Sabtu, 22 Maret 2014

0038.01.317 - WAHIDIYAH BUKAN ALIRAN ATAU GOLONGAN


FAFIRRUU  ILALLOH WA ROSUULIHI SAW !
I. 01.317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"

0038.01.317  -  WAHIDIYAH BUKAN ALIRAN  ATAU GOLONGAN 

1.               Keberadaan Manusia
Setiap manusia terlahir dalam keadaan fitrah kesucian. Fitrah suci manusia adalah memiliki iman musyahadah kepada Allah Swt Pencipta makhluk semesta. Setelah lahir didunia, manusia menjadi buruk akibat pengaruh dari lingkungan keluarga dan masarakat. Sebagaimana keterangan dalam dalam hadis riwayat Imam Bukhari (Kitab Jawahir al-Bukhari, nomer hadis : 170), Rasulullah Saw menjelaskan :
  مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
 Tidak ada bayi yang dilahirkan kecuali diatas fitrah (kesucian). Kemudian kedua orang tuanya yang menjadikan ia yahudi, nasrani dan majusi.
Sabda Rasulullah Saw diatas dengan jelas menerangkan, bahwa akibat pengaruh dari orang tua (baik orang tua kandung, orang tua asuh, orang tua angkat atau seseorang yang dituakan oleh masarakat), manusia dapat berubah dari fitrah asalnya yang suci kepada ketidaksucian. Orang tua adalah guru dan panutan bagi anaknya, tokoh masarakat adalah guru serta panutan bagi masarakat. Baik buruknya ucapan, tindakan dan sikap orang tua atau tokoh, akan mewarnai terhadap jiwa dan pemikiran anak kandung, anak asuh, anak angkat, bahkan ummat dan masarakat. Jika ucapan, tindakan dan sikap orang tua tersinari oleh cahaya ke-Tunan-an, maka anak dan masarakat akan terbawa kedalam cahaya Tuhan. Demikian pula sebaliknya, jika ucapan, tindakan dan sikap orang tua yang tersinari cahaya kemungkaran, cahaya kekafiran atau cahaya nafsu serta iblis, maka anak dan masarakat akan terbawa kedalam kemungkaran dan kedurhakaan, bahkan bisa juga anak atau menjadi lebih mungkar serta lebih durhaka daripada orang tuanya. Pepatah mengatakan “Guru kencing berdiri, murid akan kencing berlari”. Inilah yang harus benar-benar mendapat perhatian yang sungguh-sungguh bagi orang tua maupun tokoh masarakat.
Jika sekiranya didalam jiwa orang tua atau tokoh, terdapat cahaya Tuhan, maka anak maupun masarakat wajib bersyukur kepada Allah Swt. Keselamatan generasi muda serta ummat masarakat dimasa depan dapat terwujud  dari tauladan suci orang tua. Namun, jika sekiranya jiwa orang tua, kosong dari cahaya Tuhan, maka celakalah generasi muda mendatang. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa orang tualah yang bertanggung jawab baik atau buruknya masa depan anak dan generasi muda. Dan yang sangat memprihatinkan dalam kenyataan sehari-hari disekitar kehidupan masarakat, adalah cahaya kemungkaran sering lebih tampak terpancarkan dari kaum tua. Sedangkan pancaran cahaya ke-Tuhanan dari kaum tua tampak semakin redup. Sebagai orang tua haruslah menyadari dengan sepenuh hati bahwa penyebab segala kemunduran dan kerusakan yang timbulkan oleh anak dan generasi muda adalah orang tua atau tokoh masarakat.
Didalam hadis qudsi riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim Allah Swt, (Kasyful Khifa juz II nomer hadis 1967 atau Jami’ as-Shaghir II, bab huruf “Kaf”), Rasulullah Saw bersabda : Allah Swt telah berfirman  :
  كُلُّ بَنِي أدَمَ خَطَّاؤونَ وَخَيْرُ الخَطائِيْنَ التَوَّابُونَ 
Seluruh anak cucu Adam itu penuh kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik orang yang salah adalah mereka yang bertaubat.
Seseorang tidak dapat memperbaiki atau meningkatkan kwalitas diri, kecuali terlebih dahulu ia memahami tentang kenegatifan nafsunya. Demikian pula, seorang pejuang tidak akan dapat membawa ummat masarakat kepada akhlakul karimah, selama ia tidak dapat memahami jenis-jenis akhlak yang tercela menurut Allah Swt wa Rasulihi Saw,  baik akhlak lahiriyah atau batiniyah yang ada pada setiap manusia dan masarakat.
Dalam jiwa manusia terdapat bisikan baik dan bisikan buruk. Jika bisikan baik menguasai jiwa manusia, maka baiklah manusia. Dan jika bisikan buruk yang menguasai jiwanya, maka buruklah akhlak manusia. Rasulullah Saw bersabda (HR. Bukhari)  :
 إِنَّ فِي الجَسَدِ لَمُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجِسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَ تْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ القَلْبُ  
Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal darah. Jika baik, maka baiklah jasad seluruhnya,  dan  jika  rusak,  maka  rusaklah  jasad  seluruhnya. Ketahuilah itulah hati.
Diantara bisikan buruk dalam jiwa manusia :
a.                  Watak membutuhkan dan angkuh kepada lainnya (meskipun kepada Tuhan). Jika sedang menderita, ia sangat mengharapkan pertolongan dari Tuhan atau orang lain. Namun jika telah mendapatkan pertolongan, ia kadang bersikap seakan-akan tidak pernah membutuhkan atau mendapatkan pertolongan.  Firman Allah Swt, Qs. az-Zumar :8
وَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَاكَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ للهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيْلاً إِنَّكَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ.
Ketika manusia tertimpa kesusahan, ia berdoa kepada Tuhan-Nya seraya berinaabah (sadar kembali) kepada-Nya. Namun, ketika ia telah mendapatkan ganti kenikmatan dari-Nya, ia lupa kalau ia pernah berdoa kepa-Nya. Serta membuat tandingan untuk-Nya, hingga ia tersesat dari jalan-Nya. Katakanlah (wahai Muhammad) : bersenang-senanglah kamu sebentar (dengan keingkaranmu), sesungguhnya kamu dari golongan penghuni neraka.
b.                  Watak sombong, angkuh dan egois. Kepada Tuhan-pun manusia sering bersikap kurang membutuhkan-Nya.  Firman Allah Swt, Qs. al-‘Alaq : 6 – 8  :
كَلاَّ إِنَّ الإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَءَاهُ اسْتَغْنَى. إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُجْعَى
Ketahuilah, sesungguhnya manusia melampaui batas. Ia melihat dirinya telah cukup dengan dirinya (tanpa pertolongan Allah). (padahal) Sungguh kepada Tuhanmu tempat kembali.
c.                  Suka berteman dengan setan.
Rasulullah Saw bersabda (kitab Kimya’ as-Sa’dah, Imam Ghazali) : [1]
          مَامِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَلَهُ شَيْطَانٌ وَلِي شَيْطَانٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَعَانَنِي عَلَى شَيْطَانِي حَتَّى مَلَكْتُهُ
Tidak ada dari setiap orang, kecuali baginya ada setan. Bagiku juga ada setan. Dan sesungguhnya Allah telah menolongku, hingga aku dapat menguasainya.
Rasulullah Saw bersabda : [2]
لَولاَ أَنَّ الشَيَاطِيْنَ يَحُومُونَ عَلَى قُلُوبِ بَنِي أَدَمَ لَنَظَرُوا إِلَىَ مَلَكُوتِ السَمَاء
Jika sekiranya setan tidak mengurumuni hati anak cucu Adam, niscaya mereka akan dapat melihat kekuasaan dan kebesaran Allah.

2.                Antara  Syirik  Dan  Tauhid
Pada umumnya, keimanan manusia terhadap Allah Swt dan kekuasaan-Nya masih tercampur dengan syirik (menyekutukan Allah dengan mahluk). Kekuatan mahluk (termasuk kekuatan diri sendiri) disandingkan atau disekutukan dengan kekuatan Allah Swt. Sifat ujub, riya’, sum’ah, takabbur dan su’uddzan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, tidak ridla dengan pemberian-Nya, kurang mensyukuri nikmat-Nya, bangga dengan amalnya, merupakan akibat dari jiwa yang musyrik.
Memang, manusia kurang peka dan perhatian terhadap penyakit hati (terutama syirik). Syirik, ujub, riya’ dan penyakit hati lainnya dianggapnya hal yang lumrah dan biasa. Memang hati yang sudah terbakar oleh nafsu, hati yang buta, dan hati yang hampir mati akan berpikiran demikian. Dan pula, hati yang telah mati akan menyebabkan lahirnya pemahaman terbalik. Artinya, syirik dianggap sebagai tauhid, dan tauhid dianggap sebagai syirik.
    وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan barangsiapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami (Allah) adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan menghalangi mereka dari jalan kebenaran, serta mereka (manusia) akan mengira bahwa dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. (Qs. Az-Zukhruf : 36 – 37).
Sebagai mukmin, haruslah benar-benar memahami dan memperhatikan hati dari sifat-sifat syirik. Menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (musyrik), tidak sekedar sebagai kotoran hati, namun ia merupakan najis (kotoran yang menjijikkan) hati, dan merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt serta sia-sia amal ibadah yang dilaksanakan. Salah satu ulama kaum sufi, mengatakan bahwa syirik merupakan pangkal segala penyakit hati.
Dalam mencapai iman kepada Allah Swt, diantara mukmin yang satu dengan mukmin lainnya tidaklah sama. Ada yang memiliki kadar iman yang tinggi, ada yang memiliki kadar iman yang sedang dan bahkan ada yang memiliki iman yang kadarnya sangat rendah. Sebagaimana keterangan dalam hadis, bagi mereka yang memiliki kadar iman yang tinggi, sudah tentu jiwanya peka terhadap dosa diri. Satu kali saja melakukan perbuatan maksiat, penyesalannya amatlah dalam dan hingga mereka mudah meneteskan airmata ketika memanjatkan permohonan ampunan. Demikian pula bagi mereka yang memiliki kadar iman yang rendah, sudah tentu kepekaan jiwanya-pun rendah juga. Hinga mereka tidak memiliki rasa malu apalagi rasa takut kepada Allah Swt meskipun berkali-kali melakukan perbuatan maksiat.
Diantara mereka ada yang memiliki kepercayaan kepada Tuhan sebatas keberadaan-Nya saja tanpa memahami sifat-sifat-Nya. Dan ada yang sudah memahami sifat-sifat-Nya, namun masih tertutup oleh keberadaan makhluk (termasuk dirinya sendiri). Dan ada pula yang beriman kepada-Nya, namun masih bercampur dengan musyrik (menyekutukan-Nya dengan makhluk).  Bahkan diantara manusia ada yang salah dalam menyimpulkan antara pengertian tauhid dan syirik. Tauhid dianggap syirik dan syirik dianggap tauhid (na’udzu billah).
Memang secara umum – sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an - bahwa kepercayaan seseorang terhadap keberadaan dan kekuasaan Allah Swt masih bercampur dengan pemahaman syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk). Hal ini tercermin dalam (Qs. Yusuf : 106) :
    وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهًمْ بِاللهِ اِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ : Dan tidak beriman kepada Allah kebanyakan manusia, kecuali mereka mempersekutukan-Nya.
Berlainan dengan dosa lainnya, perbuatan syirik (baik khafi/ samar maupun jali/ kentara) merupakan dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt yang tidak dapat ditaubati, kecuali dengan terbebasnya jiwa dari kemusyrikan.
  إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَنْ يشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَالِكَ لِمَنْ يَشَاءُ  
 Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa menyekutukan makhluk dengan-Nya (syirik) dan mengampuni dosa lainnya bagi yang dikehendaki-Nya. (Qs. an-Nisa’: 48)
Demikian pula pada umumnya, manusia menganggap rendah terhadap nilai dosa syirik. Dan karenanya, mereka kurang sungguh-sungguh dalam membebaskan jiwa dari belenggu kemusyrikan. Padahal dalam pandangan Allah Swt, kemusyrikan merupakan perbuatan najis (sesuatu yang menjijikkan), serta menyebabkan amal ibadah menjadi sia-sia dan tidak akan diterima oleh Allah Swt. Sebagaimana keterangan firman Allah Swt :
  يَأَيُّها الذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا المُشْرِكُونَ نَجَسٌ : Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang musyrik itu najis. (Qs. at-Taubah : 28). Dan, وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ : Dan jika mereka menekutukan Allah dengan makhluk-Nya (musyrik), maka niscaya menjadi sia-sia dari mereka sesuatu  yang telah mereka amalkan. (Qs. al-An’aam : 88).
Membebaskan jiwa manusia dari belenggu kemusyrikan merupakan salah satu pokok tugas para Nabi dan Rasul As serta merupakan perjuangan paling utama yang dilaksanakan oleh para Ghauts Ra pada setiap zaman, dan merupakan perjuangan yang paling besar kehidupan setiap mukmin.
Mengapa demikian ?.
Tidak ada tujuan dalam penciptaan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah Swt dengan niat yang bersih dan murni hanya kepada-Nya. Dengan kata lain, tujuan penciptaan manusia dan jin agar mereka beriman kepada-Nya tanpa disertai menyekutukan-Nya dengan makhluk. Firman Allah Swt, Qs. al-Bayyinah : 5 :
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِيْنَ حُنَفَاءَ
Dan mereka tidak diperintahkan kecuali beribadah karena Allah dengan membersihkan (niat) karenanya dalam beragama serta hanya condong (kepada-Nya).
Rasulullah Saw bersabda  : [3]
إِنَّ اللهَ لاَيَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَاكَانَ لَهُ خَالِصًا لَهُ وَابْتَغَى بِهِ وَجْهَهُ.
Sesungguhnya Allah tidak menerima amal, kecuali orang yang ikhlas karena-Nya serta hanya untuk meraih (kedekatan/ makrifat) kepada Dzat-Nya.
Rasulullah Saw bersabda  : [4]
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الإِشْرَاكُ بِاللهِ أَمَّا إِنِّي لَسْتُ أَقُولُ يَعْبُدُونَ شَمْسًا وَلاَ قَمَرًا وَلاَ وَثَنًا ولَكِنَّ اعْمَالاً لِغَيْرِ اللهِ وَشَهْوَةً خَفِيَةً.
Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari sesuatu yang aku khawatirkan terhadap ummatku adalah syirik kepada Allah.Sedangkan aku tidak mengatakan mereka menyembah matahari, bulan dan berhala. Akan tetapi amal yang (dilakukan) karena selain Allah dan syahwat (keinginan) yang tersembuny
 Jiwa yang bersih dari kemusyrikan, menyebabkan seseorang dapat bertemu Tuhannya Firman Allah Swt, Qs, al-Kahfi : 110 :
وَمَنْ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْـيَعْمَلْ عَمَلاً صالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Dan siapa saja yang menginginkan bertemu Tuhannya, maka kerjakanlah amal shalih serta tidak menyekutukannya dengan makhluk sedikitpun.

3.                 Arti Kata Wahidiyah.
Membebaskan jiwa manusia dari belenggu kemusyrikan merupakan inti dan pokok dalam PERJUANGAN WAHIDIYAH.
WAHIDIYAH merupakan kata dalam bahasa arab yang diambil dari kata WAAHID (Dzat Yang Maha Esa), salah satu asma Allah Swt yang sangat baik (asmaul husna). Kata WAHID, jika ditambah dengan “ya’ nisbah”, pada akhir kalimah, menjadi WAHIDIYAH yang memiliki arti pemahaman tentang ke-Esaan Allah Swt. Dengan kata lain, MENG-ESA-KAN atau me-MAHA ESA-kan Allah Swt. Dengan demikian WAHIDIYAH dapat dipahami sebagai lawan kata dari makna SYIRIK (menyekutukan Allah Swt dengan mahluk).
Wahidiyah bukanlah sebuah golongan atau aliran baru dalam Islam, sebagaimana anggapan atau asumsi dari orang-orang yang belum memahaminya. WAHIDIYAH merupakan kondisi iman seseorang yang telah terbebas dari belenggu kemusyrikan. Baik ketika beraudensi kepada Allah Swt maupun beraudensi kepada selain-Nya. Seseorang ketika berhubungan (baik untuk memohon pertolongan atau mengambil manfaat) dengan/ dari makhluk (termasuk Rasulullah Saw, al-Ghauts Ra atau makhluk lainnya), dapat dikatakan musyrik dan juga dapat dikatakan tidak musyrik (bertauhid). Tidak ternilai musyrik ketika dalam berhubungan (interaksi/ bertawassul) dengan makhluk, hati tetap meng-Esakan-Nya secara dzauqiyah. Demikian pula dikatakan sebagai musyrik, selama tidak dapat meng-Esakan Allah Swt. Demikian pula meskipun tidak berhubungan kepada mahluk (termasuk Rasulullah Saw atau Ghautsuz Zaman Ra), seseorang dapat dikatakan musyrik, selama ia meyakini bahwa munculnya kekuatan mahkuk (termasuk Rasulullah Saw atau Ghautsuz Zaman Ra) bukan atas izin Allah Swt, melainkan dari diri mahluk itu sendiri.
Bertauhid bukan sekedar pengetahuan tentang ke-ESA-an Allah Swt. Akan tetapi lebih terletak dalam rasa hati tentang ke-Esaan-Nya. Dapat meng-Esa-kan-Nya secara dzauqiyah, merupakan kondisi jiwa yang dicari oleh setiap orang dari segala golongan, agama, aliran, atau bangsa manapun juga.

Meng-ESA-kan Allah Swt, tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan cara meniadakan makhluk dari alam fikiran atau dari hati. Meng-ESA-kan Allah Swt secara sempurna tidak boleh tidak melalui makhluk. Sebab selama kita wujud baik dalam alam fana atau alam baqa, tidak mungkin bisa terbebas dari wujudnya makhluk. Diri kita, gerak-gerik lahir batin kita, lingkungan kita, alam fikiran, batin kita, dan bahkan perbuatan kita meng-ESA-kan-Nya juga termasuk makhluk.
Dengan demikian, agar dapat meng-ESA-kan Allah Swt (tidak menyekutukan-Nya dengan makhluk) atau tidak musyrik secara semestinya, sarananya adalah :
1.        Melalui makhluk. Setidak-tidaknya melalui diri dan amal perbuatan batin kita, yang juga disebut makhluk.
2.        Memahami dan menyadari dengan sepenuh hati bahwa makhluk (termasuk wujud diri dan amal kita) tidak dapat memberi manfaat atau madlaraat kepada diri sendiri atau kepada lainnya, kecuali atas izin dan kuasa Allah Swt semata.
3.        Memahami dan menyadari bahwa semua pertolongan atau kenikmatan yang kita terima, datangnya bukan dari makhluk, melainkan dari Allah Swt semata. Sedangkan makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra) hanya sebagai pintu atau sarana.
Al-Ghauts fii Zamanihi, Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra (w. 658 H) menjelaskan (kitab Thabaqatul Kubra karya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra juz II dalam bab “kisah Imam Syadzili”)  :
 وَمِنَ الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يَتَّخِذَ الأَولِيَاءَ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ
Termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah dengan mahluk), sekiranya mengambil auliya’ tanpa Allah.
4.        Mengetrapkan ajaran atau prinsip LILLAH dan BILLAH dengan sepenuh hati dan secara dzauqiyah.


Makna Wahidiyah Dalam Difinisi Para al-Ghauts Ra
1.                  Telah masyhur dalam dunia tasawuf, bahwa mukmin yang benar-benar telah me-Maha Esa-kan Allah Swt secara benar dan secara musyahadah, mereka mendapat gelar hakiki “ABDUL WAAHID : hamba dari Dzat Yang Maha Esa”.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ahmad Dliyauddin Kamasykhanawi Ra menjelaskan tentang makna Wahidiyah (Kitab Jami’al-Ushul dalam “Bayan Madlahir al-Auliya’ wa Maraatibihim fii al-Asma”) :
عَبْدُ الوَاحِدُ : هُوَ الذِي بَلَغَهُ اللهُ الحَضْرَةَ الوَاحِدِيَةَ وَكَشَفَ لَهُ عَنْ أَحَدِيَةِ جَمِيْعِ أَسْمَائِهِ, فَيَدْرِكُ مَا يُدْرَكُ وَيَفْعَلُ مَا يُفْعَلُ بِأَسْمَائِهِ وَيُشَاهِدُ وُجُودَهُ بِأَسْمَائِهِ الحُسْنَى. وَهُوَ وَحِيْدُ الوَقْتِ صَاحِبُ الزَمَانِ الَذِي لَهُ القُطْبِيَةُ الكُبْرَى بِالأَحَدِيَةِ
Abdul Wahid : adalah orang yang Allah telah menghendakinya sampai ke derajat hadlrah Wahidiyah. Dan Allah telah membukakan tabir baginya dari sinar Ahadiyah seluruh asma-Nya. Hamba ini dapat menemukan sesuatu (atas izin Allah semata) yang Dia temukan, dan melakukan sesuatu yang Dia lakukan. Dan dapat musyahadah tentang wujud-Nya dengan asma-Nya yang baik. Dialah satu-satunya hamba Allah (yang sempurna) pada waktu itu. Dialah orang yang memahami (baik buruknya) zaman. Dan yang baginya (derajat) wali quthub yang besar dengan pemahaman iman Ahadiyah.
2.                  Dan al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Gazali Ra, ketika memberi penjelasan makna surat ikhlas, mengatakan (kitab al-Madlnun Bih ‘alaa Ghairi Ahlih, Imam al-Ghazali Ra pada pasal IV dalam bab “penjelasan makna surat ikhlas”) : 
والصَمَدِيَهُ دَلِيْلٌ عَلَى الوَاحِدِيَةِ وَالآحَدِيَةِ. فَالوَاحِدُ نَفْيُ الشَرِيْكِ فَالأحَدُ نَفْيُ الكَثْرَةِ فِي ذَاتِهِ الصَمَدُ المُحْتَاجُ إِلَيْهِ غَيْرُهُ
Shamadiyah (ketergantungan hamba kepada Allah meskipun berinteraksi makhluk), merupakan bukti kepada tauhid Wahidiyah dan Ahadiyah. Makna al-Wahid, adalah ketiadaan sekutu (bagi-Nya), sedangkan makna al-Ahad, adalah ketiadaan jumlah (susunan) didalam Dzat-Nya,(yang menjadi) tempat bergantungnya makhluk, dan yang selain diri-Nya berhajat kepada-Nya.
3.                  Al-Ghauts fi Zamanihi Syekh Abdul Karim al-Jilliy Ra (w. 826 H) menjelaskan tentang makna iman Wahidiyah (kitab al-Insan al-Kamil fii Ma’rifah al-Awail wal Awakhir, juz I dalam bab “pendahuluan”) :
  والنَاظِرُ فِي مِرأَة هَذَا الاِسْمِ ذَوْقًا يَكُونُ عِنْدَهُ مِنْ عُلُومِ التَوْحِيْدِ عِلْمُ الوَاحِدِيَّةِ  
Dan  orang  yang hatinya dapat memandang (kepada Allah Swt) dalam cermin makhluk  ini dengan dzauqiyah (rasa hati), maka orang tersebut memiliki beberapa ilmu tauhid, yaitu ilmu Wahidiyah.
4.                  Al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Kamskhanawi Ra dalam kitab Jami’ al-Ushul, bagian mutammimat  pada bab “shad dan dha”, menjelaskan :  
صُوَرُ الحَقِّ هُوَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِتَحَقُّقِهِ بِالحَقِيْقَةِ الأَحَدِيَةِ وَالوَاحِدِيَةِ
Yang dinamakan Citra al-Haq: adalah Nabi Muhammad Saw, yang telah membuktikan dengan semestinya tentang hakikat maqam Ahadiyah dan Wahidiyah.
ظِلُّ الإلَهِ هُوَ الإِنْسَانُ الكَامِلُ المُتَحَقِّقُ بِالْحَضْرَةِ َالْوَاحِدِيَة
Payung Tuhan (untuk makhluk/ dalam bumi) adalah manusia sempurna  yang telah dapat menyatakan maqam hadhrah Wahidiyah.
5.                  Al-Ghauts fi Zamanihi Syekh Abdul Wahhab Sya’rani  Ra dalam, menerangkan  : [5]
الوَاحِدُ يَتَعَدَّدُ بِالمَظَاهِرِوَالآحَدُ لاَبَتَعَدَّدُ لأَنَّهُ خُلاَصَةالوَحِدُ فَإِذَا تَعَدَّدَالوَاحِدُ تَنْزِيْلٌ لِكَمَالِالدَائرَة وَإِذَا تَكَمَّلَتْ صَارَتْ حَقِيْقَةَ وَاحِدِيَةً أَحَدِيَةً لِجَمِيْعِ الدَوَائِر فَهَذِهِ خَلاَصَةُ الحَقَائِقِ فَمَنْ صَدَقَ اللهَ وَحَدَهُ اللهُ فَصَارَوَاحِدًاعَارِفا بِاللهِ وَللهِ.
Al-Wahid, dalam penampakannya pada makhluk menunjukkan jumlah bilangan. Sedangkan al-Ahad tidak menunjukkannya. Karena al-Ahad merupakan ringkasan dari al-Wahid. Ketika al-Wahid menunjukkan jumlah bilangan, maka turunnya (sinar) al-Wahid bertujuan untuk kesempurnaan seluruh wujud. Ketika keberadaan wujud telah sempurna, maka wujud ini sebagai hakikat Wahidiyah dan Ahadiyah yang merupakan ringkasan seluruh hakikat wujud. Barang siapa yang dibenarkan (agamanya) oleh Allah, maka Allah memberinya (ilmu) tauhid. Serta Allah menjadikannya sebagai satu-satunya hamba yang sadar Billah dan Lillah.
Dikatakan syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika seseorang mengambil makhluk sebagai penolong, dengan anggapan pertolongan tersebut datangnya dari makhluk tersebut, dan bukan dari Allah Swt.
Firman Allah Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44  :
أَمِ اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قل أَوَلَوْ كَانُوا لاَ يَمْلِكُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا  لَهُ مُلْكُ السَمَوَاتِ وَالاَرْضِ ثُمَّ اِلَيهِ تُرْجَعُونَ
Apakah  mereka  mengambil  penolong-penolong selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu mengambil syafaatnya juga), padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan tidak memiliki akal?.
Katakanlah : hanya kepunyaan Allah semua syafa’at [6] (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.


4. Pengamalan Wahidiyah

AJARAN WAHIDIYAH merupakan bimbingan praktis yang disusun oleh Hadratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, untuk memudahkan pelaksanaan prinsip-prinsip iman, Islam dan ihsan.[7]
Perlukah saat sekarang adanya bimbingan (system baru) lagi dalam meningkatkan keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, padahal telah ada beberapa bimbingan sebelumnya ?. Jawabnya : SANGAT PERLU.
Dikatakan sangat perlu, karena telah terlupakannya iman WAHIDIYAH dari ingatan dan pemikiran para tokoh agama dan golongan (kususnya tokoh dan golongan Islam), apalagi mengamalkan dan memperjuangkannya. Dan, banyak juga kalangan yang salah anggapan atau salah asumsi tentang WAHIDIYAH dan Ahadiyah. Diantara mereka ada yang berasumsi bahwa ajaran Wahidiyah merupakan ajaran yang sesat (keluar dari Islam). Diantara mereka ada yang menganggap bahwa WAHIDIYAH merupakan ajaran Islam kelas tinggi yang hanya dikhususkan untuk para ulama dan waliyullah saja.
Dengan kondisi semacam inilah yang menyebabkan Hadratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah bangkit untuk memperjuangkan iman WAHIDIYAH dengan cara yang mudah dan simpel untuk dipahami dan diamalkan.
Dengan demikian, AJARAN WAHIDIYAH jangan dipahami sebagai tandingan terhadap macam-macam bimbingan (system/ cara/ metode/ tarekat/ sunnah) yang sudah ada, apalagi tandingan terhadap sunnah rasul. Bimbingan praktis tersebut dimaksudkan agar sunnah rasul baik yang berhubungan dengan aqidah, akhlak maupun ubudiyah lahiriyah dan muamalat dapat terlaksana secara baik dan secara semestinya.
Rasulullah Saw dalam hadis menganjurkannya. Rasulullah Saw bersabda : [8]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ  مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزَرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.

Anjuran Rasulullah Saw tersebut ditujukan kepada ulama yang diberi kemampuan oleh Allah Swt, agar dapat menyusun sebuah system (kurikulum/ tarekat/ sunnah) yang baik dan benar, untuk disesuaikan dengan kondisi zaman hingga mudah membawa ummat masarakat kedalam kehidupan yang diwarnai dengan iman, Islam dan ihsan.
Dan anjuran Rasulullah Saw itulah yang dilaksanakan oleh Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, dengan menyusun AJARAN WAHIDIYAH. Beliau Muallif Qs wa Ra mensistematikkan penjelasan iman WAHIDIYAH dalam bentuk yang lebih ringkas, lebih sederhana namun sesuai dengan aslinya. Beliau Qs wa Ra juga membimbing langsung setiap pengamal Wahidiyah, bagaimana cara menerapkan iman, Islam dan ihsan.
Dengan demikian, agar dapat terbebas dari belenggu syirik dengan mudah, mengamalkan Wahidiyah hukumya wajib. Hukum wajib disini, bagi siapapun orangnya dari pria wanita, tua muda, bangsa dan golongan manapun tanpa padang bulu. Sedangkan asal hukum mengamalkan shalawat Wahidiyah, adalah sunnah.
Dan alhamdullillah - sebagai tahaddus binni’mah - atas bimbingan dan pancaran radiasi batin Beliau Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, pangamal Wahidiyah dapat merasa lebih mudah ingat kepada Allah wa Rasulihi Saw, rasa cinta kepada Rasulullah Saw dari tahap demi tahap terasa semakin meningkat, semakin terasa ringan dalam mengamalkan dan meningkatkan ibadah, semakin tenang dan tentram hatinya, semakin mudah mengoreksi dosa-dosanya, dosa kepada Allah Swt, dosa kepada Rasulullah Saw, dosa kepada diri sendiri, dosa kepada keluarga, kepada ummat dan masarakat dan bahkan dosa kepada sesama mahluk jamial ‘alamin.
Disamping membirikan bimbingan,  Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, juga memberikan sebuah doa berupa Shalawat Wahidiyah agar ummat masarakat tanpa pandang bulu, terutama diri sendiri dan keluarga, mendapat hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw dan barakah karamah serta doa restu para waliyullah, khususnya Ghauts Hadzaz Zaman Ra, hingga dengan mudah dapat mengetrapkan iman Wahidiyah, mendapatkan barakah dalam kehidupan keluarga dan rumah tangganya, serta mendapatkan barakah lingkungan dan masarakatnya.
Demikian pula Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzarah, bersifat melanjutkan perjuangan Mbah Yai Qs wa Ra serta para al-Ghauts Ra terdahulu, serta lebih teratur dalam system pelaksanaan iman, Islam dan ihsan secara berjamaah.

Ajaran WAHIDIYAH juga menjelaskan adanya Ghauts Hadzaz Zaman Ra. Hanya satu orang dalam setiap waktu yang menduduki jabatan al-Ghauts. Ketika Beliau Ra wafat Allah Swt akan mengangkat penggantinya untuk menduduki jabatan ruhani tersebut. Beliau Ra sebagai pembimbing ruhahi bagi setiap manusia dalam menuju sadar kembali kepada Allah Swt dan kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana prinsip yang lazim dalam lingkungan para kaum sufi, bahwa agar seseorang tidak dibelokkan oleh iblis dalam menyempurnakan iman dan makrifat kepada Allah wa Rasulihi Saw, diperlukan adanya seorang pembimbing dan Guru Ruhani.

5.    Keberadaan Guru Ruhani
Dalam memahami sesuatu yang belum pernah dipahami sebalumnya, manusia memerlukan guru/ intruktur/ informan. Jika sesuatu tersebut dalam penjelesannya perlu diperagakan, guru/ inbtruktur Setiap orang yang ingin wushul kepada Allah, wajib memiliki guru ruhani yang membimbing dan yang diridlai oleh Allah Swt. Dalam memahami keberadaan Allah Swt, tanpa dibimbing oleh Gurru Ruhani Yang Kamil, sudah tentu dibimbing oleh setan.
Firman Allah Swt, Qs. al-Furqan : 59 :  الرَحْمَنُ فَسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا: Allah Yang Maha Penyayang, bertanyalah tentang-Nya kepada orang yang memahami-Nya.
Firman Allah Swt, Qs  :   : فَاسْئَلُوا أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ  : bertanyalah kepada para ahli dzikir, sekiranya kamu semua tidak mengetahui
Syeh Abu Yazid Basthami Ra berfatwa :
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَيْطَانُ.  وَقَالُوا :  مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَيْطَانُ
Barang siapa tidak memiliki guru ruhani, maka setanlah imamnya. Dan para guru kaum sufi berkata : Barang siapa tidak memiliki guru ruhani, maka gurunya adalah setan. [9]
            Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani mewasiatkan :
          المُرِيْدُ ِذَا مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ
            Murid, ketika Syeh (guru rohani)-nya mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh Pengganti untuk membimbingnya.[10]
al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Muhammad Wafa Ra (w. 801 H) menjelaskan : [11]
  مَنْ لَيْسَ لَهُ أُسْتَاذٌ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى وَمَنْ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى فَالشَيْطَانُ مَوْلَى لَهُ 
Barang siapa tidak memiliki guru, maka ia tidak ada pembimbing bagi dirinya. Dan barang siapa tidak ada pembimbing maka setenlah pembimbingnya.
            Amat penting memiliki guru ruhani. Bahkan bagi orang yang ilmu agamanya sangat luas, selama ia belum mencapai derajat al-Ghauts, wajib baginya mencari guru ruhani. [12]
          لاَبَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ اَنْ يَقْنَعَ بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَا الوَاجِبُ عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ  بِاَهْلِ الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك (كُدُورَاتِ الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ كَامِلٍ عَالِمٍ  فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فِي بِلاَ دِهِ اَوْ اقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
             Tidak patut bagi orang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya. Kecuali ia telah menjadi Wahiduz Zaman  pada waktu itu. Bahkan ia wajib bagi mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia ditunjukkan kearah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah kekuasaan dan bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan apabila didaerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia wajib pergi menuju daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.[13]
وَمِنْ شَأْنِهِ إِذَا لَمْ يَجِدْ أَحَدًا يَتَأَدَّبُ بِهِ مِنَ الشُيُوخِ أَنْ يُهَاجِرَ مِنْ بَلَدِهِ إِلَى مَنْ هُوَ مَنْصُوبٌ لإِرْشَادِ النَّاسِ فِيْ ذَالِكَ الزَمَانِ وَلَوْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ مَسِيْرَةَ عَامٍ, فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ السَفَرُ جَزْمًا.
Diantara hal harus diperhatikan bagi murid (orang yang belum makrifat), jika didaerahnya tidak ada seseorang yang membimbingnya (sebagaimana bimbingan dari Syaih/ Guru ruhani dalam makrifat), maka wajib baginya hijrah dari daerahnya kepada daerah yang disita terdapat seseorang yang dapat membimbing manusia pada zaman itu, Walaupun jarak antara dirinya dan Guru tersebut demikian jauh (memerlukan perjalanan 100 tahun). Sesungguhnya wajib bagi mereka berangkat menuju daerah Guru Ruhani tersebut.[14]
Namun, Allah Swt dan Rasul-Nya memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh tentang penyakit hati .
Rasulullah Saw bersabda : [15]
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةَ المُضِلِّون   
Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Allah Swt berfirman Qs. Al-Kahfi : 28 :
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku, orang tersebut mengikuti hawa nafsunya, dan memanglah melampaui batas.
            Demikian penting dan dominannya peranan guru ruhani dalam meningkatkan dan meluruskan iman kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Namun, juga sangat menakutkan akibatnya jika berguru orang yanmg tersesat.
            Ciri-ciri Guru Ruhani yang dapat diikuti, antara lain orang yang  :
1.             Hidupnya hanya mencari keridlaan Allah Swt.
2.             Hatinya tidak terpengaruh hiasan dunia.
Firman Allah Swt, Qs. Al-Kahfi : 28 :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدوآةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَالحَيَاةِ الدُنْيَا.
Sabarlah (tetap) bersama orang-orang yang memanggil Tuhan mereka diwaktu pagi dan petang. Dan yang mengharapkan Dzat-Nya. Dan janganlah kamu memalingkan pandanganmu dari mereka, hanya karena engkau menginginkan keindahan dunia.
3.             Jiwanya telah ber-inaabah [16] kepada Allah Swt.
Firman Allah Swt, Qs. Luqman : 15 :  وَاتَبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ: Dan ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat kamu kembali.
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mengikuti Guru Ruhani yang telah ber-inaabah (telah sadar kembali kepada Allah Swt), akan mendapatkan manfaat utama, yakni wushul dan makrifat kepada Allah Swt.
Arti dan makna ayat diatas diperkuat lagi oleh sabda Rasulullah Saw :[17]
كُنْ مَعَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ
Jadilah kamu bersama Allah. Jika tidak mampu, bersamalah dengan orang yang bersama Allah. Sedsungguhnya orang tersebut akan mengantarmu sampai kepada Allah, sekiranya kamu bersamaqnya.
4.             Dapat mengantar murid dekat kepada Rasulullah Saw.
            Al-Ghauts fii Zamnihhi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra menjelaskan  :[18]
ومِنْ عَلاَمَةِ صِدْقِهِ فِي تِلْكَ الطَّرِيْقِ إِجْتِمَاعُهُ بِالنَّبِى صَلَّى اللهُ عَلِيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ (كَمَاذَكَرْنَاهُ), فَإِنْ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ بِهِ جَمْعِيَّةً هُوَ بَطَّالٌ
Dan dari tanda-tanda benarnya seseorang dalam thariqahnya, adalah pertemuannya dengan Nabi Muhammad Saw (sebagaimana yang telah kami jelaskan).[19] Maka jika dengan thariqahnya tersebut, ia tidak berhasil bertemu Rasulullah, maka ia tertolak/ batallah (sebagai guru demikian pula tarekatnya). 
5.             Menselaraskan antara pelaksanaan syariat dan hakikat. Meningkatnya iman murid kepada Allah Swt serta cinta kepada Rasulullah Saw.


6.                Kitab-Kitab Terdahulu
Kitab-kitab yang telah ditulis oleh para Ulama Arif Billah yang telah membahas tentang iman WAHIDIYAH (me-MAHA ESA-han Allah Swt), antara lain :

1.                  Kitab al-Madlnuun Bih ‘ala Ghairi Ahlih, karangan Imam al-Gazali Ra (al-Ghauts fii Zamanihi).[20]
2.                  Kitab Jami’ al-Ushuul fil Auliya’, karangan al-Mujaddid al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ahmad Kamasykhanawi Ra.[21]
3.                  Kitab at-Ta’rifat, karangan Syeh Ali al-Jurjani.[22]
4.                  Kitab Thabaqatul Kubra, karangan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra.[23]
5.                  Kitab Siyrus-Salikiin, karangan Syeh Abdus Shamad al-Falinbani Ra.[24]
6.                  Kitab al-Insaan al-Kamil fii Ma’rifah al-Awakhir wal Awaail, karangan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Karim al-Jilliy Ra.[25]
7.                  Kitab Asaraar al-Insaan fii Ma’rifah ar-Ruuh wa ar-Rahmaan, karangan Syeh Nuruddin ar-Raniri.[26]
8.                  Kitab Afdlalus Shalawat ‘alaa Sayyid as-Saadaat, tulisan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani Ra.
9.                  Kitab Durrat al-Asraar wa Tuhfat al-Abrraar, tulisan Syyeh Muhammad bin Abi Qasim al-Humairi. [27]
10.             Dan masih banyak kitab dan buku yang lainnya.

Demikianlah beberapa nama kitab yang menjelaskan tentang iman WAHIDIYAH dan Ahadiyah dan yang telah dikarang oleh para al-Ghauts Ra sebelum Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Wahidiyah bukan aliran baru yang diada-adakan oleh Perjuangan Wahidiyah.
2.      Wahidiyah merupakan tingkatan keimanan seseorang dalam memahami ke-ESA-an Allah Swt.
3.      Sebagai lawan kata dari makna syirik. Seseorang yang hatinya telah terbebas dari kemusyrikan, dapat disebut sebagai Pengamal Wahidiyah.
Sedangkan Shalawat Wahidiyah merupakan sebuah alat atau doa untuk memohon taufiq dan hidayah kepada Allah Swt, dan syafaat tarbiyah Rasulullah Saw, serta barakah karamah nadhrah dan doa restu Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar seseorang yang mengamalkannya diberi oleh Allah Swt kesempurnaan iman tentang ke-Esaan-Nya secara musyahadah.

Dan alhamdullah - sebagai tahaddus binnikmah - sepulang Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra, Allah Swt semakin menampakkan kemampuan Beliau Hadratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo dalam membawa dan membimbing pengamal Wahidiyah untuk meningkat dalam segala bidang, baik lahiriyah maupun batiniyah, syariat dan hakikat, intelektual dan sepiritual. Demikian pula, berkat bimbingan Beliau Ra banyak pengamal Wahidiyah yang dapat bertemu kepada Rasulullah Saw baik secara mimpi atau jaga. Semua terjadi atas izin Allah Swt, syafaat Rasulullah Swt belaka.
Untuk mengakhiri pembahasan ajaran Wahidiyah serta agar tidak berhenti pada pembahasan saja, mari kita mengadakan penghormatan kepada Beliau Ghauts Hadzaz Zaman Ra,[28] dengan adab lahir batin yang setepat-tepatnya.
Al-Fatihah                                                                 x 1
Yaa Syaafial Khalqis Shalaatu was Salaam         x 1
Yaa Sayyidii Yaa Rasulallah                                  x 3
Yaa Ayyuhal Ghautsu Salaamullah                      x 1
Al-Fatihah                                                                 x 1




يا سَـيِّدِي يَأَيُّهَاالغَـوْثُ
 













[1].    Kitab Kimya’ as-Sa’aadah-nya Imam al-Ghazali Ra. Hadis yang sepadan arti diriwayatkan oleh Syeh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H) dalam kitabnya al-Ghunyah, juz I dalam bab “al-Itti’adz bi Mawa’idz al-Qur’an wal al-Faadz an-Nabawiyah”, juz I pada pasal ke 5.
[2].    Kitab Muhtashar Ihya, Imam Ghazali, bab 21 dalam pasal II, dan kitab Awarif al-Ma’arif –nya Imam Syihabuddin Suhrawardi, dalam bab II.
[3].     HR. Imam Nasai dari Abu Umamah (kitab Jami’ as-Shaghir, juz I dalam bab “alif dan nun”).
[4].     HR. Ibnu Majah dari Syaddad Ibn Aus (Kitab Jami’ as-Shaghir, juz I dalam bab “alif”).  Imam Suyuthi mengatakan bahwa hadis ini berderajat dla’if. Namun karena banyak keterangan dari al-Qur’an dan hadis lain yang mendukung maknanya, maka secara tersurat derajat hadis ini naik kepada hasan lighairihi, sedangkan secara tersirat maknanya shahih.
[5].    Kitab Thabaqat al-Kubro, juz II, dalam manaqib ke : 315.
[6]     HR. Thabrani (Ibnu Umar) dan riwayat Abu Nuaim serta Baihaqi (Abu Hurairah)Rasulullah Saw bersabda :   المَقَامُ المَحْمُودُ الشَفَاعَةُ : Kedudukan yang terpuji (bagi Rasulullah) adalah syafaat. Dalam kitab Jami’ as-Shagir, juz II, pada bab “miim”. Hadis ini hasan dan shahih.
Tentang arti syafa’at Rasulullah Saw, dalam kitab Dalil al-Falihin-nya Syeh Muhammad Ibn ‘Alan al-Makkiy (w. 1058 H), juz II, dalam bab “as-Syafa’ah”, Imam ar-Raziy berkata  :
وَأَصْلُهَا الشَفْعُ ضِدُّ الوِتْرِ كَأَنَّ صَاحِبَ الحَاجَةِ كَانَ فَرْدًا فَصَارَ صَاحِبُ الشَفْعِ لَهُ شَفْعًا أَيْ صَارَ زَوْجًا
Dan asalnya makna syafa’at itu “genap” kebalikan “ganjil”. Sehingga, sesungguhnya, orang yang menghajatkan syafa’at itu, seakan-akan seorang diri, maka pemilik syafa’at akan menjadi penggenap bagi orang itu. Yakni, menjadi pendamping hidup.
Dan dalam kitab Sa’adah ad-Daraini nya Syeh An-Nabhani, dalam bab 5, tentang syafaat Rasulullah Saw, yang menukil dari fatwa Imam Ghazali   :
    أنَّهَا نُورٌ يُشْرَقُ مِنَ الحَضْرَةِ الاِلَهِيَةِ عَلَى جوهَرِ النُبُوَّةِ وَيُنْشَرُ مِنْهُ عَلَى كُلِّ جَوُهرٍ
Sesungguhnya, syafa’at itu merupakan NUR dari keharibaan Tuhan kepada diri Nabi. Kemudian dari Nabi, NUR itu dipancarkan kepada seluruh mahluk.
Penjelasan yang sama, juga dijelaskan dalam kitab Jami al-Ushul-nya Syeh Kamsykhanawi Ra dalam “Bayan as-Syafaah”
[7].       Seorang mukmin, yang muslim dan yang muhsin adalah orang yang taat beribadah kepada Allah Swt serta tidak (syirik) menyekutukan-Nya dengan mahluk.
[8].    Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”.  Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.
            Berkaitan dengan kata SUNNAH dalam hadis diatas, dalam kitab Tanwiirul Hawaalik alla Syarhi Muwattha’ Malik tulisan Syeh Jalaluddin Suytuthi, diterangkan bahwa Syeh Ibnu Muhdi (termasuk pembesar ulama Hijaz setelah Imam Malik) mengatakan : Syeh Sufyan Tsauri adalah imam dalam hadis tapi bukan dalam sunnah. Dan Syeh al-Auzaiy adalah imam dalam sunnah, tapi bukan dalam hadis. Sedangkan Imam malik Ibn Anas adalah imam hadis dan sunnah. Dan Imam Ibnu Shalah juga mengatakan : seorang ulama itu kadang alim dalam hadis, tapi tidak alim dalam sunnah.
            Selain hal tersebut Imam Suyuthi dalam keterangan selanjutnya menjelaskan; bahwa Imam Malik Ibn Anas (pendiri madzhab Maliki, w. 158 H) setiap malam bertemu dengan Rasulullah Saw. 
[9].    Kitab Jami’ al-Ushul  fil Auliya’-nya Syeh Kamsykhanawi, pada bagian ‘”mutammimaat”  dalam “bayaan washiyatul muriidiin”.
[10].   Kitab al-Anwar al-Qudsiyah-nya al-Ghauts fi Zamanihi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, Ra (w. 973 H), dalam bab “adabul murid”).
[11].   Kitab Tbaqatul Kubra-nya Imam Sya’rani, juz II dalam kisah “Syeh Ibnu Makhala” dan Syeh Muhammad Wafa”.
Diterangkan, bahwa Syeh Muhammad Wafa adalah murid dari al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Daud Ibnu Makhala Ra. Syeh Wafaa Ra adalah al-Ghauts yang tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis karena matanya buta sejak umur 4 tahun. Meski demikian daya ingatnya cukup kuat, hingga ilmu yang diterimanya hanya melalui pendengaran. Lain itu pula sejak umur enam tahun beliau sudah tampak karamahnya.
[12].   Malikat saja yang tidak pernah berbuat maksiat, masih diperintahkan agar berguru kepada Nabi Adam As. Lebih lagi manusia seperti kita yang berlumuran dosa. Lihat penjelasan al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (w. 565 H) dalam kitabnya al-Ghunyah juz II bab “Maa Yajibu ‘ala al-Mubtadi”, yang menjelaskan : فَصَارتِ المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ الأشْيَاِ كُلِّهَا : Malaikat menjadi murid Nabi Adam, dan Nabi Adam sebagai guru malaikat. Dan Adam mengajarkan  nama-nama segala sesuatu secara keseluruhan.  
            Penjelasan yang sama juga diterangkan oleh Syeh Jalaluddin Suyuthi dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi, juz II, dalam Kitab al-Ba’tsi pada bahasan “irsaaluhu ‘alal malaik” bagian “khatimah” :
        أَنَّ آدَمَ أَرْسَلَ إِلَى المَلاَئِكَةِ لِيُنَبِّئئَهُمْ بِمَا عَلِمَ مِنَ الأَسْمَاءِ  : Sesungguhnya Nabi Adam diutus kepada para malaikat agar mendidik mereka tentang pengetahuan nama-nama segala sesuatu. Imam Suyuthi juga menerangkan bahwa pemahaman seperti ini sebagai ketentuan Imam Syafi’i Ra.
[13].   Kitab Tanwir al-Qulub Syeh Amin al-Kurdi, hlm 362.
[14]. Kitab al-Anwaarul Qudsiyah-nya al-Ghauts fii Zamaanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam bab I, pada bahasan ke 19.
[15].   Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
[16]. Inabaah adalah : رُجُوعُ الكُلِّ إِلَى مَنْ لَهُ الكُلُّ : menembalikan segalanya kepada pemilik segalanya. Kitab “at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali al-Jurjani, bab alif. 
Rasulullah Saw bersabda : إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ الإِنَابَةَ   Sesungguhnya diantara kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi inaabah.  (Kitab Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif).
[17]. Kitab Khaziinah al-Asraar Jaliilah al-Adzkaar-nya Syeh Muhmnad Haqqi an-Naazili, dalam bab “washiyah Suhrawardi. Imam Suhrawardi (penulis kitab Awarif al-Ma’arif), adalah seorang sufi yang ahli dalam hadis serta memiliki  sanadnya yang bersambung sampai kepada Rasulullah Saw
[18]. Kitab al-Anwarul Qudsiyah, dalam bab “Sanaddul Qaum”.
[19]. Keterangan sebelumnya menjelaskan pertemuan kepada Rasulullah Saw secara ruhani dengan jaga dan bertatap muka. Sudah tentu hal ini tidak dapat dipahami kecuali olah orang yang mengalami.
[20].   Lihat kumpulan kitab kecil yang ditulis oleh Imam al-Ghazali, yang tersusun dalam Majmu’ah Rasaail lil Ghazali, terbitan Darul Fikri, Bairut. Dalam kitab al-Madlnuun Bih ini, ketika memberikan keterangan makna surat Ikhlash, Imam Ghazali menjelaskan tentang Iman Wahidiyah dan iman Ahadiyah.
[21].   Dilihat dari isi yang terkandung dalam kitab ini, menunjukan bahwa Penulis kitab ini sebagai pengamal tarekat syadzaliyah dan naqsyabandiyah, dan sekaligus sebagai tokoh kaum sufi yang benar-benar telah memahami sistem dan metode yang terdapat dalam setiap tarekat sufi.
Dan didalam kitab ini dibahas tentang difinisi-difinisi dan istilah yang mashur dalam lingkungan kaum sufi dan ulama ushul fiqh, serta membahas keberadaan para auliyaillah dan al-Ghauts Ra. Beliau Ra membeberkan tentang makna iman Wahidiyah dan Ahadiyah secara panjang lebar dalam bab “Bayan Madhahir al-Auliya’ wa Maraatibihim fil Asma’ al-Ilaahiyah”, dan pada bagian “Mutammamaat”
[22].   Penulisnya adalah ulama sufi yang ahli dalam bidang bahasa arab (ilmu nahwu, sharaf, balaghah, ilmu badi’ dan ilmu ma’ani). Didalamnya menerangkan ensiklopedi kata-kata atau istilah-istilah yang mashur dalam Islam, termasuk diantaranya tentang iman Wahidiyah. 
[23].   Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani adalah ketua ulama Madzhab Syafi’i di Mesir waktu itu (lihat kitab Mizan al-Kubra yang membahas perbandingan madzhab dalam ilmu fiqh, tulisan Syeh Sya’rani  juga). Didalam kitab ini diterangkan tentang tingkatan tauhid dan keimanan mukmin, yang diantaranya maqam Wahidiyah dan Ahadiyah, dan pula sejarah para pembesar kaum sufi dan waliyullah pada zaman sebelum kehidupan Syeh Sya’rani Ra serta nasehat-nasehatnya.
[24].   Kitab ini berbahasa melayu kuno sebagai syarah dari kitab Minhajul ‘Abidin karangan Imam al-Ghazali Ra. Ketika membahas tentang nafsu muthmainnah, dibahas juga tentang iman Wahidiyah. 
[25].   Kitab ini terdiri dari 2 juz. Dan ilmu Wahidiyah, dibahas secara panjang lebar pada juz I dalam pasal 6, serta dalam bab muqaddimah.
[26].   Syeh Nuruddin ar-Raniri berasal dari daerah Ranir India. Kemudian menjadi mufti di kesultanan Aceh Darus Salaam. Kitab ini ditulis dengan bahasa melayu kuno.
[27].      Dalam kitab ini membahas metode dzikir dan tarekat yang diajarkan oleh Imam Abuk Hasan as-Syadzili Ra. Dan dalam bab I diterangkan bahwa guru Imam Syadzili Ra ( Syeh ‘Izzudin bin Abdis Salam al-Masyisy Ra) adalah al-Ghaus fii Zamanihi. Kepada Imam Syadzili, Syeh Masyisiy berpesan agar ia tinggal dan menetap di Maroko, karena didaerah ini kamu akan memperoleh ilmu yang sempurna tentang dunia dan akhirat. Kemudian segera pindah ke Mesir, karena nanti disana kamu  akan diangkat oleh Allah Swt sebagai al-Ghauts.
[28].         Tentang pengalaman ruhani yang diperoleh pengamal Wahiidiyah, dapat dilihat dalam buku “Shalawat Wahidiyah Dan Pengalaman Ruhani”  terbitan Perjuangan Wahidiyah Pusat . 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar