghindari racun, hakikinya yang didekati adalah kekuatan Allah Swt. Demikian pula, mukmin mendekat waliyullah Ra atau Rasulullah Saw, hakikinya untuk mencari karamah serta mukjizat Allah Swt semata yang dipancarkan melalui hamba-Nya tersebut. Dalam hail ini, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf bin Ismail an-Nabhani Ra (w. 1933 M), menjelaskan : [26]
وَأَمَّا النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ وَاسِطَةً بَينَهُ وَبَيْنَ اللهُ. فَهُوَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُسْتَغَاثُ بِهِ حَقِيْقَةً.
Nabi Muhammad Saw, merupakan perantara antara hamba dan Allah. Dan secara hakiki Dia
(Allah) Swt adalah merupakan tempat meminta pertolongan.
HR. Imam Nasai (kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 663 – 665, dan yang di-shahih-kan oleh al-Bahihaqi) dari Usman bin Hunaif. Dia berkata : Orang buta menghadap kepada Rasulullah Saw dan meminta untuk didoakan agar Allah Swt memberikan kesembuhan matanya, hingga dapat melihat kembali. Rasulullah Saw bersabda : Ucapkanlah :
أَللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ بِكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَحْمَةِ. يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي قَضَاءِ حَاجَتِي لِيْ, اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِي.
Ya Allah, sungguh aku meminta kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammad Saw, Nabi pembawa rahmat.[27] Wahai Nabi Muhammad, sungguh aku menghadap Allah melalui Paduka, agar hajatku ini terkabulkan. Ya Allah, berikanlah syafaat kepadanya dalam hal ini.
Memahami pentingnya memiliki guru yang ahli dalam bidang iman, Islam dan ihsan, yakni al-Ghauts Ra (wakil Rasulullah Saw pada setiap zaman) merupakan asas dalam sunnah rasul. Sebagaimana keterangan dalam hadis riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda : [28]
إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah.
Hadis yang sepadan arti, Rasulullah Saw bersabd : [29]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Imam Abul Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim, dalam surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[30]
Wasilah merupakan kedudukan tertinggi disisi Allah Swt yang diperoleh oleh satu orang dari beberapa hamba-Nya (Rasulullah Saw). Dan adanya perintah agar mukmin mencari seseorang yang telah mencapai maqam wasilah, bertujuan jika mereka melaksanakan tawajjuh kepada Allah Swt melalui orang (Rasulullah Saw) tersebut. Dan barulah mukmin dapat meraih derajat ihsan. Berwasilah kepada Rasulullah Saw atau wakilnya (al-Ghauts Ra) dapat dinamakan pengamalan thariqah. Dan berkaitan dengan hal ini, Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra menjelaskan; bahwa Syeh Mursyid Yang Kamil itulah yang dinamakan thariqah untuk menuju makrifat kepada Allah Swt.
فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya. [31]
Demikian pula, Syeh Daud Ibnu Makhala Ra dapat menjelaskan :
قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ, وَحَوَاسُهُ اَبْوَابُهَا. فَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
Hati seorang yang Arif Billah itu pintu kehadiran Allah Swt, dan seluruh indranya merupakanpintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka akan terbuka baginya pintu hadlrah Allah Swt. [32]
Demikian pentingnya peranan Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil dalam jiwa manusia. Manusia hanya memiliki dua pilihan antara mencari Guru Kami Mukammil untuk membimbing jiwanya atau membiarkan setan dan nafsu mencengkeram jiwanya dan kemudian membelokkan dari pemahaman tauhid yang benar. Dan agar dapat mencengkeram jiwa manusia, setan/ nafsu senantiasa membisikkan tidak perlunya mencari Guru yang kamil, serta mencukupkan dengan pemahaman diri sendiri. Sebagai pengamal dan pejuang Wahidiyah, perlu kiranya benar-benar melawan bisikan hati yang muncul dari setan/ nafsu. Allah Swt berfirman Qs. an-Nisa’ : 38, dan al-Baqarah : 208:
وَلاَ تتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ
Janganlah kalian mengikuti garis-garis (panduan) setan. Sesungguhnya ia merupakan musuhmu yang nyata.
Keempat ayat tersebut diatas, mengisyaratkan adanya guru ruhani yang cara membimbing manusia menuju Tuhan bukan berdasar dari sesuatu yang digariskan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi melalui garis-garis yang dibisikan oleh iblis/ setan/ nafsu kedalam jiwanya. Guru ruhani yang jiwanya dikuasai oleh nafsu/ setan, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam kitabnya, [33] menjelaskan :
وَقَدْ أَدْرَكْنَا جُمْلَةً مِنَ أَشْيَاخِ الطَرِيْقِ أَوَّلَ هَذَا القُرُنِ, كَانُوا عَلَى قَدَمٍ عَظِيْمٍ فِي العِبَادَةِ وَالنُسُكِ وَالوَرَعِ وَالخَشْيَةِ وَكَفِّ الجَوَارِحِ الظَاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ عَنِ الأَثَامِ حَتَّى لاَيَجِدُ أَحَدُهُمْ قَطُّ يَعْمَلُ شَيْئًا يَكْتُبُهُ كَاتِبُ الشِمَالِ. وَكَانَ لِلطَرِيْقِ حُرْمَةٌ وَهَيْبَةٌ وَكَانَ الأُمَرَاءُ وَالمُلُوكُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِأَهْلِهَا لَمَّا يُشْهِدُونَهُ مِنْ صِفَاتِهِمْ الحَسَنَةِ. فَلَمَّا ذَهَبُوا زَالَتْ حُرْمَةُ الطَّرِيْقِ وَأَهْلِهَا. وَصَار النَاسُ يَسْخَرُونَ بِأَحَدَهِمْ وَيَقُولُونَ لِبَعْضِهِمْ : مَادَرَيْتُمْ مَاجَرَى, فُلاَنُ الأَخَرُ عَمِلَ شَيْخًا ؟. كَأَنَّهُمْ لاَيُسَلِّمُونَ لَهُ مَا يَدْعِيْهِ لَمَّا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّةِ الدُنْيَا وَالتَّلَذُّذِ بِمُطَاعِمِهَا وَمَلاَبِسِهَا وَمَنَاكِحِهَا وَالسَعْيِ عَلَى تَحْصِيْلِهَا. حَتَّى إِنِّي قُلْتُ لِبَعْضِ التُجَّارِ لِمَ لاَ تَجْتَمِعُ بِالشَيْخِ الفُلاَنِيْ. فَقَالَ : إِنْ كَانَ شَيْخًا فَأَنَا الأَخَرُ شَيْخٌ, فَإِنَّهُ يُحِبُّ الدُّنْيَا كَمَا أُحِبُّهَا وَيَسْعَى فِيْ تَحْصِيْلِهَا كَمَا أَسْعَى, بَلْ هُوَ أَشَدُّ مِنِّي سَعْيًا عَلَى الدُنْيَا.
Kami mendapati beberapa Guru Mursyid [34] pada awal abad ini. Mereka diatas pondasi yang agung dalam ibadah, amal baik, wara’ (sangat hati-hati dalam masalah halal haram), khasy’yah (benar-benar takut kepada Allah), menjaga anggauta tubuh baik lahir atau batin dari dosa sama sekali. Hingga malikat pencatat amal jelek (pencatat bagian kiri) tidak mendapatkan catatan jelek. Didalam thariqah terdapat kehormatan dan kewibawaan. Dan ketika mereka melihat kebaikan serta kemulyaan akhlak para guru sufi, para pejabat dan para raja memohon berkah kepada para ahli thariqah. [35]
Namun, setelah mereka tidak tiada, hilanglah kehormatan tarekat dan pengamalnya. Dan manusia merendahkan para pengamal tarekat. Diantara masarakat ada yang berakat kepada kawannya. Tahukah kamu apa yang terjadi, didalam lingkungan orang-orang yang menjadi guru mursyid ?. Mereka sudah tidak mau memahami lagi terhadap apa yang dida’wakan masarakat kepada mereka. Karena mereka (para guru mursyid) sudah hanyut dalam cinta dunia (dan kehormatan) dan syahwat dunia, serta kelezatan makanan, pakaian dan pernikahan dunia.Mereka lari cepat untuk memperolehnya.
Hingga aku – demikian keterangan Syeh Sya’rani – bertanya kepada salah satu pedagang: “Mengapa saudara tidak berguru kepada Syeh yang bernama Fulan ?.
Jawab pedagang : Jika ia guru mursyid, akupun guru mursyid. Dia mencintai dunia seperti aku mencintainya. Dia lari untuk mengejarnya, sebagaimana aku juga lari untuk mengejarnya, bahkan dia lebih kencang larinya.
Rasulullah Saw juga memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh tentang makna sunnah dan bid’ah serta bodoh tentang penyakit hati yang melekat dalam jiwa setiap manusia :[36]
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ
Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Demi keselamatkan aqidah ummat masarakat, Perjuangan Wahidiyah memberikan amalan berupa shalawat Wahidiyah, yang didalamnya terdapat doa permohonan kepada Allah Swt, agar Dia memperkenankan Rasulullah Saw menampakkan keagungannya, dan juga kepada Beliau Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar siapapun yang dengan tekun dalam mengamalkannya, akan mendapat hidayah-Nya Allah dapat memahami kebaradaan pribadi Rasulullah Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra secara musyahadah.
B. Sifat Sifat Rahmat Manusia Biasa...................BERSAMBUNG....
------------------------
SUMBER : MATERI UP GRADING DA'I WAHIDIYAH - Tingkat Dasar Jilid I - Untuk Da'i Wahidiyah Kecamatan dan Imam Jama'ah Wahidiyah -
Diterbitkan oleh : Yayasan Perjuangan Wahidiyah Pusat Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh Kota Kediri Jawa Timur.
----------------------
SUMBER BACAAN :
[15]. Lihat Rasulullah Saw bersabda : لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبََّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِِ وَوَلَدِهِ وَالنَاسِ أَجْمَعِيْنَ Belum sempurna iman kamu semua, sehingga AKU lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh menusia.
Kitab Jawaahir al-Bukhaari-nya Mushthafa Muhammad ‘Ammarah (penerbit Muhammad Ahmad Nabhan, Surabaya, tt, hlm : 22 – 23, nomer hadis : 11. Keterangan yang sama juga terdapat dalam kitab Fathul Bari-nya Ibnu Hajar al-Asqalani dalam ulasan hadis diatas.
[16]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.
[17] Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I / 442.
[18]. Kitab Syawahid al-Haq, Syeh Yusuf an-Nabhani pada bab muqaddimah.
[19]. Lihat buku Fuyudlat ar-Rabbaniyah/ Permasalah Thariqah (buku ini berisi kumpulan keputusan mu’tamar jam’iyah thariqah an-nahdliyah), terbitan “Khalista” Surabaya, dalam item hasil keputusan mu’tamar ketujuh di ponpes “Futuhiyah” Mranggen Demak Jawa tengah, pada bahasan ke 161 dan 162, terbitan “Khalista “Surabaya
Kitab Sunny yang mu’tabar, antara lain yang ditulis oleh : Abu Thalib al-Makky, Imam Qusyairi, al-Ghazali, Syeh Abdul Qadir al-Jailani, Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari, Syeh Sya’rani dan para ulama yang telah masyhur dalam kalangan kaum sufi.
[20]. Dalam menentukan derajat hadis (shahih, hasan, dla’if atau munkar), telah tertulis dalam kitab-kitab hadis yang mu’tabar (yang ditulis oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lainnya). Hingga tidak perlu lagi mengadakan takhrij (penelitian kwalitas hadis, selama ulama terdahulu telah menetapkannya). Berlainan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum salafi wahabi yang sering mendla’ifkan bahkan memungkarkan hadis yang telah dinilai shahih atau hasan oleh ulama dahulu.
[21]. Imam Syafii dalam kitab Diwan-nya yang diterbitkan “Dar al-Jil” Bairut, tahun 1974, menjelaskan :
فَقِيْهًا صُوفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا فَإِنِّـي وَحَـقُّ اللهِ إِيَّاكَ أَنْصَـحُ
فَذَاكَ قَاسَ قَلْبُهُ لَمْ يَذُقْ تُقًى وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الجَهْلِ يَصْلُحُ
Jadilah kamu ahli fiqh dan ahli tasawuf. Dan janganlah salah satunya. Sungguh aku dengan kebenaran dari Allah, member nasehat kepadamu. Dia (yang hanya ahli fiqh) saja, hatinya keras serta tidak merasakan taqwa. Dan dia (yang hanya ahli tasawuf), seperti orang bodoh. Dan bagaimana orang bodoh, patut menjadi pembimbing.
Disini yang perlu mendapat perhatian, teks syair Imam Syafii tersebut diatas, anehnya tidak terdapat dalam cetakan yang dikeluarkan dalam e-book, buku elektronik : http://www.almeshkat.net/books), atau buku “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik”, tulisan Syeh Idahram, Penerbit “Pustaka Pesantren”, Jl. Parangtriris KM 4.4 Yogyakarta.
Dalam buku ini, diterangkan juga bahwa mereka sengaja melakukan sesuatu yang menodai ilmiyah. Diantaranya, mereka menghapus teks-teks yang terdapat dalam kitab para ulama klasik yang bertentangan dengan akdidahnya, serta memalsukan/ menyisipkan teks yang tidak ditulis oleh para penulis kitab tersebut. Sampai-sampai teks hadis yang terdapat dalam kitab as-Shahih Bukhari dan Muslim juga dihapus dan dipalsukan.
[22]. Kitab Afdlalus Shalawat-nya Syeh an-Nabhani dalam pasal.
[23]. Lihat kitab Afdlalus Shalawat, Syeh Yusuf an-Nabhaani Ra (w. 1933 M), dalam pasal 4. Sejalan dengan Syeh an-Nabhani Ra, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra (w. 973 H) dalam kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah pada sanad talqin menjelaskan :
[24]. Hadis shahih riwayat Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri, kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam jalaluddin Suyuthi pada juz II dalam bab “wawu”.
[25]. HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai, kitab Jami’ as-Shaghir fii Ahaadiis al-Basyir an-Nadziir-nya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pada juz I dalam bab “alif dan dzal”.
[26]. Kitab Syawahidul Haq fil Istighatsah bi Sayyidil Khalqi wal Basyar Saw-nya Syeh Nabhani Ra, dalam pasal 3 pada ulasan “pendapat para ulama tentang istighatsah kepada Nabi Saw”.
[27]. Hadis ini dapat dipahami sebagai ulasan terhadap firman Allah Swt , Qs. al-Anbiya’ : 107 :
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةَ لِلْعَالَمِيْنَ : Dan Kami (Allah) tidak mengutus Engkau, kecuali sebagai rahmat kepada alam.
[28]. . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab “alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[29]. HR. Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[30]. Kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I pada pasal 1.
[31]. Kitab al-Ghunyah dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi” pasal kesatu. Hadis yang sepadan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah (Shahih, nh : 4661, dalam kitab “al-birr wa as-shlah” pada bab “fadl iyadah al-maridl”).
[32]. Kitab Thabaqaat al-Kubra-nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra juz II dalam kisah “Syeh Ibnu Makhala”.
[33]. Kitab al-Anwarul Qudsiyah fii Ma’rifati Qawaa’id as-Sufiyah dalam bab ‘muqaddimah”. Yang mana kitab ini ditulis disebabkan oleh banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan kaum sufi dan para guru tarekat. Demikian pula, ketika al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Qusyairi Ra (w. 465 H) menulis kitab Risyalah al-Qusyairiyah, dan al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam al-Ghazali Ra menulis kitab Ihya’ Ulumuddin. Pada masa Beliau Ra berdua, terjadinya penyimpangan dari para pembimbing tarekat sufi, sehingga kebanyakan kaum fuqaha’ menganggap tasawuf sebagai amalan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan dalam sunnah Islam.
Shalawat Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah QS wa Ra dimaksudkan mengembalikan inti tasawuf sebagaimana yang diwariskan oleh Rasulullah Saw, yang tidak memisahkan antara aqidah (sebagai jiwa), fiqih (sebagai pelaksanaan hukum lahiriyah) dan moral (sebagai keluhuran budi).
[34]. Ibid. Dalam bab “sanadul qaum”, Syeh Sya’rani menjelaskan bahwa para guru mursyid waktu itu adalah orang yang keshalihan, kewara’an dan kezuhudannya seperti yang dicontohkan oleh Rsulullah Saw. Dan pula – masih keterangan Syeh Sya’rani -, Beliau Ra memiliki amalan yang sanadnya antara dirinya dengan Rasulullah Saw hanya terhalang oleh 1 atau 2 orang GURU MURSYID, yang akhirnya Beliau Ra mengambil langsung dari Rasulullah Saw setelah Guru Mursyid-nya wafat. Beliau Ra mencari hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw melalui Syeh Ali al-Khawash. Dan Syeh Ali al-Khawash melalui Syeh Ibrahim al-Matbuli Syeh Ibrahim al-Matbuli dari Rasulullah Saw secara langsung. Kemudian setelah wafatnya Syeh Ibrahim al-Matbuli, Syeh Ali al-Khawash mengambil langsung dari Rasulullah Saw.
[35]. Diantara tanda benar dan sahnya suatu tarekat, antara dapat membawa pengamalnya dekat dengan sedekat mungkin kepada Rasulullah Saw secara ruhani maupun mushafahah dan musyfahah (dapat berdialog). Jika tidak, maka tarekat tersebut dinilan batal. Lihat dalam kitab al-Anwarul Qudsiyah –nya al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, dalam bab “sanadul qaum”
[36]. Kitab Jami’ as-Shagir –nya Imam Suyuthi, juz I bab alif. Atau kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
[37]. HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Thabrani dan Baihaqi.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
3 komentar
Komentar
Ahmad Dimyathi Pak Kyai Rahmat Sukir menyampaikan bahwa tanda-tanda kebenaran Sulthonul Awliya' (pimpinan Wali) adalah mudah menyampaikan / menghantarkan murid-muridnya mampu bertemu dengan Beliau Rosullulloh SAW baik secara ru'yah sholihah (mimpi) maupun secara yaqodotan (bertemu langsung).. — bersama Rahmat Sukir dan 20 lainnya di Prapatan Ciawi BOGOR JABAR - https://t.co/poZqJkxM1thttp://t.co/SGiy8MCbow
Ahmad Dimyathi BOLEH..SILAKAN ..SEMOGA BERMANFAAT...AMIIN...
Ahmad Dimyathi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar