Minggu, 22 Mei 2016

Catatan Kecil 160 : GHAUTSIYAH (PENOLONG DAN PEMBIMBING ZAMAN) - Bahasan 02

YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
Catatan Kecil 160 : KULIAH WAHIDIYAH
GHAUTSIYAH (PENOLONG DAN PEMBIMBING ZAMAN) - Bahasan 02
2. Pembagian Sunnah
Secara bahasa as-sunnah memiliki arti : aturan, tuntunan atau cara hidup. Sedangkan menurut pengertian syariat, berarti keterangan Nabi Muhammad Saw terhadap kitabullah dalam bentuk ucapan, perbuatan dan sikap, yang kemudian mejadi cara nabi dan para sahabatnya dalam menjelaskan agama Islam. Setiap agama memiliki tuntunan/ sunnah yang baku yang dijadikan pedoman oleh penganutnya.
Dalam kitab Tanwiirul Hawaalik ‘alaa Syarhi Muwattha’ Malik karya Syeh Jalaluddin Suytuthi,[9] diterangkan bahwa Syeh Ibnu Muhdi (pembesar ulama Hijaz setelah Imam Malik) mengatakan :
Syeh Sufyan Tsauri adalah imam dalam hadis tapi bukan dalam sunnah. Syeh al-Auzaiy adalah imam dalam sunnah, tapi bukan dalam hadis. Sedangkan Imam Malik Ibn Anas adalah imam dalam hadis dan sunnah.
Dan dalam kitab yang sama, Imam Ibnu Shalah juga mengatakan : Seorang ulama, kadang alim dalam bidang hadis, namun tidak alim dalam biang sunnah.
Secara garis pokok, dalam syariat Islam hanya ada sunnah Rasulullah Saw dan tidak ada sunnah lainnya. Sedangkan secara rinci, terdapat 3 (tiga) sunnah :
1. Sunnah Rasulullah Saw.
Sunnah rasul merupakan qanun asasi (pedoman pokok) kedua setelah al-Qur’an. Ia merupakan ulasan dan jabaran terhadap al-Qur’an. Kebenaran sunnah rasul ini bersifat mutlak serta pasti. Jabaran dari Beliau Saw terhadap al-Qur’an, hakikinya bukan dari nafsu, melainkan datang dari wahyu.
2. Sunnah Sahabat Ra.
Sunnah sahabat tidak boleh dipahami sebagai tandingan terhadap sunnah Rasulullah Saw. Karena ia sebagai ulasan atau jabaran terhadap sunnah rasul. Dan Rasulullah Saw-pun memerintahkan ummat Islam untuk mengikutinya. Sebagaimana yang tercermin dalam hadis riwayat Abu Daud dan Tirmidzi :[10]
وَإِنَّهُ مَنْ يَعْشِ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ, عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ. وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ, فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Sesungguhnya, barang siapa diantara kamu semua yang hidup (pada masa nanti) akan melihat terjadinya banyak perbedaan pendapat. Maka, wajib bagi kamu semua (berpegang teguh) dengan sunnah-ku dan sunnah para khalifaur rasyidin yang mendapat hidayah. Gigit (pegang)-lah sunnah tersebut dengan geraham (kuat-kuat). Dan hati-hatilah dengan perkara yang baru. Sesungguhnya segala yang bid’ah (perkara baru) adalah sesat.
Sari makna dari hadis diatas dengan jelas menerangkan :
1. Munculnya perbedaan penafsiran terhadap intisari dari syariat Islam terjadi setelah kepulangan Rasulullah Saw ke alam baka.
2. Rasulullah Saw telah menjelaskan; bahwa khulafaur rasyidin adalah manusia pilihan yang paling paham tentang makna yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadis, manusia yang paling mengetahui perbedaan antara sunnah dan bid’ah, serta manusia paling mengerti tentang perbedaan antara perkara yang hak dan yang batal.
3. Berpegang teguh kepada sunnah/ amalan/ tafsiran para khulafaur rasyidin, merupakan perintah dari Rasulullah Saw, dan berarti sebagai bagian dari sunnah Islam yang pokok.
4. Setelah Rasulullah Saw memerintahkan berpegang teguh dengan sunnah khulafaur rasyidin, baru memberikan peringatan terhadap akan adanya amalan bid’ah. Dengan demikian, tafsiran/ amalan para khulafaur rasyidin tidak dapat dikelompokkan kedalam amalan bid’ah.
Seperti jamaah tentang shalat tarawih. Sahabat Umar bin Khatthab Ra, menjelaskan : نِعْمَةُ البِدْعَةِ هَذِهِ : nikmatnya bid’ah adalah ini. Para sahabatlah yang paling mengetahui tentang makna sunnah bid’ah.
5. Amalan bid’ah adalah amalan atau tafsiran yang tidak sesuai dengan tafsiran/ amalan para khulafaur rasyidin Ra.
6. Karena amalan/ tafsiran dari khulafur rasyidin tidak golongkan oleh Rasulullah Saw sebagai amalan bid’ah, maka makna kata “كُلَّ بِدْعَةٍ : bukan setiap bid’ah”, akan tetapi menjadi “sebagian bid’ah”. Hal semacam ini banyak kalimah dalam al-Qur’an atau hadis yang sepadan. [11]
Misalnya; pertama, memulyakan dan mengagungkan keberadaan serta kedudukan Rasulullah Saw baik secara jasmani maupun secara ruhani (waktu masih hidup maupun setelah wafatnya), merupakan sunnah rasul yang sering dianggap perbuatan bid’ah. Dan pada akhir-akhir ini, sebagian besar ummat Islam, tidak (paling tidak, kurang) mengenal keagungan dan kedudukan Rasulullah Saw secara ruhani.
Sebagai nabi terakhir, dan tidak ada nabi setelah Beliau Saw, makna syahadah “rasul” (Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah), tidak boleh diartikan dengan; bahwa Nabi Muhammad adalah mantan rasul atau akan menjadi rasul. Akan tetapi “Nabi Muhammad (manusia terbaik dan terpilih) adalah (tetap sebagai) Rasulullah”. Makna kalimah syahadah itu, mengisyaratkan; beliau adalah rasul pada waktu dahulu, sekarang maupun nanti. Dengan kata lain, saat sekarang ini, saat kita membaca tulisan ini, Beliau Saw adalah Rasulullah, bukan mantan rasul.
Memperjuangkan agar mukmin senantiasa menyadari terhadap keagungan dan ketinggian derajat Rasulullah Saw disisi Allah Swt, para sahabat, tabi’in, serta para ulama kaum sufi, membuat metode/ system/ tarekat yang dapat membawa manusia kepada hal tersebut. Diantara metode/ sunnah yang mereka buat, menyusun doa dalam bentuk shalawat, yang didalamnya terdapat ajaran tentang kebesarannya, menulis sejarah hidup Nabi Saw dengan disertai berita tentang karomah dan mu’jzatnya.
Kedua, semua tarekat atau sunnah yang disusun oleh para al-Ghauts Ra, bertujuan agar sunnah rasul yang telah dijabarkan oleh para sahabat dapat terealisasi. Seperti :
1. Setiap muslim dapat memahami Rasulullah Saw masih hidup secara ruhani, serta tetap sebagai rasul-Nya sampai akhir zaman.
HR. Imam Muslim dari Abu Hurairah Ra :
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَصَلُّو عَليَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تُبَلِّغُونِي حَيْثُمَا كُنْتُمْ
Janganlah kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah kamu jadikan kuburku seperti hari raya, bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu semua berada.
Hadis riwayat Thabrani dan Ibnu Majah dari Abu Darda’, Rasulullah Saw bersabda : [12]
وَإِنْ أَحَدٌ لَيُصَلِّيَ عَلَيَّ إِلاَّ عُرِضَتْ عَلَيَّ صَلاَتُهُ حَتَّى يَفْرَغَ مِنْهَا. قُلْتُ : وَبَعْدَ المَوتِ ؟. قَالَ : إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى الأرْضِ أَنْ تَاْكُلَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءَ, فَنَبِيُّ اللهِ حَيٌّ يُرْزَقُ
Dan tidaklah seseorang yang bershalawat kepadaku, kecuali shalawatnya diperlihatkan kepadaku sampai ia selesai bershalawat. Aku (Abu Darda’) berkata: dan setelah mati ?. Jawab (Rasulullah Saw) : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada bumi (masa) memakan (merusak) jasad (jiwa) para nabi. Nabiyullah itu tetap hidup dan mendapat rizki.
Allah Swt berfirman, Qs. al-Baqarah : 154 :
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الذِيْنَ قُتِلُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
Janganlah kamu semua mengatakan kepada orang yang mati dalam jalan Allah (mengalami) kematian. Akan tetapi, (mereka) tetap hidup. Sedangkan (akal) kamu semua tidak dapat menjangkaunya.
Allah Swt berfirman, Qs. Ali Imran : 169 :
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الذِيْنَ قُتِلُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
Janganlah kamu semua mengira kepada orang-orang yang gugur dijalan Allah (mengalami) kematian. Akan tetapi, tetap hidup disisi Tuhannya, dan mereka biberi rizki.
Keterangan yang didapat dari hadis dan firman diatas, adalah tetap hidupnya Rasulullah Saw secara ruhani. Paham ini merupakan paham yang harus dipegang oleh setiap mukmin yang mengucapkan dua kalimah syahadah. Dan inilah sunnah sahabat para khulafaur rasyidin Ra dan para al-Ghuts Ra.
2. Mukmin dapat memahami bahwa alam seisinya diwujudkan oleh Allah Swt untuk menghormat dan mengagungkan Rasulullah Saw.
Diriwayatkan dari Umar Ibn Khatthab, Rasulullah Saw bersabda : 5
وَلَمَّا اقْتَرَفَ أدمُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: اللهُمَّ اِ نّيِ أَسْألُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ اِلاََّ غَفَرْتَ لِي قَالَ اللهُ يَأدَمُ كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدا وَلَمْ أَخْلُقُهُ ؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقْتَنِي وَنَفَخُْت فِي مِنْ رُوْحِكَ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَ يْتُ عَلىَ قَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُوبًا لاَالهَ الاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّ اسْمَكَ لَمْ تَضِفْ اِلاّ عَلَى أَحَبَّ الخَلْقِ اِلَيْكَ, قَالَ: صَدَقْتَ أَ نَّهُ لأحَبُّ الخَلْقِ وَاِذْ سَاَلْتَنِي بِحَقِّهِ فَأَجَبْتُ وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam terperosok kesalahan, Adam berkata : Ya Allah, aku memohon kepadamu dengan hak dan kenyataan Muhammad, ampunilah aku. Tuhan bersabda :
Wahai Adam darimana engkau mengetahui Muhammad sedang Aku (Allah) belum menciptanya. Jawab Adam : Ketika Engkau menciptaku, dan meniupkan kedalam jiwaku Ruh dari-Mu, kemudian aku mengangkat kepalaku, dan aku melihat pada penyangga arasy terdapat tulisan Lailaha Illallah Muhammad Rasulullah. Oleh karenanya aku mengerti bahwa sesungguhnya Asma-Mu tidak mungkin Engkau sandarkan kecuali kepada mahluk yang paling Engkau cintai. Tuhan bersabda :
Benar kamu (Adam). Ia (Muhammad) adalah mahluk yang paling Aku cintai. Dan jika kamu memohon kepada-Ku dengan melalui hak dan kenyataan Muhammad, maka Aku akan memberi ijabah. Dan sekiranya bukan karena Muhammad, Aku tidak menciptamu
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Ra, Rasulullah Saw bersabda : [13].
أَتَانِي جِبْرِيْلُ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ يَقُولُ: لَوْلاَكَ مَا خَلَقْتُ الجَنَّةَ وَلَوْلاَكَ مَاخَلَقْتُ النَارَ
Datang kepada-Ku malaikat Jibril, lalu ia berkata : Wahai Muhammad, Allah telah berfirman: Kalau bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak menciptakan surga, dan kalau bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak mencipkan neraka.
Ketiga, Perjuangan Wahidiyah, yang memperjuangkan agar mukmin dapat memahami, bahwa Rasulullah Saw, sebagai saluran rahmat, fadlal, hidayah Allah kepada makhluk.
HR. Muslim (Shahih Muslim "Kitab Imarah", bab "laa tazaalu"). Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ يُرِدْاللهُ خَيْرًا يُفَقِّهُهُ فِي الدِيْنِ أِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِي لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللهِ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُنَ عَلَى النَاسِ
Barang siapa yang Allah menghendakinya menjadi baik, maka (Allah) memahamkannya dalam agama. Sesungguhnya Aku (Rasulullah Saw) adalah Sang Pembagi dan Allah adalah Sang Pemberi. Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok orang yang menegakkan agama Allah. Mereka tidak dapat dirugikan oleh orang-orang yang menghinanya dan membelakanginya. (keberadaan mereka) hingga datangnya keputusan Allah. Mereka senantiasa berada di tengah tengah masarakat.
HR. Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah Saw bersabda :[14]
إِشْفَعُوْا فَلْتُؤْجَرُوا وَلْيَقْضِ اللهِ عَلَى لِسَانِ رَسُوْلِهِ مَا شَاءَ.
Mohonlah syafaat. Niscaya kamu mendapatkan pahala. Dan karena Allah menentukan kehendak-Nya melalui lisan rasul-Nya.
Dalam riwayat Abu Daud (dalam Sunan, nomer hadis 4466), redaksi hadis terdapat tambahan kata : إِلَيَّ : kepadaku, setelah إِشْفَعُوْا. Artinya : mohonlah syafaat kepadaku.
Allah Swt berfirman, Qs. an-Anfaal : 17 :
وَمَارَمَيْتَ إِذْرَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى
Tidaklah engkau melempar (wahai Mauhammad), ketika engkau melempar, akan tetapi Allah-lah yang melempar.
Dalam kitab Syawahidul Haq-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra pada pasal II, dijelaskan :
وَأَمَّا كَونُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِي وَيَمْنَعُ وَيَقْضِي حَوَائِجَ السَّائِلِيْنَ وَيُفَرِّجُ كُرَبَاتِ المَكْرُوْبِيْنَ, وَأَنَّهُ يَشْفَعُ فِيْمَنْ يَشَاءُ وَيَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ يَشَاءُ. فَهُوَ لاَشَكَّ فِيْهِ وَلاَ يَتَرَدَّدُ بِصِحَّتِهِ وَوُقُوْعِهِ إِلاَّ كُلُّ مَنْ تَرَاكَمَ عَلَى قَلْبِهِ الجَهْلُ وَالظَلاَمُ.
Keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, dapat member, menolak, memberi keberhasilan kepada hajat para peminta, menghilangkan kegundahan hatio orang-orang yang gundah menolong kepada orang yang ia menghendakinya, memasukkan surge kepada orang yang ia menghendakinya. (Pemahaman seperti ini) tidak meragukannya serta tidak akan membimbangkan kebenarannya serta terjadinya, kecuali orang yang hatinya tertutup dengan kebodohan dan kegelapan.
Bahkan seseorang belum dikatakan mukmin selagi belum dapat memahami kedudukan Rasulullah Saw sebagai saluran nikmat dan kehendak Allah Swt. Al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Al-Qasthalani (w. 758 H) dalam memberi penjelasan terhadap hadits riwayat Imam Bukahri dan Imam Muslim (tentang pentingnya cinta kepada Rasulullah Saw, sebagai ukuran iman seseorang) : [15]
حََقِيْقَةُ الاِيْمَانِ لا َتَتِمُّ وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ بِتَحْقِيْقِ أَعْلإَِ قَدْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ عَلَى كُلِّ وَالِدٍ وََوَلَدٍ ومُحْسِنٍ فَمَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ هَذَا فَلَيْسَ بِمُؤْمِنٍ. يُبَيِّنُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِ علَى حَسَبِ مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Hakikat iman tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat disempurnakan, kecuali dengan memahami tingginya kedudukan Rasulullah Saw dengan nyata (musyahadah), diatas kedudukan orang tua, anak dan para pelaku kebaikan. Barang siapa tidak memiliki kepercayaan seperti ini, maka ia tidak disebut mukmin. Rasulullah Saw menjelaskan bahwa ukuran derajat mukmin, tergantung seberapa rasa cintanya kepada Rasulullah Saw.
3. Sunnah ulama................................. BERSAMBUNG..........
------------------------
SUMBER : MATERI UP GRADING DA'I WAHIDIYAH - Tingkat Dasar Jilid I - Untuk Da'i Wahidiyah Kecamatan dan Imam Jama'ah Wahidiyah -
Diterbitkan oleh : Yayasan Perjuangan Wahidiyah Pusat Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh Kota Kediri Jawa Timur.
----------------------
SUMBER BACAAN :
[9]. Selain hal tersebut, Imam Suyuthi juga menjelaskan; bahwa Imam Malik Ibn Anas (pendiri madzhab Maliki, w. 158 H) setiap malam bertemu dengan Rasulullah Saw.
[10]. Kitab Dalilul Falihin-nya Syeh Ibnu Alan al-Aziziy, jilid I dalam bab
[11]. Dan untuk lebih jelasnya lihat dalam kitab Dalilul Falihin pada juz I bab …….. dijelaskan : “Ketahuilah bahwa sabda Nabi Saw : وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ : setiap yang bid’ah itu sesat, adalah kata umum yang dimaksudkan untuk makna khusus. Dan karenanya, bid’ah terbagi kedalam 5 hukum dalam Islam. Pertama, bid’ah yang wajib, seperti menulis ilmu yang membawa kemudahan dalam memahami al-Qur’an dan hadis. Kedua, bid’ah yang haram, seperti madzhabnya orang-orang yang tidak memahami difinisi bid’ah sebagaimana difinisi para sahabat (ulama ahlus sunnah wal jama’ah). Diantara paham bid’ah yang haram diikuti, antara lain paham yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw secara ruhani sudah tidak berfungsi lagi dll). Ketiga, bid’ah yang sunnah, adalah segala kebaikan meskipun tidak ada pada masa awal Islam, seperti mendirikan majlis ta’lim/ pengajian/ dzikir dan tempat-tempat pendidikan/ madrasah serta pembahasan dalam ilmu tasawuf “
Dan, yang aneh, mereka tidak setuju dengan pembagian bid’ah kedalam 5 bagian, tetapi mereka juga membagi bid’ah kedalam 2 bagian, yakini bid’ah dalam agama yang dilarang, dan bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan, padahal jika mengambil makna asli teks sebagaimana yang mereka jadikan dasar kita menyerang paham 5 jenis bid’ah. Dan ini menunjukkan ketidakadilan mereka dalam mengambil kaidah hokum Islam. Mereka membenarkan hanya pendapat sendiri (meskipun secara bahasa keluar dari teks hadis) dengan tanpa menghargai tafsiran orang lain. Dan jika mereka konsisten makna yang dipeganginya, maka tidak mungkin memberikan makna : كُلَّ بِدْعَةٍ : dengan arti setiap bid’ah adalah sesat. Dan makna lahiriyah teks hadis ini, menerangkan : baik bid’ah tentang duniawiyah maupun diniyah (agama), semuanya adalah sesat. Dan, semoga Allah Swt melindungi serta menjauhkan kita dari sifat buruk seperti yang mereka lakukan, menodai kaidah ilmu dan agama.
[12]. Imam Sakhawi berkata : sanad hadis ini tsiqqah. Sedangkan al-‘Iraaqi berkata : sanadnya kurang shahih. (Lihat kitab Jalaul Afham, dalam bahasan sanad hadis diatas).
dalam kitabnya al-Ausath, 4. Abu Nuaim al-Isfahani dalam kitabnya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah al-ashfiya’, 4. Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya Tarikh Damsyiq, 5. Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Lailil Masnunah, 6. An-Nabhani dalam kitab 5. Hadis riwayat : 1. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, 2. Imam Baihaqi dalam Dalaa-ilun Nubuwwah, 3. Imam Thabrani Syawahid Al Haq Fii al-Istighatsah Bisayyid al-Khalqi wal Basyar Saw, Syeh Abul Fadlol ‘Iyad dalam kitab As Syifa’ Bita’rifi Huquq al-Musthafa.
[13]. Hadis riwayat ad-Dailami dalam kitab Musnad al-Firdaus (Lihat juga dalam buku “Keagungan Rasulullah Saw”)
[14]. Kitab Jawahirul Bukhari-nya Mushthafa Muhammad Amarah, pada nomer hadis : 659.
[15]. Lihat Rasulullah Saw bersabda : لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبََّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِِ وَوَلَدِهِ وَالنَاسِ أَجْمَعِيْنَ Belum sempurna iman kamu semua, sehingga AKU lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh menusia.
Kitab Jawaahir al-Bukhaari-nya Mushthafa Muhammad ‘Ammarah (penerbit Muhammad Ahmad Nabhan, Surabaya, tt, hlm : 22 – 23, nomer hadis : 11. Keterangan yang sama juga terdapat dalam kitab Fathul Bari-nya Ibnu Hajar al-Asqalani dalam ulasan hadis diatas.
[16]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.
[17] Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I / 442.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
3 komentar
Komentar
Joko Langlang Buana
Joko Langlang Buana Aamiin
Ahmad Dimyathi Pak Kyai Rahmat Sukir menyampaikan bahwa tanda-tanda kebenaran Sulthonul Awliya' (pimpinan Wali) adalah mudah menyampaikan / menghantarkan murid-muridnya mampu bertemu dengan Beliau Rosullulloh SAW baik secara ru'yah sholihah (mimpi) maupun secara yaqodotan (bertemu langsung).. — bersama Rahmat Sukir dan 20 lainnya di Prapatan Ciawi BOGOR JABAR - https://t.co/poZqJkxM1thttp://t.co/SGiy8MCbow
Juni Wuryanto Yaa sayiidii yaa ayyuhal ghoust....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar