J. YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
I. 01.317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
0033.01.317 - KEDUDUKAN AL-GHAUTS RA
Paling tidak terdapat dua alasan, mengapa manusia perlu memahami keberadaan, keagungan, kedudukan dan tugas al-Ghauts Ra. Pertama, secara batiniyah Beliau Ra merupakan inti dan pusat kehidupan mahluk semesta alam. Mukmin dituntut meyakini keberadaannya. Kedua, mengetahui dan mengenal pribadinya, untuk membebaskan jiwa dari kemusyrikan serta untuk meneladani perikehidupannya. Seluruh prilaku al-Ghauts Ra, terjadi atas kehendak dan bimbingan dari Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Kata Ghauts adalah kalimat dari bahasa arab
yang memiliki arti : Pertolongan dan Penolong. Al-Ghautsu - istilah yang berlaku dalam
kaum shufi -, adalah hamba Allah Swt yang ditugaskan untuk membimbing dan
mengantar ummat manusia sadar kembali dan mengabdikan diri kepada Allah wa
Rasulihi Saw. Sekaligus sebagai wakil Rasulullah Saw sebagai penjaga
kelesterian alam. Sepeninggal Rasulullah Saw, tidak ada lagi seorang nabi. Yang
ada hanyalah al-Ghauts sebagai penerus risalah Islamiyah. Melihat tugas
al-Ghauts Ra sebagai pimpinan ummat (secara ruhani) untuk makrifat sadar
kembali kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw serta sebagai media pemberian Allah
Swt kepada makhluk, maka keberadaannya merupakan sebuah keniscayaan. Tidak
mungkin dalam setiap waktu, alam ini tanpa adanya al-Ghauts Ra.
Dalam
setiap lingkungan, terdapat pusat kekuasaan yang berada pada satu orang.
Demikian pula dalam struktur sosial
masyarakat, tanpa adanya pimpinan yang adil dan bijaksana, sudah tentu akan
terjadi kekacauan massal (caos) yang sukar terselesaikan. Lebih-lebih
kebaradaan dan fungsi Pimpinan ruhani lebih penting dan lebih dominan jika
dibandingkan dengan pimpinan lahiriyah. Al-Ghauts Ra atau Sufi Yang Sempurna
(dalam istilah Syeh Abdul Qadir al-Jailani), diibaratkan sebagai Gua bagi para
waliyullah.[1]
Disamping sebagai penuntun rohani dan pemimpin para waliyullah, jiwa al-Ghauts
Ra sebagai pusat pancaran dan kehendak Allah Swt dalam mengatur mahluk alam
semesta. Beliau Ra sebagai pimpinan tertinggi dalam hirarki kaum shufi (mursyid
kamil mukammil).
1. Jumlah
al-Ghauts Ra Pada Setiap Waktu.
Allah Swt adalah Maha Satu, Rasulullah Saw
juga hanya satu, maka sudah tentu khalifah Allah-pun hanya satu. Banyak
keterangan dari hadits Nabi Saw, bahwa dalam setiap waktu hanya ada satu orang yang
menjadi tempat tajallinya Allah Swt. Dialah al-Ghauts Ra pada masanya.
Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra dalam kitabnya al-Yawaqit wal Jawahir juz II halaman 81. menjelasan :
فِيْمَا بَيْنَ القَوْمِ لاَ يَكُونُ
مِنْهُمْ فِي الزَماَنِ اِلاّ وَاحِدٌ وَهُوَ الغَوْثُ
tidak ada diantara mereka
(ahli makrifat), dalam setiap waktu, kecuali adanya satu hamba Allah. Dialah
al-Ghauts.
Dan dalam kitab yang sama pada halaman 80 dijelaskan :
فَلاَ
يَخْلُوزَمَانٌ
مِنْ
رَسُولٍ يَكُوْنُ فِيْهِ وَذَاِلِكَ هُوَالقُطْبُ الذِي هُوَ مَحَلُّ
نَظْرِالحَقِّ
تَعَالَى
مِنَ العَالَمِ كَمَا يَلِيْقُ بِجَلاَلِهِ وَمِنْ هَذَاالقُطْبِ يَتَفَرَّعُ
جَمِيْعُ الاِمْدَادِالالهية علَى جَمِيْعِ العَالَمِ العُلْوِي وَالسُفلِي
Dapat dimaklumi pemahaman yang berkembang
ditengah-tengah masyarakat muslim tentang keberadaan Ghauts Ra, masih sangat
minim. Sehingga banyak diantara para kiyai yang mengatakan bahwa al-Ghauts itu hanya
Syeh Abdul Qadir, Syeh Syadzili, Syeh Naqsyabandi, Mbah KH. Abdul Madjid
Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah (Qs wa Ra), dan tidak ada al-Ghauts lagi
setelahnya. Padahal kesimpulan semacam ini tidak memiliki dasar dari kaidah
yang benar, dan hanya sebuah persepsi atau bahkan hanya sebuah opini. Pemahaman
ini harus segera diluruskan. Keyakinan seperti ini hanya lahir dari sebuah
asumsi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam kaidah Islam.
Diantara tujuan dita’lifnya Shalawat Wahidiyah oleh
Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra, untuk meluruskan pemahaman kebaradaan
al-Ghauts yang telah menyimpang. Dengan mengamalkannya secara sungguh-sungguh,
seseorang akan merasakan, memahami dan membuktikan – melalui pengalaman ruhani
(rukyah shalihah) – kebaradaan al-Ghauts Ra secara kassyaf dan musyahadah. Alhamdullah – sebagai tahaddus binni’mah -
banyak diantara pengamal Wahidiyah (baik dari kalangan awam atau kelompok atas)
mendapat hidayah Allah Swt dan syafaat Rasulullah Saw dapat memahami kebaradaan
al-Ghauts Ra.
Keberadaan al-Ghauts Ra – sebagaimana keterangan dalam
hadis shahih -, secara jasmani dan ruhani. Dan tidak ada al-Ghauts ra
menjalankan tugas sebagai khalifah Rasulullah Saw dari alam barzah atau alam
kubur. Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ فِيِ الخَلْقِ
ثَلاَثُمِائَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ اَدَمَ. وللهِ فِيِ الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ
عَلَى قَلْبِ مُوسَى. وللهِ سَبْعَةٌ فِيِ الخَلْقِ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ إِبْرَاهِيْمَ.
وللهِ فِيِ الخَلْقِ خَمْسَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ جِبْرِيْلَ. ولله فِيِ
الخَلْقِ ثَلاَثَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مِيكَائِيْلَ. وَلله فِي الخَلْقِ
وَاحِدٌ قَلْبُهُ عَلَى قَلْبِ اِسْرَا فِيْل.
فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ
مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ
مِنَ الثَلا َثَةِ. فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ
مِنَ الخَمْسَةِ
.فَاذَا
مَاتَ مِنَ الخَمْسَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ السَبْعَةِ .فَاذَا
مَاتَ مِنَ السَبْعَةِ اَبْدَال َاللهُ
مَكَانَهُ مِنَ الآرْبَعِيْنَ. فَاذَا مَاتَ مِنَ الآرْبَعِيْنَ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ
مِنَ الثَلاَثِمِائَةٍ. فَاذَا مَاتَ مِنَ
الثَلاَثِمِائَةٍ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ العَامَّةِ. فَبِهِمْ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَيُمْطِرُ
وَيُنْبِتُ وَيُدْفَعُ البَلاَءِ.
Sesungguhnya
didalam makhluk (alam) terdapat 300 orang yang hatinya seperti hati Nabi Adam.
Dan Allah memiliki 40 orang, yang hatinya seperti hati Nabi Musa. Dan Allah
memiliki 7 orang, yang hatinya seperti hati Nabi Ibrahim. Dan Allah memiliki 5
orang, yang hatinya seperti hati Jibril. Dan Allah memiliki 3 orang, yang
hatinya seperti hati Mikail. Dan Allah memiliki 1 orang, yang hatinya seperti
hati Israfil.
Ketika
1 orang ini mati, Allah menggantikannya dari salah satu 3 orang. Ketika mati/
berkurang (salah satu) dari 3 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 5
orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 5 orang, Allah menggantikannya dari
salah satu 7 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 7 orang,
Allah menggantikannya dari salah satu 40 orang. Ketika mati/ berkurang (salah
satu) dari 40 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 300 orang. Ketika
mati/ berkurang (salah satu) dari 300 orang, Allah menggantikannya dari orang
awam.
Sebab mereka kehidupan
atau kematian. Sebab mereka hujan turun dan tamanam tumbuh. Dan sebab mereka
bala/ musibah tertolak. [4]
Kataمَاتَ / maata : mati, yang dirangkai dengan penjelasan اَبْدَال
َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ = Allah
menggantikan kedudukannya dari salah satu 3 orang, dalam hadis
riwayat Abu Nuaim al-Isfahani dan Ibnu Asakir
dari Ibnu Mas’ud Ra diatas, dengan menjelaskan keberadaan al-Ghauts Ra, bukan
secara ruhani dari alam barzah, akan tetapi secara jasmani dan ruhani.
وَمِنْ
شُرُوطِهِ اَنْ يَكُونَ ذَا جِسْمٍ طَبِيْعِيٍ وَرُوْحٍ , وَيَكُونُ مَوْجُودًا
فِي هذِهِ الدَارِ بِجَسَدِهِ وَحَقِيْقَتِهِ
فَلاَبُدَّ اَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا فِي هَذِهِ الدَارِ بِجَسَدِهِ
وَرُوحِهِ مِنْ عَهْدِ اَدَمَ اِلَى يَوْمِ القِيَا مَةِ
Dan
diantara persyaratan (keberadaan) Al Ghauts Ra : Wujud dengan rohani dan perwatakan
jasmani pula .Dan dalam kehidupan nyata (sejak zaman Nabi Adam sampai
hari qiyamat) .
Telah banyak kitab tasawuf yang
menerangkan, bahwa para al-Ghauts Ra
memohon kepada-Nya, jika sekiranya Beliau Ra wafat, Allah Swt berkenan mengangkat putranya atau
keluarga yang lain sebagai al-Ghauts untuk menggantikannya. Dan sebagai calon pengganti, mereka
berada dalam asuhan al-Ghauts sebelumnya.
3. Gelar Bagi Al-Ghauts Ra
Memahami
kedudukan al-Ghauts Ra merupakan bagian dari ilmu kasyyaf yang tidak
dapat diperoleh melalui pembelajaran ilmu, karena hanya melalui hidayah Allah
Swt. Bagi mukmin yang belum mendapatkannya, merupakan sebuah kewajaran bila
diantara mereka – dengan sebab pendewaanya kepada akal sebagai tempat pemahaman
kebenaran - meningkari keberadaan
al-Ghauts Ra beserta tugas batiniyahnya.[5]
Bahkan diantara mereka terdapat orang yang menganggap sesat terhadap ajaran
yang menerangkan kebaradaan waliyullah dan al-Ghauts Ra. Kita berlindung kepada
Allah Swt, agar jauh dari hal tersebut.
Berbagai macam
gelar dan sebutan yang diberikan para kaum sufi dan para auliyaillah kepada al
Ghautsu Ra. Gelar dan sebutan tersebut disesuailan dengan tugas dan fungsi
Beliau Ra. Sedangkan gelar al-Ghauts, diberikan kepada Beliau Ra karena
fungsinya sebagai penolong bagi seluruh ummat tanpa pandang bulu.
Semestinya
banyak sekali gelar dan panggilan yang sesuai dengan tugas batinyah dan yang
diberikan kepada al-Ghauts Ra. Sedangkan disini hanya diterangkan sebagian
saja, antara lain :
1. Insan Kamil. (Manusia Sempurna).[6]
Dalam
kitab Misykat al-Anwar[7]
pada bahasan “al-Quthbu” Imam al-Ghazali menyebut al-Ghauts Ra dengan al-Insan
al-Kamil (manusia sempurna dalam iman, taqwa dan akhlaknya) :
فَاِنَّ
مَنْ يَجْمَعُ بَيْنَ الظَّاهِرُ والبَاطٍنُ جَمِيْعًا فَهَذَا هُوَ الكَامِلُ
Barang siapa
dapat mengumpulkan (pemahaman) alam lahir dan alam batin secara menyeluruh,
dialah manusia sempurna.
Gelar ini diberikan kepada Beliau
al-Ghauts, karena kesempurnaan ahlaknya seperti akhlak Rasulullah Saw (sebagai
fotocopy pribadi Rasululllah Saw) .
Akhlak
yang mulia adalah pancaran sifat Allah Swt yang terserap kedalam pribadi
manusia, atau dengan kata lain akhlak adalah kondisi jiwa ketuhanan = (حَالاَتٌ نَفْسِيَةٌ اِلَهِيَةٌ Hingga setiap prilakunya senantiasa mandapat sinar
akhlaq dari Allah yang dapat mengubah
sifat menusia dari sifat buruk menjadi sifat baik. Setiap kali manusia menyerap
asma Allah Swt, maka esensi kemanusiaannya akan berubah. Perubahan dan transformasi
ini seperti perubahan dalam setiap percampuran antara dua materi secara kimiawi,
ibarat air bercampur garam. Demikian penjelasan Imam al-Ghazali dalam
kitabnya Kimya’us Sa’adah.
Kekuatan al-Ghauts merupakan pancaran dari kekuatan Rasulullah Saw.
Sebagaimana
penjelasan Imam Sofyan Tsaury Ra (ulama sufi yang juga ahli dalam bidang hadis)
– yang berdasar pendapat para tabi’in - membagi ulama kedalam 3 (tiga)
bagian : [8]
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ
بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ
وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ يَخْشَى اللهَ
فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ, وَعَالِمٌ
بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok; Ulama yang memahami
tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang
hukum-hukum Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang
hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang
sempurna. Dan, Ulama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim
tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka.
Al-Alim al—Kamil inilah yang dimaksudkan sebagai al-Ghauts
Ra.
2.
Al-Quthbu (wali
quthub) atau Quthbul Wujud (Poros
Wujud).[9]
Gelar
ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena tanggung jawabnya dalam alam –
sebagai penjaga dan pelestari alam semesta.
اِعْلَمْ حَفَظَكَ
اللهُ اِنَّ الاِنْسَانَ الكَامِلَ وَهُوَالقُطْبُ الذِي تَدُوْرُ عَلَيْهِ أَفْلاَكُ الوُجُودِ
مِنْ اَوَّلِهِ اِلَى اَخِرِهِ وَهُوَ وَاحِدٌ مُنْذُ كَانَ الوُجُودُ اِلَى اَبَدِ الاَبَدِيْنَ ثُمَّ لَهُ
تَنَوُّعٌ فِي مَلاَبِس وَيَظْهَرُ فِي
كَنَائِس وَاسْمُهُ الاَصْلِيُ الَذِي هُوَ لَهُ
مُحَمَّدٌ وَلَه فِي كُلِّ زَمَاٍن اِسٌم مَايَلِيْقُ بِلِبَاسِهِ
Dan
didalam kitab al-Yawaqit wal-Jawahir, oleh Sayyid Abdul Wahhab
As-Sya’rani, halaman 82, menerangkan :
اِعْلَمْ اِنَّ بِالقُطْبِ يَحْفَظُ اللهُ
دَائِرَةَ الوُجُودِ كُلَهُ فمَنْ عَلِمِ هَذاَ الامْرَ عَلِمَ كَيْفَ يَحْفَظُ
اللهَ الوُجُودَ عَلَى عَالَمِ الدُ نْيَا
Ketahuilah,
sesungguhnya melalui al-Quthbu (al-Ghauts),
Allah menjaga alam wujud ini secara keseluruhan. Barang
siapa yang mengerti (rahasia) perkara ini, maka ia mengerti bagaimana Allah
menjaga wujud alam.
Dalam
Kitab at-Ta’rifaat-nya [10]
Syeh Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, dan dalam kitab Jami’ al-Ushul Syeh Kamsykhanawi,
bab “wawu” dan bab “qaf”,
dijelaskan :
القُطْبُ وَقَدْ يُسَمَى غَوثًا وَهُوَ
مَوضِعُ نَظْرِ اللهِ فِي كُلّ زَمَانٍ أَعْطَاه الطَلسم الآَعْظَمُ, يُفِيْضُ رُوحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ
الآَعْلَى وَالآَسْفَلَ
Wali
Quthub, kadang dinamakan Ghauts. Beliau sebagai tempat memancarnya pandangan
Allah. Beliau juga mengalirkan cahaya kehidupan kepada alam baik bawah maupun
atas.
القَطْبِيَةُ الكُبْرَى: هِيَ
مَرْتَبَةُ قُطْبِ الآَقْطَابِ وَهُوَ بَاطِنُ نُبُوَّةِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ
السلاَمُ, فَلاَ يَكُونُ إِلاَّ لَوَرَثَتِهِ لاحْتِصَاصِهِ عَلَيْهِ بِالآَكْمَلِيَةِ. فَلاَ يَكُونُ خَاتِمُ
الوِلاَيَةِ وَقُطْبُ الآَقْطَابِ إِلاَّ عَلَى بَاطِنُ خَاتَمِ النُبُوَّةِ
Wali
Quthub yang besar adalah martabat Qutubnya quthub. Beliau adalah sirri nubuwwah
Muhammad Saw. Tidak ada wali quthub, kecuali kepada ulama pewaris Muhammad Saw.
Hal ini memang khusus kepada mereka. Tidak ada penutup kewalian dan pusat para
wali quthub, kecuali pada jiwa penutup para Nabi.
Dalam
kitab Ghayatul Qashdi wal Murad juz I halaman 123, diterangkan tentang
kaidah
yang mashur dalam kalangan kaum sufi. Bahwa para ulama muhaqqiqin membagi
kedudukan quthub kedalam 3 bagian : quthbul ilmi, seperti
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali Ra, quthbul ahwal, seperti Syeh Abu Yazid
al-Bushthami Ra dan quthbul maqaamat, seperti Syeh Abdul Qadir
al-Jailani.[11]
Dan
– sebagai tahaddus binni’mah -, diantara pengamal Wahidiyah mimpi bertemu
dengan Rasulullah Saw yang memberitahukan bahwa Hadlratul Mukarram Mbah KH.
Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah memiliki
ketiga-tiganya. Hal ini disebabkan Beliau Qs wa Ra mendapat warisan ilmu dan
makrifat dari seluruh Ghauts sebelumnya. Hingga Beliau Qs wa Ra mencapai
derajat mujtahid dalam bidang tasawuf dan tarekat.
3 Wahiduz Zaman (satu-satunya
hamba Allah pada zaman itu).
Gelar ini diberikan kepada
al-Ghauts Ra, karena hanya Beliaulah yang menguasai suluruh sari ilmu agama dan
kitab Allah yang diturunkan kedunia. Dan dalam hadis, Rasulullah Saw, juga
menggunakan al-Wahid, ketika memaksudkan al-Ghauts Ra.
لاَبَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَلَوْتَبَحَّرَ فِي
العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ اَنْ يَقْنَعَ بِمَاعَلَّمَهُ
وَاِنَّمَا
الوَاجِبُ
عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ
بِاَهْلِ الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى صِرَاطِ
المُسْتَـقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك (كُدُورَاتِ
الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ
كَامِلٍ عَالِمٍ فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فِي بِلاَدِهِ اَوْاِقْلِيْمِهِ
وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
Tidak patut bagi orang alim, meskipun
ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya. Kecuali ia telah
menjadi Wahiduz Zaman pada waktu
itu. Bahkan ia wajib bagi mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia
ditunjukkan kearah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran
dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah
kekuasaan dan bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan
apabila didaerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia
wajib pergi menuju daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.[12]
4. Sulthanul
Auliya’ (Raja Waliyullah) dan Ru’usul ‘Arifin. Gelar ini diberikan kepada
al-Ghauts, disamping sebagai penolong ummat dari belenggu kemusyrikan, juga sebagai pimpinan para waliyullah Ra dan
para ulama Arif Billah wa Rasulihi Saw.
5. Al-Mujaddid =
Pembaharu / Reformer .
Gelar ini diberikan kepada
al-Ghauts Ra, karena banyak diantara al-Ghauts yang sekaligus sebagai pembaharu
dalam agama Islam, agar asas agama kembali seperti khiththah semula dan Beliau Ra sekaligus sebagai tauladan dalam
menjalankan tuntunan khiththah tersebut .
Namun biasanya
gelar Mujaddid ini diberikan kepada al-Ghauts dengan tambahan sebutan as-Shamadani/
atau al-Murabbi (al-Mujaddid al-Murabbi/ al-Mujaddid as-Shamadani). Dikandung
maksud untuk membedakan dengan para mujaddid lain yang tidak berpangkat
al-Ghaus Ra. Ketika Beliau Ra melihat penyimpangan-penyimpangan pemahaman agama
(kerancuan antara syirik dan tauhid), dalam bidang aqidah dan akhlak yang
terjadi pada masanya, Beliau Ra menyusun cara atau sistem da’wah, serta jalan
wushul/ makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw yang dikemas dengan lebih
praktis dan sistematis untuk membawa ummat kepada jiwa Islam yang seperti
khiththah semula yang dituntunkan oleh Rasulullah Saw, dengan mudah dan tepat.
Diantara
al-Ghauts yang sekaligus seorang mujaddid :
1).
Syeh Abu Thalib al-Makky (w. 385 H).
Beliau Ra adalah penulis kitab Quut
al-Quluub. Kitab ini menjadi rujukan kaidah tasawuf
oleh para pembesar sufi pada masa berikutnya. Dan pula, kitab inilah yang
mengilhami Imam Qusyairi menulis kitab Risyalah al-Qusyiriyah, dan Imam
Ghazali menulis kitab Ihya’ Ulumuddin.
Dalam kitab al-Munqid min al-Dlalal
(jalan keluar dari kesesatan) -nya, Imam Ghazali menceritakan pengalaman
batinnya. Ketika itu, Beliau mengoreksi kemurnian batinnya dalam beribadah dan
berjuang. Ditemukannya, ketika berjuang dan mengajar, ternyata niatan hati
tidak untuk mengabdi kepada Allah Swt, melainkan untuk kepentingan kehormatan
dan ketenaran diri, dan ini berarti bukan menyembah Allah Swt, akan tetapi
menyembah nafsunya, dan ini pula yang dinamakan syirik dosa yang paling
dimurkai oleh Allah Swt. Akhirnya ditinggalkannya tugas sebagai dosen dan
kepala perguruan tinggi “Nidlamiyah” yang dibangun oleh sultan Abdul Muluk.
Beliau mengasingkan diri. Namun, ditengah-tengah pengasingannya itu, hatinya
berbisik : kasihan ummat dididik oleh orang-orang yang tidak mengerti agama.
Dan kembalilah Imam kebangku perkuliahan. Demikian pula ketika sudah berjuang
dan mengajar, dikoreksinya niatan dalam hati, dan ditemukannya kembali, bahwa
dirinya berjuang bukan karena Allah, akan tetapi tetap karena kehormatan dan
ketenaran diri. Karena merasa usianya sudah tua yang tidak lama lagi pulang
kerahmatullah, Imam mengasingkan diri kembali untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt dengan sungguh-sungguh untuk memohon hidayah-Nya agar terbebas dari
penyembahan terhadap nafsu.
3).
Imam Syadzali (pendiri tarekat Syadzaliyah, w. 638
H)
4).
Syeh Bahauddin an-Naqsyabandi (w. 896 H).
Ketika
kurang 1 minngu dari hari kelahirannya, Syeh Baba as-Samasi Ra al-Ghauts pada
waktu itu, berkata : sebentar lagi ada bayi yang akan lahir. Ketika sudah
dewasa, nantinya dia menjadi waliyullah yang basar. Tepat 1 minggu, lahirlah
bayi kecil yang diberi nama Bahauddin. Oleh bapaknya, bayi ini disowankan
kepada Syeh Baba untuk dimohonkan doa restu. Kepada para murid yang juga ikut
sowan, Syeh berfatwa : Ini adalah anakku juga, jika kamu hidup pada masa anak
ini, ikutilah dia.
5).
Syeh Abdullah Umar al-Ahdali as-Sirhindi (w. 1035
H).
Dalam
syarahnya kitab “Raridul Bahyah”, yang sering disertakan dalam kitab
“al-Asybah wa an-Ndzair”-nya Syeh Jalaludin Suyuthi, sebagai catatan luar/ hamisy,
dalam bab “muqaddimah”, dijelaskan bahwa Syeh Umar al-Ahdali adalah waliyullah
yang mencapai derajat al-Ghauts Ra.
6).
Syeh Ahmad Kamsykhanwi.
7). Syeh
Abdullah Alwi al-Haddad (w. 1132 H). Pemilik “ratibul haddad” dan pendiri
tarekat Haddadiyah.
Beliau Ra
ini mengalami buta sejak usia 4 tahun gara-gara penyaki katarak. Sejak kecil
dia tekun menuntu ilmu, riyadlah dan mujahadah. Jika ingin mengetahui isi salah
satu kitab, ia memintan kawannya yntuk membacakannya. Karena memiliki pemikiran cerdas, pandangan yang jauh,
banyak para ulama yang bersedia membacakan kitab disampingnya. Banyak kitab
tasawuf yang telah ditulisnya, antara lain : ad-Da’wah at-Tammah wa
at-Tadzkirah lil-“Ammah Risaalah al-Mu’awanah, Adab Sulukil Murid,
Nashaih ad-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah dan an-Nafais al-Uluwiyah
fi al-Masail as-Shufiyah. Dalam kitab yang pertama, Beliau menjelaskan
bahwa tarekat terbagi kedalam ‘ammah (untuk mukmin dari kalangan bawah)
dan khasshah (untuk para auliyaillah dan kaum arifin). Sedangkan kitab
yang terakhir mengulas tentang derajat kewalian; abdal, autad, al-quthbu
al-Ghauts, syaikhut thariqah. Banyak ulama pada masanya yang mengatakan
bahwa Beliau adalah seseorang yang mampu mencapai derajat al-Quthbu al-Ghauts.
8).
Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra).
Mbah
KH. Muhammad Ma’ruf Ra, Ramanda dari Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra,
pernah mimpi mengitari dunia sambil kencing. Dan tanah yang dikencingi menjadi
subur, padahal sebelumnya tampak gersang. Mimpi ini ditanyakan kepada Mbah KH.
Khalil Bangkalan Madura. Sampeyan nanti akan memiliki keturunan yang ilmunya
dapat menyadarkan ummat manusia jami’al alamin, jawab Mbah Khalil. Baliau
Qs wa Ra tidak meninggalkan sebuah kitab. Dan yang ditinggalkan dan diwariskan
hanyalah Shalawat Wahidiyah, yang jika mau memandang dengan hati yang jernih,
bebas darirasa iri, dengki dan ambisi - didalamnya terdapat ajaran yang
merupakan inti dari kesempurnaan keimanan, keislaman dan keihsanan. Lain itu
pula didalam shalawat Wahidiyah mengajarkan tentang keberadaan al-Ghauts Ra,
dan sekaligus memberikan jalan untuk pembuktiannya, yang mana hal ini belum
dilakanakan oleh para al-Ghauts sebelumnya. Disamping memiliki karamah mudah
menyelesaikan permasalahan keluarga, shalawat Wahidiyah juga dapat membawa
pengamalnya mudah bertemu Rasulullah Saw baik dalam mimpi maupun jaga.
* * Catatan Penting.
Diantara
al-Ghauts Ra ada juga yang berpangkat mujaddid, dan juga yang tidak. Begitu
pula, belum tentu seorang mujaddid, berpangkat al-Ghauts. Misalnya, sebagaimana
keterangan dalam kitab Yawaqit diterangkan, bahwa Imam Syafi’i (w. 204
H) adalah mujaddid dalam bidang ushulil fiqih dan Abul Hasan al Asy’ari (w. 324
H) adalah mujaddid dalam biang penyusunan pemahaman aqidah, namun dalam
kewaliannya bukan al-Ghauts, melainkan wali Abdal. Dan dalam kitab Bugyah al
Mustarsyidin bab “khatimah”, diterangkan bahwa Imam Syafi’i adalah mujaddid
abad ke 2 H dan Imam Abul Hasan al-Asy’ari beliau adalah mujaddid pada abad ke
3 H. Dan pada masa Syaf’i’i ini yang menjabat al-Ghauts Ra, adalah Syeh Syaiban
ar Ra’i. (kitab Risyalah al Qusyairiyah, Imam Qusyairi w. 465 H, bab “washiyah ‘alal
murid”). Dan pada masa Imam Al Asy’ari, yamng menjabat al-Ghauts Ra adalah Syeh
Abu Bakar Sibliy Dallaf w. 327 H. ( kitab
al-Insan al Kamil juz II bab “insan kamil” Syeh Abdul Karim Jilly
w. 826 H)). Sedangkan al-Ghauts Ra yang tidak berpangkat mujaddid banyak
sekali, antara lain, Syeh Abal Khair Hammad Ad-Dibas, Syeh Abdul Qadir
Jailani, Imam Nawawi, Syeh Muhammad
Wafa, Syeh Suhrawardi, Syeh Samsuddin al-Hanafi, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag,
Imam badawiy, Syeh Abdullah as-Samani al-Madani, dan masih banyak lagi.
7.
Khatmul Auliya
.
Al-Ghauts
berkedudukan sebagai Khatmul Auliya’ sebagaimana Rasulullah Saw berkedudukan Khatmul
Anbiya’. Dalam bahasa arab, kata al-Khatam dapat diartikan penutup dan
setempel/ cap. Dalam kitab al-Insan al-Kamil nya Syeh al-Jilliy,
bab “khatimatun”, juga diterangkan bahwa maqam makrifat tertinggi yang dapat
dicapai oleh setiap salik disebut maqam al-Khitam, yang hanya dapat diraih oleh satu hamba Allah
Swt dalam setiap zaman.
8. Murabby
al-Qudsi = Pembimbing jiwa yang Suci.
Imam al-Ghazali Ra dalam kitabnya Misykatul-Anwar,
dalam pasal I pada pembahasan “Nurul-Muthlaq”, menjelaskan :
وَهَذِهِ الخَاصَّة تُوجَدُ لِلرُوْحِ
القُدْسِي النَبَوِي أِذْ تُفِيْضُ بِوَاسِطَتِهِ أَ نْوَارُ المَعَارِفِ عَلَى
الخَلْقِ وَبِهِ تُفْهَمُ تَسْمِيَةُ اللهِ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سِرَاجًا مُنِيْرًا, وَالاَنْبِيَاءُ كُلُّهُمْ سِرَاجٌ, وَكذَالِك
العُلَمَاءُ
Dan “Nur al-Mutlah” ini diwujudkan khusus
untuk ruh Nabi yang qudus (suci). Sebab dari Ruh Qudus ini mengalirlah seluruh
nur makrifat kepada seluruh mahluk. Dan Sebab Ruh Qudus ini pula dapat dipahami
pemberian nama oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dengan nama Sirajan
Muniran (pelita yang menerangi alam semesta). Dan semua Nabi adalah pelita,
demikian pula ulama (al-Ghauts).
9. Al-Jami’ul Khalqi.
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts karena kedudukannya sebagai tempat
sandaran mahluk secara batiniyah.
اِعْلَمْ
اِنَّ القُطْبَ وَقَدْ يُسَمَّى غَوْثًا بِاعْتِبَارِ اِلْتِجَاءِ المَلْهُوفِ
اِلَيْهِ هُوَعِبَارَةٌ عَنِ الفَرْدِ الجَامِع الوَاحِدِ الذِي هُوَ مَوْضِع نَظْرِاللهِ
فِي كُلِّ زَمَانٍ. وَمِنْ لَدُنْهُ
يَسْرِي فِي الكَوْنِ وَالاَعْيَانِ البَاطِنَةِ وَالظَاهِرَةِ سِرْيَانُ الرُوْحِ
فِي الجَسَدِ. بِيَدِهِ قِسْطَاسُ الفَيْضِ الاَعَمّ. هُوَ يُفِيْضُ رُوْحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ الاَعْلَى وَالاَسْفلِ.
فَهُوَ بَاطِنُ نُبُوّةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم
Ketahuilah
sesungguhnya wali Quthub (Ghauts) itu, sebagai tempat pengungsian mahluk.
Beliau adalah hamba yang satu dan sekaligus sebagai pengumpul mahluk. Beliau
juga sebagai tempat pandangan Allah dalam setiap zaman. Dari
diri Beliau mengalir rahasia-rahasia kehidupan batin dan lahir sebagaimana mengalirnya ruh kedalam
seluruh jasad. Dari diri Beliau,
Allah menumpahkan ruh kehidupan baik kepada mahluk alam atas maupun alam bawah.
Beliau itu secara esensi batiniyahnya sebagai (fotocopy) Nabi Muhammad Saw.[14]
Kedudukan sebagai pengumpul makhluk (al-Hasyir)
ini diperoleh al-Ghauts ra sebagai warisan dari Rasulullah Saw. Rasulullah
Saw bersabda : [15]
أَنَا
مُحَمَّدٌ وَأَنَا أَحْمَدُ وَأَنَا المَاحِي الذِي يَمْحُواللهُ بِي الكُفْـرَ وَأَنَا
الحَاشِر الذِي يُحْشَرُ النَاسُ عَلَى قَدَمِي وَأَنَا العَاقِبُ
Aku
adalah Muhammad. Aku adalah Ahmad. Aku adalah pembasmi. Yang mana Allah
membasmi kekufuran melalui Aku. Aku adalah Pengumpul. Yang mana manusia dikumpulkan dibawah tapak
kaki-Ku (disekitarku). Aku adalah Nabi Penutup.
Dalam
kitabnya Jami’ al-Ussul fii al-Auliya’, al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh
Ahmad Kamasykhanawi, menjelaskan bahwa al-Ghauts Ra dapat dinamakan Abdul
Warits. Karena kepada al-Ghauts Ra Allah Swt mewariskan sari makna
kandungan al-Quran dan kitab-kitab yang diturunkan kebumi dan sirri Rasulullah
Saw.
لآَنَّهُ إِذَا كَانَ بَقِيًا بِبَقَاَءِ
الحَقِّ بَعْدَ فَنَائِهِ عَنْ نَفْسِهِ لَزِمَ أَنْ يَرِثَ مَا يَرِثُهُ الحَقُّ مِنَ
الكُلِّ وَهُوَ يَرِثُ الآَنْبِيَاءَ عُلُومَهُمْ وَمَعَارِفَهُمْ وَهِدَايَتَهُمْ
لِدُخُولِهِمْ فِي الكُلِّ
Karena al-Ghauts ketika sudah berada
pada maqam baqa’ (billah) setelah keluar dari maqam fana’[17] dari
dirinya, maka Allah mewariskan jiwa kulliyat/ universal. Dan Beliau
mewarisi ilmu, makrifat, dan hidayah para Nabi. Semua itu diperolehnya
setelah memasuki maqam jiwa kulliyat.
Dalm kitab
Syawahidul Haq-nya Syeh an-Nabhani Ra, halaman
414 diterangkan, setelah Nabi Muhammad
Saw dipanggil kerahmatullah, sirri Rasulullah Saw diwariskan kepada al-Ghauts
Ra. Sebagaimana yang diterima al-Ghuats fii Zamanih Imam Abul Hasan As-Syadzali
Ra (pendiri tarekat syadzaliyah)
وَارثٌ ِلأَ سرَاِر سَيَّدِالمرْسَلِيْنَ الأَ عْظمُ القُطبُ الغَوْثُ
Pewaris sirri pimpinan rasul yang
paling agung adalah al-Qutub al-Ghauts.
11. Mursyid Kamil Mikammil (Pemandu Ruhani Yang Sempurna Dan
Menyempurnakan).
Dalam
kitabnya Khulashah at-Tashanif fit Tashawuf dalam “khutbatul kitab”, (Majmu’ah
Rasail lil Ghazali, Darul Fikri, Bairut – Libanon, cet. I, hlm : 173), Imam al-Ghazali menerangkan tentang
keharusan setiap salik mencari guru mursyid yang kamil mukammil.
اِنَّهُ لآَ بُدَّ لِلسَّالِكِ مِنْ
مُرْشِدٍ مُرَبٍّي أَلْبَتَةً, لاَنَّ اللهَ تَعَالَى أَرْسَلَ الرُّسُلَ
عَلَيْهِمْ الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ للِخَلْقِ لَيَكُونُ دَليْلاً لَهُمْ
وَيُرْشِدُهُمْ اِلَى الطَرِيْقِ المُسْتَقِيْمِ. وَقَبْلَ اِنْتِقَالِ
المُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم اِلَى
الدَارِ الاَخِرَةِ قَدْ جَعَل خُلَفَاء الرَشِدِيْنَ نَوَّابًا عَنْهُ
لِيَدُلُّوا الخَلْقِ عَلَى طَرِيْقِ اللهِ.
وَهَكَذَا اِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ فَالسَّالِكُ لاَ
يَسْتَغْنَى عَنِ المُرْشِدِ
Sesungguhnya bagi setiap salik diharuskan
adanya mursyid yang membimbingnya. Kerena Allah Swt mengutus para rasul As
kepada mahluk, sebagai bukti (keberadaan Tuhan) dan sebagai penunjuk kejalan
yang lurus. Sebelum kepindahan Rasulullah Saw kealam akhirat,
Rasulullah Saw telah mempersiapkan khalifah ar-Rasyidin sebagai penggantinya,
agar mereka menunjukkan mahluk kejalan Allah. Hal ini berlaku sampai hari
kiamat. Maka, setiap salik wajib memiliki
seorang mursyid.
Dan Imam Ghazali juga menjelaskan bahwa
mursyid yang benar, mendapatkan limpahan cahaya dari Nabi Muhammad Saw secara
langsung. Dan karenanya salik wajib menghormat kepada mursyidnya
وَاقْتَبَسَ نُورًامِنْ
أَنْواَرسَيِّدِنَا ٍمُحَمَّدٍ صلى الله
عليه وسلّم فَإِنْ تَحَصَّلَ أَحَدٌ عَلَى مِثْلِ هَذَاالمُرْشِدِ وَجَبَ عَلَيْهِ
اِحْتِرَامُهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا
Dan (mursyid) menerima pancaran langsung
dari Nur Nabi Muhammad Saw. Jika seseorang berhasil mendapatkan mursyid yang
seperti ini, wajib baginya menghormatnya
secara lahir dan batin.
K.
Memahami Keberadaan al-Ghauts Ra.
Semestinya
Allah Swt melalui al-Qur’an dan beberapaa hadis, dengan jelas menganjurkan agar
setiap mukmin dapat mengetahui pribadi al-Ghauts Ra. Sayang, kebanyakan manusia
memahaminya dengan tanpa disertai permohonan hidayah kepada-Nya. Hingga mereka
terjebak dalam pemahaman yang terbalik. Memahami pribadi al-Ghauts Ra merupakan
jembatan emas untuk pembersihan jiwa dari nafsu yang senantiasa mengarah kepada
kejahatan, serta untuk makrifat (mengenal) kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw
secara tepat dan benar. Tanpa melalui Beliau Ra, jalan pengenalan kepada Allah
Swt tidak lurus dan tidak sempurna. Dan tanpa bimbingan Beliau Ra, setan/ nafsu
akan menjeromoskan manusia kedalam perbutan musyrik yang dianggap perbuatan
tauhid, dan kebenaran dianggap kebatilan.
Keterangan tentang pentingnya memahami
dan bertemu dengan al-Ghauts Ra, tercermin dalam ayat al-Qur’an dan hadis antara
lain :
1.
Firman
Allah Swt, Qs. al-Maidah : 35 :
يَاأيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Wahai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu semua kepada Allah. Dan carilah
wasilah (jalan/ sarana/ thariqah) untuk menuju kepada-Nya. Dan
bersunguh-sungguhlah kamu semua didalam jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu
semua memperoleh keberuntungan.
Untuk mendekat kepada Allah Swt secara
sempurna, setiap mukmin haruslah mencari dan berguru kepada sesorang yang telah
mencapai/ memiliki maqam WASILAH. Dan, “wasilah” merupakan maqam/
kedudukan tertinggi disisi Allah Swt, yang dapat dicapai oleh hanya satu orang
dari orang-orang yang beriman. Sebagaimana terkandung dalam sabda Rasulullah
Saw :
الوَسِيْلَةُ دَرَجَةٌ
عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَن يُؤْتِيَنِي
الوَسِيْلَةَ
Wasilah adalah derajat disisi
Allah, yang tidak ada derajat lagi. Maka
mohonkan aku kepada Allah, agar Ia memberiku derajat wasilah.
إِذَا
سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ فَصَلُّوا عَلَيَّ
فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُّوا
اللهَ لِي الوَسِيْلَةَ. فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ
لِعِبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَهَا لِيَ
الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Ketika
kamu semua mendengar (suara) muaddzin, ucapkanlah sebagaimana ia mengucapkan.
Kemudian bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya, barangsiapa yang
bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya dengan
shalawatnya tersebut sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kamu semua untukku
“WASILAH”. Sesungguhnya wasilah adalah tempat yang mulya dalam surga, yang mana
(tempat itu) tidak patut kecuali diperuntukkan bagi satu hamba dari beberapa
hamba-Nya. Barang siapa memohonkan untukku wasilah, maka ia halal mendapat
syafaat (dariku).
2.
Hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw
bersabda : [20]
Berdasar hadis riwayat Imam Muslim, dan hadis riwayat Thabrani diatas
yang didukung oleh firman Allah Swt, Syeh Abdul Qadir Jailani Qs wa Ra (w. 561
H), menjelaskan : [22]
فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ
عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru Mursyid adalah jalan menuju
kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu
masuk untuk menuju kepada-Nya.
قَلِبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ وَحَوَاسُهَا
اَبْوَابُهَا فَمَنْ تَقَرَّبَ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ
الحَضْرةِ
Hati seorang yang Arif Billah itu pintu kehadiran
Allah Swt, dan seluruh indranya merupakan pintu hadrah-Nya. Barang siapa yang
mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka akan akan terbuka baginya pintu hadlrah Allah Swt.
Kemampuan dan sirri yang dimiliki oleh Guru Ruhani tersebut
bukan bersifat lahiriyah, akan tetapi bersifat batiniyah, yang hanya diketahui
oleh orang yang berada didekatnya serta Beliau ra berkenan untuk
menampakkannya. Sebagaimana kemampuan seorang
olahragawan pengangkat besi. Kekuatan untuk mengangkat barbel sebarat 250 kg
misalnya, tidak akan dapat diketahui, kecuali olahragawan tersebut berkenan
untuk menampakkan kemampuannya serta dilihat oleh orangyang berada didekatnya
atau orang yang melihatnya melalui gambar dalam rekaman visual (VCD).
Sirri dan kemampuan Mursyid
Yang Kamil tersebut, sebagaimana tercermin dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ اللهَ عَـزَّ وَجـلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا فَقَبَضَهُ رِزَقَهُ
مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ
Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla, jika memberi rizki kepada seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam
baka, maka rizki tersebut akan diberikan kepada seseorang yamg menduduki
jababatan sesudahnya.
Rizki yang Allah Swt berikan kepada Rasulullah Saw akan
diberikan kepada hamba-Nya yang diberi kedudukan sebagai pewaris nabi. Dan makna hadis diatas diperkuat lagi oleh
hadis riwayat Imam Bukhari. Rasulullah Saw Bersabda :
زُوِيَتْ
لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ
أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah
dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya.
Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.
Hadits riwayat Imam Ahmad,
Thabrani dan Abu Nuaim dari
sahabat ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda
لاَ
يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ
يُنْصَرُونَ
Tidak sepi didalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi
tetap tegak, dan sebab mereka manusia diberi hujan, dan sebab mereka manusia
tertolong.[24]
Dengan demikian, mengetahui pribadi
hamba yang dijadikan sebagai pintu menuju Hadratullah, merupakan sesuatu
yang amat penting dalam meluruskan iman dan ihsan. Tanpa menjadikan Beliau Ra
sebagai guru dan imam ruhani, maka setan/ nafsu yang akan mengantikannya
sebagai guru dan imam ruhani. Dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya, kecuali
hanya melalui ryadlah dan mujahadah untuk memohon hidayah dan rahmat-Nya. Dan
alhamdullah, sebagai tahaddus binni’mah, atas karunia Allah Swt dan syafaat
Rasulullah Saw, shalawat WAHIDIYAH terbukti dapat mengantarkan pengamlanya
menuju kepada jalan tersebut.
3.
Sebagai manusia, Beliau Ra adalah manusia biasa seperti
umumnya manusia. Namun Beliau Ra diberi kekuatan oleh Allah Swt sebagaimana
keterangan tersebut diatas. Oleh karennaya, al-Ghauts fii
Zamanihi Imam al-Ghazali Ra (w. 501 H), dalam kitabnya Kimya’as-Sa’adah, pasal
“ajaib al-qalbi”, menjelaskan :
وَالطَلَبُ (طَلْبُ شَيْخٍ بَالِغٍ عَارِفٍ) لاَيَحْصُلُ اِلاَّ بالمُجَاهَدةِ
Pencarian Syeh Yang Sempurna dan lagi
Arif tidak akan berhasil, kecuali dengan mujahadah.
Kesimpulan Imam al-Ghazali ra ini, dapat
dipahami sebagai ulasan dari firman Allah Swt, Qs. al-Isra’ : 70 -71 :
رَبِّي أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ
صِدْقٍ وَاجْعَل لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا. وَقُلْ جَاءَ الحَقُّ
وَزَهَقَ البَاطِلُ إِنَّ البَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا.
Ya Tuhan masukkanlan aku (dalam kebenaran) dengan cara yang benar. Dan
keluarkan aku (dari kesalahan) dengan cara yang benar. Dan jadikan untuk kami pimpinan
yang menolong. Katakanlah, telah datang kebenaran dan akan hancur kebatilan.
Sesungguhnya kebatilan pasti hancur.
Dengan
demikian, ayat 70 surat al-Isra’ ini dapat dipahami atau memberikan gambaran/
isyarah, bahwa melalui kekuatan doa yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh,
seseorang akan mendapatkan anugrah serta fadlal dari Allah Swt yang membawanya
dapat memahami dan sekaligus mengharapkan kehadiran dan pertemuan seseorang dengan Sultan (guru/ pimpinan) ruhani yang akan menolong manusia dalam urusan baik duniawi maupun
ukhrawi.
Imam al-Ghazali didalam kitabnya Kimya’
as-Sa’adah, bab “ajaib al-qalbi” menerangkan bahwa didalam hati manusia
terdapat dua pintu untuk menerima dan memahami ilmu. Pertama, pintu untuk
menerima ilmu lewat mimpi (rukyah hasanah). Kedua, pintu yang
berhubungan dengan alam indrawi. Ketika manusia tidur, demikian Imam Ghazali,
pintu indra lahir ditutup oleh Allah Swt, dan pintu batin dibuka. Ketika pintu
batin dibuka, jiwa manusia dapat melihat sesuatu yang bersifat ghaib menjadi
nyata. Dan ketiga, ilmu kassyaf hanya dimiliki oleh para
waliyullah, yang dengannya mata hati
mereka dapat melihat Allah wa Rasulihi Saw secara tajam.[26]
Mukjizat
rasul dan karomah al-ghauts memang dapat membawa atau menambahkan keimanan
seseorang. Namun iman seseorang kepada rasul atau al-ghauts semata-mata hanya
atas kuasa dan izin Allah Swt, bukan karena mukjizat atau karomah. Dalam surat
al-Baqarah ayat 100-101 dijelaskan bahwa orang-orang yahudi menganggap Nabi
Sulaiman dapat mengendarai angin bukan karena kenabiannya, tetapi karena
sebagai penyihir yang hebat yang kafir kepada Allah Swt.[27]
Dalam beberapa hadis telah diterangkan, bahwa pada zaman Rasulullah
Saw, orang dapat menerima da’wah Islam disebabkan pengalaman rohani yang
didapatkan sendiri atau orang lain, dan juga karena mereka melihat mu’jizat
Nabi Saw.
a.
Suatu hari Abu Jahal [28]
berkata : “Sekiranya aku bertemu dengan Muhammad pasti aku akan menghasut dan
mencacinya”. Dan, sesaat kemudian Rasulullah Saw datang kemudian mendekati Abu
Jahal. Sedangkan, Abu Jahal tidak dapat melihat Rasulullah Saw. Dan orang-orang
yang disekitar kejadian tersebut, memberitahu kepada Abu Jahal bahwa Nabi Muhammad
ada disisinya. Akan tetapi Abu Jahal tetap tidak melihatnya dan bertanya-tanya
: Mana Muhammad … mana Muhammad ?.
b.
Ketika Rasulullah membaca surat as-Sajdah dengan suara
nyaring, para kafir Quraisy merasa terganggu perasaannya dan berniaat menyiksa
Rasulullah Saw. Tapi tiba-tiba tangan mereka terbelenggu dipundak sendiri serta
seketika matanya tidak dapat melihat. Setelah mereka minta bantuan Rasulullah
Saw. Mereka berkata : “Wahai Muhammad, atas nama Allah dan atas nama keluarga,
kami sangat mengharap bantuanmu”. Dan, Rasulullah Saw-pun berdoa, dan sembuhlah
mereka.
Sejalan
dengan metode hidayah ini Mbah Yahi Muallif Shalawat Wahidiyah Qs. wa Ra, telah
menyusun sebuah doa untuk memohon kepada Allah Swt agar diberi petunjuk untuk
mencari serta mendapatkan hamba (al-Ghauts ra) tersebut. Dan alhamdulillah -
sebagai tahaddus binni’mah – telah banyak orang yang mengamal doa shalawat
Wahidiyah[29] diberi petunjuk oleh Allah Swt tentang
siapa nama dan pribadi hamba tersebut. Dengan metode hidayah ini, mukmin akan dibuka mata
hatinya oleh Allah Swt hingga dapat memahami ayat-ayat (hadlrah) Allah Swt yang
dititipkan pada al-Ghauts ra.
Pengalaman ruhani yang dialami oleh sebagian
pengamal Wahidiyah.
1.
Nur Jazilah (kanak kanak Wahidiyah/ Sumenep Madura)
dan Ibu Mursyidah.
Nur Jazilah berserta ibunya pulang menuju
kampung halaman (P. Sepudi) dengan naik perahu. Waktu itu jam 10 malam. Ketika
perahu telah berada dilautan, datanglah angin besar. Seluruh penumpang perahu
bingung ketakutan. Nur Jazilah menangis ketakutan sambil membaca kalimah nida’ Yaa
Sayyidii Yaa Rasulullah berulang-ulang. Mursidah (ibu Nur Jazilah) melihat
ada seseorang berjalan diatas laut, datang kemudian memegangi perahu yang
diombang ambing oleh angin dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya
menahan terpaan angin. Anginpun menjadi reda, serta perahu menjadi tenang
kembali. Ibu Mursidah memandangi orang yang menolong tersebut. Dan ternyata
orang tersebut adalah Beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra.
2. Bapak Abdul Jamil Ridwan. (Malang/ 13-08 -1960). Jl.Semangka IX/
G 4 No :13, Bugul Permai Pasuruan Jawa timur.
Pada pertengahan tahun 1998. ia
bermimpi menghadap kepada Beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh
Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo. Kepadanya Romo Yahi Ra
menunjukkan SK dari Rasulullah Saw yang isinya menerangkan bahwa Beliau Ra,
sebagai Imamul Arifin pada saat sekarang.
3. Dr. Ocin Kusnadi, SH. M.Pd. Jl. Kapuk II. Klender- Jakarta
Timur). Pramu Pendidikan Wahidiyah tahun
2004 dan Ketua PW DKI Jakarta
(priode 2005 M).
Kami berangkat ke Kediri dengan pesawat
terbang untuk menghormat
pemakaman wafatnya
Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra Pon-Pes Kedunglo
tentang. Ketika pesawat telah berada diangkasa, tiba-tiba saya
melihat sesuatu yang aneh. Kami melihat gumpalan mega, burung burung dan
bintang berbaris dengan rapi. Mereka semua mengiringi seseorang yang berpakaian
baju kerajaan. Meraka mengucapkan : Selamat
datang Ghauts Hadzaz Zaman ....... Selamat datang Ghauts Hadzaz Zaman .......
Selamat datang Ghauts Hadzaz Zaman, dengan diulang-ulang berkali-kali.
Barisan itu semakin mendekat kepada pesawat. Dan ternyata Sang Raja yang
diiring adalah Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra.
M.
Sikap Dan
Kawajiban Salik
Agar berhasil
dalam menuju sadar kepada Allah wa Rasulihi Saw, terdapat hal pokok yang harus
diperhatikan oleh setiap salik : [30]
1.
Secara batin
tidak berpaling dari gurunya, dan secara lahiriyah meninggalkan hal-hal yang
berseberangan dengan guru.[31]
2.
Senantiasa
berdo’a kepada Allah Swt agar kita mendapat barakah, karamah dan nadzrah dari
Beliau Ra. Dalam hal ini, Shalawat Wahidiyah, memberikan aurad (do’a) kepada
salik yang ingin memahami pentingnya sinar radiasi batin (sallab dan Jallab)
Beliau al-Ghauts Ra disisi Allah Swt.
3.
Senantiasa
bersama (secara rohani) Beliau Ra, untuk memohon tarbiyah-Nya agar kita terbebas dari
kotoran hati, sehingga dapat
sadar ma’rifat Billah
wa Rasulihi Saw.
4.
Jika seorang mursyid wafat, wajib
bagi murid mencari mursyid pengganti untuk membersihkan jiwanya.
المُرِيْدُ ِذَا مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ
شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ
Murid, ketika
Syeh (guru rohani)-nya mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh penganti
untuk membimbingnya.
Kitab al-Anwar
al-Qudsiyah-nya al-Ghauts fi Zamanihi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya.rani, w.
973 H, dalam bab “adabul murid.
4. Mendekat
kepada Beliau Ra dengan pendekatan yang semestinya. Sebab pendekatan tersebut akan terbukalah pintu
hadlratullah dalam diri mansia
قَلْبُ العَارِفِ
حَضْرَةُ اللهِ وَحَوَاسُهَا اَبْوَابُهَا فَمَنْ تَقَرَّبَ بِالقُرْبِ المُلاَ
ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
Hati seorang al-Arif Billah itu pintu
kehadiran Allah Swt, dan seluruh indranya merupakan pintu hadrah-Nya. Barang
siapa yang mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka akan
akan terbuka baginya pintu hadlrah Allah Swt.
Pendekatan yang semestinya, dapat dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut :
1).
Merasa mendapat jasa dan berkah dari Syeh Yang Kamil
Mukammil.
Allah Swt berfirman, Qs. al-Baqarah
: 251 :
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الآَرْضُ
وَلَكِنَّ اللهَ ذُو فَضْلٍ عَظِيْمٍ
Sekiranya Allah tidak membela manusia (kaum yang benar) untuk mengalahkan
(kaum yang aniaya) dengan kelompok lain,
niscaya rusak binasalah bumi. Akan
tetapi Allah mempunyai karunia yang agung.
Syeh al-Khathib as-Syarbini dalam kitab Tafsirnya Siraj al-Munir, menjelaskan bahwa makna kata بِبَعْضٍ
dalam ayat
diatas, adalah sebagaimana yang dimaksud dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Nuaim al-Isfahani (kitab Hilyah al-Auliya’) dan Ibnu Asyakir yang
menjelaskan tentang adanya al-Ghauts ra dalam setiap waktu, dan setiap Beliau
ra wafat, Allah Swt mengangkat waliyullah dibawahnya, untuk menggantikan
kedudukan ghautsiyah.
2).
Mengikuti tuntunan Beliau Ra secara lahir dan batin
(ruhani dan jasmani).
3).
Memahami dan mendekat secara lahir dan batin kepada
Beliau Ra dimanapun berada. (rabithah).
4).
Berakhlak kepada Beliau ra sebagaimana berakhlaq
kepada Rasulullah SAW.
فَيَجِبُ عَلَيْكَ اَنْ تَتَاَدَّبَ مَعَ
صَاحِبِ تِلْكَ الصُورَةِ كَتَاْدُّ بِكَ مَعَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم لَمَّا اَعْطَاكَ الكَشْفَ اَنَّ
مُحَمَّدًا صَلَّى
الله
عليه وسلّم مُتَصَوِّرٌ بِتِلْكَ الصُورَةِ فَلاَ يَجُوْزُ لَكَ بَعْدَ شُهُوْدِ
مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم فِيْهَا اَنْ تُعَامِلَهَا بِمَا كُنْتَ
تُعَامِلَهَا بِهِ مِنْ قَبْلُ.…. حَاشَ اللهُ وَحَاشَ رَسُولُ اللهِ... فَهُمْ خُلَفَاءُهُ فِي
الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
Wajib
kepadamu beradab kepada pemilik Haqiqatil Muhammadiyah, sebagaimana engkau
beradab kepada Nabi Muhammad Saw ketika Allah memberimu kasysyaf, bahwa
sesungguhnya Nabi
Muhammad Saw membentuk jiwa al-Ghauts
sebagai fotocopi jiwa Beliau Nabi Saw. Tidak boleh bagi kamu setelah engkau syuhud
kepadanya melakukan sesuatu sebagaimana yang engkau lakukan kepadanya sebelum
Beliau Ra berpangkat itu. Hati-hatilah kepada Allah dan hati-hatilah kepada
Rasulullah. Secara lahirnya Beliau Ra adalah wakil Rasulullah, tapi dalam hal
batininyah, hakikinya Beliau adalah Jiwa Rasulullah sendiri.[32]
Tentang kewajiban bagi salik, dalam kitab Risalah Al-Qusyairiyah,
bab “adab murid kepada guru”, juga diterangkan; apabila murid ingin cepat berhasil dalam menuju dan
mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, wajib baginya menjalankan hal
berikut ini antara lain :
1.
Murid wajib meninggalkan kemulyaan dirinya yang
melebihi batas. Serta merendahkan diri dan mengagungkan Guru. Karena kemulyaan
diri murid yang berlebihan, merupakan racun yang dapat membunuh hati dan
makrifat.
2.
Murid tidak boleh menentang guru dalam hal jalan yang
ditunjukkan kepadanya. Sebab tidak mungkin Guru Mursyid Kamil Mukammil
memerintahkan kejelekan atau kesalahan. [33]
Hadis riwayat
Imam Tirmidzi dari sahabat Abi Bakrah Ra, Rasulullah Saw bersabda : [34] مَنْ أَهَانَ السُلطَـانَ أَهَانَهُ اللهُ : Barangsiapa
menghina Sultan, maka Allah akan
menghinakannya
Yang dimaksud
mengina “Sultan” disini, kitab Dalil al-falihin, juz III dijelaskan,
bahwa hal-hal yang dapat dikatakan
menghina antara lain; menganggap ringan terhadap
perintahnya. Dan yang dimaksud “Allah akan menghinakanya”, adalah jalan
hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan
diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
3.
Tujuan murid harus satu, yaitu menuju Allah Swt,
berguru kepada Mursyid kamil Mukammil bukan untuk memperoleh kekuatan mistik atau lainnya yang bersifat duniawi,
akan tetapi untuk mendekat dan makrifat kepada Allah Swt secara benar.
4.
Setelah bertemu dan berguru kepada Beliau Ra, jangan
sekali-sekali keluar dari barisannya. Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas, Rasulallah Saw bersabda :
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْ,
فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa
yang membenci sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena
barangsiapa yang keluar dari Amirnya sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan
mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
5.
Murid wajib menjaga rahasia (sirri) yang nampak pada
dirinya, kecuali kepada gurunya.
6.
Murid tidak boleh menyukai dispensasi kemurahan dari
guru. Dan tidak boleh mempermudah diri baik dalam kesusahan atau kedukaan. Dan
tidak boleh bermalas-malasan.
7.
Senantiasa mohon doa restunya dalam segala urusan yang
halal.
8.
Memahami bahwa karamah yang dimiliki oleh para
waliyullah atau lainnya (paranormal), adalah pembarian Allah Swt yang
dipancarkan melalui Syeh Kamil Mukammil waktu itu.
اِذَا ماتَ الوَالِيُّ اِنْقَطعَ تَصَرَّفُهُ فِي الكَوْنِ
مِنَ الاِمْدَادِ وَاِنْ حَصَلَ مَدَدٌ لِلزَائِرِ بَعْدَ المَوْتِ اَوْ قَضَاءُ
حَاجَةٍ فَهُوَ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى يَد القُطْب صَاحبِ الوَقْتِ يُعْطِي
الزَائِرَ مِنَ المَدَدِ عَلَى قَدْرِ مَقَامِ المَزُوْر
Ketika wali mati, maka karomahnya dalam kehidupan ini telah berhenti
apabila parapeziarah makam wali tersebut mendapatkan berkah, itu (bukan dari
karomah wali itu), melainkan berkah itu dari Allah yang dipancarkan dari
kekuatan wali Quthub (Al-Ghauts) penguasa waktu saat itu. Peziarah diberi
berkah sesuai kadar ketinggian derajat wali yang diziarahi.
9.
Meyakini bahwa Beliau Ra mendapat pancaran langsung
dari Rasulullah Saw. Maka, menentang Guru Yang Kamil berarti menentang
Rasulullah Saw.
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاع اللهَ وَمَنْ عَصانِي فَقَدْ
عَصَى اللهُ وَمَنْ أَطَاع أَمِيْرِي فَقَدْ أطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْري
فَقَدْ عَصَا نِي
Barang siapa yang taat kepada Amir –Ku [40] berarti ia taat kepada-Ku (Rasulullah), dan
barang siapa taat kepada-Ku, berarti ia taat kepada Allah. Dan barang siapa
durhaka kepada amir (Ghauts)-ku, berarti ia durhaka kepadaku.
1. Firman Allah
Swt, Qs. an-Nur : 55
وَعَدَ اللهُ الذِيْنَ امَنُوا مِنْكُمْ
وَعَمِلُوا الصَالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفِنَّهُمْ يِي الاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ
الذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنّنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمْ الذِي
ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبـَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعـْدِ خَـوْفِهِمْ أَمْنًا
يَعـْبُدُونَنِي وَلاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman
diantara kamu dan mengerjakan amal yang sholeh, bahwa sungguh-sungguh (Allah)
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana (Alah) menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka. Dan sungguh (Allah) akan meneguhkan bagi
mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka. Dan (Allah) benar-benar akan menukar
keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.
Mereka tetap menyembah-Ku dan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.
Imam Ibnu Katsir, berkaitan dengan ayat ini juga memberi
tafsiran, bahwa ini merupakan mukjizat Nabi Saw yang mengetahui sesuatau yang
akan terjadi, dan sebagai pemberitaan Allah swt kepada pengikut Rasulullah
Saw :
هَذَا وَعْدُ مِنَ اللهِ لِرَسُولِهِ بِأَنَّهُ سَيَجْعَلُ
أُمَّتَهُ خُلَفَاْ الآَرْضِ
Ini adalah janji dari Allah kepada rasul-Nya, bahwa
sesungguhnya (Allah) akan menjadikan ummat-Nya sebagai kholifah dibumi.
Arti dari firman Allah Swt ini juga – demikian
penjelasan tambahan dari Imam Ibnu Katsir – memperkuat dengan hadis Nabi
Saw, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Imam Muslim :
لاَيَزَالُ طَائِفَةُ مِنْ أُمَّتِي
ظَاهِرِيْنَ عَلَى الحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلّهُمْ إِلَى يَوْمِ
القِيَامَةِ – وفِي رِوَايَةٍ – حَتَّى يُقَاتِلُونَ الدَجَّالَ – وَفِي رِوَايَةٍ
– حَتّى يَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ.
وكُلُّ هَذِهِ الرِوَايَةِ صَحِيْحَةٌ وَلاَ تُعَارِضُ بَيْنَهَا
Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok manusia yang
memperjuangkan kebenaran, yang mana tidak dapat memberi madlarrat kepada mereka
orang-orang yang menghinakannya, sampai hari kiamat.
Dan
dalam riwayat lain : “sampai mereka dapat membunuh dajjal”. Dan dalam riwayat lain : “sampai turunnya Nabi Isa Ibn Maryam”.
Setiap
riwayat dalam hadis ini adalah shahih, tanpa adanya pertentangan antara hadis
satu dengan hadis lainnya.
Sedangkan
Imam Qurthubi, dalam memberi penjelasan ayat 55 surat an-Nur ini dengan
menyertakan sabda Rasulullah Saw :
زَوِيتْ
لِي الاَرْضَ
فَرأَيْتُ مَشَارِقَهَاوَمغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ ملَكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
مِنْهَا
Sesungguhnya Allah telah melipat bumi untuk-Ku, sehingga
Aku dapat melihat bagian timur dan bagian baratnya. Dan akan sampai kepada raja ummat-Ku
sebagaimana yang bumi dilipat untukku.
Dari kedua
tafsir ini – sebagaimana hadis Nabi – dapat dipahami bahwa keberadaan khalifah
Allah Swt itu sampai hari kiamat, sampai terkalahkannya Dajjal dan sampai
turunnya kembali Nabi Isa As diatas bumi ini. Dan para khalifah atau pimpinan
rohani tersebut mendapat anugrah dari Allah sebagimana anugrah yang diberikan kepada
Rasulullah Saw.
Syeh Nabhani dan Syeh Shawi dalam kitabnya menjelaskan
bahwa al-Ghauts dapat dijadikan wasilah untuk memohon pertolongan dan
menyelesaikan segala hajat.
Rasulullah
Saw bersabda :
لَقَدْ كَفَر الذِيْنَ
قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ المَسِيْحُ بْنُ مَرْيَم
Sungguh, niscaya kufur orang-orang yang mengatakan :
Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putra Maryam.
Dalam
menjelaskan ayat ini, Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani
Ra mengatakan :
فَكُفْرُهُ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ جَعَلَ
نَاسُوتَ عِيْسَى إِلَهًا كَمَا أَنَّهُ يَكفُرُ أَيْضًا بِكُفْرِهِ
بِالرَسُولِ أَوْ بِبَعْضِ كِتَابِهِ
Kekufuran (kaum Nabi Isa As) dikarenakan menjadikan kemanusiaan Nabi Isa sebagai Tuhan.
Sebagaimana kekufurannya kepada Rasul atau kepada sebagian kitab Allah. Kitab al-Yawaqiit wa al-Jawahir, juz I dalam bahasan pertama.
والحمد لله
ربّ العالمين
والذِي
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الكِتَابِ هُوَ الحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ.
ثُمَّ أوْرَثْنَا الكِتَابَ الذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا.
Dan Dia (Allah)
Dzat Yang mewahyukan kepadamu
(Muhammad) al-Qur’an yang benar. Dan
yang membenarkan sesuatu
yang
ada disisi-Nya.
Kemudian
Kami (Allah) mewariskan (al-Qur’an) kepada orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami.
(Qs. Fathir : 31 - 32)
[1]. Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam
kitabnya al-Ghunyah juz II dalam “kitab adabul muridin” pasal II
menjelaskan :
مَحْمُولُ القُدَرِ كُرَّةُ المَشِيْئَةِ,
منْبَعُ العُلُومِ وَالحِكَمِ, بَيْتُ الأَمْنِ وَالفَوْزِ, كَهْفُ الأَوْلِيَاءِ
وَالأبْدَالِ, مَنْظَرُ الرَبِّ
(Sufi Sempurna) adalah tempat menyimpan
qadar dan bola (bergulirnya) kehendak, memancarnya ilmu dan hikmah, rumah
kemanan dan kemulyaan, guanya para wali dan abdal, dan tempat pancaran cahya
cinta Tuhan..
[2]. Tugas merreka
membaharui system da’wah yang telah ada dan yang disusun oleh para ulama pada
waktu itu atau sebelumnya untuk mengembalikan jiwa Islam sebagimana aslinya.
[3]. Keterangan yang sepadan juga
terdapat dalam kitab Sa’adah ad-Daraini,
Syawahid al-Haq, (Syeh Ismail an-Nabhani Ra), al-Insan al-Kamil, (Syeh
Abdul Karim al-Jilliy Ra), Kitab at-Ta’rifat (Syeh Ali Al-Jurjani Ra),
Jami’ul Ushul fil Auliya’ (Syeh
Ahmad Al-Kamasykhanawi Ra), al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilli.
[4]. HR. Abu Nuaim
al-Isfahani dalkam kitab al-Hilyah, dan Imam Abul Yaman Ibn Asakir dalam
kitab Tarikh Damsyiq dari sahabat Ibnu Mas’d.
[5].
Adalah al-Juwaini (salah dosen diuniversitas al-Azhar kairo
Mesir) yang buta matanya, dan dalam penyampaian kuliahnya, menentang keberadaan
waliyullah termasuk al-Ghauts Ra. Waktu itu Imam Ibnu Hajar al-Haitami merupakan mahasiswa termuda (masih umur 14 tahun). Dengan
keberanian dan keteguhan iman, al-Haitami berkata : Pak Dosen, janganlah
membicarakan masalah yang bukan bidang keahlianmu. Beranikah kamu, jika saya
hadapkan kepada orang yang ahli dalam bidang tersebut. Siap, jawab al-Juwaini.
Al-Haitami mengajak al-Juwaini menghadap kepada al-Ghauts fii Zamanihi Syeh
Zakariya al-Anshari Ra. Guru, bagimana jika ada sesorang yang meningkari
keberadaan waliyullah terutama al-Ghauts Ra, kata al-Haitami kepada Syeh
Zakaria. Siapa orangnya, wahai anak-ku ?. Jawab Syeh Zakaria. Al-Haitami
berkata : Ini orangnya, al-Juwaini.
Syeh Zakaria memandang kepada al-Juwaini dengan pandangan yang tajam,
seraya berkata : O, begitu….. kamu, wahai al-Juwaini, yang diulang sampai
3 kali. Tiba-tiba, al-Juwaini matanya dapat melihat serta menatap wajah Syeh
Zakaria. Dia ketakutan dan kemudian lari kencang, sambil berkata dengan
menangis : Wahai Guru, aku sekarang percaya, dan kamulah orangnya yang
panggil al-Ghauts, maafkan aku, doakan aku. Lihat kitab Syawahid al-Haq-nya
Syeh Nabhani dalam bahasan hadis Ghautsiyah.
[6]. Lihat kitab Misykatul Anwar-nya
al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Ghazali Ra, dalam pasal kedua. Atau buku Insan
Kamil Dalam Islam-nya M. Dawam
Raharjo. Atau buku Manusia sempurna, Pandangan Islan Tentang Hakikat Manusia,
Murtadha Muthahhari, penerbit Lentera tahun 2001, hal 9–17. Dan buku Manusia
Citra Ilahi Oleh Dr. Yusnaril Ali, penerbit Paramadina Jakarta, tahun 1997
halaman 111–128. Dan kitab Kimya’us
Sa’adah nya al-Ghazaliy. Dan juga dalam buku Tasawuf antara agama
dan filsatfat, Dr Ibrahim Hilal. Lihat juga dalam kitab Jami’ul Ushul
Fil ‘Auliya’ , hlm 110 – 111.
[7]. Lihat Majmuah Rasail lil Ghazali (cet.
I/ tahun 1416. Darul Fikri, Bairut, Libanuon, halaman 283).
[9]. kitab Insanul Kamil juz II bab 45,
dan dalam kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Nabhani dalam bab IX tentang “ru’yatun nabi”, halaman 429.
[10] . Kitab at-Ta’rifat-nya Syeh
Ali al-Jurjani, percetakan “Dar al-Kutuub al-Ilmiyah” Beirut – Libanon, cetakan
ke 3, tahun 1404 H, bab “qaf”, hlm : 177 – 178.
[11]. Karya Muhammad Ibn Zain
Ibn Shamit, perc. Dar al- Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah Bairut, yang dinukil oleh
Idrus Abdullah al-Kaf, dalam buku “Bisikan Bisikan Ilahi”, pada bab I, terbitan
Pustaka Hidayah Bandung
[12]. Kitab Tanwir al-Qulub Syeh Amin
al-Kurdi, hlm 362. Penjelasan lebih lanjut, lihat kitab Tanwirul qulub
nya Syeh Amin Al Kurdi , percetakan Bairut , halaman 36
[13]. Kitab Bughiyatul Mustarsyidin, oleh Sayyid Abdur Rahman
bin Muhammad Al-Hadlramiy halaman 6 dan
299. Lihat buku Transendensi
Ilahi, terjemahan dari maqhashidul asna Imam al-Ghazaliy, penerbit
Pustaka Progressif , Surabaya tahun 1999 M, hlm
9 – 19. Penjelasan tentang
seorang Mujaddid dan sekaligus al-Ghauts Ra, dapat dilihat dalam buku “Kontemplasi
Dan Dzikir Dalam Tasawuf”-nya Dr. Mir Valiuddin, atau buku “Bisikan-Bisikan
Ilahi” tulisan Dr. Al-Idrus Al-Kaf.
[14]. Kitab Jami’
al-Ushul Auliya’ nya Syeh Kamasykhanawi, hlm 4, kitab at-Ta’rifat
nya Syeh Ali al-Jurjani, bab “qaf”, kitab Syawahid al-Haq-nya Syeh
Nabhani dalam bab silsilah tarekat Syadzaliyah).
[15]. Hadis riwayat
Imam Bukhari (Shahih Bukahri, nomer hadis : 2896), Imam Tirmidzi (Syamaail
al-Muhammadiyah bab 51, hadis nomer hadis : 306, dan Sunan Timidzi,
nomer hadis: 2842, Imam Malik (al-Muwaththa’ hadis terakhir), Muslim (Shahim
Muslim, nomer hadis : 2354). dan Kitab Jala’ al-Afham, bab asma Nabi
Saw, kitab As-Syifa bab “asma rasul”, kitab Dalil al-Falihin bab
“Asma Rasulullah Saw”, dan kitab Siraj
al-Munir II/ 18.
[16]. Sebelum mencapai maqam Abdul
Warits ini, setiap hamba Allah Swt yang akan dipilih menjabat wali
al-Ghauts, Beliau Ra memasuki maqam Abdul Baqi (hambanya Allah Dzat Yang
Abadi). Dalam ilmu tasawuf, setiap sufi
akan memasuki maqam dan akan mendapat hal dari Allah Swt.
[17]. Imam al-Ghazali
memandang Fana’ dan Ma’rifat sebagai “maqam”, sedangkan Imam al-Qusyairi
memandang sebagai “hal”.
[18]. Hadis shahih yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri ra. Kitab Jami’ as-Shagir-nya
Imam jalaluddin Suyuthi pada juz II
dalam bab “wawu”.
[19]. HR. Ahmad,
Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai, kitab Jami’ as-Shaghir fii
Ahaadiis al-Basyir an-Nadziir-nya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pada juz I dalam bab “alif dan dzal”.
[20]. Shahih Muslim dalam ‘Iyadatul
Maridl.
[21]. Hadis riwayat
Imam Thabrani dari jalur Abdullah Ibn Mas’ud. Imam Suyuthi dalam kitabnya Jami’ as-Shagir juz I dalam
bab “alif dan nun”, mengatakan hadis ini berderajat hasan.
[22]. Kitab al-Ghunyah
li Thaalibiy al-Haqqi dalam juz II
pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi” pasal pertama.
[23]. Kitab Thabaqaat
al-Kubra-nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra juz II dalam kisah “Syeh Ibnu
Makhala”.
[24]. Kitab Siraj
at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya
Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful
Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.
[25]. Lihat kitab Dalail
an-Nubuwwah –nya Imam Baihaqi. Dalam kitab ini tertelus hadis-hadis yang menerangkan bahwa para sahabat meningkat
iman dan taslimnya kepada Rasulullah Saw, setelah mendapat pengalaman ruhani.
Tentang rukyah shalihah, Imam Ibnul
Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H, sebagai murid kesayangan dari Ibnu Taimiyah)
dalam kitabnya Jala’ al-Afham dalam pasal tempat shalawat ke 21 meceritakan rukyah shalihah dari
Abdullah Bin al-Hakam. Ia berkata : Aku bermimpi melihat Imam Syafi’i. Aku
bertanya kepadanya : Apa yang dilakukan Allah kepada Tuan ?. As-Syafi’i menjawab : Allah menyayangiku, mengampuni dosaku dan
memberikan surga kepadaku. Aku bertanya lagi : Mengapa tuan dapat mencapai
hal tersebut ?. As-Syafi’i menjawab :
Aku bershalawat kepada Rasulullah Saw ketika menta’lif shalawat serta
menulisnya dalam kitabku (ar-Risalah).
Dalam kitab yang sama, Ibnul Qayyim juga menulis rukyah shalihah
tentang para ulama ahli hadis. Setelah wafat mereka (para ulama ahli hadis),
banyak para ulama setalahnya yang mimpi bertemu mereka dalam keadaan gembira
dan bahagia serta mendapat tempat disurga. Para ulama bertanya kepada mereka :
Mengapa tuan-tuan memperoleh hal seperti ini ?. Jawab mereka : Karena kami menyanjungkan
shalawat kepada Rasulullah Saw setiap
menulis hadisnya.
[26]. Lihat kitab terkecil karangan
Imam Ghazali Kimya’ as-Sa’adah (dalam Majmu’ah Rasail lil Ghazali).
Kitab ini telah diterjemahkan oleh Gus Mus (Rembang – Jawa tengah), dengan
judul Metode Tasawuf al-Ghazali serta diberi pengantar oleh KH. Sahal
Mahfud ( Kajen – Pati - Jawa tengah).
[27]. Lihat kitab Lubabun Nuqul fii
Asbabin Nuzul, Imam Suyuthi dalam surat al-Baqarah ayat 100 – 101.
[28]. Hadis riwayat Abu Nuaim dari
sahabat Ibnu Abbas. Lihat kitab Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul-nya
Imam Jalaluddin Suyuthi, dalam penjelasan turunnya surat Yasin ayat 1 – 10.
[29]. Meskipun rukyah shalihah merupakan
karunia Allah Swt yang sangat besar, namun Perjuangan Wahidiyah bukan berdasar
rukyah shalihah semata, akan tetapi (dan yang paling utama) berdasar nash-nash
yang jelas dalam al-Qur’an dan al-Hadits, serta norma-norma kebaikan yang
berlaku dalam masarakat.
[30]. Banyak para
ulama yang telah menjelaskan tentang adab salik kepada Guru Mursyid. Antara
lain:
a.
Kitab al-Ghunyah-nya Syeh
Abdul Qadir al-Jilani Ra.
b.
Kitab Risalah Al-Qusyairiyah-nya Imam Qusyairi.
c.
Kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani.
d.
Kumpulan kitab kecil Imam Ghazali (Majmu’ah Rasail lil Ghazali).
e.
Kitab Bugyah al-Murtasyidin-nya Syeh
[31]. Kitab al-Ghunyah-nya
Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra, dalam bab “maa yajibu ‘alal mubdi” pasal kesatu.
[32]. Kitab Insan al-Kamil, juz
II/75 bab “insan al-kamil”.
[33]. Lihat buku Transendensi Ilahi , buku
ringkasan tiga karya Al-Ghazaliy, penerbit Pustaka Progressif, Surabaya
tahun 1999 M, halaman 9 – 19. Adab murid kepada Guru Kamil
Mukammil, juga terdapat dalam kitab Awarif al-Ma’arif nya Syeh Suhrawardi, atau kitab al-Anwar
al-Qudsiyah as-Sya’rani, kitab
“Misykatul Anwar“ (kitab “Majmu’ah Rasail Al-Ghazali).
[35]. Kitab Mafahim nya Syeh al-Maliki, kitab Jami as-Shagir.
[36]. Kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi,
dalam hadis nomer : 610.
Dan dalam kitab ini pula, berkaitan
karamah waliyullah/ al-Ghuats Ra yang dimaksud dalam hadis ini, Imam Nawawi (w.
676 H) menceritakan pengalaman pribadinya : “bahwa suatu saat ia bersama
rombongan dengan membawa beberapa hewan yang akan dijual. Ditengah jalan, salah
satu hewan lepas. Sedangkan para rombongan tidak dapat menangkapnya. Imam
Nawawi mengajak seluruh rombongan untuk melaksanakan nida’ (panggilan kepada
waliyullah/ al-Ghauts ra tersebut) dengan khusyu’. Dan Allah Swt menampakkan
karamah waliyullah tersebut, dengan seketika hewan yang lepas tadi, berhenti
tanpa sebab lain, kecuali sebab kalimah nida’ kepada waliyullah
tersebut.
Pada waktu Syeh
Nawawi ini yang menjabat al-Ghauts Ra adalah Syeh Abul Abbas al-Mursyi Ra, w.
686 H).
[38]. Kitab “Tahrir Ad Durar” atau “Manaqib
al-Auliya” nya Misbah Zain Al Mushthafa, terbitan maktabah al balagh,
Bangilan Tuban jawa timur tanpa tahun, bab “Syamsudin Hanafi” . Kitab ini
menukil dari kitab Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar nya Syeh Abdul
Wahhab as-Sya’rani, baik juz I atau II
[39]. Lihat
kitab Dalil al-Falihin juz III, bab “wujuub tha’at wulah al-amri”, nomer
hadis : 09. Dan kitab Al Syifa
Bita’riifi Huquq al Mushthafa -nya Al Qadli Abul Fadlal ‘Iyadl
al-Yahshubi (w. 544 H), perct. “dar al-kutub al-‘ilmiyah”, Beirut Libanon,
tahun 2004/1424, juz II, dalam bab
tha’aturrassul. Para ulama ahli hadis, menyatakan bahwa Syeh ‘Iyadl ini,
perawi hadis yang tsiqqah (dapat dipercaya).
[41]. Kitab
al-Ghunyah, juz II dalam bab “maa yajibu ‘alal mubtadi” pada pasal kesatu.
[42]. Murid yang setia kepada Guru Ruhani – adakalanya disebut
dengan sahabat. Denikian keterangan Syeh Abdul Qadir al-Jilani dalam al-Ghunyah.
[43]. HR Muslim dan Trimidzi, dari
sahabat Abu Hurairah dan Ubadah Ibn Shamit.
[44]. Fatwa al-Ghauts fii Zamanihi Syeh
Abu Ali ad-Daqaq Ra (guru dari al-Ghauts fii Zamanihi Imam Qusyairi Ra), kitab Risyalah
al-Qusyairiyah.
ciri ciri seorang yg berkedudukan wali kutub ghoust hadzazaman adalah haruslah berkedudukan makom takwa sahit wali sidikin dan sanat sanat keilmuanya jelas [ yg berati harus orang torekot ] dididik oleh wali ghoust diangkat oleh rosululoh saw langsung disaksikan wali ghoust sebelum kefafatanya disanksikan wali wali ghoust masa lampo di kasih tongkat komando wali ghoust sebelumnya berani menghabiskan harta bendanya di jalan Alloh diawal di tengah dan diakhir kehidupanya dan haruslah bisa membuktikan karomah karomah sbg wali kutub dan haruslah lahir dari torekot sadzaliyah saya kira mualif wahidiyah jauhlah sbg wali kutub baik mualif pertama atau yg lainya tdk membuktikan sedikitpun beliau sbg wali kutub itu yg dibahas dlm pengajian wahidiyah itu milik torekot sadzaliah diantaranya al hikam dan bisa dikatakan mualif wahidiyah cuma sbg pencuri pencuri ilmu tanpa berguru lucu bin ajaib ijasah sarjana saja harus jelas dari universitas mana asalnya masok wali kutub berdasarkan kesaksian tukang becak malu dong jangalah melakukan dosa dengan kebohongan
BalasHapuskesaksian murit tdk boleh dijadikan sandaran karena tdk tahu tingkat kebohongan dan setan bisa menipu jadi secara dalilpun lemah kalo beliau wali ghoust hadzazaman hadist saja bisa di palsu apalagi seorang murit tentang mimpi mengecingi dunia menjadi subur itu bukanlah sbg indikasi wali kutub kencing itu najis berarti harusnya sadar dong para pengikut wahidiyah bahwa gurunya menebarkar barang yg najis didunia tapi aneh malah dijadikan sandaran wali kutub ini berarti cocok dong dengan ajaranya ingat siapa ibadahnya baik amalnya baik hajinya baik tapi tdk mempunyai kalifah [ guru mursit ] baeat dan taat pd beliau maka mati kafir jahiliyah secara ilmu dan kekalifahan wahidiyah bukanlah torekot yg berarti sanat sanat keilmuan dan kepemimpinan tdk sambung ingat hadist siapa mendirikan kekalifahan yg kedua ke tiga dan seterusnya maka wajib dibunuh dan kepemimpinan yg tdk sah silakan para pengikut wahidiyah berpikir jernih dan iklas wahidiyah bukan torekot
BalasHapustapi aneh yg di tebarkan kebanyakan kitab kitab torekot terutama milik sadzaliyah tapi beliau alergi berguru dengan guru torekot sadzaliyah dapat titel profesar dari mana asalnya berarti titel profesornya palsu dong mosok profesor datang dari murit yg gak jelas lucu sekali titel sarjana saja harus jelas unifersitasnya apalagi wali kutub yg tdk mudah sarat saratnya ini era keterbukaan kebanyakan baca kitab hingga menimbulkan obsesi menjadi wali kutub kencing itu najis ,berarti ilmunya baik tapi cara mendapatkan ilmunya najis logika di pakai dong para jamaah wahidiyah jangan berlindung di balik kemulyaan rosululoh dengan kebohongan kebohongan ini malah lebih bahaya kalo beliau sbg kyai masih wajar dan maklum ini pengakuan wali kutub silakan datang mualif wahidiyah datang ke abah saya kl tdk terima
BalasHapusفاسألوا أهل الذكر ان كنتم لا تعلمون ......
BalasHapusAllahuakbar
BalasHapusRahadyan kamu hanya seorang semut kecil dak mungkin menilai gajah ,dan tidak mungkin sesuatu yang manusia yg titel nya kecil bisa menilai manusia yg bertitel besar
BalasHapusKhusnudzon mungkin bisa membuat hatimu jadi lembut
Wali beda dengan nabi, meskipun sama sama dituruni wahyu Allah. Wali adalah murid seorang nabi, sedangkan nabi diajari langsung oleh Allah tanpa belajar kepada manusia/kitab tulisan manusia.
BalasHapusWali pada umumnya belajar kepada manusia, entah itu nabi atau kitab-kitab yang ada sebelumnya. Sedangkan nabi, meskipun bisa ada yang belajar pada manusia, namun mampu mengkritisi semuanya setelah mengenal dan belajar dari Allah sendiri.
Seorang nabi terbebas dari kesalahan karena belajar langsung dari Allah. Namun pelajaran seorang nabi wajib menghadapi tentangan dari para ulama yang HANYA IKUT-IKUTAN KATA KITAB ; padahal kata kitab wajib dikupas makna sesungguhnya, mengingat kata kitab ada yang muhkam dan ada yang mutasyabihat.
BalasHapusBeda dengan nabi, kata Allah adalah pedaman satu-satunya sehingga pasti sesuai dengan seluruh firman Allah.
Sedangkan seorang wali adalah murid seorang nabi, padahal seorang nabi pasti juga menjadi wali Allah. Sebaliknya seorang wali belum tentu seorang nabi, sebab seorang nabi merupakan jabatan perintis terdepan dalam kewalian.
Makanya bagi orang yang tidak atau belum paham tentang al bisa membuktikan,, dengan cara menghadiahkan surat al fatihah sebanyak 1000x dan membaca sholawat minimal 1000x,, disertai dengan satu kebutuhan agar di pertemukan dengan mursyid yang kamil mukamil,, nek cuma di bantah saja maka nanti nya yang ada hanya bantah bantahan,, maka perlu di buktikan,, bagaimana kita bisa mengatakan monas itu pucuknya berlapiskan emas,, jika cuma kita lihat dari jauh dan katanya,,, maka buktikan,, baru akan muncul sebuah keyakinan yang dapat di pertanggungjawabapertanggungjawabkan, selamat mencoba,, jika masih belum ketemu hubungi saya,
BalasHapus