YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
KISAH DAN PETUAH
KISAH DAN PETUAH
Catatan Kecil 144 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KETAHUI, RASAKAN DAN ALAMI DALAM PERJUANGAN WAHIDIYAH :
DASAR TASYAFFUAN DIHADAPAN ROSULULLOH SAW DAN ISTIGHOUTSAH DIHADAPAN GHOUTSU HADZAZ ZAMAN RA
PENJELASAN Surat Al-Hujurat Ayat 2 dan Surat Al-Israa ayat 23
TA'ALLUQ BIJANABIHI SAW, ADAB BERBICARA, MATUR, BERAUDENSI, SOWAN, MENGHADAP, BERKOMUNIKASI DENGAN BELIAU ROSULULLOH SAW WA GHOUTSU HADZAZ ZAMAN RA,
ORANG TUA KITA MAUPUN ORANG LAIN.
ORANG TUA KITA MAUPUN ORANG LAIN.
Larangan mengeraskan suara (TIDAK BERADAB) di hadapan Nabi Muhammad SAW.
-------------
Secara bahasa qaulan karima bermakna perkataan mulia. Yang dimaksud dengan perkataan yang mulia adalah perkataan yang memberikan penghargaan dan penghormatan kepada orang yang diajak bicara.
Qaulan Karima dengan perkataan yang baik dan sopan (beradab), serta di ridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya SAW dengan memperlihatkan kelemahlembutan, rasa simpati, kasih sayang, menghormati kedudukannya, serta rasa keluasan jiwa sebagaimana dituntut pula berakhlak yang baik kepadanya dengan tanpa memanggil mereka dengan nama mereka berdua secara langsung, melainkan MEMANGGIL NAMA DENGAN PANGGILAN ATAU SEBUTAN PENGHORMATAN.
Berbicara merupakan salah satu sarana komunikasi antar sesama manusia untuk menyampaikan keinginan, keluhan, saran, dan keperluan yang lainnya. Ketika berbicara, bisa jadi orang lain tertarik dengan pembicaraan kita atau mungkin sebaliknya; malah menyakiti hati orang lain.
Di dalam agama Islam etika atau ADAB berbicara sangat diperhatikan baik itu ketika berbicara dengan orang tua maupun orang lain bahkan para sahabat Nabi saw pernah ditegur secara langsung oleh Allah melalui firman-Nya pada surat al-Hujurat ayat 2. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi SAW dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadarinya.”
Asbabun nuzul dari ayat ini menurut al-Maturidi (2005: 2: 322) bahwa Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina ‘Umar berselisih pendapat mengenai sesuatu hal pada waktu itu mereka berada dekat dengan Rasulullah saw lalu suara kedua sahabat Nabi Muhammad saw ini meninggi maka turunlah ayat tersebut.
Akan tetapi ayat ini pun tidak berlaku bagi orang yang suara normalnya memang tinggi sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagaimana dikutip oleh Proffessor Dr Quraish Shihab (2009: 12: 576-577) menerangkan larangan mengeraskan suara di hadapan Nabi Muhammad Saw.
Itu tidak berarti bahwa orang yang suara normalnya memang lebih keras daripada suara Nabi saw. Menjadi terlarang bercakap-cakap dengan beliau. Sahabat Nabi saw. Tsabit bin Qais bin Syammaas, yang suaranya amat lantang tadinya memahaminya demikian sehingga beliau tinggal di rumahnya sambil menduga bahwa amalnya telah terhapus dan dia menjadi penghuni neraka.
Tetapi, Nabi saw. Menyampaikan bahwa bukan makna itu yang dimaksud dan bukan terhadapnya ayat ini turun karena “Dia penghuni surga.”
Muhammad ‘Izzat (1383 H: 8: 497) mengatakan bahwa ayat ini mengandung beberapa pemahaman diantaranya ialah larangan bagi orang-orang mukmin mengeraskan suaranya di dekat Nabi saw sehingga suara mereka melebihi suara Nabi saw, larangan melakukan pembicaraan dengan Nabi saw sebagaimana mereka berbicara menggunakan gaya bicara dengan yang lainnya, larangan berbicara keras di depannya tanpa melunakkannya seperti sebagian mereka berbicara keras di depan sebagian yang lainnya.
Selain itu hal ini merupakan peringatan akan contoh pembicaraan kepentingannya (kepada Nabi saw) dengan cara memberikan peringatan dan memberi nasehat agar buah yang dihasilkan dari perbuatan baiknya itu tidak gugur serta sia-sia di sisi Allah tanpa mereka menyadarinya.
Adapun mengenai ukuran yang dijadikan batasan titik tertinggi dalam berbicara kepada Nabi saw. belum ada ketentuan yang pasti dari para ulama dikarenakan sebagaimana yang diungkapkan oleh Quraish Shihab (2009: 12: 580) ketika menafsirkan lafadz يغضون yang terambil dari kata غض yang pada dasarnya bermakna tidak menggunakan semua potensi sesuatu.
Jika kata ini dikaitkan dengan pandangan mata, maka ia berarti tidak membelalakan mata. Suara pun demikian. Sehingga ia tidak mempunyai ukuran tertentu.
Melainkan terpulang kepada masing-masing. Karena itu, biar saja seseorang yang pada dasarnya memiliki suara lantang telah dinilai melaksanakan tuntunan ini, walaupun dalam kenyataan suaranya lebih keras dari suara orang lain yang telah mengeraskan suaranya. Misalnya kita mengetahui bahwa suara orang suku Padang atau Batak pasti lebih tinggi suaranya dibandingkan suara orang dari suku Sunda.
Oleh karena itu tidak mengapa mereka mengadakan pembicaraan dengan orang yang berasal dari suku Sunda dengan suaranya yang lantang karena pada dasarnya salah satu yang menjadikan lantangnya suara mereka itu ialah faktor geografis tempat tinggal mereka.
Namun alangkah baiknya sebelum mereka berbicara dengan suara yang lantang dengan orang Sunda mereka memahami norma serta etika berbicara dalam adat istiadat orang Sunda sehingga secara filosofis gaya bicara mereka itu benar, baik, serta indah ketika didengar oleh lawan bicaranya.
Akan tetapi saya berpendapat volume tertinggi dalam berbicara itu dapat diqiyaskan atau disamakan dengan tingginya volume suara keledai dengan alasan bahwa Allah SWT telah menginformasikan bahwa seburuk-buruknya suara ialah suara keledai yang dimana perkataan itu diletakkan setelah adanya perintah untuk menyederhanakan dalam berjalan dan perintah merendahkan suara ketika berbicara. Informasi ini terdapat dalam surat Luqman ayat 19 sebagai berikut,
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan serta rendahkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruknya suara ialah suara keledai.”
Mengenai ayat ini Professor Dr Quraish Shihab (2009, vol. 10: 312) mengomentari kata (اغضض) dimana kata ini terambil dari kata (غض) dalam arti penggunaan sesuatu tidak dalam potensinya yang sempurna.
Mata dapat memandang ke kiri dan ke kanan secara bebas. Perintah ghadhdh (غض), jika ditujukan kepada mata, kemampuan itu hendaknya dibatasi dan tidak digunakan secara maksimal.
Demikian juga suara. Dengan perintah di atas, seseorang diminta untuk tidak berteriak-teriak sekuat kemampuannya, tetapi dengan suara perlahan namun tidak harus berbisik. Di sini beliau tidak memberi ukuran batasan bagi suara yang buruk namun hanya memberi batasan secara umum yaitu seseorang hendaknya tidak berteriak-teriak sekuat kemampuannya, tetapi dengan suara perlahan namun tidak berbisik-bisik.
Selanjutnya Islam juga mengatur etika berbicara kepada ayah dan ibu. Orang tua merupakan orang yang harus mendapatkan penghormatan secara tulus dari anaknya. Apalagi kalau melihat jasa dan pengorbanannya, tentu saja tiada orang paling berjasa selain daripada orang tua.
Mereka berdua telah membersarkan anaknya dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu Allah menyandingkan perintah untuk berbakti kepada orang tua setelah perintah untuk bertauhid (meng-Esakan-Nya). Hal ini Allah informasikan sebagai berikut,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapak dengan sebaik-baiknya, jika salah seorang diantara keduanya atau salah satu dari keduanya sudah sampai umur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan “ah” kepada keduanya serta jangan pula membentaknya, akan tetapi ucapkanlah kepada mereka berdua ucapan yang mulia.”
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
Secara bahasa qaulan karima bermakna perkataan mulia. Sofyan Sauri (2006: 86) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perkataan yang mulia adalah perkataan yang memberikan penghargaan dan penghormatan kepada orang yang diajak bicara.
Sedangkan Imam al-Biqaa’i (tt: 11: 402) memaknai Qaulan Karima dengan perkataan yang baik dan sopan, serta di ridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya dengan memperlihatkan kelemahlembutan, rasa simpati, kasih sayang, menghormati kedudukannya, serta rasa keluasan jiwa sebagaimana dituntut pula berakhlak yang baik kepadanya dengan tanpa memanggil mereka dengan nama mereka berdua secara langsung.
Namun al-Musayyab (al-Maraghi, 1946: 15: 35) berbeda dalam menafsirkan perkataan qoulan karima dengan kedua pendapat diatas dimana beliau menyatakan bahwa ia adalah perkataan seorang hamba yang bersalah di hadapan majikannya yang kurang ajar serta jahat perangainya.
Melihat beberapa penafsiran di atas mengenai qoulan karima tanpa adanya pengaruh atas perbedaan pendapat mereka dikarenakan adanya perbedaan dalam cara pandang mereka, saya berpendapat bahwasannya ucapan yang mengandung sifat karima ialah ucapan yang mencakup makna keseluruhan perkataan baik termasuk di dalamnya ucapan lemah lembut, pengagungan, serta penuh rasa penghormatan kepada orang yang diajak bicara.
Referensi
:
Al-Biqa’i. (tt). Nidzamud Durar Fii Tanasubil Ayat was Suwar. Kairo: Darul Kitab al-Islami.
Al-Maraghi. (1946). Tafsir Al-Maraghi. Mesir: Maktabah wa Muthaba’ah Musthafa al-Baabil Halabi wa Auladihi.
Al-Maturidi. (2005). Tafsir Al-Maturidi (Tawiilatu Ahli Sunnah). Beirut: Dar al Kuttub al ‘Ilmiyyah.
Izzat, Muhammad. (1383 H). At-Tafsirul Hadis. Kairo: Dar Ihya al Kitab Al-‘Arabiyyah.
Sauri, Sofyan. (2006). Pendidikan Berbahasa Santun. Bandung: PT Genesindo
Shihab, Quraish. (2009). Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
:
Al-Biqa’i. (tt). Nidzamud Durar Fii Tanasubil Ayat was Suwar. Kairo: Darul Kitab al-Islami.
Al-Maraghi. (1946). Tafsir Al-Maraghi. Mesir: Maktabah wa Muthaba’ah Musthafa al-Baabil Halabi wa Auladihi.
Al-Maturidi. (2005). Tafsir Al-Maturidi (Tawiilatu Ahli Sunnah). Beirut: Dar al Kuttub al ‘Ilmiyyah.
Izzat, Muhammad. (1383 H). At-Tafsirul Hadis. Kairo: Dar Ihya al Kitab Al-‘Arabiyyah.
Sauri, Sofyan. (2006). Pendidikan Berbahasa Santun. Bandung: PT Genesindo
Shihab, Quraish. (2009). Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar