YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
I. 01. 317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
I. 01. 317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
030.01.317 - MUJAHADAH (Nida' Empat Penjuru, Tasyafu’ Dan Istighatsah Dengan Berdiri).
Bahasan 3
Nida’
Empat Penjuru
A.
Sunnah Dan
Bid’ah.
Nida’
empat penjuru termasuk jenis amal shalih yang dizinkan oleh sunnah Rasulullah
Saw. Dan agar kita tidak memiliki anggapan bahwa nida’ empat penjuru sebagai
amalan bid’ah (tidak ada dalam sunnah Islam), ada baiknya jika terlebih dulu
memahami tentang makna sunnah dan bid’ah secara singkat.
1.
Perbedaan dan Persamaan
Sampai
saat ini dalam tubuh ummat Islam masih terjadi perbedaan dalam memberikan
penafsiran tentang makna sunnah dan bi’ah. Masing-masing
mendakwakan diri bersumber dari pedoman dalam al-qur’an dan al-hadis. Tujuan
mereka sama, agar setiap muslim dalam menjalankan syariah Islam tidak
tercampuri oleh prinsip-prinsip yang bertentangan dengan kaidah syariah Islam.
Perbedaan
merupakan sesuatu yang wajar dalam kehidupan. Namun yang sangat disayangkan
perbedaan tersebut sering ditunggangi oleh interes ego individual atau ego
kolektif, yang pada akhirnya berubah menjadi perselisihan, dan kemudian
menimbulkan ketegangan antara satu paham dengan paham lainnya yang tak kunjung
usai. Bahkan yang sangat ironis lagi,
diantara mereka - karena dorongan ego - terdapat orang yang mengklaim
bahwa sunnah rasul adalah suatu paham atau ajaran yang hanya sesuai dengan
pemahaman dan pemikirannya, sedangkan pendapat orang lain berseberangan dan
menyimpang dari sunnah. Hanya tafsiran dan uraian dari dirinya atau kelompoknya
saja yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. Akibat dari pemikiran sempit
serta beraroma nafsu semacam ini, jika ada orang yang berseberangan dengan tafsiran
dan pikirannya, cepat-cepat dituduh telah berseberangan dan menyimpang dari
sunnah rasul, padahal baru berseberangan dengan pendapat dan pemikirannya
(Semoga Allah membebaskan kita dari belenggu arogansi ilmiyah serta belenggu
nafsu semacam ini).[1]
Kelompok
pertama, mengatakan : amalan apa saja yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah Saw, merupakan amalan yang tidak boleh dilakukan. Menurut kelompok
ini, Islam secara lahiriyah dan batiniyah telah sempurna, dan karenanya tidak
perlu lagi ada tambahan dalam bentuk apapun. Menurut pengakuan mereka, pendapat
ini didasarkan pada beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw, yang
antara lain :
a.
Firman
Allah Swt, Qs. al-Maidah : 3 :
اليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ الاِسْلاَمَ دِيْنًا
Pada
hari ini, telah Aku sempurnakan untuk kamu semua agamamu, dan telah Aku
lengkapkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridlai untuk kamu Islam sebagai
agama.
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا
لَيْسَ فِيْهِ فَهُو رَدٌّ.
Barang siapa yang mengadakan
hal baru, yang tidak ada dalam agama
kita ini, maka amalan itu tertolak.
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الاُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٍ
Takutlah kamu semua
tentang perkara yang baru. Sesungguhnya semua bid’ah (perkara yang baru) itu sesat.
Ayat dan hadis diatas, oleh kelompok pertama ini dijadikan
pijakan penentuan hukum dan arti kata bid’ah. Diantara fatwa mereka :
1.
Ajaran Islam telah sempurna, dan tidak lagi memerlukan
tambahan. Serta sesuatu yang baru dalam agama (tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah Saw) adalah bid’ah yang sesat.
2.
Menambah amalan baru didalam Islam, berarti menganggap
Islam belum sempurna dan menganggap bodoh kepada Nabi Muhammad Saw. Karena
membawa tuntunan Islam belum sempurna.
3.
Untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (ibadah mahdlah)[4],
muslim sudah dapat mencukupkan diri dengan amalan shalat, puasa, zakat, haji,
dzikirulllah serta amal shaleh yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Amalan yang tidak ada pada zaman Rasulullah Saw, merupakan amalan baru (bid’ah)
yang tidak perlu diikuti dan yang harus diberantas.[5]
Sedangkan kelompok kedua, mengatakan; memang benar
ajaran Islam telah sempurna dan tidak lagi memerlukan tambahan. Namun yang
perlu diperhatikan, diantara wujud kesempurnaan tersebut adalah adanya 3 (tiga)
sunnah dalam Islam yang hakikinya merupakan satu sunnah saja. Sebagaimana
tercermin dalam hadis :
أُصِيْكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ وَالسَمْعِ وَالطَاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
حَبَشِيٌّ, وَإِنَّهُ مَنْ يَعْشِ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَاشِدِ يْنَ المَهْدِ يِّيْنَ
عَضُّواعَلَيْهَا بِالنَوَاجِدِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الاُمُورِ فَإِنَّ
كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ
Aku berwasiyat kepadamu semua dengan taqwa kepada Allah, serta mendengarkan
dan mentaati (perintah pimpinan). Walaupun sekiranya memimpin atas kamu semua
seorang hamba habasyi (sahaya). Dan sesungguhnya diantara kamu semua yang hidup
(pada masa itu), akan melihat banyak perbedaan. Wajib bagi kamu semua perpegangan
dengan sunnah-Ku dan sunnah khulafaur rasyidin (yang mendapat
petunjuk Allah). Gigitlah sunnah tersebut dengan geraham. Takutlah kamu semua
tentang perkara yang baru. Sesungguhnya semua bid’ah (perkara yang baru) itu sesat.
Makna
hadis riwayat Abu Daud diatas bukan berarti menunjukkan adanya dua sunnah
(sunnah rasul dan sunnah khulafaur rasyidin). Yang mana satu dengan lainnya
saling menandingi. Akan tetapi hanya satu sunnah, yakni Sunnah Rasulullah Saw.
Sunnah rasul sebagai pokok dan inti sunnah. Sedangkan sunnah khulafaur
rasyidin sebagai sunnah penjelasan dan penjabaran.
مَنْ
سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ مَنْ سَنَّ فِي
الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزَرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik,
maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut
dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Dan siapa saja yang
membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa dan
dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa
mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari keterangan hadis
ayat 3 surat al-Maidah diatas, antara lain :
a.
Sunnah rasul merupakan pedoman pokok dan inti dalam
Islam yang tidak perlu lagi ada tambahan didalamnya. Dan jika ada seseorang
menambah atau menyelipkan suatu pedoman baru didalamnya, disebut pelaku bid’ah
yang sesat.
b.
Sunnah sahabat atau sunnah ulama, bersifat tidak paten
dan sementara (baik dalam waktu atau untuk daerah tertentu). Yang artinya suatu
waktu akan disempurnakan oleh generasi berikutnya, atau hanya berlaku pada
daerah tertentu. Namun ada juga sunnah sahabat dan ulama yang yang dapat
dilaksanakan dalam semua waktu atau semua daerah muslim.
c.
Sunnah sahabat atau ulama, bukan merupakan tandingan
atau tambahan terhadap sunnah rasul, yang dapat dikatakan bid’ah. Akan
tetapi merupakan penjelasan dan penjabaran yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw
sendiri.
d.
Sebagai pedoman pokok dalam hukum Islam, sunnah rasul
berlaku untuk setiap zaman, dan akrenanya bersifat ringkas, padat makna dan
mencakup segala aspek kehidupan.
e.
Bagi ulama yang tidak ahli, tidak diizinkan mengulas
atau menjabarkan sunnah rasul. Mereka dianjurkan mengikuti (taqlid) sunnah
sahabat dan ulama.
Sedangkan bentuk-bentuk
sunnah yang telah dibangun oleh para ulama, antara lain :
a)
sebagai ulasan ilmiyah terhadap pedoman pokok, seperti
yang terdapat dalam beberapa kitab atau buku agama.
b)
berupa sistem pemilahan dari satu ilmu kemudian dirinnci
menjadi beberapa ilmu, beberapa pasal/ bab, dan pembagian jenjang pendidikan
(kelasa 1, 2 dan seterusnya).
c)
berbentuk sarana yang dapat mempermudah terlaksana
sunnah pokok, seperti memangun gedung pendidikan, mendirikan jamaah atau
oraganisasi, dan lainnya.
d)
berupa pengaturan urutan sistem pendidikan akhlak hati yang
tersusun rapi dalam kurikulum tarekat sufi.
e)
berbentuk rangkaian doa atau amalan (khizb/ ratib/
shalawat ghairu maktsurah).
Dengan demikian, kita dapat memahami pengertian
keebenaran yang diberikan oleh kelompok kedua. Seperti makna Muhdatsah
al-Umuur = amalan baru, dan riwayat
Imam Muslim, adalah التِي لَيْسَتْ عَلَى قَوَاعِدِ الشَرْعِ وَلاَ
فِيْهَا مَا يُؤَيِّدُهَ : Sesuatu yang tidak ada pedoman dalam syariat dan tidak
ada dasar yang menguatkannya.[8] Dan yang dimaksud kebenaran al-haq/ adalah; وَالحَقُّ
مَا جَاءَ بِهِ الكِتَابِ وَالسُنّةِ نَصًّا أَوْ إِسْتِنْبَاطًا : Kebenaran ialah sesuatu yang didapat dari al-Qur’an baik
secara ketentuan langsung (tersurat) atau ketentuan dari hasil penggalian hukum
yang ada didalam nash (istinbat). [9]
Berikut
ini kami paparkan tentang makna sunnah yang memiliki arti berhadapan
dengan bid’ah, yang telah diberikan oleh para ulama. Mereka membagi
sunnah kedalam dua bagian; sunnah mujmali (pokok) dan sunnah tafshili
(rincian/ penjabaran).[10] Kebenaran, kebaikan dan kesempurnaan
sunnah yang bersifat mujmali (pokok) adalah mutlak. Sedangkan sunnah tafshili,
didalamnya terdapat sunnah yang benar dan sunnah yang salah. Sunnah tafshili
dapat dikatakan benar dan baik, jika sesuai dengan makna serta tujuan, dan lagi
dapat menguatkan dan mendukung pelaksanaan sunnah mujmali. Dan dikatakan sunnah
yang salah (bid’ah atau sesat), jika tidak sesuai dengan makna dan tujuan sunnah
mujmali.[11]
Kami dari Yayasan Perjuangan Wahidiyah Pusat Dan Pondok
Pesantren Kedunglo al-Munadzdzarah memilih mengikuti ulama kelompok kedua,
dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada ulama kelompok pertama.
Sebagai pijakan dasar hukum yang kami pegangi, adalah
pendapat para sahabat Nabi Saw, Imam Syafi’i Ra,Imam Maliki (salafus shalih),
[12] Imam Nawawi, Imam Suyuthi,
Syeh Junaid al-Bagdadi, Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, Syeh Abdul
Qadir al-Jailani, Imam Abul Hasan as-Syadzili, Syeh Ibnu Athaillah
as-Sakandari, Imam Syakhawi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, Syeh Abdullah Alwi
al-Haddad, Syeh Ahmad Kasykhanawi, Syeh Yusuf lsmail an-Nabhani dan para ulama dari kalangan kaum sufi atau ulama yang
sejalan dengan mereka.
Kaitan dengan bid’ah (amalan baru) para ulama dalam
beberapa kitab yang ditulisnya, membagi kedalam dua bagian : [13]
a.
Amalan baru yang terpuji (bid’ah mahmudah), adalah amalan baru yang sesuai dengan makna
dan tujuan sunnah pokok.
b.
Amalan baru yang tercela (bid’ah madzmumah), adalah
amalan baru yang menyalahi makna dan tujuan sunnah pokok.
2.
Kata Musytarak (Arti Ganda).
a.
Menurut ulama fiqih, sunnah adalah salah satu hukum
dari hukum pokok dalam Islam (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah).
b.
Menurut ulama hadis, sunnah adalah sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik ucapan, perbuatan, persetujuan,
akhlak, atau sejarah hidup.
c.
Menurut ulama sufi arti sunnah disepadankan dengan
kata thariqah (tuntunan/ bimbingan / jalan hidup/ way of life) yang pondasinya
telah diletakkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
d.
Menurut ulama ushul Fiqih, sunnah adalah sesuatu
yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw, baik ucapan, perbuatan, persetujuan
atau sifat. Sunnah dalam arti ini merupakan salah satu sumber hukum dalam
Islam. Dan arti sunnah semacam inilah yang berlawanan dengan arti bid’ah.
Makna sederhana dari kata sunnah yang
berlawanan dengan ”bid’ah”, adalah :
وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ
مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ
Thariqah (jalan) yang diridloi Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam
nash (secara langsung/ tersurat), akan tetapi melalui penggalian makna dari
nash (istinbath).[15]
Dapat dikatakan sebagai thariqah, sistem atau ulasan yang
baik dan benar, jika sesuai dan sejalan dengan makna dan tujuan sunnah/
thariqah pokok, dan dikatakan thariqah yang buruk dan menyesatkan, jika
menyimpang dari makna dan tujuan sunnah pokok. Metode, amalan, kurikulum,
tarekat, sistem, bimbingan atau istilah lain yang sepadan apa saja tidak dapat
dikatakan bid’ah, atau sebagai tandingan terhadap sunnah pokok, selama
memiliki dasar pijakan dari hukum pokok (al-qur’an dan al-hadis), serta dapat
menguatkan pelaksanaan dan tujuan sunnah rasul.
Makna
sunnah ulama dapat juga diartikan dengan thariqah.[16] Artinya, metode pembelajaran, kurikulum (baik
berbentuk sebagai uraian ilmiyah, sistem pendidikan, atau amalan (seperti wirid
dan kurikulum pendidikan dalam ajaran tasawuf dan tarekat). Para ulama yang
ahli dalam bidangnya mengulas dan menjabarkan sunnah rasul. Ada yang
menjabarkan dalam bidang syariah (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan
lainnya). Ada yang menjabarkan dalam bidang aqidah (Imam Abul Hasan al-Asy’ari,
Abu Mansur al-Maturidi, al-Baqilani dll). Ada yang menjabarkan dalam bidang
akhlak dan tasawuf (Imam Hasan al-Bashri, Sa’id Ibnul Musayyab, Imam Ja’far
Shadiq, Syeh Junaid al-Bagdaadi, Imam Abu Hamid al-Ghazali dll). Ada yang
menjabarkan dalam bidang tafsir al-Qur’an (Imam Ibnu Katsir, al-Qurthubi,
at-Thabari, Imam Ahmad as-Shawi, Imam Jaluddin as-Suyuthi dll). Dan ada yang
menjabarkan hadis yang telah terbukukan (Imam Ibnu Hajar al-Asqalaani, Imam
al-Qusthalaani, Imam Nawaawi, Imam Suyuuthi dll). Dan ada yang membangun sistem
perjuangan dan dakwah, dan lainnya.
Dalam kitab Dalil
al-Falihin juz I, pada bab “larangan mengikuti bid’ah”, memberi penjelasan
hadis riwayat Muslim diatas, membagi bid’ah kedalam lima (5) bagian :
a.
Bid’ah yang wajib:
membukukan al-Qur’an pada zaman sahabat Umar Ibn Khatthab Ra, membukukan hadis
Nabi Saw pada zaman khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (w.107 H).
b.
Bid’ah yang haram : yaitu
bid’ah yang bertentangan dengan pedoman dalam syariah.
c.
Bid’ah yang sunnah : yaitu
setiap kebaikan yang belum pernah terjadi pada masa periode awal islam.
Misalnya, membangun taman pendidikan atau pesantren, menyusun dan membicarakan
laddzatnya rahasia ilmu ma’rifat/ tasawuf (kepada sesama ahlinya).
d.
Bid’ah yang mubah :
menambah rasa lezat makanan, menghias bangunan masjid, rumah, dll.
e.
Bid’ah yang makruh.
Dan dalam kitab Manhal al-Lathiif tulisan Syeh Muhammad Ibn ‘Alwi
al-Hasani, pasal I, dalam bab “sunnah”,
menjelaskan arti sunnah, sebagai berikut
:
كُلُّ مَاَأُضِيْفَ إلَىِ النَبِيِّ
صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوإِلَى أَصْحَابِهِ
قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَو تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً
Segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Saw atau sahabatnya, baik dalam ucapan, perbuatan,
ketetapan maupun sifat.
Dengan
demikian kita sebagai muslim, dalam memandang baik atau buruknya suatu amalan bukan didasari analisa sepihak secara
individual, apalagi didasari oleh kecemburuan sosial. Dalam memandang setiap
sesuatu yang baru dalam Islam, haruslah merujuk kepada kaidah al-Qur’an dan
al-hadis serta qaul ulama yang telah menguasai kandungan al-qur’an dan hadis (seperti
Imam Syafi’; Imam Hanafi, Imam Shawi, al-Qurthubi, Ibnul Qayyim al-Jauziyah,
Imam Ja’far Shadiq, Syeh Junaid al-Bagdadi, Imam al-Ghazali, Imam Syadali, Syeh
Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari Ra dan lain sebagainya).
B.
Pengertian
Nida’ 4 Penjuru
1.
Yang dimaksud
dengan nida’ empat penjuru ialah berdo’a memohon kehadirat Allah Swt dengan
cara berdiri menghadapkan arah barat, utara, timur dan selatan; yang dibaca
do’a “ Fafirruu Ilallah .... “ 3x, dan “ Waqul Jaa Alhaqqu wa Zahaqal bathil
inna bathila kaana zahuqaa “ 1x, ditujukan untuk memanggil dan mendoakan ummat
dan masyarakat agar segera sadar kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.
2.
Nida’ empat
penjuru dianjurkan untuk dilaksanakan pada bagian akhir acara, setelah
pengamalan shalawat Wahidiyah selesai atau sebelum acara ditutup atau diakhiri.
3.
Tujuan nida’
empat penjuru ialah memohon kehadirat Allah Swt dengan menggunakan do’a
“Fafirru Ilallah“ dengan diniati dan ditujukan untuk mengajak dan memanggil
umat dan masyarakat, yang berada di segala penjuru dunia, yakni yang ada diarah
barat, utara, timur dan selatan untuk kembali sadar mengabdikan diri kepada
Allah Swt.
Dengan
penjelasan singkat ini, dapat dipahami bahwa nida’ empat penjuru yang diamalkan
dalam Perjuangan Wahidiyah bukan merupakan amalan bid’ah yang bertentangan
dengan sunnah pokok atau mujmali yang dibangun dan telah ditentukan oleh
Rasulullah Saw. Nida’ empat penjuru merupakan bagian dari sistem perjuangan
penyiaran Islam secara batiniyah melalui doa permohonan kepada Allah Swt.
Sekaligus sebagai panggilan kepada jiwa manusia jamial alamin (tanpa pandang
bulu) agar segara sadar kembali dan mengabdikan diri kepada Allah Swt wa
Rasulihi Saw.
C.
Cara
Pelaksanaan Nida’4 Penjuru.
1.
Dengan posisi
berdiri tegak kedua tangan lurus kebawah disamping kedua paha. Pandangan mata
lurus kedepan.
2.
Sedangkan yang
dibaca pada tiap arah (barat, utara, timur dan selatan) :
-
Al Fatihah 1 x
-
FAFIRRU ILALLAH
3 x
-
WAQUL JAAL
HAQQU WAZAHAQL BAATHIL, INNAL BAATHILA KAANA ZAHUQAA. 1 x.
3.
Dimulai dengan
menghadap kebarat, kemudian utara, timur dan selatan.
4.
Perpindahan
arah harus sesudah bacaan WAQUL JA,AL HAQQU .... dibaca secara sempurna, dan
perubahan posisi, dengan mendahulukan kaki kanan.
5.
Sikap batin
dengan konsentrasi penuh getaran jiwa sekuat – kuatnya memohon kepada Allah Swt
agar ajakan nida’ ini disampaikan oleh Allah Swt kedalam hati sanubari umat
masyarakat seluruh dunia terutama diri kita sendiri dan keluarga, serta agar
diberikan kesan yang mendalam.
6.
Setelah
menghadap ke selatan kembali menghadap kearah semula sebagaimana sebelum
melaksanakan nida’ 4 penjuru (atau arah podium jika dalam acara ceremonial),
kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa “Tasyafu’ dan Istghatsah“.
Keterangan
:
a.
FAFIRRU
ILALLAH; artinya : larilah dan sadar kembali kepada Allah. Maksudnya
mengajak umat masyarakat termasuk diri kita sendiri dan keluarga cepat-cepat
kembali sadar dan mengabdikan diri kepada Allah Swt, melarikan diri dari
cengkraman imperialis nafsu untuk menuju kepada Allah Swt.
b.
WAQUL JAA,AL
HAQQU .... dst, dengan niat semoga akhlak yang tidak baik, diganti oleh Allah
Swt dengan akhlak yang baik, dan jika memang sudah menjadi suratan nasibnya
tidak bisa diharapkan akan baik, mohon dihancurkan saja dari pada makin lama
makin parah dan berlarut-larut, merugikan ummat dan masyarakat.
D.
Dasar Pengamalan Nida’ 4 Penjuru
Amalan “nida’ 4 penjuru” termasuk
bagian dari sekian banyak amal shalih yang telah diamalkan oleh para nabi dan
rasul. Awalnya,
amalan-amalan shalih tersebut dilakukan oleh para nabi dan rasul sebelum Nabi
Muhammad Saw. Sebagai misal :
1.
Mendahulukan pembersihan jiwa dari penyakit syirik (LILLAH
BILLAH) sebelum memahami dan mempelajari ilmu yang lain (misalnya, ilmu shalat,
ilmu amar makruf nahi mungkar, dalam ilmu lainnya). Sistem pendidikan seperti
ini,[17] awalnya digagas oleh Luqman
Hakim. Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt :
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لإبْنِهِ يَا بُنَيِّ لاَتُشْرِكْ
بِاللهِ إِنَّ الشِرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ. يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَلاَةَ وَأْمُرْ
بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ المُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ
ذالِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ.
Dan ketika Luqman berkata (memberi nasihat) kepada anaknya
: Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan (makhluk) dengan Allah.
Sesungguhnya syirik itu adalah perbuatan dlalim yang besar. Wahai
anakku, dirikanlah shalat, dan perintahkanlah kebaikan, dan cegahlah
kemungkaran, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya hal
demikian ini merupakan sesuatu yang amat penting. (Qs. Luqman : 12 – 19)
2.
Berpuasa
sehari dan berbuka sehari. Puasa ini mulanya amalan Nabi Daud As. Hadis riwayat
Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw bersabda
:
أَحَبُّ الصِيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ, كَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا
وَيُفْطِرُ يَوْمًا
Puasa yang paling dicintai oleh Allah adalah puasa nabi
Daud As. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.
3.
Tidak memperbanyak tidur pada waktu malam, kecuali
sudah sangat mengantuk. Amalan ini mulanya amalan para nabi dan rasul sebelum
Nabi Muhammad Saw. Firman Allah Swt, Qs. Adz-Dzariyat : 17 – 18 :
كَانُوا قَلِيْلاً مِنَ اللَيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالأسْحَارِهُمْ
يَسْتَغْفِرُونَ.
Keadaan orang-orang yang bertaqwa, pada waktu malam
sedikit sekali mereka tidur. Dan pada waktu sahur mereka beristighfar (memohon
ampun kepada Allah).
4.
Berpuasa membisu selama 3 hari/ malam. Amalan ini
mulanya adalah amalan Nabi Zakaria As. Firman Allah Swt Qs.Ali Imran : 41 :
قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي أَيَةً قَالَ أَيَاتُكَ اَنْ لاَ
تُكَلِّمَ النَاسَ ثَلاَثَة أَيَّامٍ إِلاَّ رَمْزًا وَاذْكُرْ رَبَّكَ كَثِيْرًا وَسَبِّحْ
بِالْعَشِيِّ وَالإِبْكَارِ
(Zakaria)
berkata : Wahai Tuhanku, tunjukkanlah kepada tanda-tanda (tentang kehamilan
istrinya). Allah bersabda : Tanda-tanda bagimu adalah sekiranya kamu tidak
berbicara (dengan manusia) selama tiga hari/ malam,[18]
kecuali dengan isyarah. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dan bertasbihlah diwaktu
pagi dan petang.[19]
5.
Melaksanakan suatu amalan sunnah selama 40 hari/
malam, akan
mendapat anugrah dari Allah Swt.
Bilangan 40 ini,
awalnya dilakukan oleh Nabi
Musa As.
وَوَاعَدْنَا
مُوسَى ثَلاَثِيْنَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيْقَاتُ رَبِّهِ
أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً. وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلِّمَهُ رَبُّهُ
قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ
إِلَى الجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى
رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دُكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ
قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ المُؤْمِنِيْنَ.
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan
Taurat) setelah 30 malam dan yang Kami sempurnakan dengan sepuluh malam.
Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan
ketika Musa datang (kepada Kami) pada waktu yang telah kami tentukan, dan Tuhan
telah bersabda (langsung) kepadanya. Berkatalah Musa: Ya Tuhanku tampakkanlah
Diri Engkau agar aku dapat melihat-Mu. Tuhan bersabda : Kamu sekali-kali tidak
sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah kebukit itu, ketika ia tetap pada tempatnya
niscaya kamu akan melihat-Ku. Dan tatkala Tuhannya menampakkan diri (tajalli)
pada gunung, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan.
Dan ketika Musa sadar kembali, berkatalah ia : Maha Suci Engkau, aku bertaubat
kepada-Mu, dan aku orang pertama yang beriman.[20]
(Qs. al-A’raf
: 142 – 144)
6.
Mengamalkan dan menghayati kalimah dzikir yang
diamalkan Nabi Yunus As :
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَالِمِيْنَ.
Tidak ada Tuhan selain
Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku masih dalam kelompok yang dlalim.
7.
Mengamalkan serta menghayati kalimah doa istighfar
dari Nabi Adam As :
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُونَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ
Ya Tuhan kami, sungguh kami telah mendhalimi
diri kami sendiri, maka jika sekiranya Engkau tidak mengampuni kami dan tidak
menyayangi kami, niscaya kami menjadi kelompok yang rugi dan menyesal.
8.
Meneladani ketabahan dan keteguhan Nabi Isa dan Nabi
Nuh As dalam menghadapi ancaman, cacian dan rintangan dari para penentang agama
Allah.
9.
Meneladani kesetiaan serta penyerahan diri Nabi
Ismail As ketika akan dipotong lehernya oleh bapaknya (Nabi Ibrahim As) atas
perintah Allah Swt.
10.
Dan masih banyak lagi sunnah dari para nabi dan
rasul terdahulu.
Sedangkan
“nida’ 4 penjuru” yang diamalkan dalam Perjuangan Wahidiyah, awal mulanya
merupakan amalan dan tuntunan dari Nabi Ibrahim As. Ketika Baitullah selesai
didirikan, Nabi Ibrahim As diperintah oleh Allah Swt agar memanggil manusia
untuk pergi menunaikan ibadah haji. Nabi Ibrahim kemudian naik diatas gunung
Abi Qubais serta melaksanakan nida’ empat penjuru. Firman Allah Swt, Qs. al-Hajj : 26 –
27 :
وَإِذْ بَوَّأْنَا لإِبْرَاهِيْمَ مَكَانَ البَيْتِ أَنْ لاَ تُشْرِكَ بِي
شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِي لِلطَأئِفِيْنَ وَالقَائِمِيْنَ وَالركَّعِ السُجُودِ.
وَأَذِّنْ فِي النَاسِ بِالحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ
يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ لَجٍّ عَمِيْقٍ.
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat Baitullah kepada Ibrahim,
(dengan mengatakan) : Janganlah kamu menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku dan
sucikanlah rumah-Ku. (Dan rumah ini) bagi orang-orang yang thawaf dan
orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang rukuk dan sujud. Dan
panggilah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu
dengan berjalan kaki dan mengendarai unta dari setiap penjuru yang jauh.
Dalam kitab tafsir Jalalain-nya Imam Jalaluddin
Suyuthi dijelaskan bahwa cara Nabi Ibrahim As memanggil seluruh manusia agar
menunaikan ibadah haji dengan melaksanakan nida’ empat (4) penjuru diatas
gunung Abi Qubais.
فَنَادَى عَلَى جَبَلِ أَبِي قُبَيْسٍ: يَأَيُّهَا النَاسُ
إِنَّ رَبَّكُمْ بَنَى بَيْتًا وَأَوْجَبَ عَلَيْكُمُ الحَجَّ إِلَيْهِ
فَأَجِيْبُوا رَبَّكُمْ وَالْتَفَتَ بِوَجْهِهِ يَمِيْنًا وَشِمَألاً وَشَرْقًا وَغَرْبًا فَأَجَابَهُ كُلُّ مَنْ كَتَبَ لَهُ أَنْ يَحُجَّ مِنْ أَصْلاَبِ الرِجَالِ وَأَرْحَامِ الأُمَّهَاتِ لَبَّيْكَ اللهُمَّ
لَبَّيْكَ.
Kemudian
(Nabi Ibrahim) melaksanakan nida’ (panggilan/ seruan) dari atas gunung Abi
Qubais : Wahai manusia, sesungguhnya Tuhanmu telah membangun rumah (Suci/
Baitullah) serta mewajibkan kepada kalian untuk melaksanakan haji didalamnya,
maka penuhilah seruan tersebut. Dan Nabi Ibrahim (melaksanakan panggilan tersebut)
dengan menghadapkan muka kearah kanan, kiri (utara dan selatan), timur dan
barat. Maka menjawablah setiap orang dari laki-laki dan perempuan yang telah
ditetapkan (oleh Allah) dapat berangkat haji dengan mengucapkan : Labbaika
Allahumma labbaika (Ya Allah, aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu).
Dan dijelaskan pula dalam kitab Hasyiyah
Shawi alal Jalalain juz III pada surat dan ayat tersebut, bahwa panggilan
Nabi Ibrahim As tersebut dilakukan dengan cara berdoa (mengumandangkan
panggilan) dan penyampaikan perintah Allah Swt. Diterangkan oleh para ahli
sejarah arab bahwa penduduk Yamanlah yang paling pertama menjawab panggilan
tersebut. Dan setiap muslim yang dapat menunaikan ibadah haji berarti
dapat memenuhi panggilan Nabi Ibrahim As.
Ummat Islam, oleh Allah Swt kecuali
menjalankan sunnah yang pokok, masih dianjurkan mengikuti sunnah Nabi Ibrahim
As. Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt, Qs. An-Nahl:123:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِعْ مِلَّةَ
إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَانَ مِنَ المُشْرِكِيْنَ
Kemudian kami mewahyukan kepadamu
(Muhammad), ikutilah agama Ibrahim yang Hanif. Dan bukanlah ia termasuk golongan dari
orang-orang yang musyrik.
قُلْ صَدَقَ اللهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ
حَنِيْفًا وَمَا كَانَ مِنَ المُشْرِكِيْنَ.
Katakanlah : “Maha Benar Allah (dengan
segala firman-Nya)”. Ikutlah kamu semua kepada agama Ibrahim yang Haniif. [21] Dan bukanlah ia (Ibrahim) termasuk golongan dari
orang-orang yang musyrik. (Qs. Ali Imraan : 95)
Hadis dari Ibnu
Abdur Rahman an-nabaziy, Rasulullah Saw bersabda :[22]
أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الإِسْلاَمِ, وَكَلِمَةِ
الإخْلاَصِ, وَدِيْنِ نَبِيِّيْنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,
وَمِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَاكَانَ مِنَ
المُشْرِكِيْنَ.
Kami berada diatas fitrah Islam,
kalimat ikhlas, agama Nabi kita Muhammad Saw, dan tuntunan Nabi Ibrahim yang
hanif dengan memasrahkan diri, dan dia (Ibrahim) bukan termasuk orang-orang
yang musyrik.
E.
Tasyafu’ Dan
Istighatsah Dengan Berdiri.
Maksud Dan Tujuan.
Melaksanakan
TASYAFU’ dan ISTIGHATSAH dengan berdiri bertujuan untuk mengekspresikan atau
mencetuskan rasa ta’dzim (menghormat) serta mahabbah sedalam-dalamnya kepada
Rasulullah Saw wa Ghautsu Hadzaz Zaman Ra dengan hati yang tulus
semurni-murninya.
Beliau
Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat
Wahidiyah dalam satu fatwa amanatnya mengemukakan “bahwa sudah menjadi
tradisi (kebiasaan) bangsa Arab dalam memberikan penghormatan kepada
pemimpinnya dilakukan dengan berdiri”.
Demikian pula
Beliau Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan
Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo dalam satu fatwa amanatnya menjelaskan
: cara memberikan penghormatan kepada para pemimpin/ negarawan lebih-lebih
tamu negara dengan berdiri, juga dilakukan oleh semua negara didunia dewasa ini.
Maka wajarlah
bagi ummat Islam memberikan penghormatan kepada Junjungan Kita Kanjeng Nabi
Besar Muhammad Rasulullah Saw yang memimpin jagad raya ini dan pembimbing ummat
manusia, juga dilakukan dengan cara berdiri. Dan, sesungguhnya cara yang kita
lakukan kita dalam menghormat itupun masih jauh sekali, belum sepadan dengan
kemuliaan dan kebesaran pribadi Beliau Rasulullah Saw wa Ghauts Hadzaz Zaman
Ra. Rasulullah Saw bersabda : قُومُوا
إِلَى سَيِّدِكُمْ أَوْ خَيْرِكُمْ : Berdirilah
kamu semua (untuk menghormat) pemimpinmu atau orang terbaikmu. [23]
Dalam
hal ini, Syeh Qadir al-Jailani Ra dalam kitabnya al-Ghunyah pada kitab
“adab” pasal kedua menjelaskan :
وَيُسْتَحَبُّ القِيَامِ لِلإِمَامِ العَادِلِ
وَالوَالِدَيْنِ وَأَهْلِ الدِّيْنِ وَالوَرَعِ وَأَكْـرَمِ النَاسِ. وَقَدْ
رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أنَّهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللهِ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ عَلَى فَاطِمَةَ, قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ
بِيَدَيْهِ وَقَبِّلَتْهُ. وَيُكْرَهُ
لِأَهْلِ المَعَاصِي وَالفُجُورِ.
Disunnahkan
berdiri (untuk menghormat) kepada imam yang adil, kedua orang tua, ahli agama,
ahli wira’i dan manusia yang paling mulya. Dan diriwayatkan oleh Aisyah Ra. Dia
berkata : Rasulullah Saw ketika masuk kerumah Fatimah, maka berdirilah Fatimah,
kemudian memegang serta mencium tangan Nabi Saw. Dan dimakruhkan (berdiri untuk
menghormat) kepada orang yang ahli maksiat dan perbuatan durhaka.
Para ulama ahli makrifat kepada Allah
Swt wa Rasulihi Saw, ulama ahlul fadli, ulama ahlut taqwa, ulama kaum sufi
sangat berhati-hati sekali didalam menghormat Beliau Rasulullah Saw, segala
adab sopan santun lahir dan batin dipegangnya baik, dilaksanakannya dengan
sepenuh hudlur dan tawadldlu’.
وَقَدْ سَنَّ أَهْلُ
العِلْمِ وَالفَضْلِ وَالتُقَى قِيَامًا عَلَى الأَقْدَامِ مَعَ حُسْنِ إِمْعَانٍ
بِتَشْخِيْضِ ذَاتِ المُصْطَفَى وَهُوَ حَاضِرٌ بِأَيِّ مَقَامٍ فِيْهِ يُذْكَرُ
بَلْ دَانِي
Telah menjadi kebiasaan para ahli
ilmu, ahli mendapatkan fadlal Allah, dan ahli taqwa berdiri tegak diatas kaki
untuk menghormat kepada pribadi Rasulullah Saw yang hadir disegala tempat
manapun ketika (Beliau Saw) disebut-sebut. Bahkan (Beliau Saw) lebih dekat
lagi.[24]
Petunjuk
Pelaksanaan.
1.
Tasyafu’ dan
istighatsah dilakukan setelah selesai menghadap keselatan (dalam melaksanakan
nida’ 4 penjuru), semua peserta mujahadah berdiri menghadap seperti semula
(seperti ketika melaksanakan mujahadah),
2.
Atau ketika
setelah melasanakan shalat berjamaah dan mujahadahnya, semua peserta mujahadah
tetap berdiri menghadap kiblat.
3.
Kemudian salah
satu dari hadirin/ hadirat atau imam (memberi aba-aba) dengan mengucapkan :
al-Fatihah (1 x). Dan kemudian semua hadirin/ hadirat bersama-sama membaca :
surat al-Fatihah dengan suara sangat pelan.
4.
Dan kemudian
semua hadirin/ hadirat bersama-sama membaca :
Yaa Syaafi’al Khalqis Shalaatu was Salaam..... 1 x. (dengan
taghanni/ nada yang lazim). Yaa Sayiidii Yaa Rasuulallah (dengan dijiwai rasa
membutuhkan pertolongan) 3 x. Yaa Ayyuhal
Ghautsu Salaamullahi (dengan taghanni/ nada yang lazim), dengan jumlah
menyesuaikan, dan paling sedikit 1 x. Dan
ditutup dengan, bacaan surat al-fatihah satukali.
5.
Sebaiknya
diusahan agar tinggi rendahnya (voleme) suara hadirin/ hadirat sama. Tidak ada
yang lebih tinggi atau lebih rendah. Sebagai pemberi aba-aba, imam sebaiknya
sedikit mengeraskan suaranya, ketika :
- Mengawali bacaan doa tasyafu’ dan doa istighatsah.
- Mengucapkan Yaa Sayyidii Yaa Rasulallah 3 x.
Al-Fatihah .......
[1]. Akhir-akhir
ini musibah yang paling memprihatinkan dalam kehidupan ummat Islam adalah terjadinya
perang pemikiran (ghazwatul fikri) antara kelompok muslim. Diantara
mereka terdapat orang muslim yang berani mangkafirkan kepada sesama muslim yang
tidak sepaham dengan pemikirannya. Bahkan mereka mewajibkan penghancuran muslim
yang tidak sejalan dengan mereka, dengan memakai ayat-ayat al-Qur’an dan hadis
yang ditafsirinya sendiri. Padahal, semua perbedaan pendapat, mudah
diselesaikan bila masing-masing menggunakan ilmiyah murni, serta dialog yang
diwarnai rasa persaudaraan. Sebagaimana tercermin dalam Qs. al-Hujurat : 10 -
11 :
إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. يَأَيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا لاَيَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ
قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلاَ نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى
أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ.
Sesungguhnya orang mukmin adalah
bersaudara. Maka, perbaikilah persaudaran kalian. Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kaum satu merendahkan kaum yang lain. Barangkali mereka itu
lebih baik daripada yang merendahkan. Dan jangan pula wanita merendahkan kepada
wanita yang lain, barangkali lebih baik daripada wanita yang merendahkan.
Persatuan
merupakan merupahan sunnah rasul. Sedangkan perpecahan ummat merupakan bid’ah
yang membayakan dan akan menghancurkan ummat Islam.
[2]. HR. Imam Bukhari
(Jawahirul Bukhari wa Syrahul Qusthalani, nh : 386).
[4]. Jenis ibadah terbagi kedalam dua bagian. Pertama,
mahdlah (tidak dapat dirasionalkan dan berfungsi taqarrub ilallah. Kadua,
ghairu mahdlah (dapat dirasionalkan dan berfungsi sosial dan kemanusiaan).
a.
Kitab
al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jailani.
b.
Kitab
at-Ta’rifat -nya Syeh Ali
al-Jurjani
c.
Kitab
Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin.
d.
Buku
Amalan baru Dalam Pandngan Imam Suyuthi, Penerbit Darul Hikmah.
e.
Buku Sunnah dan Bid’ah tulisan Dr.Yusuf Qardawi.
f.
Kitab
Manhal al-Lathiif tulisan Syeh
Muhammad Ibn ‘Alwi al-Hasani.
g.
Kitab
al-Ghunyah –nya Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra.
[6]. Kitab Sunan Abu Daud juz IV, nomer
hadis : 4607, Dan Tirmidzi dari ‘Irbadl Ibn Sariyah Ra dalam kitab Dalil
al-Falihiin juz I, bab “muhafadhah ‘alas sunnah wa adabiha”, hadis kedua.
[7]. Kitab Riyadl as-Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”. Hadis ini
juga diriwayatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr
dan Jarir Ibnu Abdullah Ra
[8]. Dalam kitab Dalilul
Falihin juz I
halaman 436.
[9] Ibid.
[10]. Lihat buku Sunnah
dan Bid’ah tulisan Dr. Yusuf
Qardawi. Kitab ini merupakan diantara tulisan Dr. Yusuf Qardawi yang
sangat pendek.
Beliau ini
merupakan salah satu ulama Islam yang besar
dari timur tengah dalam era abad ini
[11]. Lihat kitab al-Amru Bilittiba’ Wan Nahyu Anil Ibtida’ .
Atau buku terjemahannya dengan judul buku Amalan Baru Dalam Pandangan Imam
Suyuthi Ra, penerbit “Darul Hikmah”
tahun, Nopember 1995 M, hlm : 53 – 58, dan dalam buku Dr. Yusuf Qardhawi
dalam bukunya Sunnah & Bid’ah,
Penerbit “Gema Insani Press” Jakarta, cetakan ke I, halaman : 7 – 36.
[12]. Praktek amaliyah
ibadah kami didalam lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzarah
menggunakan madzhab Syafi’i. Meskipun demikian, kami mempersilahkan pengamal
Wahidiyah daerah untuk mengikuti madzhab selain dari aliran Syafi’i. Demikian
yang telah dituntunkan oleh Beliau Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid
Ma’ruf Qs wa Ra, Muallif Shalawat Wahidiyah dan Beliau Hadlratul Mukarram Romo
KH. Abdul Latif Madjid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren
Kedunglo.
[13]. Lihat dalam buku Amalan
baru Dalam Pandngan Imam Suyuthi, Penerbit “Darul Hikmah” cet. pertama
tahun 1995 M, hlm: 56.
[14]. Lebih jelasnya dapat
dilihat dalam kitab Manhal al-Latthiif-nya Syeh Muhammad Alwi al-Maliki.
[15]. Kitab
Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I / 442.
[16]. Dapat dilihat kembali
dalam penjelasan makna thariqah pada bahasan “Cara Pengamalan Shalawat
Wahidiyah”.
[17]. Dalam pandangan kaum sufi
(seperti Imam Ghazali), bahwa iman/ makrifat BILLAH adalah ilmu yang harus
didahulukan sebelum memahami secara mendalam tentang ilmu-ilmu yang lain. Sebab
menyekutukan Allah Swt dengan makhluk merupakan dosa yang tidak diampuni, serta
segala amal shaleh yang didasari hati yang musyrik akan menjadi sia-sia.
[18]. Penjelasan
amalan Nabi Zakariya ini juga dijelaskan dalam Qs. Maryam ayat 10.
[19]. Pada waktu itu
Nabi Zakaria diberi wahyu oleh Allah Swt bahwa istrinya telah mengandung dan
akan melahirkan anak yang dimohonkannya. Untuk
menambah keyakinan tentang kebenaran wahyu tersebut, Nabi Zakaria memohon bukti
kepada-Nya. Dan Allah Swt memberikan bukti, setalah Nabi Zakaria meninggalkan
bicara selama 3 hari/ malam, kecuali dzikrullah. Setelah 3 hari/ malam
tampaklah bukti-bukti nyata tentang kehamilan istrinya. Berpuasa semacam ini
sering dilakukan oleh para ulama sufi pada zaman dahulu sampai sekarang.
وَمِنْ
ذَالِكَ إِخْتَار بَعْضُ أَكَابِر الصُوفِية أَنَّ الخَلْوَةَ مَعَ الرِيَاضَةِ
لِبُلُوغِ المُرَادِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ بِلَيَالِهَا يَجْعَلُ ذِكْرَ اللهِ
فِيْهَا وَلاَيَتَكَلَّمُ فِيَها.
Dan dari penjelasan ayat diatas,
sebagian ulama pembesar kaum sufi memilih/ melakukan khalwat (menyendiri) serta
riyadlah untuk mendapatkan sesuatu yang dimaksudkan dengan berdzikir kepada
Allah dan tidak berbicara selama 3 hari / malam kepada siapapun.
Lihat kitab
tafsir Hasyiyatus Shawi ‘alal Jalalain juz I dalam surat Ali Imran pada
ayat tersebut.
[21]. Arti kata
“Hanif” : المُقَبِّلُ عَلَى اللهِ المُعَرِّضُ عَمَّا سِوَاهُ
: orang yang menghadapkan hatinya kepada Allah serta berpaling dari
apapun selain Allah. Lihat kitab Jala’
al-Afham dalam pasal 5.
[22]. HR. Imam Nasai,
Imam Ahmad, Abdur Rahman ad-Darimi dan Ibnus Sunniy. Dalam kitabnya Amalul
Yaum wal Lailah, Imam Nasai (w. 303 H) meriwayatkannya dari Ibnu
Abdirrahman Ibn Abaziy, nh : 1 – 3. HR. Imam Ahmad (Musnad, 3 : 406),
dan dalam Sunan Darimi, nh : 3691, dan dalam kitab Jala’ al-Afham,
pada pasal 5. HR. Imam Ibnus Sunniy (dalam kitab Minhajul-Qashidiin-nya
Imam Ibnu Qudamah, dalam penjelasan tentang “jenis-jenis dzikir dan wirid”).
[23]. Hadis riwayat ad-Dailami
dari Abu Sa’id al-Khudzri. Dan riwayat Abu Daud dari Abu Sa’id dengan redaksi
tanpa kata “Au Khairukum : atau orang terbaikmu”. Lihat kitab Jami’
as-Shagir-nya Imam Suyuthi Ra dalam juz II pada bab “al-Qaaf”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar