Selasa, 25 Februari 2014

027.01.317 - AJARAN WAHIDIYAH - Bahasan 1 - Pengertian Ajaran Wahidiyah

YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH ! 
I. 01. 317 -  "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"

027.01.317 - AJARAN  WAHIDIYAH

Bahasan   1
Pengertian Ajaran Wahidiyah

A.              Pengertian Wahidiyah.
1.                 Syirik Dan Tauhid
Membebaskan jiwa manusia dari kemusyrikan merupakan visi dan missi perjuangan para nabi dan rasul yang paling utama. Dan perjuangan ini kemudian diteruskan oleh para waliyullah dan kuhususnya para al-Ghauts Ra pada setiap zaman. Memahami kedudukan Allah Swt Pencipta alam semesta dan posisi makhluk, merupakan garis demarkasi (al-had al-fashil) antara tauhid dan syirik. Ketentuan sesat atau tidak terhadap iman seseorang, ditentukan dalam pemahaman ini.
Syirik adalah paham yang mengatakan bahwa Allah Swt memiliki pembantu atau sekutu dalam menciptakan dan mengatur alam semesta. Dengan demikian paham yang mengatakan, makhluk dengan dirinya sendiri dapat mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemadlorotan baik untuk dirinya atau untuk lainnya, merupakan paham syirik. Misalkan saja, kita merasa dapat menolong kepada diri sendiri atau dapat menolong keluarga dan orang lain dengan tanpa izin Allah Swt. Atau air dengan dirinya sendiri (tanpa izin Allah Swt) dapat menghilangkan haus, menyegarkan tubuh, merebus masakan, menghidupkan tanaman. Racun dengan dirinya sendiri, tanpa Allah dapat mendatangkan kematian kepada manusia. Demikian pula dalam kasus kehidupan makhluk yang tanpa izin-Nya tidak dapat memberikan manfaat kepada dirinya atau lainnya.
Dan, al-Qur’an menerangkan, secara umum keimanan seseorang terhadap Allah Swt dan kekuasaan-Nya, masih bercampur dengan pemahaman syirik (menyekutukan-Nya dengan makhluk). Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt , Qs. Yusuf : 106 :
 وَمَايُؤْمِن أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ اِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ
Dan tidak beriman kepada Allah kebanyakan manusia, kecuali mereka mempersekutukan-Nya.
 Dan pula, kebanyakan manusia menganggap rendah dan remeh terhadap nilai dosa syirik, hingga tidak ada keinginan atau usaha untuk membersihkannya. Padahal Allah Swt sangat benci dan murka jika Dia Azza wa Jalla disekutukan dengan makhluk. Dikatakan syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika seseorang mengambil makhluk (termasuk diri sendiri) sebagai penolong, dengan anggapan datangnya pertolongan dari makhluk, bukan dari Allah Swt. Firman Allah Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44  :
أَمِ اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لاَ يَمْلِكُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَمَوَاتِ وَالاَرْضِ ثُمَّ اِلَيهِ تُرْجَعُونَ
Apakah  mereka  mengambil  penolong-penolong selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu mengambil syafaatnya juga), padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan tidak memiliki akal?. Katakanlah : hanya kepunyaan Allah semua syafa’at  (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.

Allah Swt sangat murka dan merasa jijik (najis) melihat mukmin yang hatinya berbuat syirik. Dan bila seseorang hatinya telah mati, ia tidak memiliki rasa takut kepada-Nya meskipun sering berbuat kemusyirikan, na’udzu billah. Rasulullah Saw bersabda : [1]   أَبْغَضُ إِلَهٍ عُبِدَ فِي الأَرضِ هُوَ الهَوَى : Sesembahan dibumi yang paling dibenci oleh Allah adalah hawa nafsu.  
Dan dalam ayat 28 surat at-Taubah, Allah Swt juga mengabarkan kebencian dan kejijkan-Nya terhadap kaum musyrikin : يَأَيُّها الذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا المُشْرِكُونَ نَجَسٌ : Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang musyrik itu najis.
Membersihkan hati dari pemahaman syirik, merupakan fardlu ain. Karena, amal ibadah akan menjadi sia-sia bila didasari iman syirik. Serta merupakan dosa terbesar yang tidak akan mendapatkan ampunan-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-An’aam : 88 :
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ : Dan jika mereka pada musyrik, maka niscaya menjadi sia-sia dari mereka apa yang telah mereka amalka. Dan, Qs. An-Nisa’ : 48  :
إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَنْ يشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَالِكَ لِمَنْ يَشَاءُ Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa menyekutukan makhluk dengan-Nya (syirik) dan mengampuni dosa lainnya bagi yang dikehendaki-Nya.
Seseorang dapat bertemu (liqa’/ makrifat) kepada Tuhannya, sekiranya ia tidak menyekutukan-Nya dengan makhluk serta beramal shalih. Firman Allah Swt, Qs, al-Kahfi : 110 :
وَمَنْ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Dan siapa saja yang menginginkan bertemu Tuhannya, maka berkerjakanlah amal shalih serta tidak menyekutukannya dengan makhluk sedikitpun.
Sebagai mukmin yang ingin menyempurnakan iman, haruslah benar-benar memahami dan memperhatikan hati dari sifat-sifat syirik. Menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (musyrik), tidak sekedar sebagai kotoran hati, namun ia merupakan najis (kotoran yang menjijikkan) hati, dan merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt serta sia-sia amal ibadah yang dilaksanakan. Hadlaratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, menfatwakan bahwa syirik merupakan pangkal segala penyakit hati.
Pada umumnya, manusia kurang peka dan perhatian terhadap penyakit hati (terutama syirik). Mereka menganggap syirik, ujub, riya’ dan penyakit hati lainnya merupakan hal yang lumrah dan biasa. Hal ini disebabkan oleh fikiran dan hati yang sudah terbakar oleh nafsu, hati yang buta, dan hati yang hampir mati. Lain itu pula, hati yang telah mati akan menyebabkan lahirnya pemahaman terbalik. Artinya, syirik dianggap sebagai tauhid, dan tauhid dianggap sebagai syirik. Dan memang hanya orang-orang yang hatinya hidup dan mendapat hidayah-Nya saja, yang dapat memahami dan membedakan antara tauhid dan syirik.
Sadar BILLAH dalam setiap saat, waktu dan kondisi itulah tauhid, me-Maha Esa-kan dan me-Maha Besar-kan Allah Swt. Dan tidak sadar BILLAH (LINAFSIH dalam istilah Wahidiyah), tergantung dan berhenti pada makhluk itulah kemusyrikan. Membebaskan jiwa manusia dari belenggu kemusyrikan merupakan inti dan pokok dalam perjuangan Wahidiyah, perjuangan FAFIRRU ILALLAH WA RASULIHI SAW.

2.                      Arti Wahidiyah.
Wahidiyah bukanlah sebuah golongan atau aliran baru dalam Islam,[2] sebagaimana anggapan atau asumsi dari orang-orang yang belum memahaminya. Ia merupakan kondisi iman seserorang yang telah terbebas dari kemusyrikan. WAHIDIYAH merupakan kesadaran mukmin dalam berke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
WAHIDIYAH merupakan kata dalam bahasa arab yang diambil dari kata WAAHID yang memiliki arti “satu/ esa/ tunggal”. Kemudian kata ini dalam asmaul husna (asma Allah Swt yang sangat baik) dikhususkan hanya kepada-Nya, yang berarti Dzat Yang Maha Esa. Kata وَاحِد ini jika ditambah dengan “ya’ nisbah/ يَة ” pada akhir kalimah, menjadi وَاحِدِيَة / WAHIDIYAH yang memiliki arti : pemahaman yang berkaitan atau berhubungan dengan ke-Esa-an Allah Swt. Dengan pengertian semacam ini, para ulama sufi sering mengartikannya dengan MENG-ESA-KAN atau me-MAHA ESA-kan Allah Swt.
Jadi, WAHIDIYAH dapat dipahami sebagai lawan kata dari Syirik.
Bertauhid bukan sekedar pengetahuan tentang ke-ESA-an Allah Swt, bukan sekedar dapat mengapal asma dan sifat-sifat-nya. Akan tetapi, ia lebih murapakan perbuatan hati/ tindakan jiwa/ prilaku batin yang telah dapat memahami keberadaan dan kekuasaan-Nya dalam semesta alam. Dapat memandang kebesaran Allah Swt, dalam segala makhluk.
Dengan demikian, dalam membebaskan hati dari musyrik, tidak dapat dengan cara meniadakan makhluk dalam alam fikiran. Karena hal ini tidak mungkin dapat dilakukan. Maka, seseorang dikatakan : tidak menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (bertauhid/ berwahidiyah), ketika berhubungan dengan makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra), selama memahami bahwa keberadaan makhluk dengan segala yang melekatinya semata-semata sebagai pancaran dari Allah Swt.

Meng-ESA-kan Allah Swt, tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan cara meniadakan makhluk dari alam fikiran atau dari hati. Dalam meng-ESA-kan-Nya secara sempurna tidak bisa tanpa melalui makhluk dengan memahami kebesaran Allah Swt. Sebab selama kita wujud baik dalam alam fana atau alam baqa, tidak mungkin bisa terbebas dari wujudnya makhluk. Diri kita, gerak-gerik lahir batin kita, lingkungan kita, alam fikiran, batin kita, dan bahkan perbuatan kita meng-ESA-kan-Nya juga termasuk makhluk. Dengan demikian, agar dapat meng-ESA-kan Allah Swt (tidak usyrik), sarananya adalah :
1.       Melalui makhluk (termasuk diri sendiri).
2.       Mengetrapkan ajaran atau prinsip LILLAH dan BILLAH secara dzauqiyah.
3.       Memahami dan menyadari bahwa makhluk tidak dapat memberi manfaat atau madlaraat kepada diri sendiri atau kepada lainnya, kecuali atas izin dan kuasa Allah Swt semata. Makhluk hanya sebagai pancaran dan sarana Allah Swt dalam mengatur makhluk lainnya. Demikian pula Rasulullah Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra, juga hanya sebagai pintu atau sarana-Nya.[3]

Makna wahidiyah dalam pandangan para waliyullah dan al-Ghauts Ra :
1.                 Al-Ghauts fi Zamanihi Syekh Abdul Wahhab Sya’rani  Ra dalam menerangkan : [4]
الوَاحِدُ يَتَعَدَّدُ بِالمَظَاهِرِ وَالآحَدُ لاَيَتَعَدَّدُ لأَنَّهُ خُلاَصَة الوَاحِدُ فَإِذَا تَعَدَّدَ الوَاحِدُ تَنْزِيْلٌ لِكَمَالِ الدَائرَةِ وَإِذَا تَكَمَّلَتْ صَارَتْ حَقِيْقَةَ وَاحِدِيَةً أَحَدِيَةً لِجَمِيْعِ الدَوَائِرِ فَهَذِهِ خَلاَصَةُ الحَقَائِقِ. فَمَنْ صَدَقَ اللهَ وَوَحَّدَهُ اللهُ فَصَارَ وَاحِدًاعَارِفا بِاللهِ وَللهِ.
Al-Wahid, dalam penampakannya pada makhluk menunjukkan jumlah bilangan. Sedangkan al-Ahad tidak menunjukkan jumlah bilangan, karena ia merupakan ringkasan dari al-Wahid. Ketika al-Wahid tampak dalam jumlah bilangan, bertujuan untuk kesempurnaan seluruh wujud. Dan ketika keberadaan wujud telah sempurna, maka wujud alam ini sebagai hakikat Wahidiyah dan Ahadiyah, yang mana ia merupakan ringkasan seluruh hakikat wujud. Barang siapa yang dibenarkan (agamanya) oleh Allah, maka Allah memberinya (ilmu) tauhid, serta Allah menjadikannya sebagai satu-satunya hamba yang sadar Billah dan Lillah.
2.                 Dan al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Gazali Ra, ketika memberi penjelasan makna surat ikhlas, mengatakan  : [5] 
فَالوَاحِدُ نَفْيُ الشَرِيْكِ فَالأحَدُ نَفْيُ الكَثْرَةِ فِي ذَاتِهِ الصَمَدُ المُحْتَاجُ إِلَيْهِ غَيْرُهُ. والصَمَدِيَهُ دَلِيْلٌ عَلَى الوَاحِدِيَةِ وَالآحَدِيَةِ.
Makna al-Wahid, adalah ketiadaan sekutu (bagi-Nya), sedangkan makna al-Ahad, adalah ketiadaan jumlah (susunan) didalam Dzat-Nya,(yang menjadi) tempat bergantungnya makhluk, dan yang selain diri-Nya berhajat kepada-Nya. Shamadiyah (ketergantungan hamba kepada Allah meskipun berinteraksi makhluk), merupakan bukti kepada tauhid Wahidiyah dan Ahadiyah.
3.                 Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Dliyauddin Kamasykhanawi Ra mengatakan: [6]
عَبْدُ الوَاحِدُ : هُوَ الذِي بَلَغَهُ اللهُ الحَضْرَةَ الوَاحِدِيَةَ وَكَشَفَ لَهُ عَنْ أَحَدِيَةِ جَمِيْعِ أَسمَائِهِ, فَيَدْرِكُ مَا يُدْرَكُ وَيَفْعَلُ مَا يُفْعَلُ بِأَسْمَائِهِ وَيُشَاهِدُ وُجُودَهُ بِأَسْمَائِهِ الحُسْنَى. وَهُوَ وَحِيْدُ الوَقتِ صَاحِبُ الزَمَانِ الَذِي لَهُ القُطْبِيَةُ الكُبْرَى بِالأَحَدِيَةِ
Abdul Wahid : adalah orang yang Allah telah menghendakinya sampai ke derajat hadlrah Wahidiyah. Dan Allah telah membukakan tabir baginya dari sinar Ahadiyah seluruh asma-Nya. Hamba ini dapat menemukan sesuatu (atas izin Allah semata) yang Dia temukan, dan melakukan sesuatu yang Dia lakukan. Dan dapat musyahadah tentang wujud-Nya dengan asma-Nya yang baik. Dialah satu-satunya hamba Allah (yang sempurna) pada waktu itu. Dialah orang yang memahami (baik buruknya) zaman. Dan yang baginya (derajat) wali quthub yang besar dengan pemahaman iman Ahadiyah.
4.                 Al-Ghauts fi Zamanihi Syekh Abdul Karim al-Jilliy Ra (w. 826 H) menjelaskan tentang makna iman Wahidiyah  : [7] 
  والنَاظِرُ فِي مِرأَة هَذَا الاِسْمِ ذَوْقًا يَكُونُ عِنْدَهُ مِنْ عُلُومِ التَوْحِيْدِ عِلْمُ الوَاحِدِيَّةِ  
Dan  orang  yang hatinya dapat memandang (kepada Allah Swt) dalam cermin makhluk  ini dengan dzauqiyah (rasa hati), maka orang tersebut memiliki beberapa ilmu tauhid, yaitu ilmu Wahidiyah.
5.                 Al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Kamskhanawi Ra dalam kitab Jami’ al-Ushul, bagian mutammimat  pada bab “shad dan dha”, menjelaskan :  
صُوَرُ الحَقِّ هُوَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِتَحَقُّقِهِ بِالحَقِيْقَةِ الأَحَدِيَةِ وَالوَاحِدِيَةِ
Yang dinamakan Citra al-Haq: adalah Nabi Muhammad Saw, yang telah membuktikan dengan semestinya tentang hakikat maqam Ahadiyah dan Wahidiyah.
ظِلُّ الإلَهِ هُوَ الإِنْسَانُ الكَامِلُ المُتَحَقِّقُ بِالْحَضْرَةِ َالْوَاحِدِيَة
Payung Tuhan (untuk makhluk/ dalam bumi) adalah manusia sempurna  yang telah dapat menyatakan maqam hadhrah Wahidiyah.
Dikatakan syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika seseorang mengambil makhluk sebagai penolong, dengan anggapan pertolongan tersebut datangnya dari makhluk tersebut, dan bukan dari Allah Swt. Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44  :
أَمِ اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لاَ يَمْلِكُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَمَوَاتِ وَالاَرْضِ ثُمَّ اِلَيهِ تُرْجَعُونَ
Apakah  mereka  mengambil  penolong-penolong selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu mengambil syafaatnya juga), padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan tidak memiliki akal?.
Katakanlah : hanya kepunyaan Allah semua syafa’at [8] (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.
B.              Pengetrapan Ajaran Wahidiyah
1.                 Pengamalan Wahidiyah

Ajaran Wahidiyah merupakan bimbingan praktis yang disusun oleh Hadratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, untuk memudahkan pelaksanaan prinsip-prinsip iman, Islam dan ihsan.[9]
Perlukah saat sekarang adanya bimbingan (system baru) lagi dalam meningkatkan keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, padahal telah ada beberapa bimbingan sebelumnya ?.
Jawabnya   :    SANGAT PERLU.
Dikatakan sangat perlu, karena telah terlupakannya iman WAHIDIYAH dari ingatan dan pemikiran para tokoh agama dan golongan, kususnya tokoh dan golongan Islam). Dan, banyak juga kalangan yang salah anggapan atau salah asumsi tentang WAHIDIYAH dan Ahadiyah. Diantara mereka ada yang berasumsi bahwa ajaran Wahidiyah merupakan ajaran yang sesat (keluar dari Islam). Diantara mereka ada yang menganggap bahwa WAHIDIYAH merupakan ajaran Islam kelas tinggi yang hanya dikhususkan untuk para ulama dan waliyullah saja.
Dengan kondisi semacam ummat dan masarakat yang semacam inilah yang menyebabkan Hadratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah bangkit untuk memperjuangkan iman WAHIDIYAH dengan cara yang mudah dan simpel untuk dipahami dan diamalkan.
Dengan demikian, AJARAN WAHIDIYAH jangan dipahami sebagai tandingan terhadap macam-macam bimbingan (system/ cara/ metode/ tarekat/ sunnah) yang sudah ada, apalagi tandingan terhadap sunnah rasul. Bimbingan praktis tersebut dimaksudkan agar sunnah rasul baik yang berhubungan dengan aqidah, akhlak maupun ubudiyah lahiriyah dan muamalat dapat terlaksana secara baik dan secara semestinya.
Rasulullah Saw dalam hadis menganjurkannya. Rasulullah Saw bersabda : [10]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ  مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزَرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.

Anjuran Rasulullah Saw (membuat sunnah/ kurikulum) ditujukan kepada ulama yang diberi kemampuan oleh Allah Swt, agar dapat menyusun sebuah system (metode/ system/ tarekat/ sunnah) yang baik dan benar, untuk disesuaikan dengan kondisi zaman hingga mudah membawa ummat masarakat kedalam kehidupan yang diwarnai dengan iman, Islam dan ihsan, kususnya terbebasnya hati dari paham kemusyrikan.
Dan anjuran Rasulullah Saw itulah yang dilaksanakan oleh Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, dengan menyusun Shalawat Wahidiyah Dan Ajarannya. Beliau Muallif Qs wa Ra mensistematikkan penjelasan iman WAHIDIYAH dalam bentuk yang lebih ringkas, lebih sederhana namun sesuai dengan aslinya.
Dengan demikian, agar dapat terbebas dari syirik dengan cara mudah, mengamalkan Wahidiyah hukumya wajib. Hukum wajib disini, bagi siapapun orangnya dari pria wanita, tua muda, bangsa dan golongan manapun tanpa padang bulu. Sedangkan asal hukum mengamalkan shalawat Wahidiyah, adalah sunnah.
Dan alhamdullillah - sebagai tahaddus binni’mah - atas bimbingan dan pancaran radiasi batin Beliau Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, pangamal Wahidiyah dapat merasa lebih mudah ingat kepada Allah wa Rasulihi Saw, rasa cinta kepada Rasulullah Saw dari tahap demi tahap terasa semakin meningkat, semakin terasa ringan dalam mengamalkan dan meningkatkan ibadah, semakin tenang dan tentram hatinya, semakin mudah mengoreksi dosa-dosanya, dosa kepada Allah Swt, dosa kepada Rasulullah Saw, dosa kepada diri sendiri, dosa kepada keluarga, kepada ummat dan masarakat dan bahkan dosa kepada sesama mahluk jamial ‘alamin.
Disamping membirikan bimbingan,  Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, juga memberikan sebuah doa berupa Shalawat Wahidiyah agar ummat masarakat tanpa pandang bulu, terutama diri sendiri dan keluarga, mendapat hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw dan barakah karamah serta doa restu para waliyullah, khususnya Ghauts Hadzaz Zaman Ra, hingga dengan mudah dapat mengetrapkan iman Wahidiyah, mendapatkan barakah dalam kehidupan keluarga dan rumah tangganya, serta mendapatkan barakah lingkungan dan masarakatnya.
Demikian pula Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzarah, bersifat melanjutkan perjuangan Mbah Yai Qs wa Ra serta para al-Ghauts Ra terdahulu, serta lebih teratur dalam system pelaksanaan iman, Islam dan ihsan secara berjamaah.

Ajaran WAHIDIYAH juga menjelaskan adanya Ghauts Hadzaz Zaman Ra. Hanya satu orang dalam setiap waktu yang menduduki jabatan al-Ghauts. Ketika Beliau Ra wafat Allah Swt akan mengangkat penggantinya untuk menduduki jabatan ruhani tersebut. Beliau Ra sebagai pembimbing ruhahi bagi setiap manusia dalam menuju sadar kembali kepada Allah Swt dan kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana prinsip yang lazim dalam lingkungan para kaum sufi, bahwa agar seseorang tidak dibelokkan oleh iblis dalam menyempurnakan iman dan makrifat kepada Allah wa Rasulihi Saw, diperlukan adanya seorang pembimbing dan Guru Ruhani.



2.                 Keberadaan Guru Ruhani
Daya dan upaya semua makhluk semata-mata dari Allah Swt. Pancaran daya dan upaya yang diterima makhluk antara yang satu dengan lainnya tidak sama. Ada yang mendapat pancaran sedikit dan ada yang banyak. Lain itu pula, sesuai wujud dan tata setrutur alam semesta, terdapat makhluk yang menjadi pusat atau pimpinan. Daya dan upaya pusat atau pimpinan makhluk tersebut, juga sebagai sarana Allah Swt untuk mengatur makhluk lainnya.   Dalam prinsip Islam pusat dan pimpinan  makhluk tersebut adalah Rasulullah Saw wa Ghautsuz Zaman Ra.
Dengan demikian, mencari dan memahami guru ruhani yang kamil mukammil yang mewakili Rasulullah Saw sebgai pusat dan pimpinan makhluk, merupakan bagian dari pembersihan hati dari kemusrikan/ ajaran wahidiyah. Lain itu pula, setiap orang yang ingin wushul makrifat kepada Allah, wajib memiliki guru ruhani yang membimbing dan yang diridlai oleh Allah Swt.
Memahami keberadaan dan kekuasaan Allah Swt sangatlah sukar. Banyak manusia yang salah dan terjebak kemusrikan. Agar selamat dan lurus dalam memahami Allah Swt, seseorang harus dibawah asuhan guru ruhani yang ahli dalam bidang tauhid dan keimanan. Dan pula, tanpa mendapat bimbingan Gurru Ruhani tersebut, sudah tentu akan dibimbing oleh setan/ iblis/ nafsu. Ketika manusia dibimbing oleh nafsu atau setan manusia tidak menyadari adanya bimbingan tersebut, bahkan merasa sebagai hidayah Allah Swt.
Firman Allah Swt, Qs. al-Furqan : 59 :  الرَحْمَنُ فَسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا: Allah Yang Maha Penyayang, bertanyalah tentang-Nya kepada orang yang memahami-Nya.
Firman Allah Swt, Qs  :   : فَاسْئَلُوا أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ  : bertanyalah kepada para ahli dzikir, sekiranya kamu semua tidak mengetahui
Syeh Abu Yazid Basthami Ra berfatwa : [11]
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَيْطَانُ.  وَقَالُوا :  مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَيْطَانُ
Barang siapa tidak memiliki guru ruhani, maka setanlah imamnya. Dan para guru kaum sufi berkata : Barang siapa tidak memiliki guru ruhani, maka gurunya adalah setan.
          Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani mewasiatkan :
          المُرِيْدُ ِإذَا مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ
          Murid, ketika Syeh (guru rohani)-nya mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh Pengganti untuk membimbingnya.[12]
          Amat penting memiliki guru ruhani. Bahkan bagi orang yang ilmu agamanya sangat luas, selama ia belum mencapai derajat al-Ghauts, wajib baginya mencari guru ruhani. [13]
        لاَبَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ اَنْ يَقْنَعَ بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَا الوَاجِبُ عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ  بِاَهْلِ الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك (كُدُورَاتِ الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ كَامِلٍ عَالِمٍ  فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فِي بِلاَ دِهِ اَوْ اقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
           Tidak patut bagi orang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya. Kecuali ia telah menjadi Wahiduz Zaman  pada waktu itu. Bahkan ia wajib bagi mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia ditunjukkan kearah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah kekuasaan dan bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan apabila didaerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia wajib pergi menuju daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.[14]
وَمِنْ شَأْنِهِ إِذَا لَمْ يَجِدْ أَحَدًا يَتَأَدَّبُ بِهِ مِنَ الشُيُوخِ أَنْ يُهَاجِرَ مِنْ بَلَدِهِ إِلَى مَنْ هُوَ مَنْصُوبٌ لإِرْشَادِ النَّاسِ فِيْ ذَالِكَ الزَمَانِ وَلَوْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ مَسِيْرَةَ عَامٍ, فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ السَفَرُ جَزْمًا.
Diantara hal harus diperhatikan bagi murid (orang yang belum makrifat), jika didaerahnya tidak ada seseorang yang membimbingnya (sebagaimana bimbingan dari Syaih/ Guru ruhani dalam makrifat), maka wajib baginya hijrah dari daerahnya kepada daerah yang disita terdapat seseorang yang dapat membimbing manusia pada zaman itu, Walaupun jarak antara dirinya dan Guru tersebut demikian jauh (memerlukan perjalanan 100 tahun). Sesungguhnya wajib bagi mereka berangkat menuju daerah Guru Ruhani tersebut.[15]
Namun, Allah Swt dan Rasul-Nya memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh tentang penyakit hati .
Rasulullah Saw bersabda : [16] إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةَ المُضِلِّون    : Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Allah Swt berfirman Qs. Al-Kahfi : 28 :
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku, orang tersebut mengikuti hawa nafsunya, dan memanglah melampaui batas.
          Demikian penting dan dominannya peranan guru ruhani dalam meningkatkan dan meluruskan iman kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Namun, juga sangat menakutkan akibatnya jika berguru orang yanmg tersesat.
          Diantara ciri-ciri Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil    :
1.            Hatinya tidak terpengaruh hiasan dunia. Firman Allah Swt, Qs. Al-Kahfi : 28 :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدوآةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَالحَيَاةِ الدُنْيَا.
Sabarlah (tetap) bersama orang-orang yang memanggil Tuhan mereka diwaktu pagi dan petang. Dan yang mengharapkan Dzat-Nya. Dan janganlah kamu memalingkan pandanganmu dari mereka, hanya karena engkau menginginkan keindahan dunia.
2.              Jiwanya telah ber-inaabah [17] kepada Allah Swt. Firman Allah Swt, dalam Qs. Luqman : 15 :
وَاتَبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ:
          Dan ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat kamu kembali.
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mengikuti Guru Ruhani yang telah ber-inaabah (telah sadar kembali kepada Allah Swt), akan mendapatkan manfaat utama, yakni wushul dan makrifat kepada Allah Swt.
Arti dan makna ayat diatas diperkuat lagi oleh sabda Rasulullah Saw :[18]
كُنْ مَعَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ
Jadilah kamu bersama Allah. Jika tidak mampu, bersamalah dengan orang yang bersama Allah. Sedsungguhnya orang tersebut akan mengantarmu sampai kepada Allah, sekiranya kamu bersamaqnya.
3.            Dapat mengantar murid dekat kepada Rasulullah Saw. Al-Ghauts fii Zamnihhi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra menjelaskan  :[19]
ومِنْ عَلاَمَةِ صِدْقِهِ فِي تِلْكَ الطَّرِيْقِ إِجْتِمَاعُهُ بِالنَّبِى صَلَّى اللهُ عَلِيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ (كَمَاذَكَرْنَاهُ), فَإِنْ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ بِهِ جَمْعِيَّةً هُوَ بَطَّالٌ
Dan dari tanda-tanda benarnya seseorang dalam thariqahnya, adalah pertemuannya dengan Nabi Muhammad Saw (sebagaimana yang telah kami jelaskan). Maka jika dengan thariqahnya tersebut, ia tidak berhasil bertemu Rasulullah, maka ia tertolak/ batallah (sebagai guru demikian pula tarekatnya). 

4.            Menselaraskan antara pelaksanaan syariat dan hakikat.

5.            Meningkatnya iman murid kepada Allah Swt serta cinta kepada Rasulullah Saw.



C.               Kitab Dan Buku Terdahulu.

Membebaskan jiwa dari kemusyrikan merupakan tugas utama para nabi dan rasul. Memiliki iman yang bersih dari musyrik tidaklah mudah. Para ulama Arif Billah mencari, menggali metode atau system, agar manusia mudah mencapai iaman yang bersih dari kemusyrikan. Diantara mereka ada yang hanya mengambil metode dengan mencukupkan dengan memberikan ceramah-ceramah tentang ke-Tuhan-an dan berakhlak kepada-Nya. Diantara mereka ada yang hanya menyusun doa tarekat yang didalamnya berisi ajaran ke-Esa-an Tuhan dan permohonan kepada Allah Swt agar diberi hidayah dapat terbebas dari kemusyrikan. Dan diantara mereka ada yang hanya menulis buku untuk membahas tentang ke-ESA-an Allah Swt. Dan diantara mereka ada yang sekaligus menggabungkan dua metode atau tiga metode diatas.
 Sedangkan Hadltatul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’rih Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah mengambil metode menyusun doa, memberi ceramah dan membimbing ummat dan masarakat agar sadar kembali makrifat dan mengabdikan diri kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Sedangkan Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra sifatnya melanjutkan perjuangan para Tokoh sufi dan al-Ghauts Ra sebelumnya, serta lebih bersifat memperjelas maksud dan prakteknya. Demikian pula Beliau Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzarah, juga bersifat melanjutkan dan menata system pelaksanaannya secara berjamaah.
WAHIDIYAH (me-MAHA ESA-han Allah Swt) bukanlah suatu istilah yang baru dalam Islam. Sudah banyak para ulama shalih terdahulu (sebelum terciptanya Shalawat Wahidiyah) yang telah menjelaskan tentang iman Wahidiyah dan Ahadiyah dalam berbagai kitab dan buku yang ditulisnya. Antara lain :
1.                 Syeh Junaid al-Bagdadi.[20]
2.                 Syeh Abu Thalin al-Makki.[21]
3.                 Risyalah al-Qusyairiyah-nya Imam Qusyairi Ra.[22]
4.                 Kitab al-Madlnuun Bih ‘ala Ghairi Ahlih, karangan Imam al-Gazali Ra (al-Ghauts fii Zamanihi).[23]
5.                 Kitab Jami’ al-Ushuul fil Auliya’, karangan al-Mujaddid al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ahmad Kamasykhanawi Ra.[24]
6.                 Kitab at-Ta’rifat, karangan Syeh Ali al-Jurjani.[25]
7.                 Kitab Thabaqatul Kubra, karangan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra.[26]
8.                 Kitab Siyrus-Salikiin, karangan Syeh Abdus Shamad al-Falinbani Ra.[27]
9.                 Kitab al-Insaan al-Kamil fii Ma’rifah al-Awakhir wal Awaail, karangan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Karim al-Jilliy Ra.[28]
10.            Kitab Asaraar al-Insaan fii Ma’rifah ar-Ruuh wa ar-Rahmaan, karangan Syeh Nuruddin ar-Raniri.[29]
11.            Kitab Afdlalus Shalawat ‘alaa Sayyid as-Saadaat, tulisan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani Ra.[30]
12.            Kitab Durrat al-Asraar wa Tuhfat al-Abrraar, tulisan Syyeh Muhammad bin Abi Qasim al-Humairi. [31]
13.            Dan masih banyak kitab dan buku yang lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa :
1.     Wahidiyah, bukan sebuah aliran/ golongan/ komunitas yang keluar dari kaidah syariah Islamiyah. Apalagi paham baru yang diada-adakan oleh Yayasan Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo.

2.     Untuk membedakan dengan penafsiran syirik yang tidak tuntas dan yang dilakukan oleh ulama non sufi serta dapat dipertanggung jawab kepada aqidah Islamiyah, maka ulama sufi memberikan nama kepada iman yang bersih dari kemusyrikan dengan nama iman Wahidiyah dan Ahadiyah.

3.     Wahidiyah, merupakan tingkatan keimanan mukmin dalam memahami ke-ESA-an Allah Swt. Yang mengamalkannya hukumnya fardlu ain.

4.     Wahidiyah, merupakan iman yang diperjuangkan oleh para Gahuts Ra sebelum adanya redaksi Shalawat Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah.
5.     Sebagai lawan kata dari makna syirik.
6.     Shalawat Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, sifatnya memberi alat dan cara yang mudah, praktis dan simpel dalam membersihkan hati dari kemusyrikan yang tidak disadari (khafi/ sukar dideteksi).
Sedangkan Shalawat Wahidiyah merupakan sebuah alat atau doa untuk memohon taufiq dan hidayah kepada Allah Swt, dan syafaat tarbiyah Rasulullah Saw, serta barakah karamah nadhrah dan doa restu Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar seseorang yang mengamalkannya diberi oleh Allah Swt kesempurnaan iman tentang ke-Esaan-Nya secara musyahadah.
Dan alhamdullah - sebagai tahaddus binnikmah - sepulang Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra, Allah Swt semakin menampakkan kemampuan Beliau Hadratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo dalam membawa dan membimbing pengamal Wahidiyah untuk meningkat dalam segala bidang, baik lahiriyah maupun batiniyah, syariat dan hakikat, intelektual dan sepiritual. Demikian pula, berkat bimbingan Beliau Ra banyak pengamal Wahidiyah yang dapat bertemu kepada Rasulullah Saw baik secara mimpi atau jaga. [32] Semua terjadi atas izin Allah Swt, syafaat Rasulullah Swt belaka.

Al-Fatihah                                                            x 1
Yaa Syaafial Khalqis Shalaatu was Salaam ....... x 1
Yaa Sayyidii Yaa Rasulallah                                x 3
Yaa Ayyuhal Ghautsu Salaamullah  ...............    x 1
Al-Fatihah                                        



[1].    HR. Thabrani dari Abi Umaamah.
[2].    Dalam Islam terdapat (dibolehkannya lahir) beberapa aliran yang positif. Misalnya, dalam ilmu fiqh, terdapat  aliran Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, as-Tsauri atau ad-Dzahiri, dan dalam lingkungan ilmu bahasa arab terdapat aliran Bashrah dan aliran Kufah, dan dalam system pembacaan al-Qur’an terdapat  7 aliran (Ashim, Kisai, Hamzah, Hafash), 10 atau 15 aliran yang dikenal dengan qira’ah sab’ah, asyarah atau khamsyah ‘asyar. Demikian pula dalam ilmu tasawuf terdapat aliran Kufi, Bashri, Mishri, Hijazi. Semua aliran positif diatas tidak bertentangan, bahkan mendukung pemahaman dan pendalaman pokok-pokok dasar ajaran Islam.
[3].     Al-Ghauts fii Zamanihi, Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra (w. 658 H) menjelaskan :
 وَمِنَ الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يَتَّخِذَ الأَولِيَاءَ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ : Termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah dengan mahluk), sekiranya mengambil auliya’ tanpa Allah. Lihat kitab Thabaqatul Kubra karya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra juz II dalam bab “kisah Imam Syadzili”.
Keterangan yang sama juga berikan a al-Ghauts fii Zamanihi Imam Kamasykhanawi Ra dalam kitabnya Jami’ al-Ushuul pada bab syafaat :   الشِرْكُ بِاللهِ اِتِّخَاذُ الأَوْلِيَاءِ وَالشُفَعَاءِ دُوْنَ اللهِ: Syirik dengan Allah adalah mengambil (menjadikan) para waliyullah atau para penolong tanpa Allah.
[4].     Kitab Thabaqat al-Kubro, juz II, dalam manaqib ke : 315.
[5].    Kitab al-Madlnun Bih ‘alaa Ghairi Ahlih, Imam al-Ghazali Ra dalam pasal IV pada bab perbedaan makna Wahid dan Ahad
[6].    Kitab Jami’al-Ushul dalam “Bayan Madlahir al-Auliya’ wa Maraatibihim fii al-Asma”.
[7].    Kitab al-Insan al-Kamil fii Ma’rifah al-Awail wal Awakhir, juz I dalam bab “pendahuluan”.
[8]     HR. Thabrani (Ibnu Umar) dan riwayat Abu Nuaim serta Baihaqi (Abu Hurairah)Rasulullah Saw bersabda :   المَقَامُ المَحْمُودُ الشَفَاعَةُ : Kedudukan yang terpuji (bagi Rasulullah) adalah syafaat. Dalam kitab Jami’ as-Shagir, juz II, pada bab “miim”. Hadis ini hasan dan shahih.
Tentang arti syafa’at Rasulullah Saw, dalam kitab Dalil al-Falihin-nya Syeh Muhammad Ibn ‘Alan al-Makkiy (w. 1058 H), juz II, dalam bab “as-Syafa’ah”, Imam ar-Raziy berkata  :
وَأَصْلُهَا الشَفْعُ ضِدُّ الوِتْرِ كَأَنَّ صَاحِبَ الحَاجَةِ كَانَ فَرْدًا فَصَارَ صَاحِبُ الشَفْعِ لَهُ شَفْعًا أَيْ صَارَ زَوْجًا
Dan asalnya makna syafa’at itu “genap” kebalikan “ganjil”. Sehingga, sesungguhnya, orang yang menghajatkan syafa’at itu, seakan-akan seorang diri, maka pemilik syafa’at akan menjadi penggenap bagi orang itu. Yakni, menjadi pendamping hidup.
Dan dalam kitab Sa’adah ad-Daraini nya Syeh An-Nabhani, dalam bab 5, tentang syafaat Rasulullah Saw, yang menukil dari fatwa Imam Ghazali   :
    أنَّهَا نُورٌ يُشْرَقُ مِنَ الحَضْرَةِ الاِلَهِيَةِ عَلَى جوهَرِ النُبُوَّةِ وَيُنْشَرُ مِنْهُ عَلَى كُلِّ جَوُهرٍ
Sesungguhnya, syafa’at itu merupakan NUR dari keharibaan Tuhan kepada diri Nabi. Kemudian dari Nabi, NUR itu dipancarkan kepada seluruh mahluk.
Penjelasan yang sama, juga dijelaskan dalam kitab Jami al-Ushul-nya Syeh Kamsykhanawi Ra dalam “Bayan as-Syafaah”
[9].       Seorang mukmin, yang muslim dan yang muhsin adalah orang yang taat beribadah kepada Allah Swt serta tidak (syirik) menyekutukan-Nya dengan mahluk.
[10].  Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”.  Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.
            Berkaitan dengan kata SUNNAH dalam hadis diatas, dalam kitab Tanwiirul Hawaalik alla Syarhi Muwattha’ Malik tulisan Syeh Jalaluddin Suytuthi, diterangkan bahwa Syeh Ibnu Muhdi (termasuk pembesar ulama Hijaz setelah Imam Malik) mengatakan : Syeh Sufyan Tsauri adalah imam dalam hadis tapi bukan dalam sunnah. Dan Syeh al-Auzaiy adalah imam dalam sunnah, tapi bukan dalam hadis. Sedangkan Imam malik Ibn Anas adalah imam hadis dan sunnah. Dan Imam Ibnu Shalah juga mengatakan : seorang ulama itu kadang alim dalam hadis, tapi tidak alim dalam sunnah.
            Selain hal tersebut Imam Suyuthi dalam keterangan selanjutnya menjelaskan; bahwa Imam Malik Ibn Anas (pendiri madzhab Maliki, w. 158 H) setiap malam bertemu dengan Rasulullah Saw. 
[11].   Kitab Jami’ al-Ushul  fil Auliya’-nya Syeh Kamsykhanawi, pada bagian ‘”mutammimaat”  dalam “bayaan washiyatul muriidiin”.
[12].   Kitab al-Anwar al-Qudsiyah-nya al-Ghauts fi Zamanihi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, Ra (w. 973 H), dalam bab “adabul murid”).
[13].   Malikat saja yang tidak pernah berbuat maksiat, masih diperintahkan agar berguru kepada Nabi Adam As. Lebih lagi manusia yang berlumuran dosa. Lihat penjelasan al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (w. 565 H) dalam kitabnya al-Ghunyah juz II bab “Maa Yajibu ‘ala al-Mubtadi”, yang menjelaskan : فَصَارتِ المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ الأشْيَاِ كُلِّهَا : Malaikat menjadi murid Nabi Adam, dan Nabi Adam sebagai guru malaikat. Dan Adam mengajarkan  nama-nama segala sesuatu secara keseluruhan.  
            Penjelasan yang sama juga diterangkan oleh Syeh Jalaluddin Suyuthi dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi, juz II, dalam Kitab al-Ba’tsi pada bahasan “irsaaluhu ‘alal malaik” bagian “khatimah” :
        أَنَّ آدَمَ أَرْسَلَ إِلَى المَلاَئِكَةِ لِيُنَبِّئئَهُمْ بِمَا عَلِمَ مِنَ الأَسْمَاءِ  : Sesungguhnya Nabi Adam diutus kepada para malaikat agar mendidik mereka tentang pengetahuan nama-nama segala sesuatu. Imam Suyuthi juga menerangkan bahwa pemahaman seperti ini sebagai ketentuan Imam Syafi’i Ra.
[14].   Kitab Tanwir al-Qulub Syeh Amin al-Kurdi, hlm 362.
[15].   Kitab al-Anwaarul Qudsiyah-nya al-Ghauts fii Zamaanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam bab I, pada bahasan ke 19.
[16].   Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
[17]. Makna “inabaah” adalah : رُجُوعُ الكُلِّ إِلَى مَنْ لَهُ الكُلُّ : mengembalikan segalanya kepada pemilik segalanya.  Lihat Kitab “at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali al-Jurjani, bab alif. 
Rasulullah Saw bersabda : إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ الإِنَابَةَ   Sesungguhnya diantara kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi inaabah.  (Kitab Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif).
[18]. Kitab Khaziinah al-Asraar Jaliilah al-Adzkaar-nya Syeh Muhmnad Haqqi an-Naazili, dalam bab “washiyah Suhrawardi. Imam Suhrawardi (penulis kitab Awarif al-Ma’arif), adalah seorang sufi yang ahli dalam hadis serta memiliki  sanadnya yang bersambung sampai kepada Rasulullah Saw
[19]. Kitab al-Anwarul Qudsiyah, dalam bab “Sanaddul Qaum”.
[20].   Fatwa Syeh Junaid al-Bagdadi tertulis dalam kitab Risyalah al-Qusyairiyah.
[21].   Dalam kitab ini, Imam Abu Thalib al-Makkiy (w. 385 H), secara jelas menyebutkan martabat ahadiyah. Sedangkan martabat wahidiyah, hanya dimengulas makna wahid tanpa menyebutkan kata wahidiyah. Namun dalam ulasan makna kata wahid ini sebagaimana ulasan  Imam Ghazali dalam membahas wahidiyah.
[22].   Demikain pula Imam Qusyairi Ra, dalam membahas wahidiyah dan ahadiyah mengikuti  cara Syeh Junaid al-Bagdadi dan Syeh Abu Thalib al-Makkiy. Dalam kitabnya ini, Syeh lebih menampakkan martabat Ahadiyah. Sedangkan martabat wahidiyah tidak disebut secara implicit, dan hanya menjelaskan makna asma Wahid-nya Allah Swt sebagaimana Imam Ghazali Ra..
[23].   Lihat kumpulan kitab kecil yang ditulis oleh Imam al-Ghazali, yang tersusun dalam Majmu’ah Rasaail lil Ghazali, terbitan Darul Fikri, Bairut. Dalam kitab al-Madlnuun Bih ini, ketika memberikan keterangan makna surat Ikhlash, Imam Ghazali menjelaskan tentang Iman Wahidiyah dan iman Ahadiyah.
[24].   Dilihat dari isi yang terkandung dalam kitab ini, menunjukan bahwa Penulis kitab ini sebagai pengamal tarekat syadzaliyah dan naqsyabandiyah, dan sekaligus sebagai tokoh kaum sufi yang benar-benar telah memahami sistem dan metode yang terdapat dalam setiap tarekat sufi.
Dalam kitab ini dibahas tentang difinisi-difinisi dan istilah yang mashur dalam lingkungan kaum sufi dan ulama ushul fiqh. Beliau Ra membeberkan tentang makna iman Wahidiyah dan Ahadiyah secara panjang lebar dalam bab “Bayan Madhahir al-Auliya’ wa Maraatibihim fil Asma’ al-Ilaahiyah”, dan pada bagian “Mutammimaat”
[25].   Penulisnya adalah ulama sufi yang ahli dalam ilmu bahasa arab. Didalamnya menerangkan ensiklopedi istilah-istilah yang mashur dalam Islam, diantaranya tentang iman Wahidiyah. 
[26].   Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani adalah ketua ulama Madzhab Syafi’i di Mesir waktu itu (lihat kitab Mizan al-Kubra yang membahas perbandingan madzhab dalam ilmu fiqh, tulisan Syeh Sya’rani  juga). Didalam kitab ini diterangkan tentang tingkatan tauhid dan keimanan mukmin, yang diantaranya maqam Wahidiyah dan Ahadiyah, dan pula sejarah para pembesar kaum sufi dan waliyullah pada zaman sebelum kehidupan Syeh Sya’rani Ra serta nasehat-nasehatnya.
[27].   Kitab ini berbahasa melayu kuno sebagai syarah dari kitab Minhajul ‘Abidin karangan Imam al-Ghazali Ra. Ketika membahas tentang nafsu muthmainnah, dibahas juga tentang iman Wahidiyah. 
[28].   Kitab ini terdiri dari 2 juz. Dan ilmu Wahidiyah, dibahas secara panjang lebar pada juz I dalam pasal 6, serta dalam bab muqaddimah.
[29].   Syeh Nuruddin ar-Raniri berasal dari daerah Ranir India. Kemudian menjadi mufti di kesultanan Aceh Darus Salaam. Kitab ini ditulis dengan bahasa melayu kuno.
[30].   Dalam kitab ini, Syeh Nabhani  Ra banyak menukil redaksi shalawat nabi yang ditaklif  oleh para waliyullah dan al-Ghauts Ra yang hidup pada masa sebelum tahun 1933 M sampai guru Imam Abul Hasan as-Syadzali Ra (Syeh Izzuddin Abdis Salam al-Masyiysi Ra, w 658 H), yang telah  mengulas secara singkat tentang derajat iman wahidiyah dan ahadiyah.
[31].      Dalam kitab ini membahas metode dzikir dan tarekat yang diajarkan oleh Imam Abuk Hasan as-Syadzili Ra. Dan dalam bab I diterangkan bahwa guru Imam Syadzili Ra ( Syeh ‘Izzudin bin Abdis Salam al-Masyisy Ra) adalah al-Ghaus fii Zamanihi. Kepada Imam Syadzili, Syeh Masyisiy berpesan agar ia tinggal dan menetap di Maroko, karena didaerah ini kamu akan memperoleh ilmu yang sempurna tentang dunia dan akhirat. Kemudian segera pindah ke Mesir, karena nanti disana kamu  akan diangkat oleh Allah Swt sebagai al-Ghauts.
[32].         Tentang pengalaman ruhani yang diperoleh pengamal Wahiidiyah, dapat dilihat dalam buku “Shalawat Wahidiyah Dan Pengalaman Ruhani”  terbitan Yayasan Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar