FAFIRRUU ILALLOH WA ROSUULIHI SAW !
I. 01.317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
0038.01.317 - WAHIDIYAH BUKAN ALIRAN ATAU GOLONGAN
1.
Keberadaan Manusia
Setiap
manusia terlahir dalam keadaan fitrah kesucian. Fitrah suci manusia adalah
memiliki iman musyahadah kepada Allah Swt Pencipta makhluk semesta. Setelah
lahir didunia, manusia menjadi buruk akibat pengaruh dari lingkungan keluarga
dan masarakat. Sebagaimana keterangan dalam dalam hadis riwayat Imam
Bukhari (Kitab Jawahir al-Bukhari, nomer hadis : 170), Rasulullah Saw menjelaskan
:
مَا
مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Tidak ada bayi yang dilahirkan
kecuali diatas fitrah (kesucian). Kemudian kedua orang tuanya yang menjadikan ia
yahudi, nasrani dan majusi.
Sabda Rasulullah Saw diatas dengan jelas menerangkan,
bahwa akibat pengaruh dari orang tua (baik orang tua kandung, orang tua asuh,
orang tua angkat atau seseorang yang dituakan oleh masarakat), manusia dapat berubah
dari fitrah asalnya yang suci kepada ketidaksucian. Orang tua adalah guru dan
panutan bagi anaknya, tokoh masarakat adalah guru serta panutan bagi masarakat.
Baik buruknya ucapan, tindakan dan sikap orang tua atau tokoh, akan mewarnai
terhadap jiwa dan pemikiran anak kandung, anak asuh, anak angkat, bahkan ummat
dan masarakat. Jika ucapan, tindakan dan sikap orang tua tersinari oleh cahaya
ke-Tunan-an, maka anak dan masarakat akan terbawa kedalam cahaya Tuhan.
Demikian pula sebaliknya, jika ucapan, tindakan dan sikap orang tua yang
tersinari cahaya kemungkaran, cahaya kekafiran atau cahaya nafsu serta iblis,
maka anak dan masarakat akan terbawa kedalam kemungkaran dan kedurhakaan,
bahkan bisa juga anak atau menjadi lebih mungkar serta lebih durhaka daripada
orang tuanya. Pepatah mengatakan “Guru kencing berdiri, murid akan kencing
berlari”. Inilah yang harus benar-benar mendapat perhatian yang sungguh-sungguh
bagi orang tua maupun tokoh masarakat.
Jika sekiranya didalam jiwa orang tua atau tokoh,
terdapat cahaya Tuhan, maka anak maupun masarakat wajib bersyukur kepada Allah
Swt. Keselamatan generasi muda serta ummat masarakat dimasa depan dapat
terwujud dari tauladan suci orang tua.
Namun, jika sekiranya jiwa orang tua, kosong dari cahaya Tuhan, maka celakalah
generasi muda mendatang. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa orang tualah
yang bertanggung jawab baik atau buruknya masa depan anak dan generasi muda. Dan
yang sangat memprihatinkan dalam kenyataan sehari-hari disekitar kehidupan
masarakat, adalah cahaya kemungkaran sering lebih tampak terpancarkan dari kaum
tua. Sedangkan pancaran cahaya ke-Tuhanan dari kaum tua tampak semakin redup. Sebagai
orang tua haruslah menyadari dengan sepenuh hati bahwa penyebab segala
kemunduran dan kerusakan yang timbulkan oleh anak dan generasi muda adalah orang
tua atau tokoh masarakat.
Didalam hadis qudsi riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan
al-Hakim Allah Swt, (Kasyful Khifa juz II nomer hadis 1967 atau Jami’
as-Shaghir II, bab huruf “Kaf”), Rasulullah Saw bersabda : Allah Swt telah
berfirman :
كُلُّ بَنِي أدَمَ خَطَّاؤونَ وَخَيْرُ
الخَطائِيْنَ التَوَّابُونَ
Seluruh anak cucu Adam itu penuh
kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik orang yang salah adalah mereka yang
bertaubat.
Seseorang tidak dapat memperbaiki atau meningkatkan
kwalitas diri, kecuali terlebih dahulu ia memahami tentang kenegatifan nafsunya.
Demikian pula, seorang pejuang tidak akan dapat membawa ummat masarakat kepada
akhlakul karimah, selama ia tidak dapat memahami jenis-jenis akhlak yang
tercela menurut Allah Swt wa Rasulihi Saw, baik akhlak lahiriyah atau batiniyah yang ada
pada setiap manusia dan masarakat.
Dalam jiwa manusia terdapat bisikan baik dan bisikan
buruk. Jika bisikan baik menguasai jiwa manusia, maka baiklah manusia. Dan jika
bisikan buruk yang menguasai jiwanya, maka buruklah akhlak manusia. Rasulullah
Saw bersabda (HR. Bukhari) :
إِنَّ فِي الجَسَدِ لَمُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ
صَلُحَ الجِسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَ تْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ
القَلْبُ
Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal darah. Jika baik,
maka baiklah jasad seluruhnya, dan jika rusak, maka
rusaklah jasad seluruhnya. Ketahuilah
itulah hati.
Diantara bisikan buruk dalam jiwa manusia :
a.
Watak membutuhkan dan angkuh kepada
lainnya (meskipun kepada Tuhan). Jika sedang menderita, ia sangat mengharapkan
pertolongan dari Tuhan atau orang lain. Namun jika telah mendapatkan
pertolongan, ia kadang bersikap seakan-akan tidak pernah membutuhkan atau
mendapatkan pertolongan. Firman Allah Swt, Qs. az-Zumar :8 :
وَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا
إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَاكَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ
مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ للهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ
بِكُفْرِكَ قَلِيْلاً إِنَّكَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ.
Ketika manusia
tertimpa kesusahan, ia berdoa kepada Tuhan-Nya seraya berinaabah (sadar
kembali) kepada-Nya. Namun, ketika ia telah mendapatkan ganti kenikmatan
dari-Nya, ia lupa kalau ia pernah berdoa kepa-Nya. Serta membuat tandingan
untuk-Nya, hingga ia tersesat dari jalan-Nya. Katakanlah (wahai Muhammad) :
bersenang-senanglah kamu sebentar (dengan keingkaranmu), sesungguhnya kamu dari
golongan penghuni neraka.
b.
Watak sombong, angkuh dan egois. Kepada
Tuhan-pun manusia sering bersikap kurang membutuhkan-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-‘Alaq :
6 – 8 :
كَلاَّ إِنَّ الإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَءَاهُ اسْتَغْنَى. إِنَّ
إِلَى رَبِّكَ الرُجْعَى
Ketahuilah,
sesungguhnya manusia melampaui batas. Ia melihat dirinya telah cukup dengan
dirinya (tanpa pertolongan Allah). (padahal) Sungguh kepada Tuhanmu tempat
kembali.
c.
Suka berteman dengan setan.
مَامِنْ
أَحَدٍ إِلاَّ وَلَهُ شَيْطَانٌ وَلِي شَيْطَانٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَعَانَنِي
عَلَى شَيْطَانِي حَتَّى مَلَكْتُهُ
Tidak ada dari
setiap orang, kecuali baginya ada setan. Bagiku juga ada setan. Dan sesungguhnya
Allah telah menolongku, hingga aku dapat menguasainya.
لَولاَ أَنَّ الشَيَاطِيْنَ يَحُومُونَ عَلَى قُلُوبِ
بَنِي أَدَمَ لَنَظَرُوا إِلَىَ مَلَكُوتِ السَمَاء
Jika
sekiranya setan tidak mengurumuni hati anak cucu Adam, niscaya mereka akan
dapat melihat kekuasaan dan kebesaran Allah.
2.
Antara Syirik Dan
Tauhid
Pada umumnya,
keimanan manusia terhadap Allah Swt dan kekuasaan-Nya masih tercampur dengan
syirik (menyekutukan Allah dengan mahluk). Kekuatan mahluk (termasuk kekuatan
diri sendiri) disandingkan atau disekutukan dengan kekuatan Allah Swt. Sifat
ujub, riya’, sum’ah, takabbur dan su’uddzan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw,
tidak ridla dengan pemberian-Nya, kurang mensyukuri nikmat-Nya, bangga dengan
amalnya, merupakan akibat dari jiwa yang musyrik.
Memang, manusia
kurang peka dan perhatian terhadap penyakit hati (terutama syirik). Syirik,
ujub, riya’ dan penyakit hati lainnya dianggapnya hal yang lumrah dan biasa. Memang
hati yang sudah terbakar oleh nafsu, hati yang buta, dan hati yang hampir mati
akan berpikiran demikian. Dan pula, hati yang telah mati akan menyebabkan
lahirnya pemahaman terbalik. Artinya, syirik dianggap sebagai tauhid, dan tauhid
dianggap sebagai syirik.
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ
شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ
وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan
barangsiapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami
(Allah) adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya
setan akan menghalangi mereka dari jalan kebenaran, serta mereka (manusia) akan
mengira bahwa dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. (Qs. Az-Zukhruf : 36 – 37).
Sebagai mukmin,
haruslah benar-benar memahami dan memperhatikan hati dari sifat-sifat syirik.
Menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (musyrik), tidak sekedar sebagai kotoran
hati, namun ia merupakan najis (kotoran yang menjijikkan) hati, dan merupakan
dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt serta sia-sia amal ibadah yang
dilaksanakan. Salah satu ulama kaum sufi, mengatakan bahwa syirik merupakan
pangkal segala penyakit hati.
Dalam mencapai
iman kepada Allah Swt, diantara mukmin yang satu dengan mukmin lainnya tidaklah
sama. Ada yang memiliki kadar iman yang tinggi, ada yang memiliki kadar iman
yang sedang dan bahkan ada yang memiliki iman yang kadarnya sangat rendah. Sebagaimana
keterangan dalam hadis, bagi mereka yang memiliki kadar iman yang tinggi, sudah
tentu jiwanya peka terhadap dosa diri. Satu kali saja melakukan perbuatan maksiat,
penyesalannya amatlah dalam dan hingga mereka mudah meneteskan airmata ketika
memanjatkan permohonan ampunan. Demikian pula bagi mereka yang memiliki kadar
iman yang rendah, sudah tentu kepekaan jiwanya-pun rendah juga. Hinga mereka
tidak memiliki rasa malu apalagi rasa takut kepada Allah Swt meskipun
berkali-kali melakukan perbuatan maksiat.
Diantara mereka
ada yang memiliki kepercayaan kepada Tuhan sebatas keberadaan-Nya saja tanpa
memahami sifat-sifat-Nya. Dan ada yang sudah memahami sifat-sifat-Nya, namun
masih tertutup oleh keberadaan makhluk (termasuk dirinya sendiri). Dan ada pula
yang beriman kepada-Nya, namun masih bercampur dengan musyrik (menyekutukan-Nya
dengan makhluk). Bahkan diantara manusia
ada yang salah dalam menyimpulkan antara pengertian tauhid dan syirik. Tauhid
dianggap syirik dan syirik dianggap tauhid (na’udzu billah).
Memang secara
umum – sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an - bahwa kepercayaan seseorang
terhadap keberadaan dan kekuasaan Allah Swt masih bercampur dengan pemahaman
syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk). Hal ini tercermin dalam (Qs.
Yusuf : 106) :
وَمَا يُؤْمِنُ
أَكْثَرُهًمْ بِاللهِ اِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ : Dan
tidak beriman kepada Allah kebanyakan manusia, kecuali mereka
mempersekutukan-Nya.
Berlainan
dengan dosa lainnya, perbuatan syirik (baik khafi/ samar maupun jali/
kentara) merupakan dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt yang
tidak dapat ditaubati, kecuali dengan terbebasnya jiwa dari kemusyrikan.
إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَنْ يشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَالِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa menyekutukan makhluk dengan-Nya (syirik) dan mengampuni dosa
lainnya bagi yang dikehendaki-Nya. (Qs. an-Nisa’:
48)
Demikian pula
pada umumnya, manusia menganggap rendah terhadap nilai dosa syirik. Dan
karenanya, mereka kurang sungguh-sungguh dalam membebaskan jiwa dari belenggu
kemusyrikan. Padahal dalam pandangan Allah Swt, kemusyrikan merupakan perbuatan
najis (sesuatu yang menjijikkan), serta menyebabkan amal ibadah menjadi sia-sia
dan tidak akan diterima oleh Allah Swt. Sebagaimana keterangan firman Allah Swt
:
يَأَيُّها الذِينَ
آمَنُوا إِنَّمَا المُشْرِكُونَ نَجَسٌ : Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang musyrik itu najis.
(Qs. at-Taubah : 28). Dan, وَلَوْ أَشْرَكُوا
لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ : Dan jika mereka
menekutukan Allah dengan makhluk-Nya (musyrik), maka niscaya menjadi sia-sia
dari mereka sesuatu yang telah mereka
amalkan. (Qs. al-An’aam : 88).
Membebaskan
jiwa manusia dari belenggu kemusyrikan merupakan salah satu pokok tugas para
Nabi dan Rasul As serta merupakan perjuangan paling utama yang dilaksanakan
oleh para Ghauts Ra pada setiap zaman, dan merupakan perjuangan yang paling
besar kehidupan setiap mukmin.
Mengapa
demikian ?.
Tidak
ada tujuan dalam penciptaan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada
Allah Swt dengan niat yang bersih dan murni hanya kepada-Nya. Dengan kata lain,
tujuan penciptaan manusia dan jin agar mereka beriman kepada-Nya tanpa disertai
menyekutukan-Nya dengan makhluk. Firman Allah Swt, Qs. al-Bayyinah : 5 :
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ
لَهُ الدِيْنَ حُنَفَاءَ
Dan mereka tidak diperintahkan kecuali
beribadah karena Allah dengan membersihkan (niat) karenanya dalam beragama
serta hanya condong (kepada-Nya).
إِنَّ اللهَ لاَيَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَاكَانَ
لَهُ خَالِصًا لَهُ وَابْتَغَى بِهِ وَجْهَهُ.
Sesungguhnya Allah tidak menerima
amal, kecuali orang yang ikhlas karena-Nya serta hanya untuk meraih (kedekatan/
makrifat) kepada Dzat-Nya.
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى
أُمَّتِي الإِشْرَاكُ بِاللهِ أَمَّا إِنِّي لَسْتُ أَقُولُ يَعْبُدُونَ شَمْسًا
وَلاَ قَمَرًا وَلاَ وَثَنًا ولَكِنَّ اعْمَالاً لِغَيْرِ اللهِ وَشَهْوَةً
خَفِيَةً.
Sesungguhnya yang paling aku
khawatirkan dari sesuatu yang aku khawatirkan terhadap ummatku adalah syirik
kepada Allah.Sedangkan aku tidak mengatakan mereka menyembah matahari, bulan
dan berhala. Akan tetapi amal yang (dilakukan) karena selain Allah dan syahwat
(keinginan) yang tersembuny
Jiwa yang bersih dari kemusyrikan, menyebabkan
seseorang dapat bertemu Tuhannya Firman Allah Swt, Qs, al-Kahfi : 110 :
وَمَنْ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْـيَعْمَلْ عَمَلاً صالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Dan
siapa saja yang menginginkan bertemu Tuhannya, maka kerjakanlah amal shalih
serta tidak menyekutukannya dengan makhluk sedikitpun.
3.
Arti Kata
Wahidiyah.
Membebaskan
jiwa manusia dari belenggu kemusyrikan merupakan inti dan pokok dalam PERJUANGAN
WAHIDIYAH.
WAHIDIYAH merupakan kata dalam bahasa arab yang diambil dari kata
WAAHID (Dzat Yang Maha Esa), salah satu asma Allah Swt yang sangat baik (asmaul
husna). Kata WAHID, jika ditambah dengan “ya’ nisbah”, pada akhir kalimah,
menjadi WAHIDIYAH yang memiliki arti pemahaman tentang ke-Esaan Allah Swt. Dengan
kata lain, MENG-ESA-KAN atau me-MAHA ESA-kan Allah Swt. Dengan demikian WAHIDIYAH
dapat dipahami sebagai lawan kata dari makna SYIRIK (menyekutukan Allah Swt
dengan mahluk).
Wahidiyah bukanlah sebuah golongan atau aliran baru dalam Islam,
sebagaimana anggapan atau asumsi dari orang-orang yang belum memahaminya. WAHIDIYAH
merupakan kondisi iman seseorang yang telah terbebas dari belenggu kemusyrikan.
Baik ketika beraudensi kepada Allah Swt maupun beraudensi kepada selain-Nya. Seseorang
ketika berhubungan (baik untuk memohon pertolongan atau mengambil manfaat) dengan/
dari makhluk (termasuk Rasulullah Saw, al-Ghauts Ra atau makhluk lainnya),
dapat dikatakan musyrik dan juga dapat dikatakan tidak musyrik (bertauhid). Tidak
ternilai musyrik ketika dalam berhubungan (interaksi/ bertawassul) dengan
makhluk, hati tetap meng-Esakan-Nya secara dzauqiyah. Demikian pula dikatakan sebagai
musyrik, selama tidak dapat meng-Esakan Allah Swt. Demikian pula meskipun tidak
berhubungan kepada mahluk (termasuk Rasulullah Saw atau Ghautsuz Zaman Ra),
seseorang dapat dikatakan musyrik, selama ia meyakini bahwa munculnya kekuatan
mahkuk (termasuk Rasulullah Saw atau Ghautsuz Zaman Ra) bukan atas izin Allah
Swt, melainkan dari diri mahluk itu sendiri.
Bertauhid bukan sekedar pengetahuan tentang ke-ESA-an Allah Swt. Akan
tetapi lebih terletak dalam rasa hati tentang ke-Esaan-Nya. Dapat
meng-Esa-kan-Nya secara dzauqiyah, merupakan kondisi jiwa yang dicari oleh
setiap orang dari segala golongan, agama, aliran, atau bangsa manapun juga.
Meng-ESA-kan
Allah Swt, tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan cara meniadakan makhluk dari
alam fikiran atau dari hati. Meng-ESA-kan Allah Swt secara sempurna tidak boleh
tidak melalui makhluk. Sebab selama kita wujud baik dalam alam fana atau alam
baqa, tidak mungkin bisa terbebas dari wujudnya makhluk. Diri kita, gerak-gerik
lahir batin kita, lingkungan kita, alam fikiran, batin kita, dan bahkan
perbuatan kita meng-ESA-kan-Nya juga termasuk makhluk.
Dengan
demikian, agar dapat meng-ESA-kan Allah Swt (tidak menyekutukan-Nya dengan
makhluk) atau tidak musyrik secara semestinya, sarananya adalah :
1.
Melalui
makhluk. Setidak-tidaknya melalui diri dan amal perbuatan batin kita, yang juga
disebut makhluk.
2.
Memahami dan
menyadari dengan sepenuh hati bahwa makhluk (termasuk wujud diri dan amal kita)
tidak dapat memberi manfaat atau madlaraat kepada diri sendiri atau kepada
lainnya, kecuali atas izin dan kuasa Allah Swt semata.
3.
Memahami dan
menyadari bahwa semua pertolongan atau kenikmatan yang kita terima, datangnya
bukan dari makhluk, melainkan dari Allah Swt semata. Sedangkan makhluk
(termasuk Rasulullah Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra) hanya sebagai pintu atau
sarana.
Al-Ghauts fii Zamanihi, Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra
(w. 658 H) menjelaskan (kitab Thabaqatul Kubra karya al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Sya’rani Ra juz II dalam bab “kisah Imam Syadzili”) :
وَمِنَ
الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يَتَّخِذَ الأَولِيَاءَ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ
Termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah dengan
mahluk), sekiranya mengambil auliya’ tanpa Allah.
4.
Mengetrapkan
ajaran atau prinsip LILLAH dan BILLAH dengan sepenuh hati dan secara dzauqiyah.
Makna Wahidiyah
Dalam Difinisi Para al-Ghauts Ra
1.
Telah masyhur
dalam dunia tasawuf, bahwa mukmin yang benar-benar telah me-Maha Esa-kan Allah
Swt secara benar dan secara musyahadah, mereka mendapat gelar hakiki “ABDUL
WAAHID : hamba dari Dzat Yang
Maha Esa”.
Al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Ahmad Dliyauddin Kamasykhanawi Ra menjelaskan tentang makna
Wahidiyah (Kitab Jami’al-Ushul dalam “Bayan Madlahir al-Auliya’ wa
Maraatibihim fii al-Asma”) :
عَبْدُ الوَاحِدُ :
هُوَ الذِي بَلَغَهُ اللهُ الحَضْرَةَ الوَاحِدِيَةَ وَكَشَفَ لَهُ عَنْ
أَحَدِيَةِ جَمِيْعِ أَسْمَائِهِ, فَيَدْرِكُ مَا يُدْرَكُ وَيَفْعَلُ مَا
يُفْعَلُ بِأَسْمَائِهِ وَيُشَاهِدُ وُجُودَهُ بِأَسْمَائِهِ الحُسْنَى. وَهُوَ
وَحِيْدُ الوَقْتِ صَاحِبُ الزَمَانِ الَذِي لَهُ القُطْبِيَةُ الكُبْرَى
بِالأَحَدِيَةِ
Abdul
Wahid : adalah orang yang Allah telah menghendakinya sampai ke derajat hadlrah
Wahidiyah. Dan Allah telah membukakan tabir baginya dari sinar Ahadiyah seluruh
asma-Nya. Hamba ini dapat menemukan sesuatu (atas izin Allah semata) yang Dia
temukan, dan melakukan sesuatu yang Dia lakukan. Dan dapat musyahadah tentang
wujud-Nya dengan asma-Nya yang baik. Dialah satu-satunya hamba Allah (yang
sempurna) pada waktu itu. Dialah orang yang memahami (baik buruknya) zaman. Dan
yang baginya (derajat) wali quthub yang besar dengan pemahaman iman Ahadiyah.
2.
Dan al-Ghauts
fii Zamanihi Imam al-Gazali Ra, ketika memberi penjelasan makna surat ikhlas,
mengatakan (kitab al-Madlnun Bih ‘alaa Ghairi Ahlih, Imam al-Ghazali Ra
pada pasal IV dalam bab “penjelasan makna surat ikhlas”) :
والصَمَدِيَهُ دَلِيْلٌ عَلَى
الوَاحِدِيَةِ وَالآحَدِيَةِ. فَالوَاحِدُ نَفْيُ الشَرِيْكِ فَالأحَدُ نَفْيُ
الكَثْرَةِ فِي ذَاتِهِ الصَمَدُ المُحْتَاجُ إِلَيْهِ غَيْرُهُ
Shamadiyah (ketergantungan hamba kepada Allah meskipun berinteraksi
makhluk), merupakan bukti kepada tauhid Wahidiyah dan Ahadiyah. Makna al-Wahid, adalah ketiadaan sekutu (bagi-Nya),
sedangkan makna al-Ahad, adalah ketiadaan jumlah (susunan) didalam
Dzat-Nya,(yang menjadi) tempat bergantungnya makhluk, dan yang selain diri-Nya
berhajat kepada-Nya.
3.
Al-Ghauts fi
Zamanihi Syekh Abdul Karim al-Jilliy Ra (w. 826 H) menjelaskan tentang makna
iman Wahidiyah (kitab al-Insan al-Kamil fii Ma’rifah al-Awail wal
Awakhir, juz I dalam bab “pendahuluan”) :
والنَاظِرُ فِي مِرأَة
هَذَا الاِسْمِ ذَوْقًا يَكُونُ عِنْدَهُ مِنْ عُلُومِ التَوْحِيْدِ عِلْمُ
الوَاحِدِيَّةِ
Dan orang
yang hatinya dapat memandang (kepada Allah Swt) dalam cermin
makhluk ini dengan dzauqiyah (rasa
hati), maka orang tersebut memiliki beberapa ilmu tauhid, yaitu ilmu Wahidiyah.
4.
Al-Ghauts fi
Zamanihi Syeh Kamskhanawi Ra dalam kitab Jami’ al-Ushul, bagian mutammimat pada bab “shad dan dha”, menjelaskan :
صُوَرُ الحَقِّ هُوَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِتَحَقُّقِهِ بِالحَقِيْقَةِ الأَحَدِيَةِ وَالوَاحِدِيَةِ
Yang dinamakan Citra al-Haq: adalah Nabi Muhammad Saw, yang telah
membuktikan dengan semestinya tentang hakikat maqam Ahadiyah dan Wahidiyah.
ظِلُّ الإلَهِ هُوَ الإِنْسَانُ
الكَامِلُ المُتَحَقِّقُ بِالْحَضْرَةِ َالْوَاحِدِيَة
Payung
Tuhan (untuk makhluk/ dalam bumi) adalah manusia sempurna yang telah dapat menyatakan maqam hadhrah
Wahidiyah.
5.
Al-Ghauts fi
Zamanihi Syekh Abdul Wahhab Sya’rani Ra
dalam, menerangkan : [5]
الوَاحِدُ يَتَعَدَّدُ
بِالمَظَاهِرِوَالآحَدُ لاَبَتَعَدَّدُ لأَنَّهُ خُلاَصَةالوَحِدُ فَإِذَا
تَعَدَّدَالوَاحِدُ تَنْزِيْلٌ لِكَمَالِالدَائرَة وَإِذَا تَكَمَّلَتْ صَارَتْ
حَقِيْقَةَ وَاحِدِيَةً أَحَدِيَةً لِجَمِيْعِ الدَوَائِر فَهَذِهِ خَلاَصَةُ
الحَقَائِقِ فَمَنْ صَدَقَ اللهَ وَحَدَهُ اللهُ فَصَارَوَاحِدًاعَارِفا بِاللهِ وَللهِ.
Al-Wahid,
dalam penampakannya pada makhluk menunjukkan jumlah bilangan. Sedangkan al-Ahad
tidak menunjukkannya. Karena al-Ahad merupakan ringkasan dari al-Wahid. Ketika
al-Wahid menunjukkan jumlah bilangan, maka turunnya (sinar) al-Wahid bertujuan untuk
kesempurnaan seluruh wujud.
Ketika keberadaan wujud telah sempurna, maka wujud ini sebagai hakikat
Wahidiyah dan Ahadiyah yang merupakan ringkasan seluruh hakikat wujud.
Barang siapa yang dibenarkan (agamanya) oleh Allah, maka Allah memberinya
(ilmu) tauhid. Serta Allah menjadikannya sebagai satu-satunya hamba yang sadar
Billah dan Lillah.
Dikatakan
syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika seseorang mengambil
makhluk sebagai penolong, dengan anggapan pertolongan tersebut datangnya dari
makhluk tersebut, dan bukan dari Allah Swt.
Firman
Allah Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44 :
أَمِ
اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قل أَوَلَوْ كَانُوا لاَ
يَمْلِكُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَمَوَاتِ وَالاَرْضِ ثُمَّ
اِلَيهِ تُرْجَعُونَ
Apakah mereka
mengambil penolong-penolong
selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu mengambil syafaatnya juga),
padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan tidak memiliki akal?.
Katakanlah : hanya kepunyaan
Allah semua syafa’at [6] (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian
kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.
4. Pengamalan
Wahidiyah
AJARAN
WAHIDIYAH merupakan bimbingan praktis yang disusun oleh Hadratul
Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, untuk
memudahkan pelaksanaan prinsip-prinsip iman, Islam dan ihsan.[7]
Perlukah saat sekarang adanya bimbingan (system baru) lagi dalam
meningkatkan keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, padahal telah ada
beberapa bimbingan sebelumnya ?. Jawabnya : SANGAT PERLU.
Dikatakan sangat perlu, karena telah terlupakannya iman WAHIDIYAH
dari ingatan dan pemikiran para tokoh agama dan golongan (kususnya tokoh dan
golongan Islam), apalagi mengamalkan dan memperjuangkannya. Dan, banyak juga
kalangan yang salah anggapan atau salah asumsi tentang WAHIDIYAH dan Ahadiyah.
Diantara mereka ada yang berasumsi bahwa ajaran Wahidiyah merupakan ajaran yang
sesat (keluar dari Islam). Diantara mereka ada yang menganggap bahwa WAHIDIYAH
merupakan ajaran Islam kelas tinggi yang hanya dikhususkan untuk para ulama dan
waliyullah saja.
Dengan kondisi semacam inilah yang menyebabkan Hadratul Mukarram
Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah bangkit untuk
memperjuangkan iman WAHIDIYAH dengan cara yang mudah dan simpel untuk dipahami
dan diamalkan.
Dengan
demikian, AJARAN WAHIDIYAH jangan dipahami sebagai tandingan terhadap
macam-macam bimbingan (system/ cara/ metode/ tarekat/ sunnah) yang sudah ada,
apalagi tandingan terhadap sunnah rasul. Bimbingan praktis tersebut dimaksudkan
agar sunnah rasul baik yang berhubungan dengan aqidah, akhlak maupun ubudiyah
lahiriyah dan muamalat dapat terlaksana secara baik dan secara semestinya.
Rasulullah Saw dalam hadis menganjurkannya. Rasulullah Saw bersabda
: [8]
مَنْ
سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً
كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزَرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang
baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah
tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja
yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa
dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa
mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Anjuran
Rasulullah Saw tersebut ditujukan kepada ulama yang diberi kemampuan oleh Allah
Swt, agar dapat menyusun sebuah system (kurikulum/ tarekat/ sunnah) yang baik
dan benar, untuk disesuaikan dengan kondisi zaman hingga mudah membawa ummat
masarakat kedalam kehidupan yang diwarnai dengan iman, Islam dan ihsan.
Dan anjuran Rasulullah Saw itulah yang dilaksanakan oleh Hadlratul
Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah,
dengan menyusun AJARAN WAHIDIYAH. Beliau Muallif Qs wa Ra mensistematikkan
penjelasan iman WAHIDIYAH dalam bentuk yang lebih ringkas, lebih sederhana namun
sesuai dengan aslinya. Beliau Qs wa Ra juga membimbing langsung setiap pengamal
Wahidiyah, bagaimana cara menerapkan iman, Islam dan ihsan.
Dengan demikian,
agar dapat terbebas dari belenggu syirik dengan mudah, mengamalkan Wahidiyah
hukumya wajib. Hukum wajib disini, bagi siapapun orangnya dari pria
wanita, tua muda, bangsa dan golongan manapun tanpa padang bulu. Sedangkan asal
hukum mengamalkan shalawat Wahidiyah, adalah sunnah.
Dan
alhamdullillah - sebagai tahaddus binni’mah - atas bimbingan dan pancaran
radiasi batin Beliau Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, pangamal Wahidiyah
dapat merasa lebih mudah ingat kepada Allah wa Rasulihi Saw, rasa cinta kepada
Rasulullah Saw dari tahap demi tahap terasa semakin meningkat, semakin terasa
ringan dalam mengamalkan dan meningkatkan ibadah, semakin tenang dan tentram
hatinya, semakin mudah mengoreksi dosa-dosanya, dosa kepada Allah Swt, dosa
kepada Rasulullah Saw, dosa kepada diri sendiri, dosa kepada keluarga, kepada
ummat dan masarakat dan bahkan dosa kepada sesama mahluk jamial ‘alamin.
Disamping membirikan bimbingan,
Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, juga
memberikan sebuah doa berupa Shalawat Wahidiyah agar ummat masarakat tanpa
pandang bulu, terutama diri sendiri dan keluarga, mendapat hidayah Allah Swt,
syafaat Rasulullah Saw dan barakah karamah serta doa restu para waliyullah,
khususnya Ghauts Hadzaz Zaman Ra, hingga dengan mudah dapat mengetrapkan iman
Wahidiyah, mendapatkan barakah dalam kehidupan keluarga dan rumah tangganya,
serta mendapatkan barakah lingkungan dan masarakatnya.
Demikian pula Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra
Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzarah,
bersifat melanjutkan perjuangan Mbah Yai Qs wa Ra serta para al-Ghauts Ra
terdahulu, serta lebih teratur dalam system pelaksanaan iman, Islam dan ihsan
secara berjamaah.
Ajaran WAHIDIYAH juga menjelaskan adanya Ghauts Hadzaz Zaman Ra.
Hanya satu orang dalam setiap waktu yang menduduki jabatan al-Ghauts. Ketika
Beliau Ra wafat Allah Swt akan mengangkat penggantinya untuk menduduki jabatan
ruhani tersebut. Beliau Ra sebagai pembimbing ruhahi bagi setiap manusia dalam
menuju sadar kembali kepada Allah Swt dan kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana
prinsip yang lazim dalam lingkungan para kaum sufi, bahwa agar seseorang tidak
dibelokkan oleh iblis dalam menyempurnakan iman dan makrifat kepada Allah wa
Rasulihi Saw, diperlukan adanya seorang pembimbing dan Guru Ruhani.
5. Keberadaan Guru Ruhani
Dalam
memahami sesuatu yang belum pernah dipahami sebalumnya, manusia memerlukan
guru/ intruktur/ informan. Jika sesuatu tersebut dalam penjelesannya perlu diperagakan,
guru/ inbtruktur Setiap orang yang ingin wushul kepada Allah, wajib memiliki
guru ruhani yang membimbing dan yang diridlai oleh Allah Swt. Dalam memahami keberadaan
Allah Swt, tanpa dibimbing oleh Gurru Ruhani Yang Kamil, sudah tentu dibimbing
oleh setan.
Firman
Allah Swt, Qs. al-Furqan : 59 : الرَحْمَنُ فَسْئَلْ
بِهِ خَبِيْرًا:
Allah Yang Maha Penyayang, bertanyalah tentang-Nya kepada orang yang
memahami-Nya.
Firman Allah
Swt, Qs : : فَاسْئَلُوا أَهْلَ
الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ : bertanyalah
kepada para ahli dzikir, sekiranya kamu semua tidak mengetahui
Syeh Abu Yazid Basthami Ra berfatwa :
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ
فَإِمَامُهُ الشَيْطَانُ. وَقَالُوا
: مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ
فَشَيْخُهُ
الشَيْطَانُ
Barang
siapa tidak memiliki guru ruhani, maka setanlah imamnya. Dan
para guru kaum sufi berkata : Barang siapa tidak memiliki guru ruhani, maka
gurunya adalah setan. [9]
Al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani mewasiatkan :
المُرِيْدُ
ِذَا مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ
Murid, ketika
Syeh (guru rohani)-nya mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh Pengganti
untuk membimbingnya.[10]
al-Ghauts
fii Zamanihi Syeh Muhammad Wafa Ra (w. 801 H) menjelaskan : [11]
مَنْ لَيْسَ لَهُ أُسْتَاذٌ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى وَمَنْ
لَيْسَ لَهُ مَوْلَى فَالشَيْطَانُ مَوْلَى لَهُ
Barang siapa tidak memiliki guru, maka
ia tidak ada pembimbing bagi dirinya. Dan barang siapa tidak ada pembimbing
maka setenlah pembimbingnya.
Amat penting memiliki guru ruhani.
Bahkan bagi orang yang ilmu agamanya sangat luas, selama ia belum mencapai
derajat al-Ghauts, wajib baginya mencari guru ruhani. [12]
لاَبَنْبَغِي
لِلْعَالِمِ وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ
اَنْ يَقْنَعَ بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَا الوَاجِبُ عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ بِاَهْلِ الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى
صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك (كُدُورَاتِ
الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ
كَامِلٍ عَالِمٍ فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فِي بِلاَ دِهِ اَوْ
اقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
Tidak patut bagi orang alim, meskipun
ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya. Kecuali ia telah
menjadi Wahiduz Zaman pada waktu
itu. Bahkan ia wajib bagi mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia
ditunjukkan kearah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran
dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia
dibawah kekuasaan dan bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut.
Dan apabila didaerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia
wajib pergi menuju daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.[13]
وَمِنْ شَأْنِهِ إِذَا لَمْ يَجِدْ أَحَدًا يَتَأَدَّبُ
بِهِ مِنَ الشُيُوخِ أَنْ يُهَاجِرَ مِنْ بَلَدِهِ إِلَى مَنْ هُوَ مَنْصُوبٌ
لإِرْشَادِ النَّاسِ فِيْ ذَالِكَ الزَمَانِ وَلَوْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ
مَسِيْرَةَ عَامٍ, فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ السَفَرُ جَزْمًا.
Diantara hal harus diperhatikan bagi
murid (orang yang belum makrifat), jika didaerahnya tidak ada seseorang yang
membimbingnya (sebagaimana bimbingan dari Syaih/ Guru ruhani dalam makrifat),
maka wajib baginya hijrah dari daerahnya kepada daerah yang disita terdapat
seseorang yang dapat membimbing manusia pada zaman itu, Walaupun jarak antara
dirinya dan Guru tersebut demikian jauh (memerlukan perjalanan 100 tahun).
Sesungguhnya wajib bagi mereka berangkat menuju daerah Guru Ruhani tersebut.[14]
Namun, Allah
Swt dan Rasul-Nya memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru atau
mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa kedalam
pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh tentang
penyakit hati .
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةَ المُضِلِّون
Sesungguh yang paling Aku takutkan
kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Allah
Swt berfirman Qs. Al-Kahfi : 28 :
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ قَلبَهُ
عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.
Dan janganlah kamu mengikuti orang
yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku, orang tersebut mengikuti hawa
nafsunya, dan memanglah melampaui batas.
Demikian penting dan dominannya
peranan guru ruhani dalam meningkatkan dan meluruskan iman kepada Allah Swt wa
Rasulihi Saw. Namun, juga sangat menakutkan akibatnya jika berguru orang yanmg
tersesat.
Ciri-ciri Guru Ruhani yang dapat
diikuti, antara lain orang yang :
1.
Hidupnya hanya
mencari keridlaan Allah Swt.
2.
Hatinya tidak
terpengaruh hiasan dunia.
Firman
Allah Swt, Qs. Al-Kahfi : 28 :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدوآةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ
وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
تُرِيْدُ زِيْنَةَالحَيَاةِ الدُنْيَا.
Sabarlah
(tetap) bersama orang-orang yang memanggil Tuhan mereka diwaktu pagi dan
petang. Dan yang mengharapkan Dzat-Nya. Dan janganlah kamu memalingkan
pandanganmu dari mereka, hanya karena engkau menginginkan keindahan dunia.
3.
Jiwanya telah
ber-inaabah [16]
kepada Allah Swt.
Firman Allah Swt, Qs.
Luqman : 15 : وَاتَبِعْ سَبِيْلَ
مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ: Dan ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku
tempat kamu kembali.
Ayat ini
menjelaskan, bahwa seseorang yang mengikuti Guru Ruhani yang telah ber-inaabah
(telah sadar kembali kepada Allah Swt), akan mendapatkan manfaat utama, yakni wushul
dan makrifat kepada Allah Swt.
Arti dan makna
ayat diatas diperkuat lagi oleh sabda Rasulullah Saw :[17]
كُنْ مَعَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ
مَعَهُ
Jadilah kamu bersama Allah. Jika tidak mampu, bersamalah dengan orang
yang bersama Allah. Sedsungguhnya orang tersebut akan mengantarmu sampai kepada
Allah, sekiranya kamu bersamaqnya.
4.
Dapat mengantar
murid dekat kepada Rasulullah Saw.
Al-Ghauts fii
Zamnihhi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra menjelaskan :[18]
ومِنْ عَلاَمَةِ
صِدْقِهِ فِي تِلْكَ الطَّرِيْقِ إِجْتِمَاعُهُ بِالنَّبِى صَلَّى اللهُ عَلِيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ (كَمَاذَكَرْنَاهُ), فَإِنْ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ بِهِ
جَمْعِيَّةً هُوَ بَطَّالٌ
Dan dari tanda-tanda benarnya seseorang dalam thariqahnya, adalah
pertemuannya dengan Nabi Muhammad Saw (sebagaimana yang telah kami jelaskan).[19]
Maka jika dengan thariqahnya tersebut, ia tidak berhasil bertemu Rasulullah,
maka ia tertolak/ batallah (sebagai guru demikian pula tarekatnya).
5.
Menselaraskan
antara pelaksanaan syariat dan hakikat. Meningkatnya iman murid kepada Allah
Swt serta cinta kepada Rasulullah Saw.
6.
Kitab-Kitab
Terdahulu
Kitab-kitab yang telah ditulis oleh para Ulama Arif Billah yang telah
membahas tentang iman WAHIDIYAH (me-MAHA ESA-han Allah Swt), antara lain :
1.
Kitab al-Madlnuun
Bih ‘ala Ghairi Ahlih, karangan Imam al-Gazali Ra (al-Ghauts fii Zamanihi).[20]
2.
Kitab Jami’
al-Ushuul fil Auliya’, karangan al-Mujaddid al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ahmad
Kamasykhanawi Ra.[21]
3.
Kitab at-Ta’rifat,
karangan Syeh Ali al-Jurjani.[22]
4.
Kitab Thabaqatul
Kubra, karangan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra.[23]
5.
Kitab
Siyrus-Salikiin, karangan Syeh Abdus Shamad al-Falinbani Ra.[24]
6.
Kitab al-Insaan
al-Kamil fii Ma’rifah al-Awakhir wal Awaail, karangan al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Abdul Karim al-Jilliy Ra.[25]
7.
Kitab Asaraar
al-Insaan fii Ma’rifah ar-Ruuh wa ar-Rahmaan, karangan Syeh Nuruddin
ar-Raniri.[26]
8.
Kitab Afdlalus
Shalawat ‘alaa Sayyid as-Saadaat, tulisan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf
Ismail an-Nabhani Ra.
9.
Kitab Durrat
al-Asraar wa Tuhfat al-Abrraar, tulisan Syyeh Muhammad bin Abi Qasim
al-Humairi. [27]
10.
Dan masih
banyak kitab dan buku yang lainnya.
Demikianlah
beberapa nama kitab yang menjelaskan tentang iman WAHIDIYAH dan Ahadiyah dan yang
telah dikarang oleh para al-Ghauts Ra sebelum Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra
Muallif Shalawat Wahidiyah.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa :
1. Wahidiyah
bukan aliran baru yang diada-adakan oleh Perjuangan Wahidiyah.
2. Wahidiyah
merupakan tingkatan keimanan seseorang dalam memahami ke-ESA-an Allah Swt.
3. Sebagai
lawan kata dari makna syirik. Seseorang yang hatinya telah terbebas dari
kemusyrikan, dapat disebut sebagai Pengamal Wahidiyah.
Sedangkan
Shalawat Wahidiyah merupakan sebuah alat atau doa untuk memohon taufiq dan
hidayah kepada Allah Swt, dan syafaat tarbiyah Rasulullah Saw, serta barakah
karamah nadhrah dan doa restu Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar seseorang yang
mengamalkannya diberi oleh Allah Swt kesempurnaan iman tentang ke-Esaan-Nya
secara musyahadah.
Dan alhamdullah
- sebagai tahaddus binnikmah - sepulang Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid
Ma’ruf Qs wa Ra, Allah Swt semakin menampakkan kemampuan Beliau Hadratul
Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok
Pesantren Kedunglo dalam membawa dan membimbing pengamal Wahidiyah untuk
meningkat dalam segala bidang, baik lahiriyah maupun batiniyah, syariat dan
hakikat, intelektual dan sepiritual. Demikian pula, berkat bimbingan Beliau Ra
banyak pengamal Wahidiyah yang dapat bertemu kepada Rasulullah Saw baik secara
mimpi atau jaga. Semua terjadi atas izin Allah Swt, syafaat Rasulullah Swt
belaka.
Untuk mengakhiri
pembahasan ajaran Wahidiyah serta agar tidak berhenti pada pembahasan saja,
mari kita mengadakan penghormatan kepada Beliau Ghauts Hadzaz Zaman Ra,[28]
dengan adab lahir batin yang setepat-tepatnya.
Al-Fatihah x 1
Yaa Syaafial Khalqis Shalaatu was Salaam x 1
Yaa Sayyidii Yaa Rasulallah x 3
Yaa Ayyuhal Ghautsu Salaamullah x
1
Al-Fatihah x 1
![]() |
[1]. Kitab Kimya’
as-Sa’aadah-nya Imam al-Ghazali Ra. Hadis yang
sepadan arti diriwayatkan oleh Syeh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H) dalam
kitabnya al-Ghunyah, juz I dalam bab “al-Itti’adz bi Mawa’idz al-Qur’an
wal al-Faadz an-Nabawiyah”, juz I pada pasal ke 5.
[2]. Kitab Muhtashar
Ihya, Imam Ghazali, bab 21 dalam pasal II, dan kitab Awarif al-Ma’arif
–nya Imam Syihabuddin Suhrawardi, dalam bab II.
[3]. HR.
Imam Nasai dari Abu Umamah (kitab Jami’ as-Shaghir, juz I dalam bab
“alif dan nun”).
[4]. HR.
Ibnu Majah dari Syaddad Ibn Aus (Kitab Jami’ as-Shaghir, juz I dalam bab
“alif”). Imam Suyuthi mengatakan bahwa
hadis ini berderajat dla’if. Namun karena banyak keterangan dari al-Qur’an dan
hadis lain yang mendukung maknanya, maka secara tersurat derajat hadis ini naik
kepada hasan lighairihi, sedangkan secara tersirat maknanya shahih.
[6] HR. Thabrani
(Ibnu Umar) dan riwayat Abu Nuaim serta Baihaqi (Abu Hurairah)Rasulullah Saw
bersabda : المَقَامُ المَحْمُودُ الشَفَاعَةُ : Kedudukan yang terpuji (bagi
Rasulullah) adalah syafaat. Dalam kitab Jami’ as-Shagir, juz II,
pada bab “miim”. Hadis ini hasan dan shahih.
Tentang arti
syafa’at Rasulullah Saw, dalam kitab Dalil al-Falihin-nya Syeh Muhammad
Ibn ‘Alan al-Makkiy (w. 1058 H), juz II, dalam bab “as-Syafa’ah”, Imam ar-Raziy
berkata :
وَأَصْلُهَا الشَفْعُ
ضِدُّ الوِتْرِ كَأَنَّ صَاحِبَ الحَاجَةِ كَانَ فَرْدًا فَصَارَ صَاحِبُ الشَفْعِ لَهُ شَفْعًا
أَيْ صَارَ زَوْجًا
Dan
asalnya makna syafa’at itu “genap” kebalikan “ganjil”. Sehingga, sesungguhnya,
orang yang menghajatkan syafa’at itu, seakan-akan seorang diri, maka pemilik
syafa’at akan menjadi penggenap bagi orang itu. Yakni, menjadi pendamping
hidup.
Dan
dalam kitab Sa’adah ad-Daraini nya Syeh An-Nabhani, dalam bab 5, tentang syafaat Rasulullah Saw,
yang menukil dari fatwa Imam Ghazali :
أنَّهَا نُورٌ يُشْرَقُ مِنَ الحَضْرَةِ
الاِلَهِيَةِ عَلَى جوهَرِ النُبُوَّةِ وَيُنْشَرُ مِنْهُ عَلَى كُلِّ جَوُهرٍ
Sesungguhnya,
syafa’at itu merupakan NUR dari keharibaan Tuhan kepada diri Nabi. Kemudian
dari Nabi, NUR itu dipancarkan kepada seluruh mahluk.
Penjelasan
yang sama, juga dijelaskan dalam kitab Jami al-Ushul-nya Syeh
Kamsykhanawi Ra dalam “Bayan as-Syafaah”
[7]. Seorang mukmin, yang muslim dan yang muhsin adalah orang
yang taat beribadah kepada Allah Swt serta tidak (syirik) menyekutukan-Nya
dengan mahluk.
[8]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna
Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan
oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu
Abdullah Ra.
Berkaitan dengan kata SUNNAH dalam
hadis diatas, dalam kitab Tanwiirul Hawaalik alla Syarhi Muwattha’ Malik
tulisan Syeh Jalaluddin Suytuthi, diterangkan bahwa Syeh Ibnu Muhdi (termasuk
pembesar ulama Hijaz setelah Imam Malik) mengatakan : Syeh Sufyan Tsauri
adalah imam dalam hadis tapi bukan dalam sunnah. Dan Syeh al-Auzaiy adalah imam dalam sunnah, tapi bukan dalam
hadis. Sedangkan Imam malik Ibn Anas adalah imam hadis dan sunnah. Dan Imam Ibnu Shalah juga mengatakan : seorang ulama itu
kadang alim dalam hadis, tapi tidak alim dalam sunnah.
Selain hal tersebut Imam Suyuthi
dalam keterangan selanjutnya menjelaskan; bahwa Imam Malik Ibn Anas (pendiri
madzhab Maliki, w. 158 H) setiap malam bertemu dengan Rasulullah Saw.
[9]. Kitab Jami’
al-Ushul fil Auliya’-nya Syeh
Kamsykhanawi, pada bagian ‘”mutammimaat”
dalam “bayaan washiyatul muriidiin”.
[10]. Kitab al-Anwar
al-Qudsiyah-nya al-Ghauts fi Zamanihi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, Ra
(w. 973 H), dalam bab “adabul murid”).
[11]. Kitab Tbaqatul
Kubra-nya Imam Sya’rani, juz II dalam kisah “Syeh Ibnu Makhala” dan Syeh
Muhammad Wafa”.
Diterangkan,
bahwa Syeh Muhammad Wafa adalah murid dari al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Daud
Ibnu Makhala Ra. Syeh Wafaa Ra adalah al-Ghauts yang tidak bisa membaca dan
tidak bisa menulis karena matanya buta sejak umur 4 tahun. Meski demikian daya
ingatnya cukup kuat, hingga ilmu yang diterimanya hanya melalui pendengaran.
Lain itu pula sejak umur enam tahun beliau sudah tampak karamahnya.
[12]. Malikat saja yang tidak pernah berbuat maksiat, masih
diperintahkan agar berguru kepada Nabi Adam As. Lebih lagi manusia seperti kita
yang berlumuran dosa. Lihat penjelasan al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir
Jailani Ra (w. 565 H) dalam kitabnya al-Ghunyah juz II bab “Maa Yajibu
‘ala al-Mubtadi”, yang menjelaskan : فَصَارتِ
المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ
الأشْيَاِ كُلِّهَا : Malaikat menjadi murid Nabi Adam, dan Nabi Adam sebagai
guru malaikat. Dan Adam mengajarkan
nama-nama segala sesuatu secara keseluruhan.
Penjelasan yang sama juga
diterangkan oleh Syeh Jalaluddin Suyuthi dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi,
juz II, dalam Kitab al-Ba’tsi pada bahasan “irsaaluhu ‘alal malaik” bagian
“khatimah” :
أَنَّ آدَمَ أَرْسَلَ إِلَى المَلاَئِكَةِ لِيُنَبِّئئَهُمْ بِمَا عَلِمَ مِنَ
الأَسْمَاءِ : Sesungguhnya Nabi Adam diutus kepada para malaikat agar
mendidik mereka tentang pengetahuan nama-nama segala sesuatu. Imam Suyuthi juga menerangkan bahwa pemahaman seperti ini
sebagai ketentuan Imam Syafi’i Ra.
[13]. Kitab Tanwir al-Qulub Syeh
Amin al-Kurdi, hlm 362.
[14]. Kitab al-Anwaarul
Qudsiyah-nya al-Ghauts fii Zamaanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra,
dalam bab I, pada bahasan ke 19.
[15]. Jami’ as-Shagir Imam
Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab
alif.
[16]. Inabaah adalah : رُجُوعُ الكُلِّ إِلَى مَنْ لَهُ الكُلُّ : menembalikan segalanya kepada pemilik segalanya. Kitab
“at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali al-Jurjani, bab alif.
Rasulullah
Saw bersabda : إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ
المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ الإِنَابَةَ : Sesungguhnya
diantara kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi
inaabah. (Kitab Jami’ as-Shagir Imam
Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif).
[17]. Kitab Khaziinah
al-Asraar Jaliilah al-Adzkaar-nya Syeh Muhmnad Haqqi an-Naazili, dalam bab
“washiyah Suhrawardi. Imam Suhrawardi (penulis kitab Awarif
al-Ma’arif), adalah seorang sufi yang ahli dalam hadis serta memiliki sanadnya yang
bersambung sampai kepada Rasulullah Saw
[19]. Keterangan sebelumnya
menjelaskan pertemuan kepada Rasulullah Saw secara ruhani dengan jaga dan
bertatap muka. Sudah tentu hal ini tidak dapat dipahami kecuali olah orang yang
mengalami.
[20]. Lihat kumpulan
kitab kecil yang ditulis oleh Imam al-Ghazali, yang tersusun dalam Majmu’ah
Rasaail lil Ghazali, terbitan Darul Fikri, Bairut. Dalam kitab al-Madlnuun
Bih ini, ketika memberikan keterangan makna surat Ikhlash, Imam Ghazali
menjelaskan tentang Iman Wahidiyah dan iman Ahadiyah.
[21]. Dilihat dari isi
yang terkandung dalam kitab ini, menunjukan bahwa Penulis kitab ini sebagai
pengamal tarekat syadzaliyah dan naqsyabandiyah, dan sekaligus
sebagai tokoh kaum sufi yang benar-benar telah memahami sistem dan metode yang
terdapat dalam setiap tarekat sufi.
Dan didalam
kitab ini dibahas tentang difinisi-difinisi dan
istilah yang mashur dalam lingkungan kaum sufi dan ulama ushul fiqh, serta
membahas keberadaan para auliyaillah dan al-Ghauts Ra. Beliau Ra membeberkan tentang makna iman Wahidiyah dan
Ahadiyah secara panjang lebar dalam bab “Bayan Madhahir al-Auliya’ wa
Maraatibihim fil Asma’ al-Ilaahiyah”, dan pada bagian “Mutammamaat”
[22]. Penulisnya
adalah ulama sufi yang ahli dalam bidang bahasa arab (ilmu nahwu, sharaf,
balaghah, ilmu badi’ dan ilmu ma’ani). Didalamnya menerangkan ensiklopedi
kata-kata atau istilah-istilah yang mashur dalam Islam, termasuk diantaranya
tentang iman Wahidiyah.
[23]. Syeh Abdul
Wahhab as-Sya’rani adalah ketua ulama Madzhab Syafi’i di Mesir waktu itu (lihat
kitab Mizan al-Kubra yang membahas perbandingan madzhab dalam ilmu fiqh,
tulisan Syeh Sya’rani juga). Didalam
kitab ini diterangkan tentang tingkatan tauhid dan keimanan mukmin, yang diantaranya
maqam Wahidiyah dan Ahadiyah, dan pula sejarah para pembesar kaum sufi dan
waliyullah pada zaman sebelum kehidupan Syeh Sya’rani Ra serta
nasehat-nasehatnya.
[24]. Kitab ini
berbahasa melayu kuno sebagai syarah dari kitab Minhajul ‘Abidin
karangan Imam al-Ghazali Ra. Ketika membahas tentang nafsu muthmainnah, dibahas
juga tentang iman Wahidiyah.
[25]. Kitab ini terdiri dari 2
juz. Dan ilmu Wahidiyah, dibahas secara panjang lebar pada juz I dalam pasal 6,
serta dalam bab muqaddimah.
[26]. Syeh Nuruddin ar-Raniri
berasal dari daerah Ranir India. Kemudian menjadi mufti di kesultanan Aceh
Darus Salaam. Kitab ini ditulis dengan bahasa melayu kuno.
[27]. Dalam
kitab ini membahas metode dzikir dan tarekat yang diajarkan oleh Imam Abuk
Hasan as-Syadzili Ra. Dan dalam bab I diterangkan bahwa guru Imam Syadzili Ra (
Syeh ‘Izzudin bin Abdis Salam al-Masyisy Ra) adalah al-Ghaus fii Zamanihi.
Kepada Imam Syadzili, Syeh Masyisiy berpesan agar ia tinggal dan menetap di
Maroko, karena didaerah ini kamu akan memperoleh ilmu yang sempurna tentang
dunia dan akhirat. Kemudian segera pindah ke Mesir, karena nanti disana
kamu akan diangkat oleh Allah Swt
sebagai al-Ghauts.
[28]. Tentang pengalaman
ruhani yang diperoleh pengamal Wahiidiyah, dapat dilihat dalam buku “Shalawat
Wahidiyah Dan Pengalaman Ruhani” terbitan
Perjuangan Wahidiyah Pusat .

Tidak ada komentar:
Posting Komentar