YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
I. 01. 317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
031.01.317 - AJARAN WAHIDIYAH
I. 01. 317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
031.01.317 - AJARAN WAHIDIYAH
Bahasan 2
GHAUTSIYAH
PENOLONG DAN
PEMBIMBING ZAMAN
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَفْسَ
عَنِ الهَوَى. فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَاْوَى.
Dan adapun orang yang takut kepada maqam
Tuhannya serta menahan jiwa dari hawa nafsu. Maka sungguh surga sebagai tempat
tinggalnya
(Qs. an-Naazi’aat : 40 – 41).
Jika mukmin mohon
pertolongan dan bantuan kepada selain Allah Swt (baik kepada manusia atau
makhluk lainnya), sifatnya melaksanakan perintah-Nya. Firman Allah Swt, Qs.
al-Maidah : 2
تَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ
وَالعُدْوَانِ
Tolong menolonglah kamu semua diatas
jalan kebeikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan
permusuhan.
Carilah
pertolongan dengan kesabaran dan shalat. Dan sesungguhnya sabar dan shalat itu
amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.
مَنْ
ذَا الذِي يَشْفَعُ عِـنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Siapakah
yang dapat memberi syafaat (pertolongan) disisi Allah tanpa izin-Nya.
Dari ketigaa
ayat yang terakhir dapat ditarik pemahaman, bahwa semua mahluk dapat memberi
pertolongan, setelah mendapat izin Allah Swt. Tanpa izin-Nya mahluk bersifat
nisbi dan majazi (imitasi). Dan pada pula
masih dapat dipertanyakan, kekuatan mahluk yang digunakan untuk menolong
dirinya atau yang lain dari Allah Swt
atau dari mahluk itu sendiri ?. Jawabannya sebagaimana firman -Nya, Qs,
al-Anfal : 17 : [2]
وَمَا رَمَيْتَ اِذْ
رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى
Tidaklah
engkau yang melempar, ketika engkau melempar, akan tetapi Allah-lah yang
melempar.
Dengan arti
lain, tidaklah mahluk menolong ketika ia menolong, tetapi Allah-lah yang
menolong.
Ayat ini dapat ditarik pemahaman bahwa kekuatan yag menghasilakn
pertongan itu pada hakikinya tunggal, milik Allah belaka. Sedangkan kekuatan
yang ada pada mahluk merupakan kekuatan yang terpancar dari Allah Swt semata.
Tanpa pancaran dari Allah Swt mahluk tidak berdaya.
Dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas Ibn
Malik, dijelaskan, bahwa ketika
menjalang keberangkatan mi’raj ke langit, malaikat Jibril (mahluk-bukan
Khaliq)), atas perintah Allah SWT, meningkatkan (jallaab) iman Rasulullah SAW.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
فُرِجَ
عَنْ سَقْفِ بَيْتِي وَأَنَابِمَكَّةَ, فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَفَرَجَ صَدْرِي ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ جَاء بِطَسْتٍ
مِنْ ذَهَبٍ مُمْتَلِئٍ حِكْمَةً وَإِيْمَانًا فَأَفْرَغَهُ فِي صَدْرِي ثُمَّ
أَطْبَقَهُ
Atap rumah-Ku terbuka, saat itu Aku berada
di Makkah. Jibril turun dan membelah dada-Ku. Kemudian mencucinya dengan air
zamzam. Kemudian didatangkan satu bejana yang terbuat dari emas, yang berisi hikmah
dan iman. Lalu (iman dan hikmah) dituangkan kedalam dada-Ku,
kemudian (dada-Ku) ditutupnya kembali”.
Perbuatan Jibril AS “menuangkan” iman dan hikmah kedalam dada Rasulullah SAW,
dapat dikatakan perbuatan Jalllab. Yang secara lahiriyah dilakukan oleh
mahluk (Jibril As). Kesimpulan ini, salahkah menurut MUI Kota Tasikmalaya ?. Jika
salah, apa dan dari mana dasarnya ?.
Beberapa
contoh dalam kehidupan :
1)
Dalam
lingkungan masyarakat serta keberadaan benda-benda dalam alam ini, Allah Swt
menghendaki adanya keadaan "ter" atau "paling",
.... rendah, ..... tinggi, ....
kecil, ..... besar, ....... kuat, ..... lemah, dsb. Hingga ada manusia terkaya/
termiskin, teratas/ terendah, dll.
2)
Dalam sosial
masarakat - agar kehidupan dapat tertata dengan damai - mengharuskan adanya
seorang pemimpin (kepala suku, raja, presiden, perdana menteri dll.) sebagai
pusat pengaturan dan kekuasaan.
3)
Dalam setiap
lingkungan masyarakat, terdapat markas/ kantor sebagai tempat pusat pengaturan
atau kekuasaan. Setiap negara, propinsi, kabupaten tidak ada yang tidak memiliki
daerah tempat pusat pemerintahan yang
disebut Ibu kota
4)
Dalam dunia
lain - olah raga misalnya - ada ringking ter-bawah dan ter-atas.
a.
Dalam setiap
kompetisi sepakbola dunia, melahirkan tim serta pemain ter-baik.
b.
Dalam setiap
waktu atau dasawarsa kita mengenal nama-nama olahragawan terbaik. Misalnya
dalam tenis lapangan, kita mengenal Andre Agassi, Steffi Graff, Martina
Navratilova, Gabrille Sabatini, Yayuk Basuki. Dan dalam sepak bola, kita
mengenal Pele, Ronaldo, Romario, Digo Amandow Maradona, Josh Weach, Rutt
Gullit, Fans Basten dll. Dalam bulutangkis, kita mengenal Rudi Hartono, Lim Swi
King, Morthen Van Hanshen, Prakash Padokone dll.
5)
Bumi merupakan
planet yang susunan kimiawinya paling lengkap bila dibandingkan dengan
planet lain. Dan karenanya, ia dapat memberikan sarana kehidupan yang
dibutuhkan manusia.
6)
Susunan kimiawi
jasmani manusia merupakan paling sempurna bila dibandingkan dengan mahluk Tuhan
yang lain. Demikian pula kesempurnaan ruhani manusia, terdapat seseorang yang
terbaik kwalitas jiwanya. Sebab kejernihan jiwanya dari pengaruh makhluk
lainnya, mereka mampu mengemban sinar ke-Tuhanan (Nur Ilahiyah), hingga ia
ditunjuk oleh Allah Swt sebagai khalifah-Nya dibumi.
7)
Organ tubuh
manusia – berdasar data dari biokimia -, bila dibandingkan dengan bumi serta
planet lainnya, jasmani manusia merupakan ciptaan Tuhan yang "paling/
ter" lengkap dan sempurna unsur kimiawinya. Seluruh unsur kimia yang
ada dalam alam ini ada dalam tubuh manusia.
8)
Dan pula dalam
organ tubuh manusia terdapat pusat penggerak dan pengendali seluruh organ
tubuh, yang disebut saraf. Gerakan tubuh, bukan muncul dari masing-masing
organ, tapi dikendalikan oleh pusat/ inti saraf yang besarnya kurang lebih 4
cm. Memang sangat menakjubkan, organ yang sangat kecil tersebut dapat mengendalikan
sebuah tubuh yang bila dibandingkan besarnya beratus-ratus kali lipat dari
besaran saraf. Bahkan syaraf manusia tersebut mampu mengendalikan sebuah
negara.
9)
Dari sisi jiwa,
manusia merupakan mahluk yang paling sempurna bila dibandingkan dengan mahluk
hidup lain (malaikat, hewan, jin dan setan).
10)
Demikian pula
tahapan iman dan taqwa kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Ada mukmin yang
memiliki kadar iman terendah, menengah dan tertinggi. Disamping berdasar fadlal
dan rahmat-Nya, keadaan iman seseorang tergantung sejauh mana upaya yang
dilakukan. Setelah Rasulullah Saw,
hanyalah Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil (al-Ghauts Ra), yang dapat mencapai
tingkat meng-Esa-kan Allah Swt secara sempurna. Sedangkan mukmin lainnya –
sebagaimana keterangan dalam al-Qur’an dan hadis – memalui manusia terbaik
dalam iman tersebut, dapat mengenal Allah Swt secara benar dan lurus.
Jadi,
bila disimpulkan kehidupan ini telah memberi isyarat tentang adanya satu mahluk yang Allah Swt menjadikannya
sebagai pusat mahluk. Dan dalam konsep Islam pusat mahluk tersebut terdapat
pada manusia. serta yang masih hidup, bukan pada manusia yang telah pulang
kerahmatullah.
4.
Manusia Sebagai Makhluk Yang
Mesteri
Manusia
merupakan mahluk yang paling sempurna dan paling misteri. Penyelidikan dan
pandangan tentang keberadaannya, merupakan obyek yang sangat menarik dan
sekaligus paling rumit, hingga tak kunjung selesai untuk dikaji dan
dibicarakan. Kajian tentang manusia dan prilakunya telah melahirkan berbagai disiplin
ilmu, antara lain; ilmu sosial, budaya, politik, ekonomi, seni, dan bahkan
aneka ragam paham filsafat. Dan diantara penyelidikan yang sangat menarik dan
sangat rumit, adalah menjawab pertanyaan apakah ada manusia sempurna itu ?. Jika ada,
apa ukuran untuk menentukannya ?.
Untuk menjawab
pertanyaan diatas, kita dapat menengok berbagai pandangan telah dimunculkan
oleh para ahli. Pertama, ada yang berpandangan bahwa kesempurnaan
manusia ditinjau dari kekuasaannya. Semakin luas kekuasaannya, semakin sempurna
jati diri manusia. Dan manusia dapat dikatakan sempurna jika telah menjadi raja
diatas bumi. Ada pula yang meninjau dari sisi kepuasan dan kebebasannya,
semakin bebas ia berbuat maka semakin puas hidupnya, dan berarti sempurna pula
kemanusiaannya. Paham ini lahir dan dikembangkan oleh golongan kaum kafirin dan
para atheis.
Kedua, ada pula yang berpandangan bahwa kesempurnaan manusia, ditinjau dari sisi
etika serta moral prilaku dan sikapnya terhadap sesama dan alam lingkungannya.
Paham ini dikembangkan oleh kaum humanis. Ketiga, ada yang berpandangan,
bahwa kesempurnan manusia ditinjau dari tingkat kesadarannya serta kembalinya
kepada Tuhan. Jiwanya terbebas dari ketergantungan kepada makhluk (fana dari
makhluk), dan akhirnya hanya tergantung kepada Allah Swt. Semakin tinggi
pendakian ruhani yang dicapai seseorang, akan naik ketingkat pemahaman dan
kesaksian terhadap ketunggalan wujud Tuhan dalam segala perbuatan-Nya (maqam Wahidiyah
dan Ahadiyah, atau dengan lain kata; maqam wahdatus syuhud).
Dengan pencapaian ini seseorang akan mendapat anugrah-Nya yang paling agung,
berupa sinar akhlaq Allah Swt. Yang mana -sebagaimana keterangan dalam
al-Qur’an dan hadis -, akhlak mulia dan tinggi (khuluqin ‘adziim) ini
hanya didapatkan melalui fadlal dari Allah Swt, setelah melalui beberapa kondis
jiwa (takhalli {pembersihan jiwa dari akhlak yang tercela} dan
tahalli {pengisian jiwa dengan akhlak yang terpuji}). [3] Dan, berarti sempurnalah kemanusiaannya.
Dia sah dan patut membawa serta membimbing ummat untuk sowan kepada Allah Swt
Yang Maha Luhur dan Maha Tinggi. Dialah al-Ghauts Ra yang senantiasa ada pada
setiap masa. Jika ia wafat, Allah Swt mengangkat orang lain untuk menduduki
jabatan dan tugas tersebut. Paham ini, dikembangkan oleh para ulama yang Arif
Billah dan para pembesar kaum sufi radliyallahu anhum.
5.
Al-Ghauts Dan Kemusyrikan
Dan Perjuangan
Wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah memperjuangkan terbebasnya jiwa ummat
masarakat dari kemusyrikan. [5] Tidak ada jalan atau cara
paling tepat dan cepat untuk pembersihan
jiwa dari kamusyrikan, kecuali melalui bimbingan Rasulullah Saw atau al-Ghauts
Ra pada zamannya. Sesorang, meskipun ketekunan ibadahnya tidak ada jin dan
manusia yang menandinginya, akan meninggalkan alam ini (mati) dalam keadaan
membawa dosa besar (syirik), jika dalam hidupnya tidak pernah mendapatkan
bimbingan kesempurnaan iman kepada Allah Swt dari Syeh Kamil Mukammil.[6] Tanpa melalui bimbingannya
seseorang akan memiliki pemahaman iman yang terbalik. Syirik
(menyekutukan Allah Swt dengan makhluk) dianggap bertauhid (meng-Esa-kan Allah
Swt), sedangkan memurnikan tauhid (sebab melalui bimbingan Rasulullah Saw dan
Ghaus Ra) dianggapnya sebagai perbuatan syirik. Na’udzu Billah (kami berlindung
kepada Allah) dari kekacauan pemahaman tauhid.
Dan
alhamdulillah semua atas fadlal dan rahmat-Nya semata, Shalawat Wahidiyah -
disamping dapat mengantarkan dan menyadarkan ummat secara iman dzauqiyah
tentang kebaradaan dan kegungan Rasulullah Saw -, merupakan satu-satunya amalan
shalawat pada akhir zaman ini yang dapat mengantarkan pengamalnya, tentang
keberadaan Ghauts Hadzaz Zaman Ra.
B.
SIFAT SIFAT MANUSIA
Ulasan tentang sifat-sifat manusia (kafir, munafiq dan
mukmin) ini hanya bertujuan untuk mengadakan introspeksi diri bagi mukmin yang
ingin meningkatkan kadar keimanan, keislaman dan keihsanan demi tercapainya
predikat muslim yang kaffah. Dan sekali-kali bukan untuk menghakimi iman dan
islam orang lain. Mengapa demikian ?. Terhadap sesama muslim, syariat Islam
melarang keras ummatnya melakukan takfir (mengkafirkan orang lain yang
bersebarangan aqidah atau alirannya).
1.
Sifat-Sifat Orang Kafir
Asal mula makna kata kufur
(kata jadian dari kafara), adalah tidak dapat melihat sesuatu karena tertutup
oleh sesuatu yang lain. Kemudian dalam agama diartikan dengan “mata hati
tidak dapat memandang Tuhan karena tertutup oleh mahluk”. Bagi orang kafir, Tuhan tidak tampak dalam
hati. Dan yang tampak hanyalah mahluk belaka. Orang yang tidak percaya adanya
Allah Swt Tuhan Maha Pencipta Yang Mengatasi segala makhluk, disebut orang
kafir. Dengan demikian, manusia menjadi kafir bukan merupakan sifat asal,
tetapi akibat terbujuk oleh iblis dan nafsu.
Oleh
al-Qur’an, iblis digolongkan kedalam kelompok orang kafir bukan karena ia
mengingkari keberadaan Tuhan. Tapi, lebih disebabkan tidak dapat melihat Nur
Ilahiyah (kekhalifahan) yang ada pada diri Nabi Adam As. Karena tertutup oleh
keakuannya sendiri, iblis menolak
perintah Allah Swt untuk sujud (menghormat) kepada Nabi Adam As. Berbagai
alasan diajukannya kepada Tuhan. Padahal semua itu hanya untuk menutupi
keakuannya belaka. Bagi iblis, tidak ada kebenaran kecuali membela dan menjunjung
keakuan diri setinggi-tingginya. Dihadapan para malaikat, iblis menciptakan
opini bahwa Nabi Adam As tidak lebih mulia serta tidak luas dalam pengalaman
hidup dan penguasaan ilmu, bila dibandingkan dengan kelompok malaikat. [7]
Dan karenanya tidak patut menjadi khalifah Allah Swt. Sedangkan kelompok
malaikat sebagai mahluk yang suci serta tidak memiliki dosa lebih pantas
menjadi khalifah.
Sebab
kuatnya dorongan untuk membela keakuan, menjadikan iblis lupa terhadap sifat
ke-Maha Kuasa-an Allah Swt yang dapat menentukan serta menjadikan segala hal
(termasuk menjadikan Adam As melebihi malaikat) dalam waktu sekejap.[8]
Mata hati iblis tidak dapat melihat Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan, karena
tertutup oleh kecintaannya kepada ego dan kehormatan diri. Kecintaan iblis
kepada dirinya mengalahkan kecintaannya kepada Tuhan Yang menciptakannya.
Sehingga meskipun para malaikat telah menerima kekhalifahan Nabi Adam As, iblis
tetap mempertahankan keakuannya (Semoga Allah Swt melindungi kita dari
bujukan iblis).
Dan oleh
al-Qur’an, malaikat digolongkan kedalam hamba yang taat. Mereka dapat memahami
posisi dirinya sebagai hamba Allah Swt yang lemah dan yang harus taat dengan
segala perintah-Nya. Awalnya malaikat terpengaruh oleh pandangan iblis. Setelah
kalah dalam diskusi serta adu kebolehan dengan Nabi Adam As, akhirnya mereka
memahami keberadaan dirinya. Dan berkat hidayah-Nya semata, malaikat dapat
memahami kekhalifahan Nabi Adam As dan sekaligus sebagai Imam dan Guru
[9] bagi
mereka. Malaikat dapat mengakui kekalahannya atas Nabi Adam As dan menerimanya
sebagai pimpinan, disebabkan awal penolakannya bukan karena pembelaan atas ego
diri atau kelompoknya, tapi lebih disebabkan belum mengetahui tentang Nur
Khalifah al-Ilahiyah yang ada pada diri Nabi Adam As.
Dari uraian
diatas perlu kiranya dapat memahami tipu daya iblis yang halus dan tampak
ilmiyah, namun semestinya jahat. Sifat-sifat kekafiran yang dibisikkan iblis
kedalam hati manusia, antara lain sebagaimnana tercermin dalam firman Allah Swt
:
a.
Dalam melihat
kebenaran, orang kafir tidak mau menggunakan akal sehat.
إِنَّ شَرَّ
الدَّوَوَبِّ عِنْد اللهِ الصُمُّ البُكْمُ الذِيْنَ لاَيَعْقِلُونَ
Sesungguhnya
sejelek-jelek mahluk yang berjalan (diatas bumi) menurut Allah adalah ketulian
dan kebisuan (hati), merekalah orang-orang yang tidak berakal.
(Qs. al-Anfal : 22).
إِنَّ شَرَّ الدَّوَوَبِّ عِنْد اللهِ الذِيْنَ
كَفَرُوا فَهُمْ لاَيُؤْمِنونَ
Sesungguhnya
sejelek-jelek makhluk yang berjalan diatas bumi menurut Allah adalah orang
kafir, dan mereka itu tidak beriman. (Qs. al-Anfal
: 55).
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ
أوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إلاَّ كالآْنعامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلاً
Apakah engkau
mengira bahwa kebanyakan mereka mau mendengarkan atau menggunakan akal?. Mereka
tidak ada, kecuali seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi jalan
hidupnya. (Qs. al-Furqan: 44).
Dalam bertindak, hewan tidak berdasar akal sehat. Tindakannya hanya
didorong oleh naluri kepentingan sesaat.
Jika manusia jiwanya sedang dikuasai oleh nafsu bahimiyah (binatang
ternak),[10]
maka akal sehatnya menjadi mati dan tidak berfungsi untuk mengenal Tuhan.
b.
Menganggap
bodoh kepada orang-orang yang beriman serta mentertawakannya.
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ
أَمِنُوا كَمَا أَمَنَ النَاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا أَمَنَ السُفَهَاءُ,
أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ السُفَهَاءُ وَلَكِنْ لاَ يَعْلَمُونَ
Dan jika dikatakan kepada mereka: berimanlah kamu semua seperti
manusia lain. Jawab mereka: Apakah kami
beriman seperti yang diimani oleh orang-orang yang bodoh. Ketahuilah,
sesungguhnya mereka itu bodoh, tetapi mereka tidak menyadari.
(Qs. al-Baqarah : 13).
Menurut orang kafir, orang mukmin adalah manusia bodoh yang
kehilangan ego dan harga dirinya. Mereka – menurut orang kafir - rela
menanggalkan kehormatan diri demi, mengikuti tuntunan dan taslim serta
memperbudakkan diri kepada Rasulullah Saw dan para ulama (penerus risalah
Islam).
Padahal semestinya – menurut Allah Swt - merekalah orang-orang yang
bodoh. Semestinya – karena setan telah menyatu dengan jiwanya - mereka taat,
taslim serta memperbudakkan diri kepada nafsu setan dan tipuan iblis. Hanya
saja mereka tidak menyadarinya.
Seseorang tidak bisa selamat dari imperialis nafsu/ iblis selama
tidak berada dalam asuhan dan bimbingan Syeh Kamil Mukammil Radliyahu Anh.
c.
Tidak ada
artinya memberi penjelasan tentang kebenaran hakiki kepada kafir.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ
تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja apakah engkau
peringatkan atau tidak, tetap tidak mau beriman. (Qs. al-Baqarah : 6).
Bagi orang
kafir, kebenaran bukan terletak pada nilai benar atau salahn. Tetapi terletak
pada keuntungan atau merugikan terhadap jasmani atau kehormatan diri. Jika
membawa keuntungan itulah kebenaran, dan jika tidak itulah kebatilan.
d.
Mudah berkeluh
kesah, dan jika ditimpa kesusahan, dikembalikannya kepada Allah Swt. Namun
ketika Allah sudah menggantinya dengan kenikmatan, diakuinya dari hasil usaha sendiri.
Firman Allah Swt, Qs. az-Zumar : 8 : [11]
وَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا
إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَاكَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ
مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ للهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ
بِكُفْرِكَ قَلِيْلاً إِنَّكَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ.
Dan, ketika manusia tertimpa kesusahan, ia berdoa kepada
Tuhan-Nya seraya berinaabah (mengembalikan
seluruh kejadian kepada-Nya). Namun, ketika ia mendapat ganti kenikmatan
dari-Nya, ia lupa kalau pernah berdoa kepada-Nya. Serta membuat tandingan
untuk-Nya hingga ia tersesat dari jalan-Nya. Katakanlah, (wahai orang-orang
yang kufur) bersenang-senanglah kamu dalam waktu sebantar (didunia). Sesungguhnya kamu dari golongan penghuni
neraka.
e.
Memisahkan kekuatan
Rasulullah Saw dari kekuatan Allah Swt.
إِنَّ
الذِيْنَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ
اللهِ وَرُسُلِهِ, وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ
وَيُرِيْدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً. أُولَئِكَ هُمُ
الكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ عَذَابًا مُهِيْنًا.
Sesungguhnya orang-orang yang mengkufuri Allah dan rasul-Nya, dan mereka ingin memisahkan
antara Allah dan rasul-Nya. Mereka berkata : kami mempercayai sebagian dan
mengkufuri yang sebagian. Dan mereka ingin mengambil jalan tengah diantaranya.
Merekalah orang-orang kafir yang semestinya.
Dan Kami sediakan untuk orang kafir siksa yang sangat menghinakan.[12]
(Qs. An-Nisa’: 150 – 151).
Sifat orang
kafir yang dimaksud dalam ayat diatas, dalam kitab tafsir Shawi juz I
dijelaskan : kekafiran mereka disebabkan oleh paham pemisahan antara Allah Swt
dan Rasul-Nya, dan bukan oleh paham penyekutuan (syirik).
فَكُفْرُهُمْ
بِالتَفَرُّقَةِ لاَ بِاعْتِقَادِ الشِرْكِ للهِ
Kekafiran
mereka disebabkan pemisahan (antara kekuatan Allah dan rasul), dan bukan sebab keyakinan
syirik (menyekutukan Allah dengan Rasul). [13]
Demikian pula,
paham pemisahan antara keduanya yang menjadikan hati ternilai kufur, ketika
seseorang mampu melaksanakan amal kebaikan, tiba-tiba secepat kilat panah
kekafiran/ kemusyrikan (menyekutukan Allah Swt dengan kekuatan dirinya)
menghunjam kedalam kalbu. Ketika beribadah, kebanyakan mereka lupa, kalau
kekuatan, tenaga yang digunakannya datangnya dari Allah Swt semata. Oleh mereka
diaku sebagai kekuatan dan tenaganya sendiri. Dan kemudian, secra otomatis
ibadahnya pun diaku hanya sebagai karyanya pula.
Memang, nafsu/
setan musuh yang paling utama bagi setiap mukmin.
2. Sifat-Sifat Orang Munafiq
Akal
dapat memahami keberadaan Tuhan Yang Maha Esa Pencipta semesta alam. Dan pula
akal tidak dapat mengingkari-Nya, sebagaimana ketidak mampuannya untuk
membuktikan keberadaannya secara musyahadah. Tidak ada jalan untuk membuktikan
keberadaan Allah Swt secara musyhadah, kecuali melalui hidayah yang diberikan
kepada hamba yang dipilih-Nya sendiri. Memahami keberadaan-Nya tidak cukup
hanya berhenti pada kajian ilmiyah yang sifatnya tidak pernah tetap dan tidak
pasti. Kesimpulan ilmiyah saat sekarang, sering dimentahkan oleh kajian ilmiyah
berikutnya. Banyak orang menjadi kafir atau munafiq disebabkan kajian ilmiyah
yang tidak disertai hidayah Allah Swt. Sebagaimana keterangan dalam sabda
Rasulullah Saw :[14] أَكْثَرُ مُنَافِقِي أُمَّتِي
قُرَاؤُهَا : Paling banyak para munafiq (dari)
ummat-ku adalah para pembaca ilmu (pengkaji ilmiyah).
Dalam
hadis lain, Rasulullah Saw bersabda :[15]
إِنَّ أَخْوَفَ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ
عَلِيْمُ اللِسَانِ.
Sesungguhnya yang paling aku takuti dari sesuatu yang aku takutkan
pada ummatku, adalah orang munafiq yang
alim lisannya (pandai berbicara).
Maksud dari
kedua hadis diatas diperjelas dalam hadis yang menjelaskan, sebagian dari orang
yang mempelajari al-Qura’an, terdapat orang munafiq. Mereka berdeskusi atau berdebat
menggunakan dasar al-Qur’an. Namun tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah
Saw.
أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي ثَلاَثًا زِلَّةُ عَالِمٍ
وَجَدَالُ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ وَالتَكْذِيْبِ بِالقَدَرِ.
Aku menakutkan tiga perkara terhadap ummatku : hilangnya
orang alim, perdebatannya orang munafiq tentang al-Qur’an dan pendustaan
terhadap taqdir. [16]
Dan dalam hadis
lain juga diterangkan, Rasulullah Saw sangat menghawairkan kalau ummatnya
dipimpin oleh orang yang bodoh tentang agama (terutama permasalahan syirik dan
tauhid), namun berani melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an dan hadis. Sebagaimana
yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw
: [17]
أَفَةُ الدِيْنِ
ثَلاَثَةٌ فَقِيْهٌ فَاجِرٌ وَإِمَامٌ جَائِرٌ وَمُجْتَهِدٌ جَاهِلٌ
Afat agama ada tiga : ahli fiqh yang durhaka, imam
yang tidak adil dan mujtahid (orang menafsiri Qur’an dan hadis) yang bodoh.
Dalam
memahami keberadaan Tuhan serta mengingkari perintah-perintah-Nya, antara orang
munafiq dan orang kafir terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya,
terletak dalam kondisi batiniyah. Artinya, oleh sebab wujudnya mahluk, hati mereka
sama-sama tertutup dari keberadaan Tuhan. Dalam penjelasan al-Qur’an, pada segi
batiniyahnya sering dijelaskan kesamaan sifat antara orang kafir dan munafiq.
Kedua golongan manusia ini akan dimasukkan keneraka jahannam secara bersamaan.
إِنَّ اللهَ جَامِعَ المُنَافِقِيْنَ
والكَافِريْنَ فِيْ جَهَنَّمَ جَمِيْعًا
Sesungguhnya
Allah mengumpulkan orang munafiq dan
orang kafir dalam neraka jahannam secara bersama-sama.
(Qs. an-Nisa’: 140).
Perbedaannya, prilaku
lahiriyah orang kafir menampakkan pengingkaran secara nyata, sedangkan orang
munafiq dalam prilaku lahiriyahnya sering menyerupai prilaku orang yang beriman.
Munafiq – sebagaimana orang mukmin - dapat mengucapkan kalimah thayyibah dengan
melibihi fasihnya mukmin, namun hanya sebatas lisan. Akibat tertutupnya hati
oleh wujud dan sifat makhluk (termasuk dirinya sendiri), hati mereka tetap
mengingkari keberadaan Tuhan.
Orang munafik
pandai beradaptasi dengan lingkungan. Ketika bertemu mukmin, mereka bersikap
mukmin dan ketika bertemu orang kafir, mereka mendukung kekafiran. Bagi mereka,
keuntungan dan kerugian lahiriyah
merupakan inti dari makna kehidupan.
Agar dapat
membedakan antara sifat kemunafikan dan ketidak munafikan serta kemudian
membersihkan jiwa dari sifat-sifat munafiq, wajib hukumnya mengetahui ciri-ciri
kemunafikan dan kekafiran. Tanpa memahaminya, seseorang sudah tentu akan
terperosok kedalamnya.
Ciri-ciri kemunafiqan
sebagaimana penjelasan al-Qur’an, antara lain :
1.
Malas
mendirikan shalat, riya’ dengan amal kebaikannya dan tidak ingat kepada Allah
Swt kecuali sedikit sekali. Firman Allah Swt, Qs. an-Nisa’ : 142 :
إِنَّ
المُنَافِقِينَ يُخَادُعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى
الصَلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤنَ النَاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ
قَلْيلاً
Sesungguhnya
orang-orang munafiq (ingin) menipu Allah, [18]
(tapi) Allahlah yang akan (membalas) tipudaya mereka. Dan ketika mendirikan
shalat, mereka mendirikan dengan malas
serta pamer kepada manusia, sera mereka tidak ingat Allah kecuali
sedikit.
Ayat ini
menjelaskan bahwa orang yang melaksanakan shalatpun kadang masih dinilai oleh
Allah Swt sebagai munafiq (bahkan kafir).[19]
Karena hati tertutup dari kebesaran dan kebaradaan Allah Swt, menyebabkab mereka
tidak sungguh-sungguh dalam shalat, tidak malu dan tidak takut berbuat ujub
dan riya,[20]
dan sangat sedikit melaksanakan dzikrullah. Jika melaksanakan shalat hanya
secara ritual lahiriyah saja, perlu memiliki kekhawatiran kalau-kalau masih
dikategorikan oleh Allah Swt dalam kelompok kafir atau munafiq. Sebagaimana
yang terermin dalam Qs. al-Anfaal : 35 :
وَمَاكَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ البَيْتِ إِلاَّ مُكَاءًا وَتَصْدِيَةً فَذُوْقُوا
العَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُون
Dan tidak ada shalat mereka disekitar rumah Allah itu kecuali
hanyalah siulan dan tepuk tangan saja.[21]
Maka, rasakanlah azab yang disebabkan kekafiranmu sendiri.
Demikian pula
keterangan yang lain dalam sabda
Rasulullah Saw : [22]
مَنْ لَمْ تَنْتَهِ صَلاَتُهُ
عَنِ الفَخْشَاءِ وَالمُنْكَر لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
Barang siapa yang shalatnya
tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak akan bertambah
dekat kepada Allah, bahkan ia bertambah jauh
dari-Nya.
2.
Suka berbicara
bohong, menghianati kepercayaan serta mengingkari perjanjian.[23]
HR, Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ahma (Rasulullah
Saw bersabda :
أَيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ: إِذَا أَحْدَثَ
كَذَبَ, وَإِذَا أْؤتُمِنَ خَانَ, وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
Tanda orang munafiq ada tiga; ketika berbicara ia berdusta, ketika
dipercaya ia menghianati, dan ketika berjanji ia mengingkari
3.
Menjadikan
mahluk sebagai sekutu bagi Allah Swt, dan mencintai mahluk sebagaimana
mencintai Allah Swt. Firman
Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 165 :
وَمِنَ
النَاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ
اللهِ
Dan diantara manusia terdapat orang yang mengambil (menjadikan)
tandingan dari selain Allah, serta dicintainya seperti mencintai Allah.
4.
Tidak mau
diajak berjuang dijalan kebenaran (jalan Allah Swt). Dan hanya dirinya atau
keluarganya yang diperjuangkan. Firman Allah Swt, Qs. Qs.Ali Imran: 167 :
وَلِيَعْلَمَ
الذِيْنَ نَاقَقُوا, وَقِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوافِي سَبِيْلِ اللهِ
أَوِادْفَعُوا قَالُوالَوْ نَعْلَمُ قِتَالاً لاًتَّبَعْنَاكُمْ هُمْ لِلْكُفْرِ
أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلإيْمَانِ يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ مَالَيْسَ فِيْ
قُلُوبِهِمْ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا كُنْتُمْ يَكْتُمُونَ.
Dan agar Allah mengetahui siapa orang yang munafiq. Dan jika
dikatakan kepada mereka : Marilah berjuang dijalan Allah atau pertahankanlah
dirimu”. Mereka menjawab : “sekiranya kami mengetahui perjuangan (adalah
kebenaran) niscaya kami akan mengikuti kamu”. Mereka pada hari itu lebih dekat
kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya sesuatu
yang tidak ada dalam hatinya. Dan Allah mengetahui dengan sesuatu yang mereka sembunyikan.
5.
Menghalang-halangi
perjuangan kebenaran. Firman Allah Swt, Qs. an-Nisa’ : 61 :
وَإذَا
قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَسُولِ رَأَيْتَ
المُنَافِقِيْنَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
Dan jika dikatakan kepada mereka : “kemarilah kalian untuk
(kembali) kepada sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah dan (kembali) kepada
rasul”, niscaya engkau akan melihat orang-orang munafiq menghalangi manusia (agar menjauh) dari
kamu dengan sekuatnya tenaga.
Nilai hidayah
memang mahal. Sama mahalnya dengan nilai dapat memahami keberadaan pribadi
Mursyid Kamil Mukammil. Demikian pula, hanya dengan hidayah-Nya seseorang
seseorang dapat membedakan kebenaran dengan kesesatan. Tanpa hidayah Allah Swt,
seseorang akan mengira kebatilan sebagai kebenaran, kesesatan sebagai hidayah. Sangat
beruntung orang yang sungguh-sungguh memohon hidayah-Nya, agar mendapatkan
bimbingan dari Mursyid Kamil Mukammil.
Dan, alhamdulillah, shalawat Wahidiyah – sebagaimana yang dirasakan oleh
pengamalnya – diberikan karunia oleh Allah Swt, dengan mudah mengantarkan
kepada rahmat dan hidayah-Nya, serta membersihkan hati dari sifat-sifat
kekafiran dan kemunafikan.
3. Sifat-Sifat Orang Beriman
Perbuatan
mengetahui adalah pekerjaan akal. Sedangkan perbuatan merasa
adalah pekerjaan hati. Rasa dekat dan takut kepada Allah Swt, cinta dan
mengagungkan Allah wa Rasulihi Saw adalah pekerjaan jiwa atau hati, yang
kemudian sering dapat terlihat dari perbuatan lahir. Antara ilmu ke-Tuhanan
dengan iman kepada-Nya sangatlah berbeda. Seseorang yang menguasai berbagai
macam ilmu agama (ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu makrifat dan lainnya), dapat
juga tidak merasa dilihat, dikuasai oleh Allah, hingga tidak memiliki rasa takut
kepada Allah wa Rasulihi Saw. Dan juga, seseorang dapat merasa takut kepada
Tuhan serta merasa dikuasai-Nya, meskipun hanya memiliki ilmu agama yang
pokok-pokok saja. Iman kepada Allah bukan merupakan pengertian tentang
ke-Tuhan-an, akan tetapi merupakan “Nur Ilahiyah” yang diletakkan oleh Allah
Swt kedalam hati hamba yang dipilih dan dikehendaki-Nya. Dengan iman, hati
mudah memandang kebasaran dan kekuasaan Allah Swt.
فَمَنْ شَرَحَ اللهُ
صَدْرَهُ للإِسْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ
Barang siapa, yang Allah melapangkan dadanya untuk Islam,
maka ia dalam cahaya dari Tuhannya. (Qs, az-Zumar : 22).
Iman adalah nur ilahiyah yang tertancap dalam hati
seseorang. Dan ukuran keimanan seseorang terletak dalam sejauh mana ia merasa
dikuasai, dilihat dan didengar oleh Allah Swt dalam segala perbuatannya.
Semakin dalam, tentang hal tersebut, maka semakin kuat dan tebal iman
seseorang. Demikian pula seseorang yang tidak merasa dikuasai dan dilihat oleh
Allah Swt (meski memiliki ilmu ke-Tuhan-an), maka mereka ia tidak dapat
dikatakan mukmin.
إِنَّ اللهَ خَلَقَ
خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ ثُمَّ رَشَّ عَلَ قُلُوبِهِمْ مِنْ نُورِهِ فَمَنْ
أَصَابَهُ ذَالِكَ النُورُ إِهْتَدَى وَمَنْ أَخْطَاءَهُ ضَلَّ
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan.
Kemudian Ia menyiramkan nur-Nya kedalam hati mereka. Barang siapa yang terkena
nur tersebut, maka ia mendapat hidayah, dan barangsiapa yang terlewati, maka ia
tersesat.
Dan dalam hadis
yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan Baihaqi dari sahabat Ibn Umar Ra)Rasulullah
Saw menjelaskan diantara tanda-tanda orang yang beriman adalah dapat berinaabah
kepada Allah Swt :
إِنَّ النُوْرَ إِذَا
دَخَلَ القَلْبَ انْتسَحَ وَانْشَرَحَ, فَقِيْلَ :
يَارَ سُولَ اللهِ هَلْ لِذَالِكَ مِنْ عَلاَمَاتِ يُعْرَفُ بِهَا؟.
فَقَالَ : التَجَافَى عَنْ دَارِ الغُرُورِ وَالإِنَابَة إِلَى دَارِالخُلُودِ
وَالإَسْتِعْدَادِ لِلْمَوْتِ قَبْلَ نُزُولِ المَوْتِ
Sesungguhnya “nur” (ilahiyah) ketika masuk kedalam hati, maka Allah
melebarkan hatinya. Ditanyakan kepada Nabi : Wahai Rasulullah untuk hal
tersebut, adakah tanda-tanda untuk mengetahuinya?. Rasulullah menjawab :
berpaling dari kehidupan duniawi yang menipu dan kembali (inaabah) kepada rumah
abadi (Allah) serta memersiapkan mati sebelum datangnya kematian. [25]
Sedangkan
ciri-ciri orang mukmin yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis, antara lain :
1.
Memahami dan
mendapat ilham (ilmu laduni/ ilmu pemberian langsung dari Allah Swt) tentang inti/
ruh agama. Rasulullah Saw bersabda :
إِذَا
أَرَادَ اللهُ بِعِبْدٍ خَيْرًا فَهَّمَهُ فِي الدِّيْنِ وَأَلْهَمَهُ رُشْدَهُ
Jika Allah menghendaki seseorang menjadi baik, Maka Dia
memahamkannya dalam agama serta memberi ilham tentang pendalamannya.[26]
إِذَا
أَرَادَ اللهُ بِعِبْدٍ خَيْرًا فَتَحَ لَهُ قَفْلُ قَلْبِهِ وَجَعَلَ فِيْهِ
اليَقِيْنَ وَجَعَلَ قَلْبَهُ وَعْيًا لِمَا سَلَكَ فِيْهِ وَجَعَلَ قَلْبَهُ
سَلِيْمًا وَلِسَانَهُ صَادِقًا وَخَلِيْقَتَهُ مُسْتَقِيْمَةً وَجَعَلَ أُذُنَهُ
سَمِيْعَةً وَعَيْنَهُ بَصِيْرَةً
Jika Allah
menghendaki seseorang menjadi baik, Maka Dia membukakan (memfutuh) bagi
seseorang itu relung hatinya, dan menjadikan keyakinan didalamnya. Dijadikan
hatinya bersih, lisannya senantiasa benar, akhlaknya lurus, pendengarannya peka
terhadap suara gaib dan penglihatannya memiliki bashirah.[27]
2.
Sangat
mencintai Allah Swt. Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 165 :
وَمِنَ
النَاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ
اللهِ وَالذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ
Dan diantara manusia, terdapat orang yang menjadikan tandingan dari
selain Allah. Mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Sedangkan orang
yang beriman sangat mencintai Allah.
2. Mudah bergetar hati ketika dzikrullah,
bertambah imannya ketika dibacakan ayat-ayat Allah, menyerahkan segala
urusannya kepada-Nya, dan tekun mendirikan shalat serta menginfaqkan sebagian
rizkinya. Firman Allah Swt :
إِنَّمَا
المُؤْمِنُونَ إِذَا ذُكِرَاللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَليْهِمْ
أَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ
يُقِيْمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقَنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman,ketika nama Allah disebut,
bergetar hatinya, dan ketika dibaca ayat-ayat Tuhan bertambah imannya, serta
kepada Tuhannya mereka berserah diri. Mereka menegakkan shalat, menginfaqkan
sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. (Qs. al-Anfal : 2 – 4).
3. Mencintai pribadi
Rasulullah Saw, serta mengalahkan cintanya kepada yang lain .
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَنْ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَحْمَعِيْنَ
Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu semua, hingga aku lebih
dicinatinya dari pada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Mencintai Allah wa Rasulihi Saw adalah puncak dari segala
cinta, yang tidak boleh dikalahkan oleh cinta kepada yang lain. Jika hati
kosong dari cinta semacam ini, ketenangan hakiki dan lestari akan tercabut dari
jiwa seseorang.
قُلْ اِنْ كَانَ أَباءُكُمْ وَأَبْنَاءُ
كُمْ وَاِخْوَانُكمْ وَأَزْوَاجُكُم وَعَـشِـيْرَتُكُم وَأَمْوَالٌ اقتَرَفْـتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَـوْن كَسَادَهاَ وَمَسَاكِنُ
تَرْضَوْنَهاَ أَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجهَادٍ فِي سَبِيْلِه
ِ فَتَرَبّصُوا حَتَّى يَأْ تِيَ اللهُ بِأمْرهِ وَاللهُ لاَيَهْدِى القَوْمَ
الفَا سِقِيْنَ
Katakanlah (Muhammad): jika sekiranya
bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara, suami atau istri dan
keluarga kamu semua, serta harta yang telah kamu semua kumpulkan, perniagaan
yang kamu semua takut kebangkrutannya dan tempat tinggal yang kamu semua rela
didalamnya, lebih kalian cintai dari pada Allah wa Rasul-Nya dan perjuangan di
jalan-Nya, maka tunggulah sehingga datang keputusan Allah. Dan Allah tidak akan
memberi hidayah kepada kaum yang fasik. (Qs, at-Taubah : 24).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menjelaskan ayat ini
dengan hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam Bukhari dari jalur Juhrah Ibnu Ma’bad
: Ia berkata : Suatu saat kami bersama Rasulullah Saw. Dan tangan sahabat Umar Ibnu al-Khatthab
memegang tangan Nabi Saw. Umar Ra berkata :
وَاللهِ
يَارَسُولَ اللهِ أَنْتَ لآَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي
, فَقَالَ رَسُولِ
اللهِ
صَلَّى اللهُ عَـلَيْهِ وَسَلمَّ : لاَ يُؤْمِن ُ أَحَدُ كُمْ حَتَى أَنْ اَ كُونَ
أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ
نَفْسِهِ
, فَقَالَ عُمَرُ : فَأَنْتَ الآَنَ وَاللهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي.
فَقَالَ رَسُولِ
اللهِ
صَلَّى اللهُ عَـلَيْهِ وَسَلمَّ : الآَنَ يَا عُمَـرُ
Demi Allah,
wahai Rasulullah, Engaku niscaya lebih aku cintai dari pada segala sesuatu. Rasulullah Saw. menjawab : Tidak
sempurna iman seseorang, sehingga Aku, lebih dicintainya dari pada dirinya. Umar
berkata : Demi Allah sekarang Engkau lebih aku cintai dari pada diriku
sendiri. Rasulullah Saw. menjawab : Sekarang wahai Umar telah sempurna
imanmu.
Dan Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Jala’ al-Afham, menjelaskan; tentang
keberadaan Allah dan rasul-Nya sahabat Mu’ad bin Jabbal Ra berkata : قَلْبُ
المُؤْمِن ِتَوحِيْدُ اللهِ وَذِ كْرُرَسُولِهِ مَكْتُوبَانِ فِيْهِ لاَ يَتَطَرَقُ
اِلَيْهِمَا مَحْوٌوَلاَ اِزَلَةٌ
Hatinya orang
mukmin senantiasa mengesakan Allah dan dzikir kepada Rasulullah. Di mana keduanya tertulis di
dalam hati orang mukmin. Maka tidak boleh ada jalan (usaha) untuk menghapus dan
menghilangkan keduanya.
Al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani (w.
973 H) tentang mahabbah kepada Rasulullah Saw, menjelaskan; para waliyullah Ra
berfatwa : [28]
وَأَنَّ
مَنْ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ المُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاقَ
لَذَّةَ وِصَالَ رَبِّهِ تَعَالى وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الوِصَالَيْنِ لَمْ يَذُقْ
لِلْمَعْرِفَةِ. مِنْ أَعْظَمِ الوَصَلِ التَعَلُّقِ بِصِفَاتِ الحَبِيْبِ
وبِكَثْرَةِ الصَلاَةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Dan telah diketahui, bahwa sesungguhnya
barangsiapa yang dapat merasakan nikmatnya wushul kepada Rasulullah Saw, maka
ia akan merasakankan nikmatnya wushul kepada Allah Swt. Dan barang siapa yang
memisahkan kedua wushul ini, maka ia tidak akan merasakan makrifat. Diantara
agung-agungnya jalan wushul adalah ta’alluq (menghubungkan
jiwa) kepada Nabi Saw Kekasih Allah Swt (sadar birrasul) serta memperbanyak
bershalawat kepadanya saw.
وَبِالجُمْلَةِ
وَالتَفْصِيْلِ فَهُوَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْجُوْدٌ بَيْنَ
أَظْهَرِنَا حِسًّا وَمَعْنًى جِسْمًا وَرُوْحًا سِرًّا وَبُرْهَانًا
Dengan melalui dasar yang mujmal dan rinci,
Beliau Rasulullah Saw berada diantara keberadaan kita, baik secara hissy
(indrawi) atau maknawi (metafisik), secara jasmani maupun rohani, atau secara rahasia atau
nyata. [29]
Sementara al-Ghauts fii Zamanihi Ra
Syeh Ali al-Khawash (w. 951 H) guru dari al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul
Wahab as-Sya’rani Ra, tentang pintu makrifat, menjelaskan :
نَحْنُ فِي سَنَةِ
إِحْدَى وَأَرْبَعِيْنَ وتِسْعِمِائَةٍ جَمِيْعُ أَبْوَابِ الآَوْلِيَاءِ قَدْتَزَحْزَحَتْ
لِلْغَلْقِ
وَمَا
بَقِيَ الانَ مَفْتُوحًا إِلاَّ بَابُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kita yang hidup pada tahun
941 H, semua pintu kewalian telah tertutup. Dan tidak dibuka kecuali melalui
pintu Rasulullah Saw. [30]
4. Hanya merasa takut kepada Allah Swt, dan bukan
kepada yang lain.
أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللهُ أَحَقُّ أَنْ
تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
Mengapa kamu takut kepada mereka?. Padahal, Allah-lah yang berhak
kamu takuti, jika kamu benar-benar beriman. (Qs. At-Taubah
: 13).
6.
Air matanya
mudah mengalir, ketika kepada mereka dibacakan ayat-ayat (bukti
kebaradaan)-Nya).[31]
وَمِمِّنْ
هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَحْمَنْ خَرُّوا
سُجَّدًا وَبُكِيًّا.
Dan diantara orang yang Kami beri hidayah dan Kami pilih, ketika
dibacakan kepadanya ayat-ayat Tuhan Yang Maha Kasih, mereka tersungkur, sujud
dan menangis. (Qs. Maryam : 58)
7.
Dapat melihat
dosanya sendiri serta merasa takut
kepada Allah Swt dengan takut yang semestinya. Rasulullah Saw bersabda :
المُؤْمِنُ
يَرَى ذُنُوبَهُ كَقَاعِدٍ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَهُ وَالمُنَافِقُ
يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ يَقَعُ عَلَى أَنْفِهِ فَيَطِيْرُ
Orang yang
beriman dapat melihat dosa-dosanya bagaikan orang
yang duduk dibawah gunung yang takut akan longsor dan akan menimpanya.
(HR. Imam Bukhari).
C.
Menjernihkan
Hati
Allah Swt telah menghendaki, bahwa setiap
manusia membutuhkan/ mengikuti seorang tokoh sebagai panutan (paternalistik). Dan
tujuan diturunkannya para Rasul dan waliyullah (al-Ghauts ra) untuk menuntun
umat dalam mencapai kebersihan hati serta kebenaran hakiki dalam berke-Tuhan-an.
Dalam kalangan kaum sufi berlaku sebuah prinsip yang sangat paten lagi sangat
teramat penting, bahwa manusia berada antara dua penuntun, setan atau
mursyid yang kamil. Jika manusia, jiwanya tidak dipandu oleh guru ruhani yang
kamil pasti dipandu oleh setan. Dan karenanya, memiliki Guru ruhani yang
Kamil, merupakan keniscayaan (kewajiban) bagi setiap orang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Ghauts fii Zamanihi
Syeh Abu Yazid al-Bustami Ra, dan yang telah disepakati oleh pawa auliyaillah
Ra : مَنْ لاَ شَيْخَ فَالشَيْطَانُ شَيْخُهُ : “barang siapa tidak memiliki GURU ruhani maka setanlah yang
menjadi gurunya”.
Dan pada ayat
lain dijelaskan Qs. al-Furqan : 59 : الرَحْمَنُ
فَسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا : Allah
Yang Maha Penyayang, bertanyalah tentang-Nya kepada orang yang memahami-Nya (yakni
Rasulullah Saw/ al-Ghauts Ra, demikian pendapat kaum sufi- pen).
Demikian pentingnya peranan Guru
Ruhani Yang Kamil Mukammil dalam jiwa manusia. Manusia hanya memiliki dua
pilihan antara mencari Guru Kami Mukammil untuk membimbing jiwanya atau membiarkan
setan dan nafsu mencengkeram jiwanya dan kemudian membelokkan dari pemahaman
tauhid yang benar. Dan agar dapat mencengkeram jiwa manusia, setan/ nafsu
senantiasa membisikkan tidak perlunya mencari Guru yang kamil, serta
mencukupkan dengan pemahaman diri sendiri. Sebagai pengamal dan pejuang
Wahidiyah, perlu kiranya benar-benar melawan bisikan hati yang muncul dari
setan/ nafsu. Allah Swt berfirman :
وَلاَ تتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِيْنٌ
Janganlah kalian mengikuti garis-garis
(panduan) setan. Sesungguhnya ia merupakan musuhmu yang nyata. (Qs. an-Nisa’ :
38, dan al-Baqarah : 208).
Dalam mencari GURU ruhani, Allah Swt
melarang mukmin mengikuti guru yang tidak ahli dalam ilmu tentang ketuhanan.
Mereka adalah orang-orang yang hatinya lupa kepada Allah Swt, dan pula cara
membimbingya tidak menggunakan ketentuan dari sunnah rasul, akan tetapi masih
dipandu oleh nafsunya sendiri. Firman Allah Swt :
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ
قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
Dan janganlah kamu mengkuti orang yang Kami lupakan hatinya
dari dzikir kepada Kami, orang itu mengikuti hawa nafsunya, dan memang keadaan
mereka melampuai batas (Qs. al-Kahfi : 28).
ketika sesorang yang hatinya lupa
kepada Allah Swt (dan yang tidak boleh dijadikan guru ruhani), saat itulah
setan menguasai jiwanya. Dan jika setan menguasai jiwa seseorang, maka orang
tersebut akan memiliki pemahaman yang tebalik. Kebatilan dinaggap kebenaran,
dan kebenaran dianggap kebatilan. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah Swt,
Qs. Az-Zukhruf : 36
– 37 :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ
شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ
وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan barangsiapa yang berpaling dari
mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami (Allah) adakan setan baginya. Dan
setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan menghalangi mereka dari
jalan kebenaran, serta mereka (manusia) akan mengira bahwa dirinya termasuk
orang-orang yang mendapat hidayah.
Dalam ayat lain
Allah Swt berfirman dalam Qs, an-Nisa’ : 119
:
وَمَنْ يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا
مِنْ دُوْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا
Sesiapa
saja yang menjadikan syaithan sebagi wali (penguasa, pelindung, penolong dan
kekasih) selain Allah, maka ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.
Keempat ayat tersebut diatas,
mengisyaratkan adanya guru ruhani yang cara membimbing manusia menuju Tuhan
bukan berdasar dari sesuatu yang digariskan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi
melalui garis-garis yang dibisikan oleh iblis/ setan/ nafsu kedalam jiwanya.
Berkaitan keberadaan guru ruhani yang
jiwanya dikuasai oleh nafsu/ setan, al-Ghats fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab
as-Sya’rani Ra, dalam kitabnya, [32] menjelaskan :
وَقَدْ أَدْرَكْنَا جُمْلَةً مِنَ
أَشْيَاخِ الطَرِيْقِ أَوَّلَ هَذَا القُرُنِ, كَانُوا عَلَى قَدَمٍ عَظِيْمٍ فِي
العِبَادَةِ وَالنُسُكِ وَالوَرَعِ وَالخَشْيَةِ وَكَفِّ الجَوَارِحِ الظَاهِرَةِ
وَالبَاطِنَةِ عَنِ الأَثَامِ حَتَّى لاَيَجِدُ أَحَدُهُمْ قَطُّ يَعْمَلُ شَيْئًا
يَكْتُبُهُ كَاتِبُ الشِمَالِ. وَكَانَ لِلطَرِيْقِ حُرْمَةٌ وَهَيْبَةٌ وَكَانَ
الأُمَرَاءُ وَالمُلُوكُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِأَهْلِهَا لَمَّا يُشْهِدُونَهُ مِنْ
صِفَاتِهِمْ الحَسَنَةِ. فَلَمَّا ذَهَبُوا زَالَتْ حُرْمَةُ الطَّرِيْقِ
وَأَهْلِهَا. وَصَار النَاسُ يَسْخَرُونَ بِأَحَدَهِمْ وَيَقُولُونَ لِبَعْضِهِمْ
: مَادَرَيْتُمْ مَاجَرَى, فُلاَنُ الأَخَرُ عَمِلَ شَيْخًا ؟. كَأَنَّهُمْ
لاَيُسَلِّمُونَ لَهُ مَا يَدْعِيْهِ لَمَّا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّةِ
الدُنْيَا وَالتَّلَذُّذِ بِمُطَاعِمِهَا وَمَلاَبِسِهَا وَمَنَاكِحِهَا
وَالسَعْيِ عَلَى تَحْصِيْلِهَا. حَتَّى إِنِّي قُلْتُ لِبَعْضِ التُجَّارِ لِمَ
لاَ تَجْتَمِعُ بِالشَيْخِ الفُلاَنِيْ. فَقَالَ : إِنْ كَانَ شَيْخًا فَأَنَا
الأَخَرُ شَيْخٌ, فَإِنَّهُ يُحِبُّ الدُّنْيَا كَمَا أُحِبُّهَا وَيَسْعَى فِيْ
تَحْصِيْلِهَا كَمَا أَسْعَى, بَلْ هُوَ أَشَدُّ مِنِّي سَعْيًا عَلَى الدُنْيَا.
Kami mendapati beberapa Guru Mursyid [33] pada awal abad ini. Mereka diatas pondasi yang agung dalam
ibadah, amal baik, wara’ (sangat hati-hati dalam masalah halal haram),
khasy’yah (benar-benar takut kepada Allah), menjaga anggauta tubuh baik lahir
atau batin dari dosa sama sekali. Hingga malikat pencatat amal jelek (pencatat
bagian kiri) tidak mendapatkan catatan jelek. Didalam thariqah terdapat kehormatan dan kewibawaan. Dan
ketika mereka melihat kebaikan serta kemulyaan akhlak para guru sufi, para
pejabat dan para raja memohon berkah kepada para ahli thariqah. [34]
Namun, setelah mereka tidak tiada,
hilanglah kehormatan tarekat dan pengamalnya. Dan manusia merendahkan para
pengamal tarekat. Diantara masarakat ada yang berakat kepada kawannya. Tahukah
kamu apa yang terjadi, didalam lingkungan orang-orang yang menjadi guru mursyid
?. Mereka sudah tidak mau memahami lagi terhadap apa yang dida’wakan masarakat
kepada mereka. Karena mereka (para guru mursyid) sudah hanyut dalam cinta dunia
(dan kehormatan) dan syahwat dunia, serta kelezatan makanan, pakaian dan
pernikahan dunia.Mereka lari cepat untuk memperolehnya.
Hingga aku – demikian keterangan Syeh
Sya’rani – bertanya kepada salah satu pedagang : “Mengapa saudara tidak berguru
kepada Syeh yang bernama Fulan ?.
Jawab pedang : Jika ia guru mursyid,
akupun guru mursyid. Dia mencintai dunia seperti aku mencintainya. Dia lari
untuk mengejarnya, sebagaimana aku juga lari untuk mengejarnya, bahkan dia
lebih kencang larinya.
Rasulullah Saw dalam hadisnya, juga
memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru atau mengikuti pemimpin
ruhani yang menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa kedalam
pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh tentang
penyakit hati :[35]
إِنَّمَاأَخْوَفُ
مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ.
Sesungguh yang paling Aku takutkan
kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Dan, untuk menghindari hal yang
demikan dan demi menyelamatkan ummat masarakat, Perjuangan Wahidiyah memberikan
amalan berupa shalawat Wahidiyah, yang mana – alhamdulillah semua atas titah
dan rahmat-Nya semata - didalamnya terdapat doa permohonan kepada Allah Swt,
kepada Rasulullah Saw dan kepada Beliau Ghgauts Hadzaz Zaman Ra, agar siapapun
orangnya yang dengan tekun mengamalkannya, akan mendapat hidayah Allah Swt dan
syafaat Rasulullah Saw untuk memahami kebaradaan pribadi Ghauts Hadzaz Zaman Ra
sebagai guru ruhani yang benar menurut
Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Al-Qur,an
menjelaskan; guru ruhani yang harus dicari dan diikuti oleh ummat adalah ulama
yang telah sadar kepada Allah Swt (ulama billah) dan yang telah berinaabah
kepada-Nya. Firman Allah Swt :
وَاتَبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ
إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
Dan
ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) [36]
kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat kamu kembali.
(Qs. Luqman : 15).
Kata
ثُمَّ
= kemudian,
dalam ayat diatas dapat dipahami bahwa manfaat mengikuti guru yang telah mampu
berinaabah, dapat mengantar atau membawa seseorang dekat, sadar dan kembali
kepada Allah Swt.
Pada
ayat lain dijelaskan tentang sebagian ciri-ciri guru ruhani. Mereka adalah
orang yang ahli dalam berzikir (telah memahami cara, manfaat, urutan dan
tahapan, tujuan akhirnya, dan lain sebagainya). Bagi mereka yang belum
membidangi tentang hal berzikir, tidak boleh berdzikir hanya berpedoman dengan
pemahamannya sendiri.
Firman
Allah Swt, Qs. An-Nahl : 43 :
فَاسْئَلُوا
أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
Bertanyalah
(tentang Allah) kepada para ahli dzikir jika kamu tidak memahaminya.
Orang-orang
yang bertaqwa kepada Allah Swt, masih diperintahkan senantiasa bersama dengan
orang-orang yang benar (dalam lahiriyah maupun batiniyah, dalam iman, islam
maupun ihsan). Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt :
يَأَيُّهَا الذِيْنَ
أَمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kalian kepada Allah dan beradalah kalian bersama dengan orang-orang yang benar.
(Qs. at-Taubah : 119).
Seseorang
bila dapat bertemu ulama yang shadiq (guru ruhani yang benar) sebagaimana
keterangan dalam ayat 119 surat at-taubah, dan kemudian ia terus bersamanya,
maka ia akan diantar dekat kepada Allah Swt secara benar dan lurus. Sebagaiman
tercermin dalam sabda Rasulullah Saw : [37]
كُنْ مَعَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
فَكُنْ مَعَ مَنْ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ.
Bersamalah
kamu semua dengan Allah. Jika tidak mampu, bersamalah dengan orang yang mampu
bersama Allah. Sesungguhya orang itu akan mengantarmu kepada Allah, jika kamu
bersamanya.
Rasa jenuh
sering timbul, setelah seseorang berada dalam suatu keadaan secara terus
menerus. Rasa jenuh ini merupakan sesuatu yang manusiawi. Demikikian pula,
seseorang meskipun sudah bertemu dan bersama Guru Ruhani Yang Kamil, setan/
nafsu tetap menggoda melalui rasa junuh ini. Dibisikkan kejenuhan dalam hati
murid, ketika dirinya atau keinginannya tidak segera mendapat perhatian atau
doa restu guru. Dan kemudian malas melaksanakan rabithah (sowan secara ruhani)
kepadanya. Dan bahkan, rela keluar dari barisan GURU RUHANI tersebut. Dalam hal
ini Allah Swt wa Rasulihi Saw benar-benar mewanti-waNti mukmin agar tetap dan
sabar bermakmum kepada Guru Kamil Mukammil. Firman Allah Swt, Qs. al-Kahfi :
28 :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدوآةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ
وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
تُرِيْدُ زِيْنَةَ الحَيَاةِ الدُنْيَا, وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلبَهُ
عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.
Sabarlah
kamu semua (tetap) bersama orang-orang yang memanggil Tuhan mereka diwaktu pagi
dan petang. Dan yang mengharapkan Dzat-Nya. Dan janganlah kamu memalingkan
pandanganmu dari mereka, hanya karena engkau menginginkan keindahan dunia. Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku,
mereka mengikuti hawa nafsunya, dan memanglah melampaui batas.
Dan ayat diatas diperjelas lagi oleh hadis riwayat Imam
Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas, yang menerangkan; wajib tetap bersabar
bersama guru, meskipun merasa kurang
senang terhadap sikap gurunya (misalnya dirinya atau keinginanannya tidak
segera mendapat perhatian atau doa restu). Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا
فَلْيَصبِرْ, فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa
yang kurang senang terhadap sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah.
Karena barangsiapa yang keluar dari Amirnya sejengkal saja, maka dapat
mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
Bersabar
dalam bermakmum dan mengikuti Guru Ruhani yang Kamil Mukammil merupakan hal
pokok untuk meluruskan keimanan.[38]
Jika seseorang keluar dari barisan al-Ghauts Ra dapat menyebabkan mati
sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah (berlumuran dosa syirik).
Dalam
mengulas makna hadis Bukhari dan Muslim diatas, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh
Daud Ibnu Makhala Ra (guru dari Syeh Muhammad Wafa Ra), mengatakan :
Barang
siapa yang keluar dari dunia (mati) sedangkan ia belum bertemu dengan lelaki
sempurna yang membimbingnya, maka ia keluar dari dunia dengan berlumuran dosa
besar (syirik), walaupun ia memiliki ibadah sebanyak ibadahnya seluruh mahluk
dari kelompok jin dan manusia.[39]
Berdasar beberapa hadis dan ayat
al-Qur’an yang menerangkan tentang pentingnya memiliki guru ruhani untuk
meluruskan iman dan Islam serta ihsan, al-Ghauts fii Zamihi Syeh Muhammad Wafa (w. 801 H),[40] menjelaskan :
مَنْ لَيْسَ لَهُ أُسْتَاذٌ لَيْسَ لَهُ
مَوْلَى وَمَنْ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى فَالشَيْطَانُ مَوْلَى لَهُ
Barang siapa tidak memiliki guru, maka ia tidak ada
pembimbing bagi dirinya. Dan barang siapa tidak ada pembimbing maka setanlah
pembimbingnya.
Para ulama yang Arif Billah,
mengatakan : Qalbu tidak dapat bersih kecuali dengan nadzrah (radiasi batin)
Nabi Muhammad Saw atau waliyullah yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut
dan yang telah teruji.[41]
لاَيُذْهَبُ كَدْرُ القَلْبِ إِلاَّ
بِنَظْـرِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ ذِي تَجْرِبَةٍ فِي هَذَا الشَأْنِ.
Kotoran
hati tidak akan hilang kecuali, kecuali dengan nadzrah nabi atau wali yang
memiliki keahlian yang teruji dalam bidang ini.
Dan
jika hati belum terbebas dari belenggu kemusyrikan, persowanan seseorang kepada
Allah Swt akan ditolak-Nya. Dan dipadang mahsyar ia akan dicampakkan dengan
penderitaan yang sangat pedih. Seluruh hartanya (harta lahir maupun harta
batin), anak-anak serta keluarganya tidak mampu menolongnya dari lembah
kemusyrikan dan kemurkaan Allah Swt.
يَوْمَ لاَيَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ
بَنُوْنٌ. إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
Pada
hari itu (kiamat) tidak dapat memberi manfaat, harta dan anak. Kecuali
orang-orrang yang datang (menghadap) kepada Allah dengan hati yang selamat
(bersih).
Sebagai pengamal dan khadimul Wahidiyah, mari kita
tingkatkan kesabaran dalam bermakmum kepada Beliau Hadratul Mukarrom Romo KH.
Abdul Latif Majid Ra. Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren
Kedunglo, serta senantiasa memohon kepada Allah Swt agar dapat beristiqamah
bersama Guru ruhani yang kamil mukammil.
Jangan sampai sebab permasalahan keduniawian kita belum
tercapai, cepat-cepat kita keluar dari barisan Ghauts Hadzaz Zaman Ra. Allah
Swt lebih mengetahui kapan waktu yang paling memberi manfaat untuk terkabulnya
doa.
Al-Fatihah
x 1.
Yaa Ayyuhal Ghautsu Salam … x 1.
Al-fatihah x 1
[1]. Terjemahan ayat dalam
bab safaat ini, kami menukil dari buku Tafsir Rahmat nya H. Omar Bakry.
Tafsir ini telah ditasheh oleh lembaga pentashheh al-Qur’an departeman agama
RI.
a.
pada
waktu perang khaibar. Rasulullah Saw meminta untuk diberi satu panah. Kemudian
Beliau memanahkan kearah benteng lawan, dan mengenai Ibn Abil Haqiq (salah
satau dari kafir) yang sedang tidur, sehingga mati.
b.
Pada
waktu perang uhud, Ubay Ibn Khallaf
(algojo kafir Quraisy) memburu Nabi saw. Kemudian Nabi saw menusukkan tombaknya
kedada Ubay.
c.
Pada
waktu perang badar. Para sahabat mendengar suara gemuruh dilangit, seperti
hujan batu kerikil. Pada saat itu Rasulullah Saw melemparkan beberapa batu
kerikil yang mengenai lawan (orang-orang kafir), sehingga ummat islam diberi
kemenangan oleh Allah.
Ayat
ini menegaskan yang melempar batu dan membunuh lawan bukan Nabi saw, melinkan
Allah swt. Lihat buku Asbab an-Nuzul
Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an (terjemah dari Lubab
an-Nuqul Fii Asbab an-Nuzul, nya Imam Suyuthi - penerbit CV. Diponegoro
Bandung cetakan ke 18 tahun 1996 – kemudian disebut Asbab an-Nuzul), hlm : 222
[3]. Dalam hadis masyhur, Rasulullah Saw
bersabda : تَخَلَّقُوا
بِأَخْلاَقِ الله
: berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah. Dalam hadis lain : أَدَّبَنِي
رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِي : Tuhanku telah mendidikku (ahlak), hingga baiklah ahlakku. Hadis
tersebut didukung oleh Allah Swt berfirman : وَعَلَّمْنَاهُ
مِنْ لَدُنَّا علْمًا : Dan Aku mengajarkannya
ilmu dari keharibaan-Ku (Qs. Qaf : 6).
وَأَمَّا عِلْمُ المُكَاشَفَةِ فَلاَ يَحْصُلُ
بِالتَعْلِيْمِ وَالتَعَلُّمِ وَإِنَّمَا يَحْصُلُ بِالْمُجَاهَدَةِ التِي
جَعَلَهَا اللهُ تَعَالَى مُقَدِّمَةً لِلْهِدَايَةِ
Ilmu mukasyafah (tersingkapnya
tabir hati hingga dapat sadar dan kembali kepada Allah Swt) tidak dapat
dihasilkan dengan pembelajaran ilmu. Dan sesungguhnya ia dapat dihasilkannya
hanya dengan bermujahadah, yang mana Allah Swt telah menjadikan mujahadah
sebagai pendahuluan dari hidayah.
Sebagaimana
lazimnya, didalam mujahadah dan sebelum mukasyafah turun, kondisi jiwa
seseorang terlebih dahulu akan mengalami
kondisi iman yang ihsan. Dan baru kemudian kondisi jiwa rasa sangat
membutuhkan pertolongan Allah Swt agar ditunjukkan kepada kebesaran dan
keagungan Rasulullah Saw maupun nama dan pribadi al-Ghauts Ra. Namu – berkat
fadlal Allah Swt semata -, dapat juga seseorang mendapatkan mukasyafah
kepada Rasulullah Saw atau kepada al-Ghauts Ra sebelum mencapai iman yang
ihsan.
[5]. Imam Syadzili Ra menjelaskan : وَمِنَ
الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يُتَّخَذَ الأَولِيَاءُ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ : Termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah dengan mahluk), sekiranya
mengambil auliya’ tanpa Allah (Kitab Thabaqatul
Kubra karya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra juz II dalam bab “Imam as-Syadzili”).
Seseorang akan terjebak kedalam kemusyrikan selama
memiliki kepercayaan bahwa makhluk dengan kekuatannya sendiri mampu memberi efek
(baik kepada dirinya maupun kepada yang lain) tanpa izin dan fadlal dari Allah
Swt.
[6]. Al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Daud Ibnu Makhala Ra, menjelaskan makna hadis riwaya Imam Muslim
(lihat dalam makalah ini pada ulasan “memahami keberadaan al-Ghauts Ra”) :
مَنْ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا
وَلَمْ يُصَادِفْ رَجُلاً كَامِلاً خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا مُتَلَوِّثًا
بِالكَبَائِرِ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِبَادَةِ الثَقَلَيْنِ.
Siapa saja yang
keuar dari dunia ini dan tidak pernah mushadif (mohon bimbingan iman) kepada
Guru Yang Kamil Mukammil, maka ia keluar dari dunia dalam keadaan berlumuran
dosa besar (syirik). Lihat kitab Thabaqat al-Kubra-nya al-Ghauts
fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra (w. 973 H) juz II, dalam bab “Syeh Muhammad Wafa” dan bab
“ImamSyadzali”.
[7]. Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah:
30 :
قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ وَيَسْفِكُ
الدِمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ : Mereka berkata : Apakah Paduka (Tuhan) akan memberikan jabatan khalifah
kepada manusia yang suka membuat kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan
kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau serta mensucikan Engkau ?.
Tuhan bersabda : إِنَّي أَعْلَمُ مَالاَ تَعْلَمُونَ : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui tentang sesuatu yang kalian tidak
mengetahui.
Dalam ayat selanjutnya
dijelaskan :
a. Setelah malaikat kalah dalam berdebat dengan
Nabi Adam As, mereka dapat memahami Nabi Adam As lebih pandai dan lebih layak
menjabat sebagai khalifah dibumi daripada kelompok mereka. Mereka berkata
kepada Allah Swt : قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا
عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ : Mereka berkata : Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari ilmu yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya
Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
b. Kekafiran iblis disebabkan tidak memahami
kekuatan serta kekuasaan khalifah/ rasul, sebagai pancaran dari kekuatan Allah
Swt semata (Qs. al-Anfal : 17 : وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَي : Tidaklah engkau {Muhammad} yang melempar ketika engkau melempar, tetapi
Allah yang melempar). Ayat ini
menjelaskan bahwa perbuatan setiap rasul, terlahir dari qudrah dan iradah
Allah.
[8]. Dalam Qs. al-Baqarah : 31 dijelaskan
setelah malaikat membanggakan diri terhadap amal dan ilmunya, kemudian Allah
Swt menunjukkan kekuasan-Nya dengan memberikan ilmu tentang segala sesuatu
kepada Nabi Adam secara langsung (laduni/ Ilham/ wahyu) tanpa melalui proses
belajar. Allah Swt bersabda : وَعَلَّمَ أدَمَ الآسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى المَلاَئِكَةِ
قَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ : Dan (Tuhan) mengajarkan kepada Adam tentang nama benda
secara keseluruhan. Kemudian mengkonfrontasikannya kepada malaikat. Tuhan
berfirman (kepada malaikat) : Sebutkan kepada-Ku nama benda-benda itu, jika
kamu memang kelompok yang benar. Dan kepada Allah Swt
malaikat berkata : قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا
عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ : Mereka berkata : Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan, Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mengetahui
kagi Maha Bijaksana.
Setelah para malaikat dapat
menyadari akan keterbatasan dirinya serta bersujud kepada Nabi Adam As, Allah
Swt bersabda kepada Nabi Adam As : قَالَ يَأَدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ : (Tuhan) bersabda : Wahai Adam, ceritakan (ajarkan) kepada
mereka nama seluruh benda.
[9]. Al-Ghauts fii
Zamnihi Syeh Abdul Qadir Jailani Ra dalam kitabnya al-Ghunyah juz II bab
“ma yajibu ‘ala al-mubtadi”, menjelaskan bahwa : فَصَارتِ
المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ
الأشْيَاِ كُلِّهَا : malaikat menjadi
murid nabi Adam, dan nabi Adam sebagai guru malaikat. Adam mengajarkan nama-nama segala sesuatu (dalam alam) secara
keseluruhan.
[10]. Dalam salah fatwa
amanatnya, Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan
Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, menjelaskan tentang jenis nafsu
manusia yang berjumlah 4 (empat). Pertama, nafsu BAHIMIYAH
(binatang ternak). Jika manusia jiwanya dikuasai nafsu ini, yang dikejar dalam
hidupnya hanya kepuasan perut dan kelamin. Mereka tidak pernah mau mengenal
Tuhan dan perintahnya. Kedua, nafsu SABU’IYAH
(binatang buas). Jika jiwa manusia menjelma sebagai binatang buas, kepuasannya
terletak dalam terkaman kepada orang lain. Ketiga, nafsu SYAITHANIYAH (setan/ iblis). Iri, ambisi, dengki, sombong dan ujub
(membangga-banggakan serta memamerkan amal kebaikan yang pernah dilakukan) akan
menjadi sifat dan watak manusia yang jiwanya sedang dikuasai oleh nafsu
syaithaiyah ini. Keempat, nafsu RUBUBIYAH
(ke-Tuhan-an dan sifat-sifat-Nya).
Rububiyah merupakan milik dan haknya Allah Swt. Jika manusia jiwanya dikuasai nafsu ini,
mereka berani merebut hak dan miliki Allah Swt. Kepuasan dalam hidup mereka,
adalah mendapatkan kehormatan dan kedudukan ditengah-tengah masarakat. Bagi
mereka, kehormatan diri lebih penting daripada kebenaran. Dan untuk meraihnya
mereka menghalalkan segala cara. Mengaku-aku sifat dan milik Allah Swt.
Misalnya; merasa hidup, mendengar, melihat, alim, berkuasa dan lain sebagainya.
Padahal hanya Allah Swt Yang Maha Hidup, Mendengar, Melihat, Kuasa dan
sifat-sifat baik lainnya. Nafsu yang terakhir ini meruapakan pangkal nafsu. Dan
ketiga nafsu lainnya terlahir dari nafsu ini.
[11]. Keterangan yang semakna dengan
keterangan ayat tersebut, juga terdapat dalam:
Az-Zumar : 49, al-Isra’: 67 + 83
dan an-Nahl : 53-54.
[12]. Makna ayat
diatas lebih ditegaskan lagi oleh ayat 17 surat
al-Anfal, bahwa kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatan Allah Swt
semata. : وَمَا رَمَيْتَ إِذْ
رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَي : Tidaklah engkau (Muhammad) yang melempar
ketika engkau melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
Dengan tegas ayat ini mengatakan kekuatan Rasulullah Saw adalah
kekuatan Allah Swt semata. Kekuatan rasul tidak boleh dipahami sebagai
kekuatannya sendiri, yeng terceraikan dari Allah Swt. Nilai syirik terletak
pada pemahaman, dan bukan pada perbuatan. Dengan demikian, seseorang dikatakan MUSYRIK
(menyekutukan Allah dengan rasul-Nya) selama tidak memahami kekuatan Rasullah
Saw merupakan kekuatan Allah Swt semata. Tetap dinamakan MUSYRIK meskipun tidak
bertawassul atau beristighatsah kepada Rasulullah Saw, selama memiliki
pemahaman kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatannya sendiri, dan bukan
kekuatan Allah Swt. Dan dinamakan BERTAUHID, ban bukan MUSYRIK, meskipun
bertawassul atau beristighatsah kepada Rasulullah Saw, selama memahami
kekuatannya adalah kekuatan Allah Swt. Rasulullah Saw hanyalah sebagai hamba
terpilih untuk dijadikan tempat tajalli (tempat penampakkan sifat)-Nya yang
sempurna.
Mendekat kepada Rasulullah Saw untuk bertawassul maupun
beristighatsah, berarti mendekat kepada ‘Nur Ilahiyah”-nya Allah Swt semata.
[13]. Imam
Ahmad Ibn Muhammad as-Shawi Ra dalam tafsirnya pada penjelasan surat an-Nisa,
ayat 150 – 151. Beliau adalah diantara para ahli tafsir yang berpangkat
al-Ghauts
[14]. HR. Imam
Ahmad dalam Musnad, Thabrani dalam al-Ausath, Baihaqi dalam Su’bul
Iman dari jalur Uqbah Ibn Amir. Dan juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad,
Ibnu Adi dalam al-Kamil namun dari jalur Ishmah Ibn Malik. Kitab Jami’
as-Shagir juz I dalam bab “alif”.
[15]. HR. Imam Ahmad dari Umar
Ibn al-Khatthab dalam dalam Jami’ as-Shaghir, juz I, bab “alif”. Beliau
mengatakannya sebagai hadis “shahih”.
[16]. HR. Imam
Thabrani dari Abu Darda’ dalam kitab Jami’ as-Shagir, juz I, pada bab
“alif”.
[17]. HR. Ad-Dailami, dari Ibnu Abbas Ra dalam Jami’
as-Shaghir, juz I, pada bab “alif”. Mujtahid adalah orang yang memahami/
menggali hukum / menafsiri dari
al-Qur’an dan al-Hadis.
[18]. Perbuatan baik
seperti shalat atau lainnya, dilakukannya bukan karena semata-mata menjalankan perintah
Allah Swt, tapi hanya untuk menyembunyikan niat buruknya serta untuk
mengelabuhi pandangan ummat terhadap niat jahatnya.
[19]. Dalam surat at-Taubah ayat 54,
dijelaskan bahwa malas mendirikan shalat termasuk sifat dari orang kafir.
إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ
وَلاَيأْتـُونَ الصَلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنْفـِقُونَ إِلاَّ
وَهُمْ كَارِهُونَ
Sesungguhnya mereka
kafir dengan Allah (billah) dan dengan rasul-Nya (birrasul), dan mereka tidak
mengerjakan shalat kecuali dengan malas, dan tidak mengifaqkan hartanya kecuali
dengan terpaksa.
[20]. Riya’ adalah melakukan kebaikan
bukan untuk mencari keridlaan Tuhan, tetapi untuk mencari pujian dan
kemasyhuran dalam pergaulan masarakat. Orang-orang yang menjadikan shalat untuk
mencari pujian dari sesama (berbuat riya) akan dimasukkan kedalam neraka wail
Firman Allah Swt, Qs.
al-Ma’uun :
فَوَيلٌ
لِلْمُصَلِّيْنَ. الذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ. الذِيْنَ هُمْ
يُرَاءُونَ. وَيَمْنَعُونَ الماعُونَ
Maka, neraka wail diperuntukkan bagi
orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang
yang berbuat riya’. Dan mereka enggan menolong dengan barang yang dibutuhkan
masyarakat.
[21]. Para ulama telah sepakat, bahwa makna
menegakkan shalat adalah melaksanakan shalat secara lahir (sebagaimana tata
cara yang dijelaskan dalam ilmu fiqih) dan secara batin (memahami, menghayati
dan megamalkan makna rukun dan sunnahnya setelah melaksanakan secara lahiriyah.
Pemahaman shalat secara syariah dan
hakikah, sudah tentu akan membuahkan prilaku yang jauh dari kemungkaran, dan
akan dikarunia Allah Swt akhlak yang mulia, serta mudah ingat kepada
Allah Swt dalam segala keadaan. Sebagaimana
yang dijelaskan dalam Qs. Al-Ma’arij : 19–27 :
إنَّ
الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَامَسَّهُ الشَرُّ جَزُوعًا وَإِذَامَسَّهُ
الخَيْرُ مَنُوعًا
إِلاَّالمُصَلِّيْنَ.
الذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ دَائِمُون. وَالذِيْنَ هُمْ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ. لِلسَائِلِ
وَالمَحْرُومٍ. وَالذِيْنَ يُصَدِّقُونَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ وَالذِيْنَ هُمْ مِنْ
عَذَابِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ.
Seungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Ketika mendapat kesusahan
ia berkeluh kesah. Dan ketika mendapat kenikmatan ia amat kikir. Kecuali orang
yang menegakkan shalat. Yaitu, orang-orang yang melaksanakan shalat secara
terus-terus (shalat daim). Dan orang-orang yang (sadar) dalam hartanya terdapat
bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta-minta dan orang yang tidak
mempunyai apa-apa (tapi tidak mau meminta-minta). Dan orang yang mempercayai
hari pembalasan. Dan orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya.
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa menusia memiliki sifat yang amat
buruk dalam memandang suka dan duka. Dan pada Qs. Ar-Ruum : 33, 34 dan 36, juga diterangkan :
وَإِذَامَسَّ النَاسُ ضُرٌّ
دَعَوْارَبَّهُمْ مُنِيْبِيْنَ إِلَيْهِ وَإِذَا أَذَاقَهُمْ مِنْهُ رَحْمَةً إِذَاَفرِيْقٌ مِنْهُمْ
مُشْرِكُوْنَ لِيَكْفُرُوا بِمَاآتَيْنَاهُمْ فَتَمَتَّعُوا فَسَوفَ تَعْلَمُونَ
وَإِذَا أَذَقْنَا النَاسَ رَحْمَةً فَرِحُوا بِهَا وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ
بِمَا قَدَّمَتْ أيْدِيهِمْ إِذَا هُمْ يَقْنَطُونَ
Dan ketika manusia
tersentuh musibah, mereka berdoa kepada Tuhan seraya mengembalikan segala
sesuatu datang dan kembali kepada-Nya (Inaabah). Dan ketika mereka telah
merasakan rahmat dari-Nya, sebagian dari mereka menyekutukan-Nya dengan yang
lain hingga mengkufuri
apa-apa yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka rasakanlah (perbuatanmu
itu), niscaya kalian akan mengetahui (akibatnya). Dan ketika Kami telah memberi
(rasa) rahmat kepada manusia, maka gembiralah mereka, dan ketika mereka
tertimpa musibah (keburukan) akibat dari ulah mereka dimasa lampau segera saja
mereka putus asa.
وَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا
إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَاكَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ
مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ للهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ
بِكُفْرِكَ قَلِيْلاً إِنَّكَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ.
Dan, ketika manusia tertimpa kesusahan, ia
berdoa kepada Tuhan-Nya seraya berinaabah kepada-Nya. Namun, ketika ia mendapat
ganti kenikmatan dari-nya, ia kalau pernah berdoa kepa-Nya. Serta membuat
tandingan untuk-Nya hingga ia tersesat dari jaln-Nya. Katakanlah,
bersenang-senanglah kamu sebantar, sesungguhnya kamu dari golongan penghuni
neraka. (Qs. az-Zumar/8)
[22]. Kitab Muhtashar Ihya, ‘Ulum
ad-Diin-nya al-Ghauts fii Zamnihi Imam Ghazali Ra, bab IV pasal “keutamaan
khusyu”.
[23]. Sebagian ulama
– dengan alasan demi kehati-hatian, lil-ihtiyath - memasukkan
pengingkaran terhadap kesepakatan bersama, termasuk bagian dari sifat kemunafikan.
[25]. Kitab Minhaj
al-Abidiin oleh Imam al-Ghazali dalam “muqaddimah”.
Dalam kitab tafsir al-Qurthubi dalam Qs.
az-Zumar ayat 22 diterangkan, bahwa yang
menerima “Nur ilahiyah” secara sempurna hanyalah Hamba Allah yang Kamil (al-Ghauts- pen). Romo KH.Abdul Latif
Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, dalam
salah satu fatwa amanatnya menjelaskan; bahwa iman itu terbagi menjadi tiga
bagian : iman qauliyah (ucapan), iman ilmiyah dan iman
musyahadah (kesaksian).
[26]. Kitab Jam’ as-Shaghir juz I
pada bab alif. HR. al-Bazzar dari Ibnu
Mas’ud Ra. Imam Suyuthi mengatakan : hadis ini berderajat hasan.
[27]. HR. Abus Syeh dari Abu Dzarr. Kitab Jami’
as-Shaghir juz I dalam bab “alif”. Imam Suyuthi
mengatakan : hadis ini berderajat dla’if.
Para ulama mengatakan, hadis dla’if yang
menjelaskan tentang fadlilah amal, baik untuk diamalkan. Lebih-lebih hadis
tersebut terdapat hadis lain yang mendukung dan menguatkan maknanya, maka
menjadi hadis hasan lighairihi, dan boleh diamalkan.
[28]. Kitab Saadah ad-Daraini-nya al-Ghauts
fii Zamanihi Ra Syeh Yusuf an-Nabhani Ra (w. 1350 H) dalam bab 10 “faidah
sholawat Nabi Saw & buahnya”,
beirut, “dar-al-Fikri, tt.. hlm : 506 – 507..
[29]. Lihat kitab Sa’adah ad-Daraini halaman 462. Ta’alluq
kepada Rasulullah Saw tercermin dalam makna shalawat “Ainul Wujud”.
Shalawat ini termasuk jenis shalawat maktsurah yang diajarkan oleh Rasulullah
Saw kepada Fathimah az-Zahra’. Susunan redaksinya adalah:
اللهمَّ صلِّ على رُوحِ مُحَمَّدِ فِي
الأرْوَاحِ وَعَلى جَسَدِ مُحَمَّدٍ فِي الأجْسَادِ وَعَلَى نُورِ مُحَمَّدٍ فِي
الأَنْوَارِ وَعَلَى قَبْرِ مُحَمَّدٍ فِي القُبُورِ
Ya Allah sampaikan shalawat-Mu kepada
ruh Muhamad yang ada dalam seluruh ruh, kepada jasad Muhamad yang ada dalam
segala jasad, kepada cahaya Muhammad yang ada dalam segala cahaya dan kepada
kubur Muhamad yang ada dalam seluruh kubur. Kitab al-Ghunyah,
Kitab Sa’adah
ad-Daraini, Syeh an-Nabhani Ra dalam bab “shalawat ke 6, dan kitab al-Ghunyah
Syeh Abdul Qadir Jailani Ra, juz I dalam kitab haji, bab 8.
[30] Lihat kitab Thabaqat al-Kubra-nya
Syeh Sya’rani, atau kitab Tahrir ad-Durar nya KH.Mishbah Zain
al-Mushthafa, Bangilan, Tuban, Jawa timur, dalam bab “Syeh Ali al-Khawash”.
Keterangan sepadan terdapat dalam kitab Kimya’ as-Sa’dah nya al-Ghazali
(kitab ini diterjemah oleh Gus Mus, Rembang, Jawa Tengah, dan diberi pengantar
oleh Bpk KH Sahal Mahfud – Rais Am Suriah jam’iyah NU, tahun 2005).
Tokoh NU ini menjelaskan; bahwa tanpa melalui Rasulullah Saw, perjalanan menuju
Allah Swt akan mengalami kegagalan.
[31]. Rasulullah Saw
merupakan rahasia dari ayat-ayat (bukti keberadaa) Allah Swt yang terbesar, paling
lengkap dan sempurna. Oleh
karenanya, para ulama salafus shalih (seperti Imam Maliki, Imam Syafi’i,
Syeh Sufyan Tsauri, Imam Timidzi, Imam Baihaqi dll), para pembesar kaum sufi
(Abu Dzar al-Ghifari, Hasan al-Bashri, Ibnul Mutsayyab, Dzun Nun al-Mishri,
Syeh Junaid al-Bagdadi, Syeh Sahal
at-Tustari, al-Qusyairi, Syeh Abdul Qadir al-Jailani, Imam Syadzili, Syeh
Samsuddin al-Hanafi dan para ulama lainnya),
ketika dzikrur rasul (ingat kepada rasul) mereka mudah bercucuran
airmatanya.
Ketika mukmin menangis karena Allah
Swt, terdapat 3 kondisi : adakalanya karena dosa, adakalanya karena dorongan
terhara dan rasa syukur terhadap nikmatnya dan adakalanya karena terharu
terhadap kebasaran dan keagungan Allah Swt yang ditampakkan melalui Rasulullah
Saw atau al-Ghauts Ra pada setiap zaman.
[32]. Kitab al-Anwarul
Qudsiyah fii Ma’rifati Qawaa’id as-Sufiyah dalam bab ‘muqaddimah”.
Yang mana kitab ini ditulis disebabkan - waktu itu - sudah banyak penyimpangan yang terjadi dalam
lingkungan kaum sufi dan para guru tarekat. Demikian pula, ketika al-Ghauts fii
Zamanihi Imam al-Qusyairi Ra (w. 465 H) menulis kitab Risyalah
al-Qusyairiyah, dan al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam al-Ghazali Ra menulis kitab
Ihya’ Ulumuddin. Pada masa Beliau Ra berdua, terjadinya penyimpangan
yang telah dianggap kebenaran dari para pembimbing tarekat sufi, sehingga
kebanyakan kaum fuqaha’ menganggap tasawuf sebagai amalan yang kurang dapat
dipertanggung jawabkan dalam sunnah Islam.
Shalawat
Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif
Shalawat Wahidiyah QS wa Ra dimaksudkan mengembalikan inti tasawuf sebagaimana
yang diwariskan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat nabi. Islam, pada awalnya
tidak memisahkan antara aqidah (sebagai jiwa), fiqih (sebagai pelaksanaan hukum
lahiriyah) dan moral (sebagai keluhuran budi). Namun dalam perkembangan
akhir-akhir ini, ummat Islam dalam prilaku hidup dan perjuangannya memisahkan
antara ketiga hal tersebut. Banyak ahli fiqh yang tidak memerhatikan hal nafsu
dan makrifat. Demikian pula banyak pelaku tasawuf kurang memperhatikan amal
syariah.
[33]. Ibid.
Dalam bab “sanadul qaum”, Syeh Sya’rani menjelaskan bahwa para guru
mursyid waktu itu adalah orang yang keshalihan, kewara’an dan kezuhudannya
seperti yang dicontohkan oleh Rsulullah Saw. Dan pula – masih keterangan Syeh
Sya’rani -, Beliau Ra memiliki amalan yang sanadnya antara dirinya dengan
Rasulullah Saw hanya terhalang oleh 1 atau 2 orang GURU MURSYID, yang akhirnya
Beliau Ra mengambil langsung dari Rasulullah Saw setelah Guru Mursyid-nya
wafat. Beliau Ra mencari hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw
melalui Syeh Ali al-Khawash. Dan Syeh Ali
al-Khawash melalui Syeh Ibrahim al-Matbuli Syeh Ibrahim al-Matbuli dari
Rasulullah Saw secara langsung. Kemudian setelah wafatnya Syeh Ibrahim
al-Matbuli, Syeh Ali al-Khawash mengambil langsung dari Rasulullah Saw.
[34]. Diantara tanda-tanda SAH
dan BENAR-nya tarekat, dapat membawa pengamalnya dekat bahkan
bersatu dengan Rasulullah Saw secara ruhani maupun musyafahah (dapat berdialog).
Jika tidak , maka batal tarekat tersebut. Lihat dalam kitab al-Anwarul
Qudsiyah juga dalam “sanadul qaum”
[35]. Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin
Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
[36]. Inabaah (sebagai kata jadian dari
kata anaaba yang berarti kesadaran tentang kembalinya segala sesuatu
kepada Allah Swt. (kitab “at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali al-Jurjani, bab alif). Dan dalam kesimpulan dari Prof. Dr. Abu Bakar
Atjeh; bertasawuf sama dengan berinabah yang berarti =
perpindahan dari satu keadaan menuju kepada keadaan lain yang lebih tinggi dan
mulia (lihat dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sejarah Sufi &
Tasawuf” dalam bab I). Dapat berinaabah kepada Allah Swt merupakan tanda
kebahagiaan seseorang dihari kemudian. Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ
الإِنَابَةَ
Sesungguhnya
diantara kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi
rizki inaabah. Kitab Jami’ as-Shagir Imam
Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif.
[38]. Hal ini disebabkan
malaikat yang tidak memiliki dosa serta termasuk golongan arifin dan muqarrabin
saja, masih harus bermakmum dan berguru kepada Guru (Nabi Adam As), apalagi
kita, manusia adalah mahluk yang penuh dosa
[39]. Lihat kitab Tbaqatul Kubra-nya
Imam Sya’rani, juz II dalam bab kisah “Syeh Ibnu Makhala”,
[40]. Ibid. Diterangkan dalam juz II,
bab “Syeh Wafa”, Syeh Wafa adalah al-Ghauts yang tidak bisa membaca dan menulis
karena buta sejak umur 4 tahun. Namun sejak umur enam tahun Beliau Ra sudah
tampak karamahnya.
[41]. Kitab Tanwir
al-Qulub-nya Syeh Amin al-Kurdi dalam
juz II pada bab tasawuf .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar