Selasa, 25 Februari 2014

032.01.317 - ULAMA WARATSATUL ANBIYA’

A.             YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH ! 
I. 01. 317 -  "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"

032.01.317 -   ULAMA WARATSATUL ANBIYA’
           
Firman Allah Swt, Qs. Fathir : 11 :
 إنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ العُلَمَاء
Sesungguhnya (orang) yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya, hanyalah ulama.   

Al-Ghauts Ra fi Zamanihi Imam al-Qusthalani Ra (w. 858 H),[1] tentang ulama yang dimaksud dalam  ayat 11 surat Fathir ini, menjelaskan  :
الذِينَ عَلِمُوا قُدْرَتَهُ وَسُلْطَانَهُ فَمَنْ كَانَ أَعْلَمُ كَانَ أَخْشَى اللهَ. وَلِذَا قَالَ عَلَيْهِ السَلاَمُ : أَنَا أَخْشَاكُمُ اللهَ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ
Orang-orang yang alim tentang kekuasaan dan kerajaan Allah. Barang siapa lebih alim, dialah lebih takut. Dan karenanya Rasulullah Saw bersabda : [2] Akulah orang  yang paling takut kepada Allah diantara kalian, serta paling takwa kepada-Nya.
Rasulullah Saw bersabda  (HR. Abu Daud, Nasa'i dan Baihaqi)  :
    العُلَمَاءُ سِرَاجُ الدُنْيَا.  العُلَمَاءُ مِصْبَاحُ العَالَمِ
Ulama adalah pelita dunia.  Ulama adalah pelita alam.

Hadis ini menjelaskan bahwa ulama yang menjadi penerus risalah Islam, diberi karamah oleh Allah Swt sebagai pelita dunia. Artinya, para ulama ahli syari’ah memiliki ilmu untuk menjelaskan halal dan haram, hingga ummat memahami hukum-hukum Allah Swt yang berkaitan dengan prilaku lahiriyah. Sedangkan para waliyullah diberi karamah berupa radiasi batin untuk mengantar dan membimbing manusia sadar kembali serta makrifat kepada Allah wa Rasulihi Saw.
Karena ulama membawa “nur ilahiyah” yang diwarisi dari Rasulullah Saw, mereka diberi kedudukan yang tinggi oleh Allah Swt sebagi tempat menhormat Allah Swt wa Rasulihi Saw. HR. Abu Daud Rasulullah saw bersabda  :
 وَمَنْ أَكْرَمَنِي أَكْرَمَ الله  مَنْ أَكْرَمَ عَالِمًا أَكْرَمَنِي
Barang siapa menghormat orang yang alim berarti ia telah menghormat aku (Rasulullah). Dan barang siapa menghormat aku berarti ia telah menghormat Allah.
Tentang pengertian ulama pewaris nabi, Imam Sofyan Tsaury Ra (ulama sufi yang juga ahli dalam bidang hadis) - berdasar pendapat para tabi’in - membagi ulama kedalam 3 (tiga) bagian  : [3]
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ  بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ  يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ,  وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok;  Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. Dan, Ulama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka.
Kesimpulan dari penjelasan Imam Tsuary diatas, ukuran waratsatul anbiya’ dilihat dari rasa khasy’yah (benar-benar takut) kepada Allah Swt Kemudian dari kemampuannya memahami dan mengetrapkan ilmu BILLAH, dan baru dilihat dari penguasaannya terhadap ilmu agama yang membahas ibadah lahiriyah. Jika seorang ulama memiliki ketiganya, maka dialah ulama yang Kamil Mukammil (al-Ghauts Ra).
Tugas Dan Kemulyaan Ulama Pewaris Nabi
Dalam al-Qur'an dan hadis telah menjelaskan bahwa Rasululah Saw adalah pimpinan mahluk dan sekaligus dengan Nur Ilahiyah yang ada padanya, sebagai penjaga kelestarian alam semesta. Dan kemudian atas izin dan perintah Allah Swt semata, setelah kepulangannya kehadirat ilahi, diwariskan kepada para ulama penerus risalah Islam. Diantara para pewaris tersebut, ada ulama pewaris ilmu lahir, dan ada pula ulama pewaris ilmu dan kekuatan batin.
Sedangkan dalam bahasan kita pada bab ini sangat berkaitan dengan para pewaris ilmu dan kekuatan batin, yakni auliyaillah atau khsusnya al-Ghauts Ra. Tanda-tanda ulama pewaris sirri rasul, antara lain :
a.            Mereka memiliki bertugas – dengan doa dan karamahnya - sebagai penjaga kelestarian bumi dan isinya. Tugas ini tercermin dalam firman-Nya yang menerangkan; Allah Swt mewariskan bumi dan seluruh isinya kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
إِنَّ الأَرْضَ للهِ يَرِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِه  
Sesungguhnya bumi itu milik Allah, yang diwariskannya kepada orang yang dikehendaki dari antara hambanya”. (Qs. al-A’raf : 128).
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِكْرِ أَنَّ الأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَالِحُونَ 
Sungguh telah Kami tulis dalam Zabur, setelah (tertulis dalam lauh mahfudz), sesungguhnya bumi ini diwarisi oleh hamba-Ku yang shalih. (Qs. al-Anbiya’: 106) 
Dalam pandangan ulama ahli balaghah (sastra arab), ayat yang memberitakan pewarisan bumi dala ayat diatas yang dikuatkan dengan kata penguat : لَقَدْ = sungguh niscaya, benar-benar pasti), menunjukkan bahwa makna yang terkandung dalam berita sungguh-sungguh terjadi.
Dan para ulama pembesar kaum sufi dan para auliyaillah, mengatakan bahwa yang dimaksud pewarisan dalam ayat ini, adalah pewarisan tentang penguasaan secara batiniyah. Mereka dibekali oleh Allah Swt kekuatan sirri yang menembus kepenjuru alam, lahu sirrun yasri fil alam. Dan pula pewarisan ini terlaksana secara estafet dari generasi al-Ghauts sebelumnya kepada generasi al-Ghauts sesudahnya.
b.            Mewarisi ilmu Rasulullah Saw (memahami seluruh isi bumi). Sebagaimana tercermin dalam hadis riwayat Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda :
زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.
c.             Mewarisi kandungan isi al-Qur'an dan kitab-kitab suci sebelumnya.
ثُمَّ أوْرَثْنَا الكِتَابَ الذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
Kemudian Kami (Allah) mewariskan kitab (al-Qur’an) kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba Kami”.  (Qs, Fathir : 32).
Ayat diatas dengan jelas, menerangkan setelah Rasulullah Saw pulang kerahmatullah, al-Qur’an diwariskan kepada hamba yang dipilih-Nya sendiri, dan bukan dipilih oleh ummat. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud hamba yang terpilih adalah :
 هُمْ أُمَّةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَثَهَمُ اللهُ كُلَّ كِتَابٍ أَنْزَلَهُ  
Mereka itu adalah ummat Nabi Muhammad Saw, yang Allah telah mewariskan kepadanya seluruh kitab yang diturunkan. 
Dan dalam kitab Tafsir Jalalain- Imam Suyuthi, dijelaskan; bahwa makna dari pewarisan tersebut terjadi setelah kematian :
وَالمِيْرَاثُ فِيْمَا صَارَ لِلإِنْسَانِ بَعْدَ مَوْتٍ  
Pewarisan sebagaimana yang terjadi pada manusia, terjadinya setelah kematian. [4]            
Dan Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, menjelaskan makna “kitab” dengan  : 
 هَاهُنَا يُرِيْدُ بِهِ مَعَانِي الكِتَابِ وَعِلْمِهِ وَأَحْكَامِهِ وَعَقَائِدِه
Disini, yang dimaksud dengan makna kitab, adalah ilmu, hukum dan aqidah yang terkandung didalamnya. Dan untuk makna hamba-hamba Kami, dengan  : [5]
تُوَارَثُوا الكِتَابَ بِمَعْنَى أَنَّهُ إِنْتَقَلَ عَنْ بَعْضِهِمْ إِلَى أخَرَ و قَالَ اللهُ وَلَقَدْ أَتَيْنَا دَوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا وَقَالاَ الحَمْدُ للهِ الذِي فَضَّلَنَا عَلَي كَثِيْرٍ مِنْ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ وَوَارَث سُلَيْمَانُ دَاوُدَ, وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَيْرِ وَأُوتِيْنَا مِنْ كُلِّ شَيْئٍ, إنَّ هَذَا لَهُوَ الفَضْلُ المُبِيْنُ
    Mereka saling mewariskan kitab suci. Artinya, Perpindahan warisan tersebut dari orang kepada orang  lain (secara estafet). Allah berfirman (Qs. an-Naml : 15 - 16) : Dan sungguh Kami memberi Dawud dan Sulaiman sebuah ilmu. Dan mereka mengucapkan bagi Allah yang telah melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman.  Dan  Sulaiman mewarisi (ilmu, kerajaan dan kenabian) Daud.  Dan Sulaiman berkata : Wahai manusia kami telah diberi pengertian tentang ucapan burung, dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya semua ini benar-benar suatu karunia yang nyata.
Firman Allah Swt, Qs. Maryam: 5 – 6  :
 فهَبْ ِليْ مِنْ لدُنْكَ وَلِيًّا يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ أَلِ يَعْقُوب وَاجْعَلْه رَبِّ رَضِيًّا
 (Nabi Zakariya As berdoa) : [6] Anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra. Yang mewarisi aku dan dari keluarga Ya’qub. Jadikanlah ia, wahai Tuhanku, seorang yang diridlai.
Dan dalam keterangan senjutnya dijelaskan :
   فَإِذَا أَجَازَ النُبُوَّةُ لِلْوِرَاثَةِ فَكَذَالِكَ الكِتَابُ 
 Jika kenabian dapat diwariskan, demikian juga (sirri) al-Qur’an.     
d.            Makna pewarisan diatas, lebih ditegaskan lagi maknanya dalam ayat 31 jjuga dalam surat Fathir. Ketika Rasulullah Saw masih hidup al-Qur’an diwahyukan kepadanya. Dan setelah kewafatannya Allah Swt mewariskannya kepada salah satu hamba-Nya yang terpilih sebagai wakil Rasulullah Saw.
والذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الكِتَابِ هُوَ الحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ  
Dan Dia (Allah) Dzat yang mewahyukan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) yang benar, dan membenarkan sesuatu yang ada disisi-Nya. (QS.Fathir : 31).
Demikian pula dalam penjelasan adanya ulama yang pewarisi ilmu dari Rasulullah Saw, tercermin dalam hadis riwayat Baihaqi   : [7]
     يَحْمِلُ هَذَا العِلْمَ مِنْ كلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ  يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِيْنَ
Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang terbaik pada setiap generasi. Mereka menepis penyimpangan kaum ekstrim, membongkar pemalsuan kaum ahli bathil dan mematahkan pemahaman kaum bodoh.
Para ulama ahli tafsir al-Qur'an menjelaskan, bahwa hubungan arti antara ayat 31 dan 32, Allah Swt memulai ayat 32 dengan kata : ثُـمَّ  = tsumma/  kemudian. Artinya, al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudia setelah Rasulullah Saw pulang ke rahmatullah secara jasmani, kandungan dan sirri al-Qur'an diwariskan kepada salah satu hamba yang dipilih-Nya.
Kesimpulan yang dpat diambil dari penjelasan beberapa hadis dan ayat al-qur’an diatas, baantara lain  :
1.            Sepulang Rasulullah Saw kehadirat Allah Swt, kandungan dan sirri al-qur’an diwariskan kepada salah satu hamba-Nya yang terbaik pada masanya.
2.            Penerimaan warisan tersebut secara spontan antara pewaris dan pemberi warisan.
3.            Sebagaimana Rasulullah Saw menerima wahyu al-qur’an, pewarisnya tidak perlu susah payah mencari pemahaman kandungannya secara pembelajaran. Atas izin dan kehendak Allah Swt, mereka dapat memahami isi kandungan al-Qur’an secara spontan dan seketika.
4.            Para ulama pewaris ilmu dan nur ilahiyah, memahami apa-apa yang ada dalam bumi. Meski demikian, karena akhlaknya yang mulia, mereka sering menyembunyikan kemampuannya tersebut.


E.      Dalam al-Qur’an & al-Hadits.
Secara bahasa, al-Qur'an diturunkan secara mujmal (ringkas), dan demikian pula hadis nabi. Namun kandungan yang terdapat didalamnya menjelaskan keberadaan Allah Swt dan seluruh maujud, baik lahir maupun batin. Tak satupun dari inti maujudat yang tidak terkandung dalam al-qur’an dan al-hadis. Mengkaji kandungan al-Qur'an (istinbath), hingga dapat mengeluarkan mutiara hikmah yang tersimpan didalamnya merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Islam.  Kajian yang diperintahkan, adalah yang menghasilkan sesuatu yang sudah wujud didalamnya, namun belum diberi nama atau bentuk. Sedangkan kajian yang keluar dari pokok kandungannya, akan tertolak.
Dengan sesuai bidang keilmuan masing-masing, para ulama berusaha menggali kandungan hadis dan al-Qur’an. Kemudian mereka menyusun bentuknya serta memberi  nama. Misalnya nama sebuah ilmu yang disertai dengan system dan pembagiannya, seperti ilmu dalam bidang; tajwid, nahwui/ sharaf, fiqih/ ushul fiqh, tasawuf/ tarekat, mushthalahul hadis, tafsir, faraidl, da’wah, manthiq, balaghah, hisab, perbintangan, dan ilmu lain yang sangat banyak baik sudah ditemukan atau belum ditemukan. Nama-nama ilmu beserta seitem yang ada didalamnya secara tersurat tidak dalam al-Qur’an dan hadis, namun adanya secara tersirat.
Anjuran penjabaran tersebut sebagaimana tercermin dalam sabda Rasulullah Saw :
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ
 شَيْئٌ. مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزَرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Barang siapa yang membuat sunnah (tata cara) dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Barang siapa yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan setelahnya tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun. (HR. Muslim).
Kata-kata al-Ghauts, secara redaksional (tersurat) tidak terdapat dalam teks al-Qur’an dan al-Hadits. Sebagaimana istilah ilmu manthiq, ilmu ushul fiqh, ilmu nahwu/ sharaf, musthalah al-hadits, astronomi, biologi, fisika dan nama ilmu-ilmu lain, secara redaksional juga tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-hadis. Namun, keberadaan ilmu tersebut, menurut para ahlinya, telah tersirat didalam al-Qur‘an dan al-Hadits. Begitu pula  menurut para waliyullah dan para tokoh pembesar kaum sufi, secara tersirat al-Qur’an dan hadits telah menunjukkan keberadaan al-Ghauts Ra.
Didalam hadis, Rasulullah Saw menjelaskan keberadaan al-Ghauts dengan kata : [8] khair / خَيْر(yang terbaik), al-Wahid /  الوَاحِد(hamba yang satu), malik / مَلِكُ (raja), dan  aimmah / أئمة, shurah / صُورَة (hadis), aqaama / أقَامَ yang memiliki arti sepadan dengan kata al-Ghauts.
Sedangkan dalam al-Qur’an hanya terdapat kata-kata : khalifah / الخليفة (wakil Tuhan),   Imam/ الامام (pimpinan), Ulil amri/ اُولِى الاَمْر. [9] 
Semestinya, tentang adanya al-Ghauts Ra (satu-satunya hamba yang paling sempurna jiwa dan keimanannya), Allah Swt melalui firman-Nya telah menjelaskan secara jelas dan gamblang. Namun sayang sekali, disebabkan kuatnya cengkeraman ego dalam jiwanya, manusia memahami firman tersebut dengan cara yang membelakanginya. Sehingga mereka tersesat kedalam pemahaman yang tak tentu arahnya.[10]
Banyak orang yang mengingkari keberadaan al-Ghauts ra, hanya berdasar bahwa dalam al-qur’an dan hadis secara tekstual tidak ada kata al-Ghauts, tanpa didasari kajian yang mendalam tentang makna yang tersirat dibalik yang tersurat. Namun, jika disimak dengan seksama, alasan mereka tersebut hanya untuk menutup-nutupi keakuan belaka. Sebagai seorang ulama, kita yakin, mereka pasti paham bagaimana cara memahami al-qur’an dan hadis secara benar. Hanya karena terlena dalam pembelaan terhadap keegoan diri (demikian pula kita, tanpa hidayah Allah Swt), mereka berani berpendapat bahwa ghautsiyah merupakan prinsip yang keluar dari Islam, na’udzu billa.


G.      Awal Pembahasan
Manusia Sempurna (al-Ghauts Ra) merupakaan istilah yang sangat terkenal dalam kalangan kaum ulama sufi. Banyak buku karya dari para pembasar sufi dari berbagai negara Islam yang telah menjelaskannya. Tidak ketinggalan pula para ulama sufi Indonesia.  Ulama tersebut antara lain :
1.                 Syeh Nuruddin ar-Raniri (w. 1773 M) dengan karyanya :  Asrar aI-Insan fi Ma’rifah ar-Ruh war Rahman. Kitab ini berbahasa melayu kuno serta ditulis dengan huruf arab jawi. Sekarang buku ini yang asli tersimpan dalam perpustakaan pemerintah Belanda dan Universitas Indonesia (milik negara).
2.                 Abus Shamad al-Falimbani  (w. 1785 M), dengan karyanya “Sirus Saalikin”, (berbahasa melayu kuno). Beliau Ra adalah murid dari al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra (w.1758 M). Buku ini merupakan syarah kitab “minhajul ‘abidin” karya Imam Ghazali Ra. Ketika membahas bab nafsu dalam jus II, beliau juga memaparkan 2 kedudukan iman wahidiyah dan ahadiyah yang dapat dicapai oleh muslim yang terpilih.
3.                 Mohammad Nafis ibn Idris al-Banjari  (1735 M), dengan kitabnya “Durrun Nafis”. Kitab ini juga berbahasa melayu kuno.
4.                 Dr. Yunasril Ali  dengan bukunya “Manusia Citra Ilahi”. Karya Yunasril ini merupakan ulasan dan komentar perbedaan antara Syeh Ibnu Arabi dan Syeh Abdul Karim al-Jilli dalam mengulas martabat wahidiyah, ahadiyah, hakikatul Muhammadiyah dan Insan Kamil (al-Ghauts). Al-Jilli – menurut Yunasril – lebih condong kepada aqidah sunni, daripada Ibnu Arabi.
5.                 Dr. Dawam Raharja Dkk, karya Insan Kamil Dalam Konsepsi Islam. Buku ini bersifat kumpulan dari berbagai pendapat para pakar yang membahas tentang keberadaan al-Ghauts Ra.
6.                 Dr. Syihabuddin dengan karya Nur Muhammad Pintu Menuju Allah. Dalam buku ini menerangkan juga tingkatan iman Wahidiyah dan Ahadiyah.

Sedangkan kitab dan karya para ulama dari timur tengah yang membahas keberadaan al-Ghauts Ra, antara lain   :
1.                 Syeh Umar Suhrawardi Ra, karya  Awarif al-M’arif.
2.                 Syeh Abdul Qadir al-Jilani, karya  al-Ghunyah li Thalib al-Haqqi
3.                 Abdul Wahab As Sya’rani Ra al-Yawaqit wal Jawahir dan Tabaqatul Kubro
4.                 Syeh Abdul Karim Al Jilliy Ra, karya al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awail wal Awakhir
5.                 Syeh Ahmad Kamsykhanawi Ra, karya  Jami’ul ushul al Auliya’
6.                 Syeh Muhammad Amin Al Kurdi Ra, karya Tanwir al-Qulub
7.                 Syeh Isma’il Nabhani Ra, karya Sa’adah ad-Daraini, Syawahid al-Haq, Jami’ Karamah al-Auliya’
8.                 Syeh Jalaluddin Suyuthi Ra, karya  al-Hawiy lil Fatawiy
9.                 Abu Nuaim al-Ishbahani Ra, karya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah as-Shufiyah
10.            Syeh Ali al-Jurjani Ra, karya Kitab at-Ta’rifat.
11.            Ibnu Arabi Ra, karya Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam
12.            Imam Abul Qasim Hawazin al-Qusyairi Ra, karya Risalah al-Qusyairiyah.
13.            Imam Ghazali Ra, dengan karya Misykat al-Anwar, al-Imla’ fi Isykalah al-Ihya, al-Madlnun Bih, dan al-Maqshad al-Asna dan Iljam al-‘Awam.
14.            Syeh Ismail al-‘Ajuluuni Ra karya Kasyful Khifa’ wa Muzilul Ilbas.
Kitab yang terkahir ini merupakan kitab yang menjelaskan hadis-hadis yang diperdebatan para ulama tentang hasan, dha’if, munkar dan maudlu’nya. Diantaranya hadis ‘Nur Muhammad”, yang diriwayatkan dari Abdur Razaq. Dan hadis tentang waliyullah dan al-Ghauts ra. adalah hadis shahih.

Kata al-Ghatsu adalah istilah yang sangat terkenal dalam kalangan kaum sufi dan para waliyullah. Memang hanya mereka saja yang mengkaji keberadaan dan kesempurnaan batiniyah manusia dihadapan Allah Swt. Al-Ghauts Ra merupakan figur sentral dan sekaligus sebagai tauladan dalam menjalankan tuntunan Islam secara syari’ah dan  hakikah serta  lahiriyah  dan batiniyah. Dari sisi ketaqwaan, Beliau ra adalah hamba Allah Swt yang  paling taqwa pada zamannya. Al-Ghauts Ra sering disebut Quthb al-Wujud, karena Beliau sebagai pusat segala wujud secara ruhaniyah. Al-Ghauts Ra merupakan satu-satunya wakil Rasulullah Saw dalam mengemban tugas khalifah dalam alam fana ini.
Dalam hadis riwayat Imam Muslim,[11] Beliau sebagai tempat tajalli Allah Swt. Dan karenanya, dalam kalangan kaum sufi patut disebut dengan Abdul Warits.[12] Sebagaimana keterangan dalam kitab Jami' al-Ushul, bab “ta'riful quthbi”  :
  عَبْدُ الوَارِث مَظْهَرُ هَذَا الإِسْمِ هُوَ مِنْ لَوَازِمِ عَبْدُ البَاقِي لأَنَّهُ إِذَا كَانَ بَاقِيًا بِبَقَاءِ الحَقِّ بَعْدِ فَنَاَءِهِ عَنْ نَفْسِهِ لَزِمَ أَنْ يَرِثَ مَا يَرِثُهُ الحَقُّ مِنَ الكُلُّ بَعْدَ فَنَائِهِمْ مِنَ العِلْمِ وَالمُلْكِ وَهُوَ يَرِثُ الأَنْبِيَاءَ عُلُوْمُهُمْ وَمَعَارِفُهُمْ وَهِدَايَتُهُمْ  لِدُخُوْلِهِمْ فِي الكُلِّ
Abdul Warits : adalah manusia yang dijadikan (Allah) sebagai tempat penampakan asma (al-Warits). Beliau dari (golongan) orang-orang yang telah merasakan jiwa baqa' dengan Baqa’-Nya al-Haq setelah jiwanya fana’ dari dirinya. Maka ia berhak mendapat warisan dari seluruh sesuatu yang Allah mewariskannya (dari ilmu dan kerajaan bumi). Beliau mewarisi ilmu, makrifat dan hidayahnya para anbiya’, karena tenggelamnya kedalam keseluruhan sinar (asma Allah Swt). 


H.        MAKNA WALIYULLAH
1.  Apa  Dan Siapa  Waliyullah Itu ?
Kalimat Wali (walinya Allah) atau auliya’ berasal dari kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun sering diartikan secara sempit saja. Bahkan  sering diberi arti yang sangat jauh dari konsep al-Qur’an dan al-Hadits. Misalnya bila ada orang yang dapat berjalan diatas air atau angkasa, atau dapat mengetahui sebagian dari hal-hal yang akan terjadi (ghaib), segera saja kita simpulkan bahwa orang tersebut adalah waliyullah.[13] Memang kebanyakan dari para auliyaa’illah memiliki kemampuan seperti tersebut. Namun, belum tentu orang tersebut adalah waliyyullah. Agar ada kehati-hatian dalam menyimpulkan sesuatu, perlu merenungkan kembali firman Allah Swt, Qs. al-Ma’idah : 45 :
 وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاوُلَئِكَ هُمُ الظَالِمُون
 Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum dengan memakai ketentuan (pedoman) yang diturunkan oleh Allah, maka ia adalah golongan orang-orang dlalim.
Dalam memandang dan memahami waliyyullah tidak boleh hanya sekedar, bahkan berdasar kondisi luarnya saja. Dalam memahaminya, haruslah merujuk kepada al-Qur’an dan hadis. Sedangkan hal yang luar biasa yang dimiliki oleh waliyyullah hanya dijadikan sebagai pendukung belaka bukan sebagai penentu kewalian. Secara umum, kalangan awam melihat waliyullah dari sisi karomah hissi (lahiriyah) saja. Padahal mungkin juga terjadi seorang waliyullah tidak memiliki karomah hissi, serta dimusuhi dan dihina oleh ulama lain dan masyarakat. Dan mungkin juga ulama/ orang yang bukan waliyullah disanjung dan dipuja-puja oleh masarakat.
Dalam kitab Jami’ Karah al-Auliya, Syeh An-Nabhani  menerangkan :[14] bahwa karamah itu terbagi dalam dua bagian : karamah hissiy (lahiriyah) dan karomah maknawi (batiniyah). Orang awam tidak dapat mengetahuinya, kecuali karamah hissiy. Misalnya, jika ada orang dapat terbang tanpa alat, dapat mengetahui perkara samar yang akan terjadi atau yang telah berlalu, atau mampu melihat sesuatu yang berada dalam jarak ratusan kilometer. Sedangkan karamah maknawi tidak dapat diketahui kecuali dari golongan ahlul khawas (kelompok atas). 
 وَقَدْ يَكُونُ اِسْتِدْ رَاجًا لَهُ عِنْدَالله تعالى قَدْ يَكُوْنُ اِكْرَامًا لِلْعَبْدِ  اِعْلَمْ مَنْ أَرَادَ شَيْئًا فَأْعْطَاهُ اللهُ مُرَادًهُ لَمْ يَدُلْ ذَالِكَ عَلَى كَوْنِ ذاَلِكَ العَبْدِ وَجِيْهًا
Ketahuilah, orang yang menginginkan sesuatu, dan Allah memberinya. Pemberian itu belum tentu menunjukkan bahwa ia berkedudukan tinggi dihadapan Allah Swt. Kadang pemberian tersebut, sebagai karomah, dan kadang sebagai istidraj. [15]
Demikian pula, Beliau Hadlratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo, dalam satu fatwa amanatnya menjelaskan : kedikdayaan dan kemampuan yang luar biasa (khariqul ‘adah) dapat diperoleh dengan riyadlah, sedangkan sadar billah merupakan fadlol Allah Swt.

2.  Arti Kata Wali
Kalimat Waliy  merupakan kalimat yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Al-Wali memiliki arti ganda (isytirak) :
1.       Sebagai subyek (الفاعل) : yang mengasihi, yang menguasai, yang menolong yang melindungi. Dalam artian ini makna waliy dapat menjadi salah satu asma Allah Swt yang baik (asmaul husna).
2.       Sebagai obyek (المفعول) : yang dikasihi, yang dikuasai , yang ditolong, yang dilindungi.[16] Arti kata wali ini ditujukan kepada manusia.
Prinsip (لاَيِعْـرِفُ الوَالِيُّ اِلاَّ الوَالِيّ), merupakan pemahaman yang sangat mashur dalam masyarakat.  Namun, pada umumnya hanya diberi arti dengan tidak dapat mengetahui seorang wali (kekasih Tuhan) kecuali wali (kekasih Tuhan) yang lain. Padahal semestinya harus dijelaskan dengan arti yang lain juga, yakni : “Tidak ada yang mengetahui wali (manusia yang dikasihi, yang dikuasai, yang ditolong dan yang dilindungi oleh Allah), kecuali Wali (Allah Swt Yang Mengasihi, Yang Menguasai, dan Yang Melindungi). Dan kebanyakan para waliyullah sangat dirahasiakan oleh Allah Swt. Sebagimana tercermin dalam dalam hadits qudsi, Allah Swt bersabda : [17]
 اِنّ اَوْلِيَائي عَلَى قَبْضِي لا َيَعْرِفُهُ غًيْرِي 
Para wali–Ku itu dalam genggaman-Ku, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Aku.
Imam Abul Hasan as-Syadzili juga menjelaskan tentang kerahasiaan para waliyullah Ra. Ia berkata : [18]  
مَعْرِفَةُ الوَالِيِّ أَصْعَبُ مِنْ مَعْرِفَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللهَ مَعْرُوفٌ بِكَمَالِهِ وَجَمَالِهِ وَحَتَّى تَعْرِفَ مَخْلُوقًا مِثْلَكَ يَأْكُلُ كَمَا تَأْكُلُ وَتَشْرَبُ كَمَا تَشْرَبُ.
          Mengetahui wali (Allah) itu lebih sukar daripada mengetahui Allah ‘Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allah itu dapat diketahui dengan Jamal-Nya dan Kamal-Nya. Bagaimana engkau dapat mengetahui wali, sedangkan ia makan sebagaimana engkau makan, dan ia minum sebagaimana engkau minum
          Imam Jalaluddin as-Suyuthi, dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi juz II dalam bab “haditsul quthbi” juga menjelaskan tentang kerahasiaan waliyullah ra : [19]
وَقَدْ سَتَرَتْ أَحْوَالُ القُطْبِ وَهُوَ الغَوْثِ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَسَتَرَ أَحْوَلُ النُجَبَاءِ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ  وَكَشَفَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
Keadaan al-Quthbu (al-Ghauts) tertutup dari kalangan awam dan kalangan khas. Dan nujaba’ juga tertutup dari awam dan kalangan khusus. Dan terbuka bagi kalangan mereka sendiri.
Berlainan dengan waliyullah secara umum. Dalam hal Ghautsiyah, Allah Swt wa Rasulihi Saw terkadang memberitahukannya kepada hamba-Nya yang dikehendaki melalui pengalaman ruhani (rukyah shalihah), hingga dapat mengetahui pribadi al-Ghauts Ra. Hal ini disebabkan al-Ghauts Ra berfungsi sebagai penuntun ummat dalam pembebasan jiwa dari kemusyrikan. Tanpa melalui bimbingannya, manusia sangat sukar membebaskan jiwa dari belenggu syirik.
Beberapa pengalaman ruhani tentang pribadi al-Ghauts Ra :
1.       Syeh Abul Qasim al-Qari, [20] mimpi melihat sebuah pesta yang sangat meriah dalam sebuah gedung. Sebelum acara dimulai, para hadirin melantunkan ayat suci al-Qrur’an dan dzikir. Syeh bertanya kepada penerima tamu. Ya akhi, acara apa ini?. Pelantikan Imam Nawawi sebagai waliyullah yang menduduki jabatan Quthub,  jawab pimpinan tersebut.
2.       Para murid Syeh Yusuf an-Nabhani, mimpi bertemu Rasulullah Saw, yang bersabda : Yusuf  an-Nabhani adalah Aqrabul Muqarrabin.[21]
3.       Syeh Bilal al-Khawas, bertemu Nabiyullah Khadlir As. Kepada Nabiyullah, Syeh bertanya : Dimanakah kedudukan Imam Syafi’i. Jawab Nabiyullah : Beliau diantara wali autad.[22]
4.       Mbah KH. Mundzir (Pengasuh ponpes “Ma’unah Sari” Bandar Kidul kota Kediri), ketika melaksanakan sholat istikharah untuk meminta petunjuk tentang pribadi Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra. Setelah salam terakhir, Beliau mendengar suara dari arah langit yang diulang-ulang beberapa kali (al-Ghauts..al-Ghauts al-Ghauts).  Suara tersebut awalnya sangat pelan, namun semakin keras, dan semakin keras.
5.       Bapak Abdul Jamil Ridwan (personil PW Pasuruan), melihat Rasulullah Saw menyerahkan mandat kepimpinan ummat kepada Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
6.       Syeh Abdul Karim al-Jilly (al-Ghauts fi Zamanihi Ra, w. 826 H), diberitahu oleh Rasulullah Saw bahwa gurunya (Syeh Ibrahim al-Jabarti Ra) adalah al-Ghauts Ra.
7.       Syeh Abdus Shamad al-Palimbani menerangkan (berdasar rukyah shalihah) dalam kitabnya “siyarus saalikin’ bahwa gurunya Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra adalah al-Ghauts Ra.
8.       Bapak Dr. Ocin Kusnadi SH (Jakarta), ketika naik pesawat dari Jakarta ke Surabaya untuk menghadiri pemakaman jasad Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, melihat dengan sadar diangkasa ada ratusan gumpalan awan dan burung-burung yang berbaris dibelakang seseorang yang berpakaian layaknya seorang raja. Dari barisan rombongan terdengar suara (yang tampak diucapkan secara bersama-sama : "Selamat Datang Ghauts Hadzaz Zaman”. Rombongan tersebut semakin mendekati pesawat terbang. Dan setelah dekat, tekejutlah bapak ini. Karena orang yang diiring dan berpakaian layaknya seorang raja tersebut, adalah Hadlratul Mukarram Romo Yahi Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.


          3.  Jenis  Jenis Wali
Kata Waliy berasal dari al-qur’an dan al-hadits. Diantara manusia itu ada yang  memilih jalan lurus sehingga menjadi Waliyyullah, dan ada yang memilih jalan menyimpang dan menjadi  Waliyyusy  syaithon .

a).     Waliyyullah [23]
Ciri-ciri Waliyullah antara lain:
1).               Jiwanya senantiasa  tidak memiliki rasa kawatir dan  susah hati. Firman Allah Swt, QS. Yunus,  62 – 63
اَلاَ اِنَّ اَوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ, الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُوْن        
Ketahuilah bahwa Sesungguhnya para auliyaillah itu  tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih hati. Yaitu orang orang yang senantiasa beriman dan mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah)          
        Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, memberi penjelasan makna auliyaillah sebagai berikut  :
مَنْ تَوَلاَّهُ اللهُ تعالَى وَتَوَلَّى حِفْظَهُ وَحِيَاطَاتُهُ وَرَضِيَ اللهُ عَنْهُ 
Waliyullah adalah hamba yang Allah Swt telah menguasainya, menjaga kehormatannya, membimbing kewaspadaannya dan meridlainya.[24]
2).              Memahami dan menerapkan prinsip Lillah – Billah. HR. Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda : [25]

قَال الله تَعالَى : فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الذِي يُبْصِرُبِهِ وَيَدَهُ الذِي يُبْطِشُ بِهِ وَرِجْلَهُ الذِي يَمْشِي بِهَا اِنْ سَاَلَنِي اَعْطَيْتُهُ وَاِنْ اسْتَعَاذَ نِي اعَذْ تُهُ.         

Allah Swt bersabda :Jika Aku telah mencintai hamba-Ku, maka Aku menjadi pendengarannya yang digunakan untuk mendengarkan, menjadi penglihatannya yang digunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang digunakan untuk menggenggam, menjadi kakinya yang digunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-KU niscaya Aku memberinya, dan jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku melindunginya.

3).              Menerapkan prinsip syariah dan hakikah secara seimbang dalam segala prilakunya.[26]
4).              Memiliki kesadaran makrifat kepada Rasulullah Saw (istilah Wahidiyah –Birrasul).
Dalam kitab Sa’adatud Daraini, Syeh Yusuf Ismail  An Nabhaniy halaman 431[27] menerangkan bahwa, waliyyullah itu seseorang yang telah memiliki kesadaran ma’rifat Birrasul Saw.
     لَمْ تَكُن الاَقْطَابُ اَقْطَابًا وَالاَوْتَادُ اَوْتَادًا وَالاَوْلِيَاَءُ اَوْلِيَاءً الاّ بِمَعْرِفَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم
Tidak dapat dinamakan wali quthub, wali autad dan   waliyuulah,  kecuali  telah ma’rifat kepada Rasulullah Saw (Birrasul).
Dan pada bab 3 dalam bahasan “lathifah ke 110”, Syeh Nabhani Ra menuliskan fatwa dari al-Ghaus fii Zamanihi Syeh Abl Abbas al-Mursi Ra (w. 686 H) dan Syeh Ali al-Khawash (w. 956 H) :
لَوْ حُجِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَحْظَةً فِي سَاعَةٍ  مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ مَا أَعْدَدْتُ نَفْسِي مِنَ المُسْلِمِيْنَ
Jika aku terhijab dari Rasulullah Saw sedetik dalam setiap satu jam baik dalam waktu siang malan atau malam hari, maka tidak berani menghitung diriku bagian dari golongan orang-orang membutuhkan Tuhan. (al-Mursyi Ra)
لايَحِقُّ لأَحَدٍ قَدَمُ الوِلاَيَةِ المُحَمَّدِيَةِ حَتَّى يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Tidak benar bagi seseorang memasuki pangkat kewaliyan dalam tuntunan Nabi Muhammad , hingga (jiwanya) dapat bersama dengan Rasulullah Saw.(al-Khawash Ra).
Dan pada bab IX (tentang “ru’yatun nabi”) halaman 435 diterangkan, bahwa seseorang belum dapat dikatakan sempurna makrifatnya, sebelum jiwanya dapat bersama dan bertemu dengan Rasulullah Saw
          لاَ يَكْمَلُ مَقَامُ فَقِيْرٍإِلاَّ أَنْ صَارَ أَنْ يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلَّمَ وَيُرَاجِعُهُ فِي أُمُورِهِ كَمَايُرَاجِعُ التِلْمِيْذُ شَيْخَهُ
Tidak sempurna maqam seseorang, kecuali ia dapat bersama Rasulullah Saw serta mengembalikan perkaranya kepada Nabi Saw sebagaimana murid mengembalikan kepada gurunya.
Dan Imam Sya,rani dalam kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah menjelaskan, kebersamaan dengan Rasulullah Saw secara ruhani, merupakan tanda kebenaran setiap tarekat sufi.[28]
Al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Al-Qasthalani (w.758 H) dalam menjelaskan hadits riwayat Imam Bukhari (tentang cinta kepada Rasulullah Saw) mengatakan :
 حَقِيْقَةُ الاِيْمَانِ لا تَتِمُّ وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ بِتَحْقيْقِ أَعْلإَ قَدْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ عَلَى كُلِّ
 وَالِدٍ وَوَلَدٍ ومُحْسِنٍ  فَمَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ هَذَا فَلَيْسَ بِمُؤْمِنٍ يُبَيِّنُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِ
 عَلَى حَسَبِ مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hakikinya iman tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat disempurnakan kecuali dapat memahami kedudukan Rasulullah Saw dengan nyata (musyahadah qalbu) diatas setiap orang tua, anak dan para pelaku kebaikan.  Barang siapa yang tidak memiliki i’tiqad (kepercayaan) seperti ini, maka ia tidak disebut mukmin. Hadits ini, artinya Rasulullah Saw menjelaskan tentang ukuran derajat iman mukmin,  tergantung dari seberapa rasa cintanya kepada Rasulullah Saw. [29]
Sedangkan Syeh Abul Fadlol ‘Iyadl, dalam kitabnya As-Syifa’, saat memberi penjelasan tentang makna hadits yang membahas mahabbah kepada Rasulullah Saw, yang menukil fatwa (al-Ghauts fi Zamanihi, w. 284 H, Syeh Sahal at-Tustari),  menjelaskan  :
      مَنْ لَمْ يرَوِلا َيَةَ الرَسُول عَلَيْهِ فِي جميْعِ الاَحْوالِ ولاَ َيرَى نَفْسَهُ فِي مُلْكِهِ صَلى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ لاَيَذُوقُ حَلاَوَةَ سُنَّتِهِ لآنَّ النَبِيَ صَلى الله  عَلَيْه وَسَلَّمَ قَالَ لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكمْ حَتَّىأنْ أَكُونَ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِه
Barang siapa tidak mengetahui, bahwa Rasulullah menguasai dirinya dalam segala hal, dan tidak mengetahui dirinya dalam kepemilikan Rasulullah, maka ia tidak akan merasakan manisnya sunnah Rasulullah Saw. Karena Nabi Saw. bersabda : Tidak iman kalian sehingga Aku (Rasulullah) lebih dicintainya dari pada dirinya sendiri.
Fatwa Imam al-Ghazali (w. 501 H) Qs. wa Ra. :
قَدْ مَنعَ كَمَالُ الاِيْمَانِ بِشَهَادَةِ التَوحيْد لاَاِلَهَ اِلاَ الله مَا لَمْ تَقْـتَرِن بِشَهَادة الرَسُولِ مُحَمَّد رَسُولُ الله
Sangat terlarang kesempurnaan iman hanya dengan kesaksian kepada Allah saja, yaitu (tiada Tuhan selain Allah), tanpa disertai kesaksian kepada Rasulullah (Muhammad utusan Allah).[30]
5).        Memahami semua karomah dan sirri memancar dari Rasulullah Saw.[31]
وَكُلُّ نَبِيٍّ وَرَسُولٍ مَادَتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
Setiap nabi dan wali, kehebatannya berasal dari Rasulullah Saw.
6).        Sempurnanya kewaliyan, jika dapat memahami keberadaan al-Ghauts Ra pada zamannya.
Merasa makmum kepada Guru ruhani (al-Ghauts), dapat mempermudah diterimanya ibadah oleh Allah Swt. Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Rabi’ah Rasulullah Saw bersabda   :  
 إِنَّ سِرَّكُمْ أَنْ تَقْبَلَ صَلاَتَكُمْ فَلْيَؤُمُكُمْ عُلَمَاءُكُمْ فَإِنَّهُمْ وَفْدُ كُمْ فِيْمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ اللهِ
Sesungguhnya rahasiamu, sekiranya diterima sholatmu, maka mengimami kamu semua ulama’ kamu semua. Karena sesungguhnya ulama tersebut sebagai perantaramu anatara kamu dan Allah.[32]
Syeh Ali Ibn Muhammad al-‘Azizi (w. 1070 H) dalam kitab Siraj al-Munir Ala al-Jami’ as-Shaghir,  memberi penjelasan bahwa makna ulama dalam hadis diatas :
هُمْ الوَاسِطَةُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ لآَنَّ الوَاسِطَ الآَصْلِيَ هُوَالنَّبِي صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ وَرَثَتُهُ
Merekalah (al-Ghauts Ra) sebagai perantara antara kamu semua dan Tuhanmu. Sesungguhnya perantara yang asli adalah Nabi Saw, mereka itu merupakan waris Rasulullah Saw. 

          b).     Waliyyus  Syaithan
Banyak orang suka membahas waliyullah. Namun jarang sekali dari mereka yang memperhatikan kriteria waliyullah dan waliyus syaithan. Padahal menurut sunnah Rasulullah Saw, jika seseorang tidak menjadi waliyullah, pasti menjadi waliyus syathan. Tidak ada manusia setengah waliyullah dan setengah waliyus syaithan. Yang ada hanya waliyullah atau waliyus syaithan. Perjuangan Wahidiyah bertujuan mengentaskan manusia dari belenggu setan, agar tidak menjadi waliyus syaithan.
Dalam Qs. al-A’raf : 27, dan An-Nisa : 119, Allah Swt  menjelaskankan  bahwa  waliyus  syaithan adalah orang yang hatinya tertutup dari Allah Swt (tidak sadar billah), dan tidak mau menjadikan Allah Swt sebagai kekasih, penolong, penguasa dan pelindung bagi dirinya. Mahluk - menurut mereka -, meskipun tanpa izin Allah Swt juga dapat memberi pertolongan baik kepada dirinya atau kepada yang lain.
اِنَّاجَعَلْنَاالشَيَاطِيْنَ اَوْلِيَاءً لِلَّذِ يْنَ لاَيُؤْمِنُوْنَ .
 Sesungguhnya Kami menjadikan setan sebagai wali (penguasa, pelindung, kekasih  dan penolong) bagi orang-orang yang tidak beriman. (Qs. al-A’raf : 28),  dan :
 وَمَنْ يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُ وْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا 
Barang siapa yang menjadikan setan sebagai wali (pelindung, penolong, kekasih) selain Allah, maka sungguh rugi dengan kerugian yang nyata.(Qs, an-Nisa’ 119).
Seseorang yang hatinya memiliki anggapan bahwa yang menolong dan menguasai dirinya bukannya Allah Swt, akan tetapi sesama makhluk, adalah wali syaithan. Jika mereka mati, maka mati dalam kekafiran.


4.  Tugas Batiniyah Waliyullah
Meskipun urusan lahiriyah (seperti membimbing dan menuntun ummat menuju kesadaran kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw) merupakan tanggung jawab al-Ghauts Ra, namun tugas mereka yang paling utama bersifat batiniyah. 
Tugas-tugas batiniyah para Waliyullah Ra, antara lain:
a.       Penjaga dan penegak kebenaran Islam (syariah dan hakikat), baik secara lahir maupun secara doa. HR. Muslim (Shahih Muslim "Kitab Imarah", bab "laa tazaalu"). Rasulullah Saw bersabda :
لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللهِ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُنَ عَلَى النَاسِ
          Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok orang yang menegakkan agama Allah. Mereka tidak dapat dirugikan oleh orang-orang yang menghinanya dan membelakanginya. (keberadaan mereka) hingga datangnya keputusan Allah. Mereka senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat.
a.                 Menjaga (dengan doa dan sirri  batiniyah) kelestarian alam semesta.
Telah banyak hadits shahih yang menjelaskan tugas ini. Antara lain hadits riwayat Imam Ahmad,  Thabrani  dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُونَ
Tidak sepi didalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, dan sebab mereka manusia diberi hujan, dan sebab mereka manusia tertolong. [33]
b.                 Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Muad ibnu Jabbal, Rasulullah Saw bersada :
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِمْ مِنَ الاَبْدَالِ بِهِمْ قِوَامُ الدُنْيَا وأَهْلِهَ 
Tiga hamba. Barang siapa ada diantaranya, merekalah wali Abdal. Sebab (sirri radiasi batin dan doa) mereka dunia dan seisinya tetap tegak.
c.                  Sebagai penyalur (melaui doa) pemberian Allah Swt kepada mahluk-Nya.
Dalam kitab at-Ta’rifat nya Syeh Ali al-Jurjani pada bab “qaf” dijelaskan, tugas rohani al-Ghauts Ra adalah penyalur pemberian Allah Swt kepada mahluk :
  وَمِنْ هَذَا القُطْبِ يَتَفَرَّعُ جَمِيْعُ الإمْدَادِ الإلَهِيَّةِ عَلى جمِيْعِ العالَمِ العُلْوِيِّ والسُفْلِيِّ 
Dari al-Quthbu, Allah memancarkan dan menyebarkan sinar pemeliharaan-Nya kepada alam semesta, baik alam atas maupun alam bawah.[34]
d.                 Mewarisi sifat Rasulullah Saw, sebagai pembersih jiwa manusia dari syirik, baik khafi (samar) atau jaly (jelas). Dalam jiwa manusia terdapat nafsu kafir atau syirik. Dan untuk membersihkannya, tidak bisa diraih dengan pengajaran secara lahiriyah, dan hanya dapat dihilangkan dengan radiasi batin al-Ghauts Ra. Ibarat seorang dokter. Jika sesorang terserang penyakit yang membayakan. Penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan hanya dengan membaca resep dokter, tetapi melalui obat yang suntikan oleh dokter kedalam tubuh pasien.


5.  Kerahasian Waliyullah
Sebagaimaman tugas para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad Saw, tugas batiniyah (dari Rasulullah Saw) merupakan tugas pokok juga bagi para al-Ghauts. Sedangkan tugas dalam bidang lahiriyah sebagai pelengkap dan penyempurna. Dan karenanya, keberadaan pribadi, kedudukan dan derajat mereka dirahasiakan oleh Allah Swt. Tugas mereka bersifat metafisik (batiniyah) yang diketahuinya oleh mereka sendiri. Orang lain hanya dapat mengetahui tugas mereka, melalui ciri-ciri saja, melalui rukyah shalihah atau atau terbukanya mata hati bagi para murid mereka.
Didalam kitab Thabaqatul Kubra-nya Syeh Abdul Wahab As-Sya’rani, juz I, halaman 8, diterangkan bahwa Syeh Abul Hasan As-Syadzaliy berkata :
لِكُلّ وَلِيٍّ سَتْرٌ أَوْأَ سْتَارٌ نَظِيْرُالسَبْعِيْنَ حِجَابًا الَتِي وَرَدَ تْ فِي حَقِّ الحَقّ تَعَالَى حَيْثُ اِنّهُ لَمْ يُعْرَفْ اِلاَّ مِنْ وَرَائِهَا فَكَذَالِكَ الوَالِيُّ
Setiap waliyullah memiliki penutup 70 penutup. Hal ini sebagai kebiasaan dalam haqqullah. Sehingga sukar wali diketahui, kecuali orang-orang yang ada dibelakang waliy (pengikutnya).   

Dari beberapa keterangan diatas, dapat kita simpulkan bahwa  waliyullah  adalah hamba Allah Swt yang memiliki tanda-tanda sebagai berikut  :   
a.                 Seluruh amal ibadahnya dilakukan hanya karena Allah wa Rasulihi Saw  (lillah-lirrasul).
b.                 Menyadari bahwa seluruh amal ibadahnya lahir dan batin dapat terlaksana atas titah Allah dan syafaat Rasulullah Saw. Ia menyadari bahwa dirinya tidak tanpa pertolongan dari Allah Swt wa Rusilihi saw memiliki apa-apa ( billah-birrasul ).
c.                  Dengan kesadaran lillah-billah dan lirrasul-birrasul (secara iman dzauqiyah), mereka tidak memiliki rasa khawatir dan sedih hati. Seluruh hidup dan mati mereka telah diserahkan secara total  kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.


I.       Laknat Bagi Orang Yang Memusuhi Waliyullah
Allah Swt tidak menghendaki kaum muslimin keluar dari barisan Sulthanul Auliya'. Dan Allah Swt sangat murka kepada orang yang membenci atau memusuhi waliyullah. Seseorang yang dalam hatinya terdapat rasa permusuhan atau kebencian terhadap waliyullah apalagi al-Ghauts Ra, dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah. Sebagaimana tercermin dalam hadis dibawah ini :
1.                 Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Ra , Rasulullah Saw  bersabda   : 
اِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا, فَقَدْ اَذَ نْتُهُ بِالحَرْبِ  
Sesungguhnya Allah Swt berfirman : Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku  menyatakan perang kepadanya.

2.                 Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih Muslim Kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah"),  Rasulullah Saw bersabda :
 مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir)  jahiliyah. 
Para kaum sufi dan waliyullah, mengartikan kata “amir” dengan arti khusus, yakni Amirul Auliya (Pimpinan para waliyullah atau Guru ruhani).

Kesimpulan
a.           Kalimat  “waliy”  berasal dari kalimah yang ada dalam al-Qur’an dan hadits.    
b.       Terdapat 2 jenis al-waliyyu :  1.  Waliyyullah    2.  Waliyyus Syaithan . 
c.     Waliyyullah  adalah hamba Allah Swt yang senantiasa   :
*.   Musyahadah kepada Allah Swt. Mereka memiliki kesadaran, bahwa mereka dapat melihat, karena mendapat sinar sifat melihat (bashar)-Nya, dapat mendengar karena sinar sifat mendengar (sama’)-Nya, memiliki kuasa karena mendapat sinar kuasa-Nya.
*.   Mereka tidak memiliki rasa khawatir maupun sedih hati. Perasaan ini dapat diperoleh seorang wali jika memiliki kesadaran bahwa segala yang terjadi dalam alam ini tidak lepas dari ketentuan Allah Swt. Dengan iman yang demikian para waliyullah merasa tidak perlu ada yang disusahkan dan dikhawatirkan. Amal ibadah yang dilakukannya hanya semata mata karena cinta kepada Allah Swt.  Keikhlasan semacam ini, disebabkan mereka telah menyadari bahwa amal ibadah terlahir dan terlaksana atas titah dan pertolongan dari Allah Swt semata, manusia tidak memiliki daya dan kekuatan. Sehingga mereka merasa tidak memiliki amal ibadah dalam beribadah. Inilah makna ikhlash yang semestinya.
*.   Senantiasa sadar ma’rifat (musyahadah) kepada Rasulullah Saw  (Lirrasul – Birrasul
d.    Waliyyus syaithan adalah manusia yang mengingkari pertolongan, penguasaan dan  perlindungan Allah Swt kepada dirinya. Sehingga mereka mencari pertolongan, penguasaan perlindungan kepada selain Allah Swt  (istilah wahidiyah  Linafsih – Binafsih).





[1].      
[2].     HR. Imam.Bukhari dalam “Syarhul Qusthalani”.
[3].     Dalam kitab Sunan ad-Darimi,  juz I  nomer hadis/ atsar :  359).
[4]. Kitab tafsir Jalalain, Syeh Jalaluddun as-Suyuthi juga menjelaskan :  kata ثُمَّ أَورَثْنَا , sama arti dengan kata  أَعْطَـيْنَا = Kami berikan,. Dalam kitab tafsir Shawi, Syeh Ahmad as-Shawi juz III, hlm: 313. menjelaskan  bahwa maksud pewarisan adalah perolehan. warisa, tanpa susah payah. Begitu pula, pemberian al-Qur’an kepada pewarisnya (al-Ghauts), juga tanpa susah payah.
وَوَجْهُ تَسْمِيَتُهُ مِيْرَاثًا أَنَّ المِيْرَاثْ يَحْصُلُ لِلْوَارِثِ بِلاَ تَعَبٍ وَلاَ نَصبٍ  وَكَذَالِك َإِعْطَاءُ الكِتَاب حَاصِلٌ بِلاَ تَعَبٍ وَلاَ َصَبٍ
[5].   Bahkan Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsir al-Qurthubi, dalam surat  an-Naml ayat 16. menjelaskan arti ayat pewarisan ini sepadan dan sekaligus sebagai maksud dari sabda Rasulullah Saw : العُلمَاء وَرَثة الانْبيَاء  Sesungguhnya ulama itu pewaris Nabi.
[6].   Ketika Nabi Zakaria As merasa dirinya sudah tua, sedangkan belum ada orang yang dapat melanjutkan perjuangannya, maka berdoalah ia kepada Tuhan untuk memohon anak yang diridlai-Nya agar dapat melanjutkan dan mewarisi perjuangan. 
[7] .Hadis riwayat Baihaqi dalam kitab Dalail an-Nubuwwah, jilid I pada pasal “ikhtilaaf al-ahaadiits”. Dan kitab Jawahir al-Bukhari wa Syarhu al-Qusthalani, bab “muqaddimah”.
[8].    Kata-kata  dalam hadis yang sepadan arti dengan makna al-Ghauts ra antara lain   :

a.       Kata  khair / خَيْر  : HR. Imam Muslim, dari sahabat Umar Ibn Khatthab Ra, Rasulullah Saw bersabda   : إِنَّ خَيْرَالتَابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَاُلُ لَهُ اُوَيْسٌ         :   Sebaik-baiknya para tabi’in adalah  lelaki yang

 baginya disebut Uwais.  

b.       Kata Aimmah/   الائمة. Rasulullah Saw bersabda :     إِنَّكُمْ اَيُّهَا الرَهْطُ أَئِمَّةٌ يَقْتَدِي بِكُمْ :  Sesungguhnya kamu

 semua, wahai sekelompok manusia, terdapat imam yang senantiasa mengikuti kamu semua.

 (HR. Imam Malik/ kitab al-Muwattha’).

c.        Kata Wahid/ وَاحِد  : Rasulullah Saw bersabd (terjemahnya,dapat dilihat dalam makalah ini juga dalam ulasan tentang keberadaan “al-Ghauts Ra secara jasmani dan ruhani”)  :                

إِنَّ فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثُمِائَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ ءَادَمَ, ولله فِيِ الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ  مُوسَى, ولله سَبْعَةٌ فِيِ الخَلْقِ ....
قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ  إِبْرَاهِيْمَ, ولله فِيِ الخَلْقِ خَمْسَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ جِبْرِيْلَ, ولله فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مِيكَائِيْلَ, وَلله فِي الخَلْقِ- وَاحِدٌ - قَلْبُهُ عَلَى قَلْبِ اِسْرَا فِيْل, فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ, فَاذَا مَاتَ  الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ, فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الخَمْسَةِ فَاذَا مَاتَ مِنَ الخَمْسَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ السَبْعَةِ,  فَاذَا مَاتَ مِنَ السَبْعَةِ  اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الآرْبَعِيْنَ,  فَاذَا مَاتَ مِنَ الآرْبَعِيْنَ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثَلاَثُمِائَةٍ  فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثُمِائَةٍ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ العَامَّةِ, فَبِهِمْ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَيَمْطُرُ وَيُنْبِتُ وَيُدْفَعُ البَلاَءِ.
d.       Kata Malik/ مَلِك  :    زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku (HR. Imam Bukhari).
e.      Kata “maqaam” merupakan kata jadian dari aqaama. Rasulullah menjelaskan bahwa rizki (kedukan sepagai pimpinan ruhani) yang diberikan Allah Swt kepadanya akan diwariskan kepada orang yang menduduki makam (khalifah) sepeninggalnya. Rasulullah Saw bersabda   :  
 إِنَّ اللهَ عَـزَّ وَجـلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا فَقَبَضَهُ رزٌقهُ مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ   
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika memberi rizki kepada seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam baka, maka rizki tersebut akan diberikan kepada seseorang yamg menduduki jababatan sesudahnya. (HR. Imam Ahmad).

[9].  Kata-kata dalam al-Qur’an yang sepadan dengan makna al-Ghauts Ra  :

a.         Kata Khalifahخَلِيْفَةً  = wakil Tuhan dibumi Firman Allah   قال رَبُّكَ لِلْمَلاَ ئِكَةِ اِنِّي جَاعِـلٌ فِي الاَرْضِ خَلِيْفَةً

Tuhanmu bersabda kepada malaikat : Sesungguhnya Aku menjadikan khalifah (wakil Tuhan) dibumi). Qs.al-baqarah/ 30.

Imam Shawi dalam kitab tafsirnya Hasyiyah Shawi menerangkan, yang dimaksud khalifah disini adalah :

    وَاَمَّا بِاعْتِبَارِعَالَمِ الاَجْسَادِ فَهُوَ اَبُوالْبَشَرِ اَدَمُ عَلَيْهِ السَلاَمُ وَاَمَّا بِاعْتِبَارِ عَالَمِ الاَرْوَاحِ فَهُوَ مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم   

Apabila dipandang dari sudut jasmani, khalifah pertama adalah bapak manusia yaitu Nabi Adam As, jika dipandang dari sudut ruhani adalah Nabi Muhammad Saw.

Dan dalam Qs. as-Shaad/ 26 : إناَّ جَعَـلْنَأكَ خَلِيْفَةً فِي الاَرْضِ فَاحْكُمْ بِالعَـدْلِ وَلاَ تَتَّبِعْ الهَوَى    Aku telah menjadikan engkau (Daud) sebagai khalifah dibumi, maka putuskanlah dengan adil dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu.

b.    Kedua, kata Ulil Amri,  Qs. al-Maidah/ 35  أطِيْعُوا الله وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الآمْرِ مِنْكُمْ  :  Taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan Ulil amri.

c.     Kata  Imam / إِمَام  (pimpinan) Qs. al-Furqan/ 74 :      وَاحْعَـلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا Dan jadikanlah kami sebagai piminan orang yang bertaqwa. Dan Qs. al-baqarah: 124  :

  قَالَ اِنِّي جَاعِـلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَالِمِيْن

Tuhan bersabda (kepada Nabi Ibrahim As) : Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai Imam bagi manusia. Ibrahim menjawab : dan dari keturunanku juga. Tuhan bersabda : Tidak akan memperoleh perjanjian-Ku (khalifah, imam), orang yang dlalim.   

[10].    Manusia yang jiwanya dicengkeram nafsu, maka kemana "ego" mengajak, disitu pula pijakan kebenaran yang diambil. Dan, terkadang demi menjaga ego diri/ kelompok, manusia berani memutar balikkan fakta yang telah ada didepan mata. Dan, na’udzu billah min dzalik.
[11].   Shahih Muslim yang diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah ra, dalam bab “menjenguk orang sakit”. Imam Suyuthi juga menulisnya dalam kitabnya Jami’ as-Shaghir juz I dalam bab “alif nun”
[12].   Lihat penjelasan ayat 31 dan 32 surat fatir pada bab “ulama Pewari Nabi”  dalam risalah ini.
[13].   Lihat kitab  Fathul Bariy syarah  Shahihul Bukhariy, oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani  (w-758 H). Atau kitab Risyalah al-Qusyairiyah,  bab al-waliyyu.  Dan  kitab  Jami’ Karamah al-Auliya’  Syeh An-Nabhani, dalam juz I
[14].   Kitab  Jami’ Karamah al-Auliya’  Syeh An-Nabhani, dalam juz I
[15].   Kitab Jami’ Karamah al-Auliya, Syeh Yusuf Ismail An-Nabhani, juz I halaman 23,
[16].   Lihat kitab  Qathrul waly ‘ala haditsil waliy, Imam Asy-Syaukani (w- 1834 M), bab pertama.  Dan kitab Fathul Bariy, oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani  (w- 757 H). Atau kitab Risyalah al-Qusyairiyah bab alwaliyyu. Atau kitab Jami’ Karamatil Auliya’ bab pendahuluan diterangakan, bahwa ukuran seorang auliya’illah pada ketaatannya terhadap aturan Tuhan . Sehingga terdapat juga seorang waliyullah itu tidak mengerti kalau dirinya itu waliyullah.
[17].   Kitab Jami’ al-Ushul fil Auliya’nya  Syeh kamasykhanawi dalam bab muqaddimah
[18].   Kitab al-Yawaqit wal Jawahir nya Syeh Abdullah Sya’rani, juz II dalam bab as-Syadzali., atau kitab Tahrir ad-Duraar-nya KH. Mishbah Zain al-Mushthafa, Bangilan – Tuban – Jawa Timur dalam bab ‘as-Suadzali”
[19].   Kitab al-Hawi lil fatawi, juz II dalam bahasan ke 69. Keterangan yang sepadan juga terdapat dalam kitab Syawahid al-Haq nya Syeh Yusuf an-Nabhani dalam pambahasan waliyulla dan al-Ghauts Ra.
[20].   Kitab Thabaqatus Syafi’iyah nya Syeh Tajuddin as-Subkhi.
[21].   Kitab Sa’adah ad-Darain Syeh an-Nabhani Ra dalam bab rukyatus shalihin
[22].   Kitab Risyalah al-Qusyairiyah nya Syeh Abul Qasim al-Qusyiri (al-Ghauts Ra fi zamanihi), dalam bagian sejarah. Atau kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi juz II, dalam bahasan 69. Atau kitab  al-Yawaqit wal Jawahir nya Syeh Abdullah as-Sya’rani, juz Idalam muqaddimah.
[23].    Syeh Al-Arif Billah wa Ahkamillah Ra, Beliau Hadlratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo dalam suatu fatwa amanat-Nya menjelaskan : Seorang Waliyullah itu belum tentu al-Arif, tetapi  al-Arif  itu pasti Waliyullah.
[24].   Sunnah hukumnya, menuliskan atau mengucapakan kalimah doa ‘Radliyallahu Anh” kepada  Guru ruhani, para waliyullah dan ulama yeng dihormati. Lihat kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi, pada bab” shalawat kepada selain Nabi Saw”, atau dalam kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi dalam bab “shalawat kepada keluarga dan sahabat Nabi Saw”.  
            Banyak para ulama penulis kitab, menambahkan doa “RADLIYALLAHU ANHU” setelah menulis nama gurunya atau ulama yang dihormati. Misalnya, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, dalam kitabnya Jala’ al-Afham menambah “Radliyallahu Anhu” setelah menulis nama Ibnu Taimiyah. Demikian pula Syeh Sya’rani, dalam kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah setelah menulis nama para auliyaillah dan atau para al-Ghauts pada setiap.
[25].   Lihat kitab  Jami’u Karamatil Auliya’ oleh Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani, percetakan  Darul Fikri, Bairut Libanon, tahun 1414 H/  1993 M, juz I halaman 23.
[26].   Banyak diantara kita, dengan secara sempit memberikan arti syariah dan hakikah,. Semestinya makna syariah dan hakikah itu amat dalam dan luas. Didalam kitab Kifayah al-Atqiya hlmn 9, diterangkan bahwa makna lillah dan billah adalah terpadunya antara syari’ah dan hakikah.
                فَالشَرِيْعَةُ وُجُوْدُ الاَفْعَالِ للهِ وَالحَقِيْقَةُ شُهُوْدُالاَفْعَالِ بِاللهِ 
Syariah adalah wujudnya perbuatan yang disertai niat lillah, dan hakikat adalah perasaan menyadari bahwa  wujudnya semua perbuatan lahir dan batin mahluk itu, atas titah Allah
Didalam kitab Iqadhul Himam, Imam Syafi’i  Ra  (150– 204 H/ 763- 820M), manerangkan bahwa antara prinsip fiqih dan prinsip tasawuf, dalam pelaksanaannya harus seiring dan sejalan, dan dalam penkajian dan pembahasannya masing-masing dapat dilakukan secara mandiri.
مَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسّقَ وَمَنْ تَصَوّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَمَنْ تَفَقَّهَ وَتَصَوَّفَ فَقَدْ تَحَقَّقَ
Barang siapa berpedoman hanya dengan ilmu fiqih saja tanpa berpedoman dengan ilmu tasawuf dialah orang yang fasik, dan barang siapa berpedoman hanya dengan ilmu tasawuf saja tanpa ilmu fiqih, dialah orang zindik, dan barang siapa  berpedoman dengan ilmu fiqih dan ilmu tasawuf dialah orang yang menjalankan hakikat kebenaran. Prinsip ini juga difatwakan Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’.
Syeh Al-Arif Billah Hadlratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Majid RA,Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan  Pondok Pesantren Kedunglo, memfatwakan : Waliyullah adalah hamba Allah yang senantiasa sadar kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw serta beramaliah lahiriyah seperti Rasulullah Saw. Dan apabila hanya berpedoman billah (hakikat) saja,  tanpa beramaliah syari’at, dia-lah orang yang tertipu oleh nafsunya.
Imam Sya’rani dalam kitabnya  ‘al-Yawaqit wal Jawahir,  juz  I  halaman  26  juga menjelaskan :
  اِعْلَمْ أَنَّ عَيْنَ الشَرِيْعَةِ هِيَ عَيْنُ الحَقِـيْقَةِ , اِذْ الشَرِيْعَةُ لَهَا دَائِرَتَانِ عُلْيَا وَسُفْلَى , فَالعُـلْيَا لاَهْلِ الكَشْفِ وَالسُفْلَى ِلاَهْلِ الفِكْرِ فَلَمَا فَتَشَ اَهْلُ الفِكْرِ عَلَى مَا قَاَلُهُ اَهْلُ الكَشْفِ فَـلَمْ يَجِدُوهُ فِي دَائِرَةِ فِكْرِهِمْ قَالُوا هَذَا خَارِجٌ عَنِ الشَرِيْعَةِ  فَاَهْلُ الفِكْرِ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الكَشْفِ وَاَهْلُ الكَشْفِ لاَ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الفِكْرِ.  فَمَنْ كَانَ ذَا كَشْفٍ وَذَا فِكْرٍ فَهُوَ حَكِيْمُ الزَمَانِ .              
Ketahuilah bahwa kenyataan syari’ah adalah hakikat juga. Karena Islam itu memiliki dua sisi. Sisi atas (metafisik) dan sisi bawah (fisik). Sisi atas untuk para ahli kassyaf, sedangkan sisi bawah untuk para ahli pikir.  Jika para ahli pikir memahami tentang sesuatu yang dikatakan oleh para ahli kassyaf, sedang akal fikiran mereka tidak menjangkau maka mereka mengatakan bahwa kesimpulan para ahli kassyaf itu telah keluar dari syariat Islam. Dan mereka (ahli pikir) sering mengingkari sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh para ahli kassyaf. Namun para ahli kassyaf tidak pernah mengingkari sesuatu yang datang dari para ahli pikir. Barang siapa menguasai dan memahami syariah dari kassyaf dan pikir, dialah  Hakimuz  Zaman (al-Ghauts Ra).
[27].  Radaksi kalimat ini juga terdapat dalam kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin Suytuthi, juz II, dalam “kitabul ba’tsi” bahasan ke 70. Dan makna yang sepadan juga banyak sekali tertulis dalam kitab Misykat al-Anwar nya Imam Ghazali.
[28].  Lihat dalam makalah ini pada catatan kaki nomer  : 30.
[29].    Rasulullah Saw bersabda :  لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَاسِ أَجْمَعِيْن Belum sempurna iman kamu semua, sehingga AKU (Rasulullah) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh menusia.  Lihat kitab Jawaahir al-Bukhaari -nya Mushthafa Muhammad, hadis nomer: 11kitab Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari.
[30].   Lihat kitab Muhtashar Ihya’ ‘Ulum ad-Din bab II dalam aqidah dan kitab Qawaid al-‘Aqa’id nya al-Ghazali.
[31].   Kitab Jami’ al-Ushul-nya Syeh Kamasykhanawi, dalam bab "bayan al-umum wa al-khusus”.
[32].   Hadis riwayat Thabrani dalm kitab nya Al-Kabiir yang dinuqil dalam Siraj al-Munir-nya Ibnu Alan al-Aziziy.
[33].   Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.
[34].   Lihat juga kitab al-Yawaqit wa alJawahir, juz  II/ 80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar