A. YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
I. 01. 317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
032.01.317 - ULAMA WARATSATUL ANBIYA’
032.01.317 - ULAMA WARATSATUL ANBIYA’
Firman
Allah Swt, Qs. Fathir : 11 :
إنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ العُلَمَاء
Sesungguhnya
(orang) yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya, hanyalah ulama.
Al-Ghauts Ra fi Zamanihi Imam
al-Qusthalani Ra (w. 858 H),[1] tentang ulama yang dimaksud dalam
ayat 11 surat Fathir ini, menjelaskan
:
الذِينَ
عَلِمُوا قُدْرَتَهُ وَسُلْطَانَهُ فَمَنْ كَانَ أَعْلَمُ كَانَ أَخْشَى اللهَ.
وَلِذَا قَالَ عَلَيْهِ السَلاَمُ : أَنَا أَخْشَاكُمُ اللهَ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ
Orang-orang yang alim tentang kekuasaan
dan kerajaan Allah. Barang siapa lebih alim, dialah lebih takut. Dan karenanya
Rasulullah Saw bersabda : [2] Akulah
orang yang paling takut kepada Allah
diantara kalian, serta paling takwa kepada-Nya.
Rasulullah Saw
bersabda (HR. Abu Daud, Nasa'i dan Baihaqi) :
العُلَمَاءُ سِرَاجُ
الدُنْيَا. العُلَمَاءُ مِصْبَاحُ
العَالَمِ
Ulama adalah
pelita dunia. Ulama adalah pelita alam.
Hadis ini
menjelaskan bahwa ulama yang menjadi penerus risalah Islam, diberi karamah oleh
Allah Swt sebagai pelita dunia. Artinya, para ulama ahli syari’ah memiliki ilmu
untuk menjelaskan halal dan haram, hingga ummat memahami hukum-hukum Allah Swt
yang berkaitan dengan prilaku lahiriyah. Sedangkan para waliyullah diberi
karamah berupa radiasi batin untuk mengantar dan membimbing manusia sadar
kembali serta makrifat kepada Allah wa Rasulihi Saw.
Karena ulama
membawa “nur ilahiyah” yang diwarisi dari Rasulullah Saw, mereka diberi
kedudukan yang tinggi oleh Allah Swt sebagi tempat menhormat Allah Swt wa
Rasulihi Saw. HR. Abu Daud Rasulullah saw bersabda :
وَمَنْ أَكْرَمَنِي
أَكْرَمَ الله مَنْ أَكْرَمَ عَالِمًا أَكْرَمَنِي
Barang siapa menghormat orang yang alim
berarti ia telah menghormat aku (Rasulullah). Dan barang siapa menghormat aku
berarti ia telah menghormat Allah.
Tentang
pengertian ulama pewaris nabi, Imam Sofyan Tsaury Ra (ulama sufi yang juga ahli
dalam bidang hadis) - berdasar pendapat para tabi’in - membagi ulama
kedalam 3 (tiga) bagian : [3]
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ
بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ
وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ يَخْشَى اللهَ
فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ, وَعَالِمٌ
بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok; Ulama yang memahami
tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang
hukum-hukum Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang
hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang
sempurna. Dan, Ulama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim
tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka.
Kesimpulan
dari penjelasan Imam Tsuary diatas, ukuran waratsatul anbiya’ dilihat dari rasa
khasy’yah (benar-benar takut) kepada Allah Swt Kemudian dari kemampuannya
memahami dan mengetrapkan ilmu BILLAH, dan baru dilihat dari penguasaannya
terhadap ilmu agama yang membahas ibadah lahiriyah. Jika seorang ulama memiliki
ketiganya, maka dialah ulama yang Kamil Mukammil (al-Ghauts Ra).
Tugas Dan
Kemulyaan Ulama Pewaris Nabi
Dalam
al-Qur'an dan hadis telah menjelaskan bahwa Rasululah Saw adalah pimpinan
mahluk dan sekaligus dengan Nur Ilahiyah yang ada padanya, sebagai penjaga
kelestarian alam semesta. Dan kemudian atas izin dan perintah Allah Swt semata,
setelah kepulangannya kehadirat ilahi, diwariskan kepada para ulama penerus
risalah Islam. Diantara para pewaris tersebut, ada ulama pewaris ilmu lahir,
dan ada pula ulama pewaris ilmu dan kekuatan batin.
Sedangkan
dalam bahasan kita pada bab ini sangat berkaitan dengan para pewaris ilmu dan
kekuatan batin, yakni auliyaillah atau khsusnya al-Ghauts Ra. Tanda-tanda ulama
pewaris sirri rasul, antara lain :
a.
Mereka memiliki bertugas – dengan doa dan karamahnya
- sebagai penjaga kelestarian bumi dan isinya. Tugas ini tercermin dalam firman-Nya yang menerangkan; Allah
Swt mewariskan bumi dan seluruh isinya kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
إِنَّ الأَرْضَ للهِ يَرِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِه
Sesungguhnya bumi itu milik Allah, yang diwariskannya
kepada orang yang dikehendaki dari antara hambanya”. (Qs. al-A’raf : 128).
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِكْرِ
أَنَّ الأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَالِحُونَ
Sungguh telah
Kami tulis dalam Zabur, setelah (tertulis dalam lauh mahfudz), sesungguhnya
bumi ini diwarisi oleh hamba-Ku yang shalih. (Qs. al-Anbiya’: 106)
Dalam pandangan
ulama ahli balaghah (sastra arab), ayat yang memberitakan pewarisan bumi dala
ayat diatas yang dikuatkan dengan kata penguat : لَقَدْ = sungguh
niscaya, benar-benar pasti), menunjukkan bahwa makna yang terkandung dalam
berita sungguh-sungguh terjadi.
Dan para ulama
pembesar kaum sufi dan para auliyaillah, mengatakan bahwa yang dimaksud pewarisan
dalam ayat ini, adalah pewarisan tentang penguasaan secara batiniyah.
Mereka dibekali oleh Allah Swt kekuatan sirri yang menembus kepenjuru alam, lahu
sirrun yasri fil alam. Dan pula pewarisan ini terlaksana secara estafet
dari generasi al-Ghauts sebelumnya kepada generasi al-Ghauts sesudahnya.
b.
Mewarisi ilmu Rasulullah Saw (memahami seluruh isi
bumi). Sebagaimana tercermin dalam hadis riwayat Imam Bukhari, Rasulullah Saw
bersabda :
زُوِيَتْ
لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ
أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk
Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja
ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.
c.
Mewarisi kandungan isi al-Qur'an dan kitab-kitab suci
sebelumnya.
ثُمَّ أوْرَثْنَا الكِتَابَ الذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
Kemudian Kami
(Allah) mewariskan kitab (al-Qur’an) kepada orang-orang yang kami pilih di
antara hamba-hamba Kami”. (Qs, Fathir : 32).
Ayat diatas dengan
jelas, menerangkan setelah Rasulullah Saw pulang kerahmatullah, al-Qur’an
diwariskan kepada hamba yang dipilih-Nya sendiri, dan bukan dipilih oleh ummat.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud hamba yang terpilih
adalah :
هُمْ
أُمَّةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَثَهَمُ اللهُ كُلَّ
كِتَابٍ أَنْزَلَهُ
Mereka itu
adalah ummat Nabi Muhammad Saw, yang Allah telah mewariskan kepadanya seluruh
kitab yang diturunkan.
Dan dalam kitab Tafsir
Jalalain- Imam Suyuthi, dijelaskan; bahwa makna dari pewarisan tersebut terjadi setelah kematian :
وَالمِيْرَاثُ فِيْمَا صَارَ لِلإِنْسَانِ بَعْدَ مَوْتٍ
Pewarisan sebagaimana yang terjadi pada manusia, terjadinya
setelah kematian. [4]
Dan Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya,
menjelaskan makna “kitab” dengan :
هَاهُنَا يُرِيْدُ بِهِ مَعَانِي الكِتَابِ وَعِلْمِهِ
وَأَحْكَامِهِ وَعَقَائِدِه
Disini, yang
dimaksud dengan makna kitab, adalah ilmu, hukum dan aqidah yang terkandung
didalamnya. Dan
untuk makna hamba-hamba Kami, dengan : [5]
تُوَارَثُوا الكِتَابَ بِمَعْنَى
أَنَّهُ إِنْتَقَلَ عَنْ بَعْضِهِمْ إِلَى أخَرَ و قَالَ اللهُ وَلَقَدْ أَتَيْنَا
دَوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا وَقَالاَ الحَمْدُ للهِ الذِي فَضَّلَنَا عَلَي
كَثِيْرٍ مِنْ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ وَوَارَث سُلَيْمَانُ
دَاوُدَ, وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَاسُ
عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَيْرِ وَأُوتِيْنَا مِنْ كُلِّ شَيْئٍ, إنَّ هَذَا لَهُوَ
الفَضْلُ المُبِيْنُ
Mereka saling mewariskan kitab suci. Artinya, Perpindahan warisan
tersebut dari orang kepada orang lain (secara estafet). Allah berfirman (Qs.
an-Naml : 15 - 16) : Dan sungguh Kami memberi Dawud dan Sulaiman sebuah
ilmu. Dan mereka mengucapkan bagi Allah yang telah melebihkan kami dari
kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman.
Dan Sulaiman mewarisi (ilmu,
kerajaan dan kenabian) Daud. Dan
Sulaiman berkata : Wahai manusia kami telah diberi pengertian tentang ucapan
burung, dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya semua ini benar-benar
suatu karunia yang nyata.
Firman
Allah Swt, Qs. Maryam: 5 – 6 :
فهَبْ ِليْ مِنْ لدُنْكَ وَلِيًّا يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ
أَلِ يَعْقُوب وَاجْعَلْه رَبِّ رَضِيًّا
(Nabi Zakariya As berdoa) : [6] Anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra. Yang mewarisi aku dan dari keluarga
Ya’qub. Jadikanlah ia, wahai Tuhanku, seorang yang diridlai.
Dan dalam keterangan senjutnya
dijelaskan :
فَإِذَا
أَجَازَ النُبُوَّةُ لِلْوِرَاثَةِ فَكَذَالِكَ الكِتَابُ
Jika kenabian
dapat diwariskan, demikian juga (sirri) al-Qur’an.
d.
Makna pewarisan diatas, lebih ditegaskan lagi maknanya dalam
ayat 31 jjuga dalam surat Fathir. Ketika Rasulullah Saw masih hidup al-Qur’an
diwahyukan kepadanya. Dan setelah kewafatannya Allah Swt mewariskannya kepada
salah satu hamba-Nya yang terpilih sebagai wakil Rasulullah Saw.
والذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الكِتَابِ هُوَ الحَقُّ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ
Dan Dia (Allah)
Dzat yang mewahyukan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) yang benar, dan membenarkan
sesuatu yang ada disisi-Nya. (QS.Fathir : 31).
Demikian pula dalam penjelasan adanya ulama yang pewarisi
ilmu dari Rasulullah Saw, tercermin dalam hadis riwayat Baihaqi : [7]
يَحْمِلُ
هَذَا العِلْمَ مِنْ كلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ
يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المُبْطِلِيْنَ
وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِيْنَ
Ilmu ini akan
dibawa oleh orang-orang terbaik pada setiap generasi. Mereka menepis
penyimpangan kaum ekstrim, membongkar pemalsuan kaum ahli bathil dan mematahkan
pemahaman kaum bodoh.
Para ulama ahli tafsir al-Qur'an menjelaskan, bahwa hubungan arti
antara ayat 31 dan 32, Allah Swt memulai ayat 32 dengan kata : ثُـمَّ = tsumma/
kemudian. Artinya, al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw.
Kemudia setelah Rasulullah Saw pulang ke rahmatullah secara jasmani, kandungan
dan sirri al-Qur'an diwariskan kepada salah satu hamba yang dipilih-Nya.
Kesimpulan yang
dpat diambil dari penjelasan beberapa hadis dan ayat al-qur’an diatas, baantara
lain :
1.
Sepulang
Rasulullah Saw kehadirat Allah Swt, kandungan dan sirri al-qur’an diwariskan
kepada salah satu hamba-Nya yang terbaik pada masanya.
2.
Penerimaan
warisan tersebut secara spontan antara pewaris dan pemberi warisan.
3.
Sebagaimana
Rasulullah Saw menerima wahyu al-qur’an, pewarisnya tidak perlu susah payah
mencari pemahaman kandungannya secara pembelajaran. Atas izin dan kehendak
Allah Swt, mereka dapat memahami isi kandungan al-Qur’an secara spontan dan
seketika.
4.
Para ulama
pewaris ilmu dan nur ilahiyah, memahami apa-apa yang ada dalam bumi. Meski
demikian, karena akhlaknya yang mulia, mereka sering menyembunyikan
kemampuannya tersebut.
E.
Dalam al-Qur’an & al-Hadits.
Secara
bahasa, al-Qur'an diturunkan secara mujmal (ringkas), dan demikian pula hadis
nabi. Namun kandungan yang terdapat didalamnya menjelaskan keberadaan Allah Swt
dan seluruh maujud, baik lahir maupun batin. Tak satupun dari inti maujudat
yang tidak terkandung dalam al-qur’an dan al-hadis. Mengkaji kandungan
al-Qur'an (istinbath), hingga dapat mengeluarkan mutiara hikmah yang tersimpan
didalamnya merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Islam. Kajian yang diperintahkan, adalah yang
menghasilkan sesuatu yang sudah wujud didalamnya, namun belum diberi nama atau
bentuk. Sedangkan kajian yang keluar dari pokok kandungannya, akan tertolak.
Dengan
sesuai bidang keilmuan masing-masing, para ulama berusaha menggali kandungan
hadis dan al-Qur’an. Kemudian mereka menyusun bentuknya serta memberi nama. Misalnya nama sebuah ilmu yang disertai
dengan system dan pembagiannya, seperti ilmu dalam bidang; tajwid, nahwui/
sharaf, fiqih/ ushul fiqh, tasawuf/ tarekat, mushthalahul hadis, tafsir,
faraidl, da’wah, manthiq, balaghah, hisab, perbintangan, dan ilmu lain yang
sangat banyak baik sudah ditemukan atau belum ditemukan. Nama-nama ilmu beserta
seitem yang ada didalamnya secara tersurat tidak dalam al-Qur’an dan hadis,
namun adanya secara tersirat.
Anjuran
penjabaran tersebut sebagaimana tercermin dalam sabda Rasulullah Saw :
مَنْ
سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْئٌ. مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً
كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزَرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Barang siapa yang membuat sunnah (tata cara) dalam Islam, dengan sunnah
yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkannya tanpa
mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Barang siapa yang membuat sunnah
dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang
yang mengamalkan setelahnya tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun. (HR. Muslim).
Kata-kata al-Ghauts,
secara redaksional (tersurat) tidak terdapat dalam teks al-Qur’an dan
al-Hadits. Sebagaimana istilah ilmu manthiq, ilmu ushul fiqh, ilmu nahwu/
sharaf, musthalah al-hadits, astronomi, biologi, fisika dan nama ilmu-ilmu
lain, secara redaksional juga tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-hadis.
Namun, keberadaan ilmu tersebut, menurut para ahlinya, telah tersirat didalam
al-Qur‘an dan al-Hadits. Begitu pula
menurut para waliyullah dan para tokoh pembesar kaum sufi, secara
tersirat al-Qur’an dan hadits telah menunjukkan keberadaan al-Ghauts Ra.
Didalam hadis, Rasulullah Saw
menjelaskan keberadaan al-Ghauts dengan kata : [8] khair / خَيْر(yang
terbaik), al-Wahid / الوَاحِد(hamba
yang satu), malik / مَلِكُ (raja), dan aimmah / أئمة, shurah / صُورَة
(hadis), aqaama / أقَامَ yang memiliki arti sepadan dengan kata al-Ghauts.
Sedangkan
dalam al-Qur’an hanya terdapat kata-kata : khalifah /
الخليفة
(wakil Tuhan), Imam/ الامام
(pimpinan), Ulil amri/ اُولِى الاَمْر. [9]
Semestinya,
tentang adanya al-Ghauts Ra (satu-satunya hamba yang paling sempurna jiwa dan
keimanannya), Allah Swt melalui firman-Nya telah menjelaskan secara jelas dan
gamblang. Namun sayang sekali, disebabkan kuatnya cengkeraman ego dalam
jiwanya, manusia memahami firman tersebut dengan cara yang membelakanginya.
Sehingga mereka tersesat kedalam pemahaman yang tak tentu arahnya.[10]
Banyak
orang yang mengingkari keberadaan al-Ghauts ra, hanya berdasar bahwa dalam
al-qur’an dan hadis secara tekstual tidak ada kata al-Ghauts, tanpa didasari
kajian yang mendalam tentang makna yang tersirat dibalik yang tersurat. Namun,
jika disimak dengan seksama, alasan mereka tersebut hanya untuk menutup-nutupi
keakuan belaka. Sebagai seorang ulama, kita yakin, mereka pasti paham bagaimana
cara memahami al-qur’an dan hadis secara benar. Hanya karena terlena dalam
pembelaan terhadap keegoan diri (demikian pula kita, tanpa hidayah Allah Swt),
mereka berani berpendapat bahwa ghautsiyah merupakan prinsip yang keluar
dari Islam, na’udzu billa.
G. Awal Pembahasan
Manusia Sempurna (al-Ghauts
Ra) merupakaan istilah yang sangat terkenal dalam kalangan kaum ulama sufi. Banyak
buku karya dari para pembasar sufi dari berbagai negara Islam yang telah
menjelaskannya. Tidak ketinggalan pula para ulama sufi Indonesia . Ulama tersebut antara lain :
1.
Syeh Nuruddin
ar-Raniri (w. 1773 M) dengan karyanya : Asrar
aI-Insan fi Ma’rifah ar-Ruh war Rahman. Kitab ini berbahasa melayu kuno
serta ditulis dengan huruf arab jawi. Sekarang buku ini yang asli tersimpan
dalam perpustakaan pemerintah Belanda dan Universitas Indonesia (milik negara).
2.
Abus Shamad
al-Falimbani (w. 1785 M), dengan
karyanya “Sirus Saalikin”, (berbahasa melayu kuno). Beliau Ra adalah
murid dari al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra (w.1758
M). Buku ini merupakan syarah kitab “minhajul ‘abidin” karya Imam
Ghazali Ra. Ketika membahas bab nafsu dalam jus II, beliau juga memaparkan 2
kedudukan iman wahidiyah dan ahadiyah yang dapat dicapai oleh muslim
yang terpilih.
3.
Mohammad
Nafis ibn Idris al-Banjari (1735 M),
dengan kitabnya “Durrun Nafis”. Kitab ini juga berbahasa melayu kuno.
4.
Dr. Yunasril
Ali dengan bukunya “Manusia Citra
Ilahi”. Karya Yunasril ini merupakan ulasan dan komentar perbedaan antara
Syeh Ibnu Arabi dan Syeh Abdul Karim al-Jilli dalam mengulas martabat wahidiyah,
ahadiyah, hakikatul Muhammadiyah dan Insan Kamil (al-Ghauts). Al-Jilli –
menurut Yunasril – lebih condong kepada aqidah sunni, daripada Ibnu Arabi.
5.
Dr. Dawam
Raharja Dkk, karya Insan Kamil Dalam Konsepsi Islam. Buku ini bersifat
kumpulan dari berbagai pendapat para pakar yang membahas tentang keberadaan
al-Ghauts Ra.
6.
Dr.
Syihabuddin dengan karya Nur Muhammad Pintu Menuju Allah. Dalam buku ini
menerangkan juga tingkatan iman Wahidiyah dan Ahadiyah.
Sedangkan kitab dan karya para ulama dari timur tengah yang
membahas keberadaan al-Ghauts Ra, antara lain
:
1.
Syeh Umar
Suhrawardi Ra, karya Awarif
al-M’arif.
2.
Syeh Abdul
Qadir al-Jilani, karya al-Ghunyah li
Thalib al-Haqqi
3.
Abdul Wahab
As Sya’rani Ra al-Yawaqit wal Jawahir dan Tabaqatul Kubro
4.
Syeh Abdul
Karim Al Jilliy Ra, karya al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awail wal Awakhir
5.
Syeh Ahmad
Kamsykhanawi Ra, karya Jami’ul ushul
al Auliya’
6.
Syeh Muhammad
Amin Al Kurdi Ra, karya Tanwir al-Qulub
7.
Syeh Isma’il
Nabhani Ra, karya Sa’adah ad-Daraini, Syawahid al-Haq, Jami’
Karamah al-Auliya’
8.
Syeh
Jalaluddin Suyuthi Ra, karya al-Hawiy
lil Fatawiy
9.
Abu Nuaim
al-Ishbahani Ra, karya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah as-Shufiyah
10.
Syeh Ali
al-Jurjani Ra, karya Kitab at-Ta’rifat.
11.
Ibnu Arabi
Ra, karya Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam
12.
Imam Abul
Qasim Hawazin al-Qusyairi Ra, karya Risalah al-Qusyairiyah.
13.
Imam Ghazali
Ra, dengan karya Misykat al-Anwar, al-Imla’ fi Isykalah al-Ihya, al-Madlnun
Bih, dan al-Maqshad al-Asna dan Iljam al-‘Awam.
14.
Syeh Ismail
al-‘Ajuluuni Ra karya Kasyful Khifa’ wa Muzilul Ilbas.
Kitab yang terkahir ini merupakan kitab
yang menjelaskan hadis-hadis yang diperdebatan para ulama tentang hasan,
dha’if, munkar dan maudlu’nya. Diantaranya hadis ‘Nur Muhammad”, yang diriwayatkan
dari Abdur Razaq. Dan hadis tentang waliyullah dan al-Ghauts ra. adalah hadis
shahih.
Kata
al-Ghatsu adalah istilah yang sangat terkenal dalam kalangan kaum sufi
dan para waliyullah. Memang hanya mereka saja yang mengkaji keberadaan dan
kesempurnaan batiniyah manusia dihadapan Allah Swt. Al-Ghauts Ra merupakan
figur sentral dan sekaligus sebagai tauladan dalam menjalankan tuntunan Islam
secara syari’ah dan hakikah serta lahiriyah
dan batiniyah. Dari sisi ketaqwaan, Beliau ra adalah hamba Allah Swt
yang paling taqwa pada zamannya. Al-Ghauts
Ra sering disebut Quthb al-Wujud, karena Beliau sebagai pusat segala wujud
secara ruhaniyah. Al-Ghauts
Ra merupakan satu-satunya
wakil Rasulullah Saw dalam mengemban
tugas khalifah dalam alam fana ini.
Dalam hadis riwayat Imam Muslim,[11] Beliau sebagai tempat tajalli Allah
Swt. Dan karenanya, dalam kalangan kaum sufi patut disebut dengan Abdul
Warits.[12] Sebagaimana keterangan dalam
kitab Jami' al-Ushul, bab “ta'riful quthbi” :
عَبْدُ الوَارِث مَظْهَرُ هَذَا الإِسْمِ هُوَ مِنْ
لَوَازِمِ عَبْدُ البَاقِي لأَنَّهُ إِذَا كَانَ بَاقِيًا بِبَقَاءِ الحَقِّ
بَعْدِ فَنَاَءِهِ عَنْ نَفْسِهِ لَزِمَ أَنْ يَرِثَ مَا يَرِثُهُ الحَقُّ مِنَ
الكُلُّ بَعْدَ فَنَائِهِمْ مِنَ العِلْمِ وَالمُلْكِ وَهُوَ يَرِثُ الأَنْبِيَاءَ
عُلُوْمُهُمْ وَمَعَارِفُهُمْ وَهِدَايَتُهُمْ
لِدُخُوْلِهِمْ فِي الكُلِّ
Abdul Warits : adalah manusia yang dijadikan (Allah)
sebagai tempat penampakan asma (al-Warits). Beliau dari (golongan) orang-orang
yang telah merasakan jiwa baqa' dengan Baqa’-Nya al-Haq setelah jiwanya fana’
dari dirinya. Maka ia berhak mendapat warisan dari seluruh sesuatu yang Allah
mewariskannya (dari ilmu dan kerajaan bumi). Beliau mewarisi ilmu, makrifat dan hidayahnya para anbiya’, karena
tenggelamnya kedalam keseluruhan sinar (asma Allah Swt).
H. MAKNA
WALIYULLAH
1. Apa Dan Siapa
Waliyullah Itu ?
Kalimat
Wali (walinya Allah) atau auliya’ berasal dari kata yang terdapat
dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun sering diartikan secara sempit saja.
Bahkan sering diberi arti yang sangat
jauh dari konsep al-Qur’an dan al-Hadits. Misalnya bila ada orang yang dapat
berjalan diatas air atau angkasa, atau dapat mengetahui sebagian dari hal-hal
yang akan terjadi (ghaib), segera saja kita simpulkan bahwa orang tersebut
adalah waliyullah.[13]
Memang kebanyakan dari para auliyaa’illah memiliki kemampuan seperti
tersebut. Namun, belum tentu orang tersebut adalah waliyyullah. Agar ada
kehati-hatian dalam menyimpulkan sesuatu, perlu merenungkan kembali firman
Allah Swt, Qs. al-Ma’idah : 45 :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
اَنْزَلَ اللهُ فَاوُلَئِكَ هُمُ الظَالِمُون
Dan barang
siapa yang tidak memutuskan hukum dengan memakai ketentuan (pedoman) yang
diturunkan oleh Allah, maka ia adalah golongan orang-orang dlalim.
Dalam memandang
dan memahami waliyyullah tidak boleh hanya sekedar, bahkan berdasar kondisi
luarnya saja. Dalam memahaminya, haruslah merujuk kepada al-Qur’an dan hadis.
Sedangkan hal yang luar biasa yang dimiliki oleh waliyyullah hanya dijadikan
sebagai pendukung belaka bukan sebagai penentu kewalian. Secara umum,
kalangan awam melihat waliyullah dari sisi karomah hissi (lahiriyah) saja.
Padahal mungkin juga terjadi seorang waliyullah tidak memiliki karomah hissi,
serta dimusuhi dan dihina oleh ulama lain dan masyarakat. Dan mungkin juga
ulama/ orang yang bukan waliyullah disanjung dan dipuja-puja oleh masarakat.
Dalam kitab Jami’
Karah al-Auliya, Syeh An-Nabhani menerangkan
:[14]
bahwa karamah itu terbagi dalam dua bagian : karamah hissiy (lahiriyah)
dan karomah maknawi (batiniyah). Orang awam tidak dapat mengetahuinya,
kecuali karamah hissiy. Misalnya, jika ada orang dapat terbang tanpa
alat, dapat mengetahui perkara samar yang akan terjadi atau yang telah berlalu,
atau mampu melihat sesuatu yang berada dalam jarak ratusan kilometer. Sedangkan
karamah maknawi tidak dapat diketahui kecuali dari golongan ahlul khawas
(kelompok atas).
وَقَدْ
يَكُونُ اِسْتِدْ رَاجًا لَهُ عِنْدَالله تعالى قَدْ يَكُوْنُ اِكْرَامًا لِلْعَبْدِ اِعْلَمْ مَنْ أَرَادَ شَيْئًا فَأْعْطَاهُ
اللهُ مُرَادًهُ لَمْ يَدُلْ ذَالِكَ عَلَى كَوْنِ ذاَلِكَ العَبْدِ وَجِيْهًا
Ketahuilah, orang yang menginginkan
sesuatu, dan Allah memberinya. Pemberian itu belum tentu menunjukkan bahwa ia
berkedudukan tinggi dihadapan Allah Swt. Kadang pemberian tersebut, sebagai
karomah, dan kadang sebagai istidraj. [15]
Demikian
pula, Beliau Hadlratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh
Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo, dalam satu fatwa amanatnya
menjelaskan : kedikdayaan dan kemampuan yang luar biasa (khariqul
‘adah) dapat diperoleh dengan riyadlah, sedangkan sadar billah merupakan
fadlol Allah Swt.
Kalimat
Waliy merupakan kalimat yang terdapat
dalam al-Qur’an dan hadis. Al-Wali memiliki arti ganda (isytirak) :
1. Sebagai subyek (الفاعل) : yang mengasihi, yang menguasai, yang
menolong yang melindungi. Dalam artian ini makna waliy dapat menjadi salah
satu asma Allah Swt yang baik (asmaul husna).
2. Sebagai obyek (المفعول) : yang dikasihi, yang dikuasai , yang ditolong, yang
dilindungi.[16]
Arti kata wali ini ditujukan kepada manusia.
Prinsip
(لاَيِعْـرِفُ
الوَالِيُّ اِلاَّ الوَالِيّ),
merupakan pemahaman yang sangat mashur dalam masyarakat. Namun, pada umumnya hanya diberi arti dengan tidak
dapat mengetahui seorang wali (kekasih Tuhan) kecuali wali (kekasih
Tuhan) yang lain. Padahal semestinya harus dijelaskan dengan arti yang lain
juga, yakni : “Tidak ada yang mengetahui wali (manusia yang dikasihi,
yang dikuasai, yang ditolong dan yang dilindungi oleh Allah), kecuali Wali (Allah
Swt Yang Mengasihi, Yang Menguasai, dan Yang Melindungi). Dan kebanyakan
para waliyullah sangat dirahasiakan oleh Allah Swt. Sebagimana tercermin dalam
dalam hadits qudsi, Allah Swt bersabda : [17]
اِنّ اَوْلِيَائي عَلَى قَبْضِي لا
َيَعْرِفُهُ غًيْرِي
Imam
Abul Hasan as-Syadzili juga menjelaskan tentang kerahasiaan para waliyullah Ra.
Ia berkata : [18]
مَعْرِفَةُ الوَالِيِّ أَصْعَبُ مِنْ
مَعْرِفَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللهَ مَعْرُوفٌ بِكَمَالِهِ وَجَمَالِهِ
وَحَتَّى تَعْرِفَ مَخْلُوقًا مِثْلَكَ يَأْكُلُ كَمَا تَأْكُلُ وَتَشْرَبُ كَمَا
تَشْرَبُ.
وَقَدْ سَتَرَتْ أَحْوَالُ القُطْبِ
وَهُوَ الغَوْثِ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَسَتَرَ أَحْوَلُ النُجَبَاءِ عَنِ
العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَكَشَفَ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
Keadaan
al-Quthbu (al-Ghauts) tertutup dari kalangan awam dan kalangan khas. Dan
nujaba’ juga tertutup dari awam dan kalangan khusus. Dan terbuka bagi kalangan
mereka sendiri.
Berlainan
dengan waliyullah secara umum. Dalam hal Ghautsiyah, Allah Swt wa
Rasulihi Saw terkadang memberitahukannya kepada hamba-Nya yang dikehendaki melalui
pengalaman ruhani (rukyah shalihah), hingga dapat mengetahui pribadi al-Ghauts
Ra. Hal ini disebabkan al-Ghauts Ra berfungsi sebagai penuntun ummat dalam
pembebasan jiwa dari kemusyrikan. Tanpa melalui bimbingannya, manusia sangat
sukar membebaskan jiwa dari belenggu syirik.
Beberapa
pengalaman ruhani tentang pribadi al-Ghauts Ra :
1. Syeh Abul Qasim al-Qari, [20]
mimpi melihat sebuah pesta yang sangat meriah dalam sebuah gedung. Sebelum
acara dimulai, para hadirin melantunkan ayat suci al-Qrur’an dan dzikir. Syeh
bertanya kepada penerima tamu. Ya akhi, acara apa ini?. Pelantikan
Imam Nawawi sebagai waliyullah yang menduduki jabatan Quthub, jawab pimpinan tersebut.
2. Para murid Syeh Yusuf an-Nabhani, mimpi bertemu
Rasulullah Saw, yang bersabda : Yusuf
an-Nabhani adalah Aqrabul Muqarrabin.[21]
3. Syeh Bilal al-Khawas, bertemu Nabiyullah
Khadlir As. Kepada Nabiyullah, Syeh bertanya : Dimanakah kedudukan Imam
Syafi’i. Jawab Nabiyullah : Beliau diantara wali autad.[22]
4. Mbah KH. Mundzir (Pengasuh ponpes “Ma’unah
Sari” Bandar Kidul kota Kediri), ketika melaksanakan sholat istikharah untuk
meminta petunjuk tentang pribadi Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat
Wahidiyah Qs wa Ra. Setelah salam terakhir, Beliau mendengar suara dari arah
langit yang diulang-ulang beberapa kali (al-Ghauts..al-Ghauts …al-Ghauts). Suara tersebut awalnya sangat pelan, namun
semakin keras, dan semakin keras.
5. Bapak Abdul Jamil Ridwan (personil PW Pasuruan),
melihat Rasulullah Saw menyerahkan mandat kepimpinan ummat kepada Romo KH.
Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
6. Syeh Abdul Karim al-Jilly (al-Ghauts fi
Zamanihi Ra, w. 826 H), diberitahu oleh Rasulullah Saw bahwa gurunya (Syeh
Ibrahim al-Jabarti Ra) adalah al-Ghauts Ra.
7. Syeh Abdus Shamad al-Palimbani menerangkan
(berdasar rukyah shalihah) dalam kitabnya “siyarus saalikin’ bahwa gurunya Syeh
Abdullah as-Samani al-Madani Ra adalah al-Ghauts Ra.
8. Bapak Dr. Ocin Kusnadi SH (Jakarta), ketika
naik pesawat dari Jakarta ke Surabaya untuk menghadiri pemakaman jasad Mbah KH.
Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, melihat dengan sadar
diangkasa ada ratusan gumpalan awan dan burung-burung yang berbaris dibelakang seseorang
yang berpakaian layaknya seorang raja. Dari barisan rombongan terdengar suara
(yang tampak diucapkan secara bersama-sama : "Selamat Datang Ghauts Hadzaz
Zaman”. Rombongan tersebut semakin mendekati pesawat terbang. Dan setelah
dekat, tekejutlah bapak ini. Karena orang yang diiring dan berpakaian layaknya
seorang raja tersebut, adalah Hadlratul Mukarram Romo Yahi Ra Pengasuh
Perjuangan Wahidiyah.
Kata
Waliy berasal
dari al-qur’an dan al-hadits. Diantara manusia itu ada yang memilih jalan lurus sehingga menjadi Waliyyullah,
dan ada yang memilih jalan menyimpang dan menjadi Waliyyusy
syaithon .
a). Waliyyullah
[23]
Ciri-ciri Waliyullah antara lain:
1).
Jiwanya senantiasa tidak memiliki rasa kawatir dan susah hati. Firman Allah Swt, QS. Yunus, 62 – 63
اَلاَ
اِنَّ اَوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ, الذِيْنَ
اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُوْن
Ketahuilah bahwa Sesungguhnya para auliyaillah itu tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan
mereka tidak pula bersedih hati. Yaitu orang orang yang senantiasa beriman dan
mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah)
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya,
memberi penjelasan makna auliyaillah sebagai berikut :
مَنْ
تَوَلاَّهُ اللهُ تعالَى وَتَوَلَّى حِفْظَهُ وَحِيَاطَاتُهُ وَرَضِيَ اللهُ
عَنْهُ
Waliyullah adalah hamba yang Allah Swt telah
menguasainya, menjaga kehormatannya, membimbing kewaspadaannya dan meridlainya.[24]
2).
Memahami dan menerapkan prinsip Lillah – Billah. HR. Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda : [25]
قَال الله تَعالَى :
فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الذِي
يُبْصِرُبِهِ وَيَدَهُ الذِي يُبْطِشُ بِهِ وَرِجْلَهُ الذِي يَمْشِي بِهَا اِنْ
سَاَلَنِي اَعْطَيْتُهُ وَاِنْ اسْتَعَاذَ نِي اعَذْ تُهُ.
Allah Swt bersabda :Jika Aku telah mencintai hamba-Ku,
maka Aku menjadi pendengarannya yang digunakan untuk mendengarkan, menjadi
penglihatannya yang digunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang digunakan
untuk menggenggam, menjadi kakinya yang digunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-KU niscaya Aku
memberinya, dan jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku melindunginya.
4).
Memiliki kesadaran makrifat kepada Rasulullah Saw
(istilah Wahidiyah –Birrasul).
Dalam kitab Sa’adatud Daraini, Syeh
Yusuf Ismail An Nabhaniy halaman 431[27]
menerangkan bahwa, waliyyullah itu seseorang yang telah memiliki kesadaran ma’rifat
Birrasul Saw.
لَمْ تَكُن
الاَقْطَابُ اَقْطَابًا وَالاَوْتَادُ اَوْتَادًا وَالاَوْلِيَاَءُ اَوْلِيَاءً الاّ بِمَعْرِفَةِ رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم
Tidak dapat dinamakan wali quthub, wali autad dan waliyuulah,
kecuali telah ma’rifat kepada Rasulullah Saw (Birrasul).
Dan pada bab 3 dalam bahasan “lathifah ke 110”, Syeh Nabhani Ra
menuliskan fatwa dari al-Ghaus fii Zamanihi Syeh Abl Abbas al-Mursi Ra (w. 686
H) dan Syeh Ali al-Khawash (w. 956 H) :
لَوْ
حُجِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَحْظَةً فِي
سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ مَا
أَعْدَدْتُ نَفْسِي مِنَ المُسْلِمِيْنَ
Jika aku terhijab dari Rasulullah Saw sedetik dalam setiap satu jam
baik dalam waktu siang malan atau malam hari, maka tidak berani menghitung
diriku bagian dari golongan orang-orang membutuhkan Tuhan. (al-Mursyi Ra)
لايَحِقُّ
لأَحَدٍ قَدَمُ الوِلاَيَةِ المُحَمَّدِيَةِ حَتَّى يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لاَ يَكْمَلُ مَقَامُ فَقِيْرٍإِلاَّ
أَنْ صَارَ أَنْ يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلَّمَ وَيُرَاجِعُهُ فِي
أُمُورِهِ كَمَايُرَاجِعُ التِلْمِيْذُ شَيْخَهُ
Tidak sempurna maqam seseorang, kecuali ia dapat bersama Rasulullah
Saw serta mengembalikan perkaranya kepada Nabi Saw sebagaimana murid
mengembalikan kepada gurunya.
Dan Imam Sya,rani dalam kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah menjelaskan,
kebersamaan dengan Rasulullah Saw secara ruhani, merupakan tanda kebenaran
setiap tarekat sufi.[28]
Al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Al-Qasthalani (w.758 H) dalam
menjelaskan hadits riwayat Imam Bukhari (tentang cinta kepada Rasulullah Saw)
mengatakan :
حَقِيْقَةُ
الاِيْمَانِ
لا تَتِمُّ وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ بِتَحْقيْقِ
أَعْلإَ قَدْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ عَلَى كُلِّ
وَالِدٍ وَوَلَدٍ ومُحْسِنٍ
فَمَنْ
لَمْ يَعْتَقِدْ
هَذَا
فَلَيْسَ بِمُؤْمِنٍ يُبَيِّنُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِ
عَلَى حَسَبِ
مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hakikinya iman
tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat disempurnakan kecuali dapat memahami
kedudukan Rasulullah Saw dengan nyata (musyahadah qalbu) diatas setiap orang
tua, anak dan para pelaku kebaikan. Barang siapa yang tidak memiliki i’tiqad
(kepercayaan) seperti ini, maka ia tidak disebut mukmin. Hadits ini, artinya
Rasulullah Saw menjelaskan tentang ukuran derajat iman mukmin, tergantung dari seberapa rasa cintanya kepada
Rasulullah Saw. [29]
Sedangkan Syeh Abul Fadlol ‘Iyadl, dalam kitabnya
As-Syifa’, saat memberi penjelasan tentang makna hadits yang membahas
mahabbah kepada Rasulullah Saw, yang menukil fatwa (al-Ghauts fi
Zamanihi, w. 284 H, Syeh Sahal at-Tustari), menjelaskan
:
مَنْ لَمْ يرَوِلا َيَةَ الرَسُول عَلَيْهِ فِي جميْعِ
الاَحْوالِ ولاَ َيرَى نَفْسَهُ فِي مُلْكِهِ صَلى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ لاَيَذُوقُ حَلاَوَةَ سُنَّتِهِ لآنَّ النَبِيَ صَلى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ قَالَ
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكمْ حَتَّىأنْ أَكُونَ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِه
Barang siapa
tidak mengetahui, bahwa Rasulullah menguasai dirinya dalam segala hal, dan
tidak mengetahui dirinya dalam kepemilikan Rasulullah, maka ia tidak akan merasakan
manisnya sunnah Rasulullah Saw. Karena Nabi Saw. bersabda : Tidak iman kalian
sehingga Aku (Rasulullah) lebih dicintainya dari pada dirinya sendiri.
Fatwa Imam al-Ghazali (w. 501 H) Qs. wa Ra. :
قَدْ
مَنعَ كَمَالُ الاِيْمَانِ بِشَهَادَةِ التَوحيْد لاَاِلَهَ اِلاَ الله مَا لَمْ
تَقْـتَرِن بِشَهَادة الرَسُولِ مُحَمَّد رَسُولُ الله
Sangat
terlarang
kesempurnaan
iman hanya dengan kesaksian kepada Allah saja, yaitu (tiada Tuhan selain
Allah), tanpa disertai kesaksian kepada Rasulullah (Muhammad utusan Allah).[30]
5).
Memahami semua karomah dan sirri memancar dari
Rasulullah Saw.[31]
وَكُلُّ نَبِيٍّ وَرَسُولٍ مَادَتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Setiap nabi dan wali, kehebatannya berasal dari Rasulullah Saw.
6).
Sempurnanya kewaliyan, jika dapat memahami keberadaan
al-Ghauts Ra pada zamannya.
Merasa makmum kepada Guru ruhani (al-Ghauts), dapat mempermudah diterimanya
ibadah oleh Allah Swt. Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Rabi’ah Rasulullah
Saw bersabda :
إِنَّ سِرَّكُمْ
أَنْ تَقْبَلَ صَلاَتَكُمْ فَلْيَؤُمُكُمْ عُلَمَاءُكُمْ فَإِنَّهُمْ وَفْدُ
كُمْ فِيْمَا بَيْنَكُمْ
وَبَيْنَ اللهِ
Sesungguhnya rahasiamu, sekiranya diterima sholatmu, maka
mengimami kamu semua ulama’ kamu semua. Karena sesungguhnya ulama tersebut
sebagai perantaramu anatara kamu dan Allah.[32]
Syeh Ali Ibn Muhammad al-‘Azizi (w. 1070 H) dalam kitab Siraj
al-Munir Ala al-Jami’ as-Shaghir,
memberi penjelasan bahwa makna ulama dalam hadis diatas :
هُمْ
الوَاسِطَةُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ لآَنَّ الوَاسِطَ الآَصْلِيَ
هُوَالنَّبِي صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ وَرَثَتُهُ
Merekalah (al-Ghauts Ra) sebagai perantara antara kamu
semua dan Tuhanmu. Sesungguhnya perantara yang asli adalah Nabi Saw, mereka itu
merupakan waris Rasulullah Saw.
Banyak
orang suka membahas waliyullah. Namun jarang sekali dari mereka yang
memperhatikan kriteria waliyullah dan waliyus syaithan. Padahal
menurut sunnah Rasulullah Saw, jika seseorang tidak menjadi waliyullah,
pasti menjadi waliyus syathan. Tidak ada manusia setengah waliyullah
dan setengah waliyus syaithan. Yang ada hanya waliyullah atau waliyus
syaithan. Perjuangan Wahidiyah bertujuan mengentaskan manusia dari belenggu setan,
agar tidak menjadi waliyus syaithan.
Dalam
Qs. al-A’raf : 27, dan An-Nisa : 119, Allah Swt
menjelaskankan bahwa waliyus
syaithan adalah orang yang hatinya tertutup dari Allah Swt (tidak
sadar billah), dan tidak mau menjadikan Allah Swt sebagai kekasih, penolong,
penguasa dan pelindung bagi dirinya. Mahluk - menurut mereka -, meskipun tanpa
izin Allah Swt juga dapat memberi pertolongan baik kepada dirinya atau kepada
yang lain.
اِنَّاجَعَلْنَاالشَيَاطِيْنَ
اَوْلِيَاءً لِلَّذِ يْنَ لاَيُؤْمِنُوْنَ .
Sesungguhnya Kami menjadikan setan sebagai
wali (penguasa, pelindung, kekasih dan
penolong) bagi orang-orang yang tidak beriman. (Qs. al-A’raf : 28), dan :
وَمَنْ
يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُ وْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا
مُبِيْنًا
Barang
siapa yang menjadikan setan sebagai wali (pelindung, penolong, kekasih) selain
Allah, maka sungguh rugi dengan kerugian yang nyata.(Qs,
an-Nisa’ 119).
Seseorang
yang hatinya memiliki anggapan bahwa yang menolong dan menguasai dirinya
bukannya Allah Swt, akan tetapi sesama makhluk, adalah wali syaithan. Jika
mereka mati, maka mati dalam kekafiran.
4. Tugas Batiniyah Waliyullah
Meskipun urusan lahiriyah (seperti membimbing dan menuntun
ummat menuju kesadaran kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw) merupakan tanggung
jawab al-Ghauts Ra, namun tugas mereka yang paling utama bersifat
batiniyah.
Tugas-tugas batiniyah para Waliyullah Ra, antara lain:
a. Penjaga dan
penegak kebenaran Islam (syariah dan hakikat), baik secara lahir maupun secara
doa. HR. Muslim (Shahih Muslim "Kitab Imarah", bab "laa
tazaalu"). Rasulullah Saw bersabda :
لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي
قَائِمَةً بِأَمْرِ اللهِ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَلَفَهُمْ حَتَّى
يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُنَ عَلَى النَاسِ
Tidak
sepi dari ummat-Ku sekelompok orang yang menegakkan agama Allah. Mereka tidak dapat dirugikan oleh orang-orang yang
menghinanya dan membelakanginya. (keberadaan mereka) hingga datangnya keputusan
Allah. Mereka senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat.
a.
Menjaga (dengan doa dan sirri batiniyah) kelestarian alam semesta.
Telah banyak hadits shahih yang menjelaskan tugas ini.
Antara lain hadits riwayat Imam Ahmad,
Thabrani dan Abu Nuaim dari
sahabat ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda
لاَ
يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ
يُنْصَرُونَ
Tidak sepi didalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap
tegak, dan sebab mereka manusia diberi hujan, dan sebab mereka manusia
tertolong. [33]
b.
Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Muad ibnu Jabbal,
Rasulullah Saw bersada :
ثَلاَثٌ
مَنْ كُنَّ فِيْهِمْ مِنَ الاَبْدَالِ بِهِمْ قِوَامُ الدُنْيَا وأَهْلِهَ
Tiga
hamba. Barang siapa ada diantaranya, merekalah wali Abdal. Sebab (sirri radiasi batin dan doa) mereka dunia dan seisinya tetap tegak.
c.
Sebagai penyalur (melaui doa) pemberian Allah Swt kepada
mahluk-Nya.
Dalam kitab at-Ta’rifat nya Syeh Ali al-Jurjani pada
bab “qaf” dijelaskan, tugas rohani al-Ghauts Ra adalah penyalur pemberian Allah
Swt kepada mahluk :
وَمِنْ هَذَا القُطْبِ يَتَفَرَّعُ
جَمِيْعُ الإمْدَادِ الإلَهِيَّةِ عَلى جمِيْعِ العالَمِ العُلْوِيِّ والسُفْلِيِّ
Dari al-Quthbu, Allah memancarkan dan menyebarkan sinar
pemeliharaan-Nya kepada alam semesta, baik alam atas maupun alam bawah.[34]
d.
Mewarisi sifat Rasulullah Saw, sebagai pembersih jiwa
manusia dari syirik, baik khafi (samar) atau jaly (jelas). Dalam jiwa manusia
terdapat nafsu kafir atau syirik. Dan untuk membersihkannya, tidak bisa diraih
dengan pengajaran secara lahiriyah, dan hanya dapat dihilangkan dengan radiasi
batin al-Ghauts Ra. Ibarat seorang dokter. Jika sesorang terserang penyakit
yang membayakan. Penyakit tersebut
tidak dapat disembuhkan hanya dengan membaca resep dokter, tetapi melalui obat
yang suntikan oleh dokter kedalam tubuh pasien.
5. Kerahasian Waliyullah
Sebagaimaman
tugas para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad Saw, tugas batiniyah (dari
Rasulullah Saw) merupakan tugas pokok juga bagi para al-Ghauts. Sedangkan tugas
dalam bidang lahiriyah sebagai pelengkap dan penyempurna. Dan karenanya,
keberadaan pribadi, kedudukan dan derajat mereka dirahasiakan oleh Allah Swt. Tugas
mereka bersifat metafisik (batiniyah) yang diketahuinya oleh mereka sendiri.
Orang lain hanya dapat mengetahui tugas mereka, melalui ciri-ciri saja, melalui
rukyah shalihah atau atau terbukanya mata hati bagi para murid mereka.
Didalam
kitab Thabaqatul Kubra-nya Syeh Abdul Wahab As-Sya’rani, juz I, halaman
8, diterangkan bahwa Syeh Abul Hasan As-Syadzaliy berkata :
لِكُلّ وَلِيٍّ سَتْرٌ أَوْأَ سْتَارٌ نَظِيْرُالسَبْعِيْنَ
حِجَابًا الَتِي وَرَدَ تْ فِي حَقِّ الحَقّ تَعَالَى حَيْثُ اِنّهُ لَمْ يُعْرَفْ اِلاَّ مِنْ وَرَائِهَا فَكَذَالِكَ
الوَالِيُّ
Setiap
waliyullah memiliki penutup 70 penutup. Hal ini sebagai kebiasaan dalam
haqqullah. Sehingga
sukar wali diketahui, kecuali orang-orang yang ada dibelakang waliy
(pengikutnya).
Dari beberapa
keterangan diatas, dapat kita simpulkan bahwa
waliyullah adalah hamba Allah Swt
yang memiliki tanda-tanda sebagai berikut
:
I. Laknat
Bagi Orang Yang Memusuhi Waliyullah
Allah
Swt tidak menghendaki kaum muslimin keluar dari barisan Sulthanul Auliya'. Dan
Allah Swt sangat murka kepada orang yang membenci atau memusuhi waliyullah.
Seseorang yang dalam hatinya terdapat rasa permusuhan atau kebencian terhadap
waliyullah apalagi al-Ghauts Ra, dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya
orang kafir jahiliyah. Sebagaimana tercermin dalam hadis dibawah ini :
1.
Hadits
riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Ra , Rasulullah Saw bersabda
:
اِنَّ
اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا, فَقَدْ اَذَ نْتُهُ بِالحَرْبِ
Sesungguhnya Allah Swt berfirman : Barang siapa yang memusuhi
kekasih-Ku, maka Aku menyatakan perang
kepadanya.
2.
Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih
Muslim Kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah"), Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ
كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ
النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ
مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa
yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan dari Amirnya, maka bersabarlah.
Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan sejenggkal saja, kemudian ia mati,
maka ia mati dengan mati (kafir)
jahiliyah.
Para kaum sufi dan waliyullah, mengartikan kata “amir”
dengan arti khusus, yakni Amirul Auliya (Pimpinan para waliyullah atau Guru
ruhani).
Kesimpulan
a.
Kalimat “waliy”
berasal dari kalimah yang ada dalam al-Qur’an dan hadits.
b. Terdapat
2 jenis al-waliyyu : 1. Waliyyullah
2. Waliyyus Syaithan .
c. Waliyyullah
adalah hamba Allah Swt yang senantiasa
:
*. Musyahadah kepada Allah Swt. Mereka memiliki
kesadaran, bahwa mereka dapat melihat, karena mendapat sinar sifat melihat
(bashar)-Nya, dapat mendengar karena sinar sifat mendengar (sama’)-Nya,
memiliki kuasa karena mendapat sinar kuasa-Nya.
*. Mereka
tidak memiliki rasa khawatir maupun sedih hati. Perasaan ini dapat diperoleh
seorang wali jika memiliki kesadaran bahwa segala yang terjadi dalam alam ini
tidak lepas dari ketentuan Allah Swt. Dengan iman yang demikian para waliyullah
merasa tidak perlu ada yang disusahkan dan dikhawatirkan. Amal ibadah yang
dilakukannya hanya semata mata karena cinta kepada Allah Swt. Keikhlasan semacam ini, disebabkan mereka telah
menyadari bahwa amal ibadah terlahir dan terlaksana atas titah dan pertolongan
dari Allah Swt semata, manusia tidak memiliki daya dan kekuatan. Sehingga
mereka merasa tidak memiliki amal ibadah dalam beribadah. Inilah makna ikhlash yang
semestinya.
*. Senantiasa sadar ma’rifat (musyahadah) kepada
Rasulullah Saw (Lirrasul – Birrasul)
d. Waliyyus syaithan
adalah manusia yang mengingkari
pertolongan, penguasaan dan perlindungan
Allah Swt kepada dirinya. Sehingga mereka mencari pertolongan, penguasaan
perlindungan kepada selain Allah Swt
(istilah wahidiyah Linafsih – Binafsih).
[2]. HR. Imam.Bukhari dalam “Syarhul
Qusthalani”.
[4]. Kitab tafsir Jalalain, Syeh Jalaluddun as-Suyuthi juga menjelaskan
: kata ثُمَّ أَورَثْنَا , sama arti
dengan kata أَعْطَـيْنَا = Kami berikan,.
Dalam kitab tafsir Shawi, Syeh Ahmad as-Shawi juz III, hlm: 313.
menjelaskan bahwa maksud pewarisan
adalah perolehan. warisa, tanpa susah payah. Begitu pula,
pemberian al-Qur’an kepada pewarisnya (al-Ghauts), juga tanpa susah payah.
وَوَجْهُ
تَسْمِيَتُهُ مِيْرَاثًا أَنَّ المِيْرَاثْ يَحْصُلُ لِلْوَارِثِ بِلاَ تَعَبٍ
وَلاَ نَصبٍ
وَكَذَالِك َإِعْطَاءُ الكِتَاب حَاصِلٌ بِلاَ
تَعَبٍ وَلاَ َصَبٍ
[5]. Bahkan Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsir al-Qurthubi,
dalam surat an-Naml ayat 16.
menjelaskan arti ayat pewarisan ini sepadan dan sekaligus sebagai maksud dari
sabda Rasulullah Saw : العُلمَاء وَرَثة
الانْبيَاء Sesungguhnya ulama itu pewaris Nabi.
[6]. Ketika Nabi Zakaria As merasa dirinya sudah
tua, sedangkan belum ada orang yang dapat melanjutkan perjuangannya, maka
berdoalah ia kepada Tuhan untuk memohon anak yang diridlai-Nya agar dapat
melanjutkan dan mewarisi perjuangan.
[7] .Hadis riwayat Baihaqi dalam kitab Dalail an-Nubuwwah, jilid I pada
pasal “ikhtilaaf al-ahaadiits”. Dan kitab Jawahir al-Bukhari wa Syarhu
al-Qusthalani, bab “muqaddimah”.
a.
Kata khair / خَيْر
: HR. Imam Muslim, dari sahabat Umar Ibn
Khatthab Ra, Rasulullah Saw bersabda : إِنَّ خَيْرَالتَابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَاُلُ لَهُ اُوَيْسٌ : Sebaik-baiknya para tabi’in adalah lelaki yang
baginya
disebut Uwais.
b.
Kata Aimmah/ الائمة.
Rasulullah Saw bersabda : إِنَّكُمْ اَيُّهَا الرَهْطُ أَئِمَّةٌ يَقْتَدِي بِكُمْ : Sesungguhnya kamu
semua, wahai
sekelompok manusia, terdapat imam
yang senantiasa mengikuti kamu semua.
(HR. Imam Malik/
kitab al-Muwattha’).
c.
Kata Wahid/ وَاحِد : Rasulullah Saw bersabd
(terjemahnya,dapat dilihat dalam makalah ini
juga dalam ulasan tentang keberadaan “al-Ghauts Ra secara jasmani dan ruhani”) :
إِنَّ
فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثُمِائَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ ءَادَمَ, ولله فِيِ
الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ
مُوسَى, ولله سَبْعَةٌ فِيِ الخَلْقِ ....
قُلُوبُهُمْ
عَلَى قَلْبِ إِبْرَاهِيْمَ, ولله فِيِ
الخَلْقِ خَمْسَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ جِبْرِيْلَ, ولله فِيِ الخَلْقِ
ثَلاَثَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مِيكَائِيْلَ, وَلله فِي الخَلْقِ- وَاحِدٌ -
قَلْبُهُ عَلَى قَلْبِ اِسْرَا فِيْل, فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ
مَكَانَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ, فَاذَا مَاتَ
الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ, فَاذَا مَاتَ
مِنَ الثَلاَثَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الخَمْسَةِ فَاذَا مَاتَ مِنَ الخَمْسَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ
مِنَ السَبْعَةِ, فَاذَا مَاتَ مِنَ السَبْعَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الآرْبَعِيْنَ, فَاذَا مَاتَ مِنَ
الآرْبَعِيْنَ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثَلاَثُمِائَةٍ فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثُمِائَةٍ اَبْدَال
َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ العَامَّةِ, فَبِهِمْ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَيَمْطُرُ
وَيُنْبِتُ وَيُدْفَعُ البَلاَءِ.
d. Kata Malik/ مَلِك : زُوِيَتْ لِيَ
الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ
أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat
ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan
sebagaimana bumi dilipat untuk-ku (HR. Imam
Bukhari).
e. Kata “maqaam” merupakan kata jadian dari
aqaama. Rasulullah menjelaskan bahwa rizki (kedukan sepagai pimpinan ruhani)
yang diberikan Allah Swt kepadanya akan diwariskan kepada orang yang menduduki
makam (khalifah) sepeninggalnya. Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ اللهَ عَـزَّ وَجـلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا فَقَبَضَهُ رزٌقهُ
مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika memberi rizki kepada
seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam baka, maka rizki tersebut akan
diberikan kepada seseorang yamg menduduki jababatan sesudahnya. (HR. Imam Ahmad).
[9]. Kata-kata dalam al-Qur’an yang sepadan
dengan makna al-Ghauts Ra :
a.
Kata Khalifah/ خَلِيْفَةً = wakil
Tuhan dibumi : Firman Allah قال رَبُّكَ لِلْمَلاَ ئِكَةِ اِنِّي جَاعِـلٌ فِي الاَرْضِ
خَلِيْفَةً
Tuhanmu bersabda kepada malaikat : Sesungguhnya Aku
menjadikan khalifah (wakil Tuhan) dibumi). Qs.al-baqarah/
30.
Imam
Shawi dalam kitab tafsirnya Hasyiyah Shawi menerangkan, yang dimaksud
khalifah disini adalah :
وَاَمَّا
بِاعْتِبَارِعَالَمِ الاَجْسَادِ فَهُوَ اَبُوالْبَشَرِ اَدَمُ عَلَيْهِ السَلاَمُ
وَاَمَّا بِاعْتِبَارِ عَالَمِ الاَرْوَاحِ فَهُوَ مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم
Apabila dipandang dari sudut jasmani, khalifah pertama
adalah bapak manusia yaitu Nabi Adam As, jika dipandang dari sudut ruhani
adalah Nabi Muhammad Saw.
Dan dalam Qs. as-Shaad/ 26 : إناَّ جَعَـلْنَأكَ خَلِيْفَةً فِي الاَرْضِ فَاحْكُمْ
بِالعَـدْلِ وَلاَ تَتَّبِعْ الهَوَى : Aku telah menjadikan engkau (Daud)
sebagai khalifah dibumi, maka putuskanlah dengan adil dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu.
b. Kedua,
kata Ulil Amri, Qs. al-Maidah/ 35 : أطِيْعُوا الله وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الآمْرِ مِنْكُمْ
: Taatlah kalian kepada Allah, dan
taatlah kepada Rasul dan Ulil amri.
c. Kata Imam / إِمَام
(pimpinan)
Qs. al-Furqan/ 74 :
وَاحْعَـلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا : Dan jadikanlah kami sebagai piminan
orang yang bertaqwa.
Dan Qs. al-baqarah: 124 :
قَالَ اِنِّي جَاعِـلُكَ
لِلنَّاسِ اِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي
الظَالِمِيْن
Tuhan bersabda (kepada Nabi Ibrahim As) : Sesungguhnya Aku
menjadikanmu sebagai Imam bagi manusia. Ibrahim menjawab : dan dari keturunanku
juga. Tuhan bersabda : Tidak akan memperoleh perjanjian-Ku (khalifah, imam), orang
yang dlalim.
[10]. Manusia yang jiwanya dicengkeram nafsu, maka kemana
"ego" mengajak, disitu pula pijakan kebenaran yang diambil. Dan,
terkadang demi menjaga ego diri/ kelompok, manusia berani memutar balikkan
fakta yang telah ada didepan mata. Dan, na’udzu billah min dzalik.
[11]. Shahih
Muslim yang diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah ra, dalam bab “menjenguk
orang sakit”. Imam Suyuthi juga menulisnya dalam kitabnya Jami’ as-Shaghir
juz I dalam bab “alif nun”
[12]. Lihat penjelasan ayat 31 dan 32 surat fatir
pada bab “ulama Pewari Nabi” dalam
risalah ini.
[13]. Lihat
kitab Fathul Bariy syarah
Shahihul Bukhariy, oleh Imam
Ibnu Hajar Al-Asqalani (w-758 H). Atau
kitab Risyalah al-Qusyairiyah,
bab al-waliyyu. Dan kitab Jami’
Karamah al-Auliya’ Syeh An-Nabhani,
dalam juz I
[14]. Kitab Jami’ Karamah al-Auliya’ Syeh An-Nabhani, dalam juz I
[15]. Kitab Jami’ Karamah al-Auliya,
Syeh Yusuf Ismail An-Nabhani, juz I halaman 23,
[16]. Lihat kitab
Qathrul waly ‘ala haditsil waliy, Imam Asy-Syaukani (w- 1834 M),
bab pertama. Dan kitab Fathul Bariy,
oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (w- 757
H). Atau kitab Risyalah al-Qusyairiyah bab alwaliyyu. Atau kitab Jami’
Karamatil Auliya’ bab pendahuluan diterangakan, bahwa ukuran seorang
auliya’illah pada ketaatannya terhadap aturan Tuhan . Sehingga terdapat juga
seorang waliyullah itu tidak mengerti kalau dirinya itu waliyullah.
[18]. Kitab al-Yawaqit wal Jawahir nya
Syeh Abdullah Sya’rani, juz II dalam bab as-Syadzali., atau kitab Tahrir
ad-Duraar-nya KH. Mishbah Zain al-Mushthafa, Bangilan – Tuban – Jawa Timur
dalam bab ‘as-Suadzali”
[19]. Kitab al-Hawi lil fatawi, juz II dalam
bahasan ke 69. Keterangan yang sepadan juga terdapat dalam kitab Syawahid
al-Haq nya Syeh Yusuf an-Nabhani dalam pambahasan waliyulla dan al-Ghauts
Ra.
[22]. Kitab Risyalah al-Qusyairiyah nya
Syeh Abul Qasim al-Qusyiri (al-Ghauts Ra fi zamanihi), dalam bagian sejarah.
Atau kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi juz II,
dalam bahasan 69. Atau kitab al-Yawaqit
wal Jawahir nya Syeh Abdullah as-Sya’rani, juz Idalam muqaddimah.
[23]. Syeh Al-Arif Billah wa Ahkamillah Ra,
Beliau Hadlratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra, Pengasuh Perjuangan
Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo dalam suatu fatwa amanat-Nya
menjelaskan : Seorang Waliyullah itu belum tentu al-Arif, tetapi al-Arif
itu pasti Waliyullah.
[24]. Sunnah hukumnya,
menuliskan atau mengucapakan kalimah doa ‘Radliyallahu Anh” kepada Guru ruhani, para waliyullah dan ulama yeng
dihormati. Lihat kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi, pada bab” shalawat kepada
selain Nabi Saw”, atau dalam kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl
al-Yahshubi dalam bab “shalawat kepada keluarga dan sahabat Nabi Saw”.
Banyak para ulama penulis kitab,
menambahkan doa “RADLIYALLAHU ANHU” setelah menulis nama gurunya atau ulama
yang dihormati. Misalnya, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, dalam kitabnya Jala’
al-Afham menambah “Radliyallahu Anhu” setelah menulis nama Ibnu Taimiyah.
Demikian pula Syeh Sya’rani, dalam kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah setelah
menulis nama para auliyaillah dan atau para al-Ghauts pada setiap.
[25]. Lihat kitab
Jami’u Karamatil Auliya’ oleh Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani, percetakan Darul Fikri, Bairut Libanon, tahun 1414
H/ 1993 M, juz I halaman 23.
[26]. Banyak
diantara kita, dengan secara sempit memberikan arti syariah dan hakikah,.
Semestinya makna syariah dan hakikah itu amat dalam dan luas. Didalam kitab
Kifayah al-Atqiya hlmn 9, diterangkan bahwa makna lillah dan billah
adalah
terpadunya antara syari’ah dan hakikah.
فَالشَرِيْعَةُ
وُجُوْدُ الاَفْعَالِ للهِ وَالحَقِيْقَةُ شُهُوْدُالاَفْعَالِ بِاللهِ
Syariah adalah wujudnya perbuatan yang
disertai niat lillah, dan hakikat adalah perasaan menyadari bahwa wujudnya semua perbuatan lahir dan batin
mahluk itu, atas titah Allah
Didalam kitab Iqadhul Himam, Imam Syafi’i Ra
(150– 204 H/ 763- 820M), manerangkan bahwa antara prinsip fiqih dan prinsip tasawuf, dalam
pelaksanaannya harus
seiring dan sejalan, dan dalam penkajian dan pembahasannya masing-masing dapat dilakukan secara mandiri.
مَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسّقَ وَمَنْ
تَصَوّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَمَنْ تَفَقَّهَ وَتَصَوَّفَ فَقَدْ تَحَقَّقَ
Barang siapa berpedoman hanya dengan ilmu fiqih saja tanpa berpedoman
dengan ilmu tasawuf dialah orang yang fasik, dan barang siapa berpedoman hanya
dengan ilmu tasawuf saja tanpa ilmu fiqih, dialah orang zindik, dan barang
siapa berpedoman dengan ilmu fiqih dan
ilmu tasawuf dialah orang yang menjalankan hakikat kebenaran. Prinsip ini juga difatwakan Imam Malik
dalam kitab al-Muwattha’.
Syeh Al-Arif Billah Hadlratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Majid
RA,Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan
Pondok Pesantren Kedunglo, memfatwakan : Waliyullah adalah hamba
Allah yang senantiasa sadar kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw serta beramaliah
lahiriyah seperti Rasulullah Saw. Dan apabila hanya berpedoman billah (hakikat)
saja, tanpa beramaliah syari’at, dia-lah
orang yang tertipu oleh nafsunya.
Imam Sya’rani dalam kitabnya ‘al-Yawaqit wal Jawahir, juz
I halaman 26 juga menjelaskan :
اِعْلَمْ أَنَّ عَيْنَ الشَرِيْعَةِ هِيَ
عَيْنُ الحَقِـيْقَةِ , اِذْ الشَرِيْعَةُ لَهَا دَائِرَتَانِ عُلْيَا وَسُفْلَى ,
فَالعُـلْيَا لاَهْلِ الكَشْفِ وَالسُفْلَى ِلاَهْلِ الفِكْرِ فَلَمَا فَتَشَ
اَهْلُ الفِكْرِ عَلَى مَا قَاَلُهُ اَهْلُ الكَشْفِ فَـلَمْ يَجِدُوهُ فِي
دَائِرَةِ فِكْرِهِمْ قَالُوا هَذَا خَارِجٌ عَنِ الشَرِيْعَةِ فَاَهْلُ الفِكْرِ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ
الكَشْفِ وَاَهْلُ الكَشْفِ لاَ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الفِكْرِ. فَمَنْ كَانَ ذَا كَشْفٍ وَذَا فِكْرٍ فَهُوَ
حَكِيْمُ الزَمَانِ .
Ketahuilah bahwa kenyataan syari’ah adalah
hakikat juga. Karena Islam itu memiliki dua sisi. Sisi atas (metafisik) dan
sisi bawah (fisik). Sisi atas untuk para ahli kassyaf, sedangkan sisi bawah
untuk para ahli pikir. Jika para ahli
pikir memahami tentang sesuatu yang dikatakan oleh para ahli kassyaf, sedang
akal fikiran mereka tidak menjangkau maka mereka mengatakan bahwa kesimpulan
para ahli kassyaf itu telah keluar dari syariat Islam. Dan mereka (ahli pikir)
sering mengingkari sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh para ahli
kassyaf. Namun para ahli kassyaf tidak pernah mengingkari sesuatu yang datang
dari para ahli pikir. Barang siapa menguasai dan memahami syariah dari kassyaf
dan pikir, dialah Hakimuz Zaman (al-Ghauts
Ra).
[27]. Radaksi kalimat
ini juga terdapat dalam kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin
Suytuthi, juz II, dalam “kitabul ba’tsi” bahasan ke 70. Dan makna yang sepadan juga banyak sekali tertulis dalam kitab Misykat
al-Anwar nya Imam Ghazali.
[29]. Rasulullah Saw bersabda : لاَيُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِ وَوَلَدِهِ
وَالنَاسِ أَجْمَعِيْن
Belum
sempurna iman kamu semua, sehingga AKU
(Rasulullah) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh
menusia. Lihat kitab Jawaahir al-Bukhaari -nya
Mushthafa Muhammad, hadis nomer: 11kitab Fath al-Bari syarh Shahih
al-Bukhari.
[30]. Lihat kitab Muhtashar Ihya’ ‘Ulum ad-Din bab
II dalam aqidah dan kitab Qawaid al-‘Aqa’id nya al-Ghazali.
[31]. Kitab Jami’
al-Ushul-nya Syeh Kamasykhanawi, dalam bab "bayan al-umum wa al-khusus”.
[32]. Hadis riwayat Thabrani dalm kitab
nya Al-Kabiir yang dinuqil dalam Siraj al-Munir-nya Ibnu Alan
al-Aziziy.
[33]. Kitab Siraj at-Thalibiin, juz
II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab
Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.
[34]. Lihat juga kitab
al-Yawaqit wa alJawahir, juz II/
80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar