YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
I. 01. 317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
I. 01. 317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
028.01.317 - Pengertian Dan Adab Mujahadah.
A.
Tafakkur Dan Ta’bir.
1. Kekuatan Lahir Dan Batin
Allah Swt Tuhan Maha Pencipta dan Maha
Pengatur, menciptakan manusia dengan memberinya dua macam kekuatan. Yaitu
kekuatan jasmani dan kekuatan ruhani, atau kemampuan yang bersifat lahiriyah
dan kemampuan yang bersifat batiniyah. Manusia terdiri dari dua macam badan,
badan jasmani atau badan wadag dan badan ruhani atau ruh atau jiwa. Dan
masing-masing badan itu oleh Allah Swt, diberikan kekuatan atau kemampuan yang
berbeda-beda sifat dan dayanya. Hanya manusia yang diberi dua macam kekuatan
seperti itu. Makhluk selain manusia baik itu golongan malaikat, jin dan makhluk
jenis halus lainnya lebih-lebih makhluk jenis kasar, tidak diberi dua macam
kekuatan seperti yang diberikan kepada manusia. Bangsa jin mungkin memiliki dua
kekuatan seperti itu akan tetapi terbatas, tidak seluas yang dimiliki oleh
manusia. Buktinya yaitu bahwa Nabi Sulaiman As pernah merajai manusia dan
sekaligus bangsa jin dan makhluk-makhluk lain, sedangkan belum pernah kita
mendengar ada bangsa jin yang membawahi manusia. Malaikat dalam beberapa hal
menempati tingkatan yang lebih tinggi daripada manusia, akan tetapi terbatas.
Terbatas mengerjakan tugas-tugas tertentu. Ada yang membaca tasbih saja, ada
yang bertakbir saja, ada yang hanya bertahmid saja, ada yang terus-menerus
membaca shalawat Nabi Saw saja, ada yang terus-menerus ruku’, ada yang tiada
henti-hentinya sujud dan sebagainya.
Bahkan, sebagai bukti kemulyaan
manusia diatas makhluk lainnya, banyak tugas-tugas yang dijalankan oleh para
malaikat justru diperuntukkan bagi manusia. Bahkan lebih lagi dari itu. Segala
apa yang ada dilangit dan bumi oleh Allah Swt dibikin tunduk kepada mansia,
diperuntukkan bagi manusia supaya sebaik-baiknya dimanfaatkan bagi
kepentingannya didunia dan di akhirat.[1] Firman Allah Swt, Qs. Luqman : 20 :
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَافِي
السَمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً
وَبَاطِنَةً.
Tidakkah kamu
perhatikan, sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kamu semmua apa yang ada
dilangit dan apa yang ada dibumi, dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin.
Kekuatan lahiriyah, seperti kita
maklumi adalah daya kemampuan yang kelihatan mata lahir atau yang dapat
diperhitungkan oleh akal fikiran atau rasio. Akal fikiran atau rasio itu
sendiripun termasuk kekuatan lahir. Betapapun besarnya kemampuan lahiriyah
manusia, akan tetapi masih terbatas sekali apabila dibandingkan dengan
kemampuan batin atau kemampuan jiwa manusia. Kekuatan lahir hanya bisa
berhubungan dengan alam lahir alam nyata, sedangkan kekuatan jiwa manusia dapat
menembus alam ghaib, dapat menjelajahi alam metafisika, bahkan dapat mengadakan
komunikasi dengan alam luar manusia, dengan alam jin dan alam malakut, bahkan
dapat beraudensi dengan Tuhan Pencipta alam semesta.
Pusat segala
kegiatan manusia baik kegiatan jasmani maupun kegiatan ruhani terletak didalam
hatinya. Hati merupakan “Pusat Komando” dari segala macam gerak dan laku
manusia. Bahkan disamping sebagai pusat komando sekaligus sebagai “motor
penggerak” yang menggerakkan segala prilaku dan perbuatan manusia. Perbuatan
yang baik maupun perbuatan yang jahat, perbuatan yang menguntungkan atau
perbuatan yang merugikan semuanya itu dikomando dan digerakkan oleh hati.
2. Kebaikan dan Keburukan Jiwa
Setiap manusia terlahir dalam fitrah kesucian. Mereka
menjadi buruk akibat pengaruh dari lingkungan. Rasulullah Saw bersabda :[2]
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
Tidak ada bayi yang dilahirkan kecuali diatas fitrah
(kesucian). Maka kedua orang tuanya yang menjadikan yahudi, nasrani dan majusi.
Pengaruh dari orang tua, baik
orang tua kandung, orang tua asuh, orang tua angkat atau orang yang dituakan
oleh masarakat, mengakibatkan manusia berubah dari fitrah asalnya yang suci.
Orang tua adalah guru dan panutan kepada anaknya, tokoh adalah guru serta
panutan bagi masarakat. Baik buruknya ucapan, tindakan dan sikap orang tua
(baik formal atau non formal), akan mewarnai terhadap jiwa dan pemikiran anak
kandung, anak asuh, anak angkat, bahkan ummat dan masarakat. Jika ucapan,
tindakan dan sikap orang tua tersinari oleh cahaya ke-Tunan-an, maka anak dan
masarakat akan terbawa kedalam cahaya Tuhan. Demikian pula sebaliknya, ucapan,
tindakan dan sikap orang tua yang tersinari cahaya kemungkaran, cahaya
kekafiran, cahaya nafsu serta iblis, maka anak dan masarakat akan terbawa
kedalam kemungkaran dan kedurhakaan, bahkan bisa juga anak menjadi lebih munkar
serta lebih durhaka kepada Allah Swt daripada orang tuanya. Sebagaimana pepatah
“Guru kencing berdiri, murid akan kencing berlari”. Hal inilah yang harus
benar-benar mendapat perhatian. Jika sekiranya didalam jiwa orang tua, terdapat
cahaya Tuhan, maka wajib bersyukurlah kita, karena keselamatan akan diperoleh
generasi muda serta ummat masarakat dimasa depan. Namun, jika sekiranya jiwa
orang tua, kosong dari cahaya Tuhan, maka celakalah generasi muda. Dengan lain
kata, ditangan orang tua baik buruknya masa depan anak dan generasi muda.
Secara umum, dalam kenyataan sehari-hari disekitar
kehidupan cahaya kemungkaran lebih terpancarkan oleh kaum tua. Dan yang
lebih memprihatinkan lagi, kebanyakan orang tua membiarkan dan membisu terhadap
redupnya cahaya ke-Tuhanan. Karenanya, sebagai orang tua, haruslah menyadari
sepenuh hati, bahwa orang tua menjadi penyebab segala kemunduran dan kerusakan
yang sedang timbulkan oleh anak dan generasi muda. Dan sebab kenyataan ini,
sebagai orang tua yang mengharapkan kebaikan anak dan generasi muda tidak boleh
patah semangat apalagi putus asa.
Manusia memang sering terjebak dalam
kehilafan. Sebagaimana keterangan dalam hadis qudsi, Rasulullah Saw bersabda :
Allah Swt berfirman :
كُلُّ بَنِي أدَمَ خَطَّاؤونَ وَخَيْرُ
الخَطائِيْنَ التَوَّابُونَ
: Seluruh anak cucu Adam itu penuh
kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik orang yang salah adalah mereka yang
bertaubat. [3]
Setiap manusia terdapat sifat yang buruk. Watak sombong,
angkuh dan egois. Manusia suka merasa cukup dengan dirinya sendiri. Jika menderita
ia sangat mengharapkan pertolongan, namun jika telah mendapatkan pertolongan,
ia bersikap seakan-akan tidak pernah membutuhkan atau mendapatkan pertolongan. Sebagimana
keterangan dalam firman Allah Swt :
a.
Manusia sering bersikap kurang
membutuhkan pertolongan Tuhan.
كَلاَّ إِنَّ الإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَءَاهُ
اسْتَغْنَى. إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُجْعَى
Ketahuilah, sesungguhnya manusia
niscaya melampaui batas. Ia melihat dirinya telah cukup dengan dirinya (tanpa
pertolongan Allah). (padahal) Sungguh kepada Tuhanmu tempat kembali. (Qs. al-‘Alaq : 6 – 8)
b.
Manusia suka mengingkari
pertolongan Allah Swt.
وَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا
إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَاكَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ
مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ للهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ
بِكُفْرِكَ قَلِيْلاً إِنَّكَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ.
Ketika manusia tertimpa kesusahan, ia
berdoa kepada Tuhan-Nya seraya berinaabah [4]
kepada-Nya. Namun, ketika ia telah mendapatkan ganti kenikmatan dari-Nya, ia
lupa kalau ia pernah berdoa kepa-Nya. Serta membuat tandingan untuk-Nya, hingga
ia tersesat dari jalan-Nya. Katakanlah (wahai Muhammad) : bersenang-senanglah
kamu sebentar (dengan keingkaranmu), sesungguhnya kamu dari golongan penghuni
neraka. Swt (Qs.
az-Zumar : 8).
c.
Manusia suka mendlalimi diri sendiri (ada jalan kebahagiaan
yang abadi memilih jalan kesengsaraan).
Firman Allah Swt, Qs. Qs.Ibrahim : 34 :
إِنَ الإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ : Sesungguhnya
manusia itu senantiasa dlalim dan kufur.
d.
Setiap manusia ditemani olah
setan.
مَامِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَلَهُ شَيْطَانٌ وَلِي شَيْطَانٌ وَأَنَّ اللهَ
قَدْ أَعَانَنِي عَلَى شَيْطَانِي حَتَّى مَلَكْتُهُ
Tidak ada dari setiap orang, kecuali baginya ada setan.
Bagiku juga ada setan. Dan sesungguhnya Allah telah menolongku, hingga aku
dapat menguasainya.
لَولاَ أَنَّ الشَيَاطِيْنَ يَحُومُونَ عَلَى قُلُوبِ
بَنِي أَدَمَ لَنَظَرُوا إِلَىَ مَلَكُوتِ السَمَاء
Jika sekiranya
setan tidak mengurumuni hati anak cucu Adam, niscaya mereka akan dapat melihat
kekuasaan dan kebesaran Allah.
Jika setan dan nafsu telah
menyatu dengan jiwa seseorang, kebatilan akan dianggapnya sebagai kebenaran, dan
kebenaran akan dianggapnya sebagai kebatilan. Syirik dianggapnya tauhid dan
tauhid dianggapnya syirikk. Kondisi jiwa semacam inilah yang sangat
menakutkan. Na’udzu Billah. Jeratan dan
tipu daya setan tidak dapat diatasi dengan akal, fikiran dan tinggimu ilmu,
baik itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan. Setan lebih pandai dan lebih
berilmu dari pada manusia. Dan, tidak
ada jalan untuk menangkal jeratan dan tipu daya setan, kecuali dengan MUJAHADAH
kepada Allah Swt, untuk memohon petunjuk
dan pertolongan dan perlindungan-Nya.
Dari
beberapa keterangan diatas, paling tidak dua kesimpulan yang didapatkan :
1.
manusia hanya berada dalam dua kondisi. Antara dekat kepada
Allah Swt atau dekat dengan setan. Jika dekat kepada Allah Swt berarti jauh
dari setan, dan jika dekat dengan setan berarti jauh dari Allah Swt. Dan tidak
ada kondisi ketiga, yakni setengah dekat kepada-Nya dan setengah dekat dengan
setan. Kedua kondisi inilah yang harus mendapat perhatian oleh setiap mukmin.[7]
2.
Dekat dengan setan, akan memiliki pemahaman yang terbalik.
Artinya, kebenaran akan dianggap sebagai kebatilan, dan kebatilan akan dianggap
sebagai kebenaran.
Mari kita introspeksi, mengadakan koreksi diri. Saat ini,
saat membaca buku ini, dimanakah kondisi kita ?. Dekat kepada Allah Swt atau
kepada setan ?. Semua tergantung perjuangan kita sendiri.
Seseorang tidak dapat
memperbaiki atau meningkatkan kwalitas diri kecuali terlebih dahulu ia memahami
tentang kenegatifan diri (nafsu)-nya. Seseorang yang tidak dapat melihat aib
dirinya, tidak akan mungkin dapat mengembalikan dirinya kepada fitrahnya yang
suci, kecuali atas fadlal dan rahmat Tuhan. Demikian pula, seorang pejuang
tidak akan dapat membawa ummat masarakat kepada akhlakul karimah, selama ia
tidak dapat memahami jenis-jenis akhlak yang tercela, baik akhlak lahiriyah
atau batiniyah yang ada pada setiap manusia. Serta menyadari bahwa menjernihkan
hati dari nafsu yang tercela merupakan hal yang utama dan pertama dilakukan dalam
pembentukan akhlak mulia.
Kehidupan manusia dikendalikan oleh
hati atau jiwanya, bukan oleh akal dan fikiran. Jika hati manusia baik maka
baiklah prilakunya, dan jika hati manusia buruk maka rusaklah prilakunya. Setinggi apapun ilmu
yang dikuasainya, tidak akan dapat membawa diri dan masarakat kepada akhlak
yang baik. Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ فِي
الجَسَدِ لَمُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجِسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَ تْ
فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ القَلْبُ
Sesungguhnya dalam jasad (manusia) ada segumpal
darah. Jika baik, maka baiklah
jasad seluruhnya,
dan jika rusak, maka
rusaklah jasad seluruhnya. Ketahuilah,
hal itu adalah hati.[9]
Dalam
hati manusia terdapat nafsu tercela yang menjadikan watak manusia menyimpang
dari fitrah asalnya. buruk akibat dari Firman Allah Swt, Qs. Yusuf : 53 :
وَمَا أُبَرِّئُ نَقْسِي إِنَّ النَفْسَ
لأَمَّارَةٌ بِالسُوءِ إلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّي
Dan Aku tidak membiarkan nafsuku. Sesungguhnya nafsu
itu, senantiasa memerintahkan kepada kejelekan, kecuali yang mendapat tahmat Tuhanku.
النَفْسُ إذَا جَاعَتْ كَالطِفْلِ الضّعِيْفِ وَإِذَا شَبَعَتْ فَهِيَ
كَالآَسَدِ المُفْتَرِسِ وَإِذَا غَضَبَتْ فَهِيَ كَالمُلُوكِ الجَبَابِرَةِ,
وَإِذَا اشْتَهَتْ شَيْئًا فَهِيَ كَالبَهَائِمِ, وَإِذَا خَافَتْ مِنْ شَيْئٍ
فَهِيَ كَالهِرَّةِ, وَإِذَا أَمَنَتْ فَهِيَ كَالنَمْرِ, وَإِذَا عَاصَتْ فَهِيَ كَالشَيَاطِيْنِ وَإِذَا سَكَنَتْ
فَهِيَ مِثْلُ الجَمَادِ.
Nafsu itu, ketika ia lapar ibarat anak kecil
yang lemah. Ketika ia kenyang ibarat singa yang menerkam. Ketika ia marah
ibarat raja yang bengis. Ketika ia menginginkan sesuatu ibarat binatang. Ketika
waktu aman ibarat macan tutul. Ketika ia durhaka ibarat setan. Ketika ia diam
ibarat benda yang beku.
Imam al-Bushiri (murid dari al-Ghauts
fi Zamanihi Ra Syeh Ibn ‘Atha’illah Ra), barkata dalam sya’irnya (Qashidah
al-Burdah nadzam ke 67) :
وَالنَفْسُ كَالطِفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ
يَنْفَطِمِ
Nafsu itu ibarat anak kecil. Jika engkau membiarkannya
niscaya ia mencintai susu ibunya terus. Namun jika engakau menyapihnya, iapun
tersapih (berhenti menyusu).
Manusia,
dapat kembali kepada jati dirinya yang suci dan menjadi manusia yang baik
budinya, serta mengenal Allah Tuhan Maha Pencipta, selama mereka mengingat
Tuhannya. Karena ketika manusia tidak sadar dan lupa kepada Allah Swt, saat
itulah setan menguasainya. Allah Swt berfirman, Qs. Az-Zukhruf : 36 – 37 :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ
شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ
وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan barangsiapa
yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami (Allah) adakan
setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan
menghalangi mereka dari jalan kebenaran, serta mereka (manusia) akan mengira
bahwa dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah.
Dalam ayat lain Allah Swt berfirman dalam Qs, an-Nisa’ : 119 :
وَمَنْ يَتِّخْذ الشَيْطَانَ
وَلِيًّا مِنْ دُوْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا
Sesiapa
yang menjadikan syaithan sebagi
wali (penguasa, pelindung ,penolong dan
kekasih) selain Allah, maka ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.
1. Pengertian Umum
Mujahadah adalah kata yang berasal
dari bahasa arab dan merupakan kata jadian dari : جَاهَدَ : berjuang, melawan, berperang menjadi “mujahadah”. Kemudian
diartikan dengan perjuangan lahir dan batin dengan sungguh-sungguh.
Pengertian mujahadah secara umum -
sebagaimana penjelasan para kaum sufi - adalah berjuang secara sungguh-sungguh,
berperang melawan keburukan nafsu, serta mengajaknya untuk melaksanakan ibadah
kepada Allah Swt, baik ibadah lahiriyah maupun ibadah batiniyah. Rasulullah Saw
bersabda : [11]
المُجَاهِدُ مَنْ
جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي اللهِ
Mujahid (orang yang bermujahadah) adalah orang yang
memerangi nafsunya untuk diajak menuju ke jalan Allah.
Sebagaimana penjelasan terdahulu,
bahwa manusia memiliki sisi watak yang buruk. Tanpa kesungguhan mustahil dapat
menghidupkan sisi watak yang baik.
Mujahadah, sebagaimana penjelasan
al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Qadir al-Jilani Qs wa Ra terbagi kedalam dua
bagian :[12]
1.
Mujahadah batiniyah,
adalah melawan godaan dan bisikan setan.
وَمُجَاهَدَةُ
الشَيْطَانِ بَاطِنَةٌ وَهِيَ بِالْقَلْبِ والْجِنَانِ وَالإِيْمَانِ. فَإِذَا
جَاهَدْتَهُ كَانَ مَدَدُكَ الرَحْمَنَ وَمُعْتَمَدُكَ المَلِكَ السُلْطَانَ
وَرَجَاؤُكَ رُؤْيَةُ وَجْهِ الجَلِيْلِ المَنَّانِ.
Perang melawan
nafsu syaithan adalah perang batin. Peralatannya dengan hati, jiwa dan iman.
Jika kamu melawannya, maka pancaranmu adalah Dzat Yang Maha Kasih, peganganmu
adalah Dzat Yang Maha Raja, dan haranpanmnu dapat melihat Dzat Yang Agung lagi
Maha Pemberi nikmat.
2.
Mujahadah lahiriyah,
adalah berjuang membela diri dari musuh lahiriyah.
وَجِهَادُ الكَافِرِ جِهَادُ الظَاهِرِ بِالسَّيْفِ
وَالرِّمَاحِ وَمَدَدُكَ فِيْهِ المَلِكُ وَالأَعْوَانُ وَرَجَاؤُكَ فِيْهِ
دُخُولُ الجَنَانِ.
Berjuang melawan
serangan orang kafir adalah perang lahir. Sedangkan peralatannya dengan samurai
dan panah. Dan pancaranmu dari raja dan para menteri, dan harapanmu adalah
masuk surga.
2. Pengertian
Dalam Wahidiyah
Mengarahkan nafsu secara
sungguh-sungguh agar sadar dan mengabdikan diri kepada Allah Swt itulah
MUJAHADAH namanya. Dan yang dimaksud didalam Wahidiyah adalah
bersungguh-sungguh memerangi nafsu untuk diarahkan kepada kesadaran FAFIRRUU
ILALLAH WA RASULIHI SAW dengan pengamalan shalawat Wahidiyah atau bagian dari
padanya menurut adab, cara dan tuntunan yang diberikan oleh Hadlratul Mukarram
Mbah KH. Abdul majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah sebagai
penghormatan kepada Rasulullah Saw dan sekaligus merupakan doa permohonan
kepada Allah Swt yang diperuntukkan bagi diri pribadi, keluarga baik yang masih
hidup maupun yang sudah meninggal dunia, bagi bangsa dan Negara, bagi para
pemimpin bangsa dan Negara disegala bidang, bagi ummat masarakat manusia segala
bangsa dan negara serta pemimpin mereka disegala bidang dan umumnya bagi segala
mahluk.[13]
Menguasai ilmu (baik
agama maupun umum) sangatlah penting. Namun yang lebih penting lagi dapat
mengamalkannya. Dapat memiliki atau menguasa ilmu tentang agama (termasuk ilmu
wusul dan makrifat), belum pasti menjamin seseorang menjadi manusia agamis yang
sadar kepada Allah Swt. Hanya dengan hidayah Allah Swt manusia dapat menjadi
agamis dan wushul kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Fakta dalam lapangan
menunujukkan, sering terjadi orang yang telah mengerti kebaikan, justru
meninggalkannya, dan orang yang telah mengerti kejelekan, justru
membiasakannya. Adalah orang yang memiliki ilmu agama namun tidak
mengamalkannya yang akan merasakan siksaan paling pedih diakhirat kelak.
Sebagaimana keterangan dalam sabda Rasulullah Saw : [14]
أَشَدُّ النَاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ
عِلْمُهُ.
Orang
yang paling berat siksaannya dihari kiamat adalah orang berilmu yang ilmunya
tidak memberi manfaat baginya.
Dalam
hadis lain, Rasulullah Saw juga menerangkan bahwa neraka adalah tempat bagi
orang yang mencari ilmu yang bukan karena Allah Swt (LINAFSIH dalam istilah
Wahidiyah), tetapi hanya untuk meningkatkan setatus sosial ditengah-tengah
masarakat. Ilmu yang dikuasainya hanya sebagai bahan koleksi dalam fikiran,
yang sewaktu-waktu digunakan untuk berdebat atau pembicaraan saja. Rasulullah
Saw bersabda : [15]
مَنْ تَعَلَّمَ العِلْمَ لِيُبَاهِي بِهِ العُلَمَاءَ,
أَوْ يُمَارِي بِهِ السُفَهَاءَ, أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وَجُوهَ النَاسَ إِلَيْهِ
فَهُوَ فِي النَارِ
Barang siapa mempelajari ilmu untuk membanggakan diri
dihadapan para ulama, atau mendebat orang-orang yang bodoh, atau mengalihkan
pandangan manusia kepada dirinya (mencari popularitas), maka dia dalam neraka.
Perasaan
bangga - yang sebagai kelanjutan rasa puas – terhadap diri sendiri merupakan
sifat dasar manusia. Tapi jika sifat ini dibiarkan akan menghancurkan diri
manusia sendiri. Terpandang pandai atau menang dalam berdebat dan berdeskusi merupakan
kepuasan nafsu, tapi jika ini dibiarkan akan merusak kode etik ilmiyah dan yang
ada hanya arogansi ilmiyah. Dijadikan sebagai panutan oleh ummat masarakat
merupakan fitrah ke-aku-an, bahkan sering manusia memohonnya kepada Allah Swt
ketika sedang berdoa. Namun jika ia bukan seorang Kamil Mukammil, atau tidak
disertai hidayah Allah Swt akan berakibat membawa dirinya dan pengikutnya
kedalam cengkeraman iblis, sedangkan ia tidak menyadarinya.
Dengan demikian, makna mujahadah
(dalam prinsip Perjuangan Wahidiyah) adalah berusaha dengan sungguh-sungguh
agar dapat melaksanakan ajaran Wahidiyah dalam segala kedaan. Dengan kata lain,
mujahadah adalah ketika berhubungan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, atau
berhubungan dengan masarakat dan mahluk pada umumnya, asal bukan perbuatan yang
terlarang, bukan perbuatan yang merugikan supaya selalu dijiwai dengan prinsip
LILLAH BILLAH, LIRRASUL BIRRASUL, LILGHAUTS BILGHAUTS. Dan juga supaya
mengetrapkan YUKTI KULLA DZI HAQQIN HAQQAHU, memenuhi segala macam kewajiban
tanpa menuntut hak, dengan prinsip TAQDIMUUL AHAM FAL AHAM TSUMMAL ANFA’ FAL
ANFA’, mendahulukan yang lebih penting daripada yang bermanfaat.
C.
Pandangan Ulama
Tentang Hadis Mujahadah.
Perjuangan melawan nafsu merupakan
perjuangan yang amat besar.
Rasulullah Saw bersabda: [16] أعْدَى عَدُوِّكَ نَفْسُكَ التِي
بَيْنَ جَنْبَيْك : Sesungguhnya
musuhmu yang paling utama adalah nafsumu yang ada diantara dua lambungmu.
رَجَعْنَا مِنَ
الجِهَاد الاَصْغَرِ إِلَى الجِهَاد الآَكْبَرِ. قَالُوا : وَمَا الجِهَادُ الأَكْبَرِ
قَالَ : جِهَادُ القَلْبِ
Kita kembali dari jihad yang kecil menuju
jihad yang besar.
Sahabat bertanya : apa perang besar itu ?. Rasulullah Saw bersabda : perangnya
hati. [17]
Dalam riwayat lain, Rasulullah
Saw bersabda : جِهَادُ النَفْسِ : peperangan nafsu.
*
Pernah terjadi dalam salah satu setasiun TV Nasional di Jakarta yang
menayangkan sebuah acara dialog tentang Perjuangan Islam. Salah satu peserta
yang hadir menyampaikan tentang hadis “Jihad Nafsu”. Namun peserta yang lain
menyangkalnya seraya mengatakan : bahwa “kata mutiara yang menerangkan perang
melawan nafsu adalah perang terbesar” bukan merupakan hadis Rasulullah Saw,
melainkan hanya sebagai ucapan ulama sufi.
Memang, antara ulama terjadi
perbedaan pendapat dalam memandang redaksi hadis tersebut. Sebagian ulama
mengatakan bukan sebagai sabda Rasulullah Saw, melainkan hanya qaul ulama.
Sedangkan ulama yang lain mengatakan sebagai sabda Rasulullah Saw.
Meskipun demikian – menurut
pendapat kebanyakan ulama hadis - maknanya adalah shahih dan patut dikatakan
sebuah hadis. Hal ini dikarenakan banyak keterangan lain, baik dari al-Qur’an
maupun hadis yang menguatkannya.[18]
* Sedangkan kami dari Yayasan
Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, memilih mengikuti ulama
yang mengatakan bahwa kalam hikmah tersebut sebagai hadis Rasulullah Saw.
Sebagai bahan acuan pokok yang kami jadikan pegangan, antara lain :
1. Sanad (rangkaian
orang-orang yang meriwayatkan) hadis terbagi kedalam dua bagian : lahiriyah dan
batiniyah. Lahiriyah - sebagaimana yang berlaku dalam kalangan ulama
hadis - adalah rantai berantainya para perawi hadis dari perawi hadis, misalnya
dari Imam Bukhari sampai kepada Rasulullah Saw. Suatu hadis dianggap shahih,
jika rantaian tersebut terdiri dari orang-orang yang dipercaya. Batiniyah
– sebagaimana keterangan para ulama ahli kassyaf – pengkajian tentang kebenaran
atau kebatilan suatu hadis melalui cara bertanya langsung kepada Rasulullah Saw
secara ruhani : [19]
وَالحُكْمُ
عَلَى الحَدِيْثِ بِالْوَضْعِ أَوِ
الصِحَّةِ أَوْ غَيْرِهِمَا إِنَّمَا هُوَ بِحَسَبِ الظَاهِرِ لِلْمُحَدَّثِيْنَ
بِاعْتِبَارِ الإِسْنَادِ أَوْ غَيْرِهِ, لاَ بِاعْتِبَارِ نَفْسِ الأَمْرِ أَوِ
القَطْعِ. لِجَوَازِ أَنْ يَكُوْنَ الصَحِيْحِ مَثَلاً – بِاعْتِبَارِ نَظْرِ المُحَدِّثِ – مَوْضُوعًا أَوْ ضَعِيْفًا فِي نَفْسِ
الأَمْرِ, وَبِالعَكْسِ.
وَرُبَّ حَدِيْثٍ تُرِكَ العَمَلُ بِهِ لِضَعْفِ طَرِيْقِهِ مِنْ أجْلِ
وَضَّاعٍ فِي رُوَاتِهِ يَكُونُ صَحِيْحًا فِي نَفْسِ الأَمْرِ لِسِمَاعِ
المُكَاشَفِ لَهُ مِنَ الرُّوحِ حِيْنَ إِلْقَائِهِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Ketentuan hukum hadis pada
maudlu’ (palsu) atau shahih atau lainnya, adalah tinjauan dari segi
lahiriyahnya oleh para ahli hadis yang menyandar kepada sisi sanad atau
lainnya, dan bukan pada esensi makna dan kepastiannya. Karena, dapat juga hadis
shahih – dalam pandangan ulama hadis – namun maudlu’ atau dla’if (lemah/ kurang
shahih) dari segi makna. Demikian pula sebaliknya.
Dan banyak hadis yang tidak
diamalkan karena ternilai dla’if dari segi ketentuan para periwayatnya, namun
ternyata shahih maknanya. Hal ini dikarenakan setelah seseorang bertemu
Rasulullah Saw,[20]
yang memberitahukan bahwa hadis tersebut benar
وَقَدِّمْتُمْ مِنَ الجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ.
قَالُوا : وَمَا الجِهَادُ الأَكْبَرِ؟. مُجَاهَدَةُ العَبْدِ هَوَاهُ
Telah
melangkah kamu semua dari perang kecil kepada perang besar. Sahabat bertanya: apa perang
besar itu ?. Nabi Saw bersabda : perangnya seseorang terhadap hawa
nafsunya.
2. Syeh Abdul Qadir Jailani Ra dalam
kitabnya al-Ghunyah, mengatakan kalam hikmah tersebut sebagai sabda
Rasulullah Saw.
رَجَعْنَا مِنَ
الجِهَادِ الأصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ-
عَنَّى بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُجَاهَدَةَ الشَيْطَانِ وَالنَّفْسِ
وَالهَوَى لِمُدَاوَمَتِهَا وَطُولُ مُمَارَسَتِهَاوَخَطْرِهَا وَالخَوْفِ مِنْ
سُوءِ خَاتِمَتِهَا
(Kita
kembali dari perang kecil kepada perang yang besar -al-hadis). Rasulullah Saw memaksudkannya sebagai perang
melawan setan dan nafsu dan bisikan buruk. (Dikatakan perang yang terbesar)
karena terus menerusnya peperangan, dan panjangnya waktu pengawasan terhadap
musuh (yang bernama) nafsu. Dan dikarenakan terus-menerusnya bisikan nafsu. Dan
karena (harus) merasa khawatir akan buruknya pada akhir peperangan.[22]
3.
Imam al-Qurthubiy dalam kitab
tafsirnya pada penjelasan ayat, berpendapat kalam hikmah tersebut merpakan
sabda Rasulullah Saw.
4.
Terdapat hadis lain yang maknanya
menguatkan hadis jihad nafsu, antara lain :
a.
Rasulullah Saw
bersabda : [23]
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا
بَصَرَهُ اللهُ بِعُيُوبِ نَفْسِهِ
Ketika Allah menghendaki seseorang menjadi baik, maka Allah
mempenglihatkannya tentang aib dirinya sendiri.
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ
وَهَوَى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَبُ المَرْءِ بِنَفْسِهِ
Tiga perkara yang merusak : Sifat kikir yang dituruti,
nafsu yang diikuti dan kebanggaan seseorang terhadap dirinya.
c.
Rasulullah Saw
bersabda :[25] المُجَاهِدُمَنْ
جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي اللهِ: Orang yang bermujahadah adalah orang yang memerangi nafsunya dalam
ketaatan kepada Allah.
d.
FirmanAllah
Swt, Qs, as-Syams : 9 :
قدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَ سَّاهَا
Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan
jiwanya, dan sungguh merugilah (celaka) orang yang mengotorinya jiwanya.
e.
Firman Allah
Swt, Qs. an-Naazi’aat : 40 – 41 :
وَأَمَّامَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ
وَنَهَى النَفْسَ عَنِ الهَوَى. فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَاْوَى.
Dan
adapun orang yang takut kepada maqam Tuhannya serta menahan jiwa dari hawa
nafsu. Maka sungguh surga sebagai tempat tinggalnya
f.
Allah Swt
berfirman Qs, al-A’la : 9 : قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى : Sungguh beruntunglah orang-orang yang membersihkan jiwanya.
g.
Firman Allah
Swt, Qs. Yusuf : 53 :
وَمَا أُبَرِّئُ نَقْسِي إِنَّ النَفْسَ
لأَمَّارَةٌ بِالسُوءِ إلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّي
Dan Aku tidak membiarkan nafsuku. Sesungguhnya nafsu
itu, senantiasa memerintahkan kepada kejelekan, kecuali yang mendapat tahmat Tuhanku.
h.
Secara
pemahaman dalam pikiran, nafsu dikatakan sebagai musuh paling utama bagi
manusia, karena beberapa hal :
1)
Nafsu tidak pernah berhenti berusaha untuk menghancurkan jiwa manusia.
2)
Peperangan melawan nafsu tidak
mengenal waktu. Sedikitpun tidak ada waktu untuk rehat. Kewaspadaan dan
kesiap-siagaan terhadap cengkeramannya tidak boleh berhenti. Lengah sedikit saja, jiwa kita langsung
dicengkeram nafsu.
3)
Keberadaan nafsu bukan sekedar
dekat dengan manusia, tetapi telah menyatu dengan jiwa. Berlainan dengan musuh
lainnya (manusia atau alam), keberadaannya diluar diri kita.
4)
Arena perang melawan nafsu, bukan seperti arena peperangan dengan musuh
lainnya yang memiliki tempat. Arena peperangan nafsu berada didalam jiwa.
5)
Peperangan dengan orang kafir, kalah
atau menang akan membawa keberuntungan. Jika kalah dan terbunuh berarti mati
syahid, dan jika menang berarti akan syiar Islam semakin semarak. Tapi dalam
peperangan melawan nafsu, jika kalah akan menjadi hamba nafsu dan setan.
D.
Hukum Bermujahadah
Wajib bagi setiap mukmin
memahami jenis-jenis akhlak yang dicela oleh agama. Tanpa memahami dan
membedakan antara sifat-sifat yang tercela dan terpuji dalam agama, sudah tentu
manusia akan menganggap kejelekan dianggap sebagai kebaikan, atau paling tidak
sebagai suatu yang diijinkan oleh agama.
Wajib ‘ain hukumnya membersihkan
jiwa dari kotoran hati atau najis batiniyah. Yang dimaksud hukum “wajib”
disini; pertama, sifatnya untuk penyadaran bagi manusia sendiri tentang
untung ruginya. Artinya, keuntungan dari mejernihkan hati akan kembali kepada
manusia sendiri, dan bukan kepada Allah Swt.[26]
Begitu sebaliknya, resiko kerugian dan kerusakan dari kotornya jiwa akan
dirasakan oleh manusia pula, baik kepada dirinya sendiri atau kepada orang
lain. Dan dalam prinsip tasawuf, mengosongkan hati dari sifat tercela disebut
takhalli, dan kemudian menggantinya dengan sifat-sifat yang terpuji
dinamakan tahalli. Takhalli dan tahalli akan membawa
manusia menuju kepada tajalli.[27]
Kedua, harus
dilakukan oleh siapa saja, tua muda, pria wanita, bangsa dan golongan apa saja,
yang menginginkan jiwanya bersih, terbebas dari bisikan setan, dapat keluar
dari belenggu kemusyrikan, memiliki akhlak batin maupun akhlak lahir yang mulya
dihadapan Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Sebagian ulama sufi, mengartikan mujahdah dengan makna sebagaimana
yang dimaksud dalam firman Allah Swt, Qs. Ali Imaran : 200 :
يَأَيُّهَا
الذِيْنَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ.
Wahai orang-orang
yang beriman, kuatkan kesabaranmu, dan bersiap siagalah, dan takutlah kepada
Allah supaya kamu beruntung.[28]
Dalam kitab Awarif al-Ma’arif-nya Imam Suhrawardi
menjelaskan, bahwa Syeh Sari Saqtiy (paman dan guru Syeh Junaid al-Bagdadi Ra)
dalam memberi penjelasan terhadap ayat diatas, mengatakan :
اصْبِرُواعنِ
الدُنْيَا رَجَاء السَلاَمَةِ, وَصَابِرُوا عِنْدَ القِتَالِ بِالنِيَاتِ
وَالإِسْتِقَامَةِ, وَرَبِطُوا أَهْوَاءَ النَفْسِ اللَوَّامَةِ
Bersabarlah kamu
dari (godaan) harapan dunia yang tampak memberi keselamatan. Kuatkanlah
kesabaranmu disaat perang, dengan kesungguhan niat dan istiqamah. Bersiap
siagalah dalam menghadapi jeratan nafsu yang tercela.
Tanpa
bersiap siaga secara terus-menerus (bermujahadah), atau lengah sedikit saja,
manusia akan dicengkeram oleh nafsu. Na’udzu billah. Allah Swt telah memberi
peringatan, agar manusia jangan sekali-kali lengah dan mengikuti jalan setan.
Firman Allah Swt, Qs. an-Nuur : 21 :
يَأَيُّهَاالذِيْنَ أَمَنُوا
لاَتَتَّبِعُواخُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعُ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالفَخْشَاءِ وَالمُنْكَرِ
Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu nebgihuti langkah langkah setan. Barang
siapa yang mengikuti langkah-langkah syaithan, maka sesungguhnya syaithan itu
menyuruh perbuatan yang keji dan mungkar.
Lain
itu pula, manusia umurnya sangat pendek, sedangkan hidupnya setan sejak masa
sebelum zaman Nabi Adam As sampai sekarang. Jika sekiranya dibandingkan antara
setan dan manusia dalam pengalaman dan kepandaian, sudah tentu sangat jauh
sekali. Setan jauh lebih berpengalaman daripada manusia. Dan, dalam
menghancurkan jiwa manusia, setan lebih pandai dan halus tipu muslihatnya. Dia
memiliki cara yang tidak dipahami oleh manusia. Tanpa pertolongan Allah Swt wa
Rasulihi Saw serta berbekal kesungguhan dan kesiap-siagaan yang semestinya,
sudah tentu manusia akan terjerat oleh tipu daya setan/ nafsu. Tidak ada bekal
atau sarana yang dapat dipertanggung jawabkan, kecuali melalui pintu Rasulullah
Saw.
d.1.
Fatwa Ulama Tentang Mujahadah
Beberapa
fatwa para ulama sufi tentang manfaat mujahadah
1.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul
Wahhab as-Sya’rani Ra dalam kitabnya al-Anwarul Qudsiyah, menjelaskan : [29]
a.
Syeh Abu Ali ad-Daqaaq (mertua
dan guru dari Imam al-Qusyairi), berfatwa
:
مَنْ زَيَّنَ ظَاهِرَهُ بِالمُجَاهَدَةِ زَيَّنَ اللهُ
بَاطِنَهُ بِالْمُشَاهَدَةِ وَمَنْ لَمْ يُجَاهِدُ نَفْسَهُ فِي بِدَايَتِهِ لَمْ
يَشُمْ مِنَ الطَرِيْقِ رَائِحَةً
Barang siapa yang
menghiasi lahirnya dengan mujahadah, maka Allah akan menghiasi batinnya dengan
iman musyahadah. Dan barang siapa yang tidak bermujahadah dalam permulaan
perjalanan ruhaninya, maka tidak akan merasakan manisnya jalan menuju (Allah).
b.
Syeh Abu Usman al-Maghrabi Ra
berfatwa :
مَنْ
ظَنَّ أَنَّهُ يُفْتَحُ عَلَيْهِ بِشَيْئٍ مِنْ هَذِهِ الطَرِيْقِ بِغَير مُجَاهَدَةٍ فَقَدْ رَامَ
المِحَالُ
Barang saipa yang menyangka
sesungguhnya ia dapat terbuka hatinya tentang mengambil bagian dari tarekat
dengan tanpa bermujahadah, maka ia telah terlempar dari mendapatkan karunia
Allah Swt (Haal).
2.
Al-Ghauts
fii Zamanihi Imam al-Ghazali Ra (w 505 M/ 1111 M, kitab Ihya’ ‘Uluumuddin),
nmenjelaskan : المُجَاهَدَةُ
مِفْتَاحُ الهِدَايَةِ لاَمِفْتَاحَ لَهَا سِوَاهَا :
Mujahadah adalah kunci hidayah. Tidak
ada kunci hidayah selain mujahadah.
3.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ahmad
Kamasykhanawi Ra dalam kitab Jami’al-Ushul, menjelaskan : [30]
وَأَمَّا
عِلْمُ المُكَاشَفَةِ فَلاَ يَحْصُلُ بِالتَعْلِيْمِ وَالتَعَلُّمِ وَإِنَّمَا
يَحْصُلُ بِالْمُجَاهَدَةِ التِي جَعَلَهَا اللهُ تَعَالَى مُقَدِّمَةً
لِلْهِدَايَةِ
Ilmu mukasyafah
(tersingkapnya tabir hati hingga dapat sadar kembali dan kepada Allah Swt)
tidak dapat dihasilkan dengan belajar dan pembelajaran ilmu. Dan sesungguhnya
ia dapat dihasilkannya hanya dengan bermujahadah, yang mana Allah Swt telah
menjadikan mujahadah sebagai pendahuluan dari hidayah.
4.
Fatwa Syeh Abdul Qadir Jailani Ra
: [31]
وَلاَ تَتِمُّ
المجاهَدَةِ الاَّ بِمَعْرِفَةِ اَرْبَعِ خِصَالٍ : اوَّلُهَا معرِفَةُ اللهِ
تَعَالَى, وَثَانِيْهَا مَعْرِفَةُ
عَدُوِّ اللهِ إِبْلِيْس, وَثَالِثُهَا مَعْرِفَةُ نَفْسِكَ الامَّارَةِ, وَرَابِعُهَا العَمَلُ للهِ تَعَالَى. وَلَو عَاشَ إِنْسَانٌ دَاهِرًا فِيْ
العِبَادَةِ مُجْتَهِدًا وَلَمْ يَعْرِفْهَا وَلَمْ يَعْمَلْ عَلَيْهَا لَمْ
تَنْفَعْهُ عِبَادَتُهُ, وَكَانَ عَلَى
الجَهْلِ وَمَصِيْرُهُ إِلَى النَارِ,
إِلاَّ أَنْ يَتَفَضَّلَ اللهُ تَعالَى عَلَيْهِ بِرَحْمَتِهِ.
Tidak sempurna
mujahadah, kecuali dengan mengetahui empat perkara :
a.
Makrifat kepada
Allah Saw.
b.
Mengetahui
musuhnya Allah, yakni iblis.
c.
Mengetahui
nafsumu yang jelek.
d.
Dan amal pebuatannya didasarkan karena Allah
Swt (LILLAH).
Walaupun
seseorang dalam satu tahun hanya beribadah secara sungguh-sungguh, akan tetapi
tidak memahami empat perkara tersebut serta tidak mengamalkan mujahadah, maka
ibadahnya tidak dapat memberi manfaat kepadanya. Dan ia tetap dalam kebodohan
serta akhir kejadian dirinya didalam neraka. Kecuali Allah memberikan fadlal
kepadanya dengan rahmat-Nya.
d.2.
Fungsi Mujahadah
Allah Swt memberi kepada setiap
manusia dua bentuk kekuatan. Kekuatan lahir dan kekuatan batin, kekuatan jasmani dan
kekuatan ruhani. Keduanya harus digunakan oleh manusia untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Hanya menggunakan kekuatan lahir saja, berarti
menyia-nyiakan pemberian Allah Swt yang lain yang berupa kekuatan batin. Dan
manusia akan tersesat dan terjerumus dalam kehancuran. Mengunakan kekuatan
batin saja, termasuk penyelewengan, yakni tidak mensyukuri nikmat pemberian
Allah Swt berupa kekuatan lahir dan batin. Kemampuan jasmani dan ruhani harus
dipergunakan secara seimbang.
Akan tetapi sayang, kebanyakan manusia
hanya kekuatan lahir yang dipergunakan paling menonjol. Sedangkan kekuatan
batin, kemampuan ruhaninya jauh terbelakang dibanding dengan aktifitas lahir.
Padahal sebenarnya kemampuan lahir lebih terbatas jika dibandingkan dengan
kemampuan ruhani manusia, sekalipun pada kekuatan lahir disediakan
pengaturan-pengaturan dan dibuatkan persiapan-persiapan. Dan disamping itu pada
kekuatan lahir banyak dijumpai resiko-resiko yang lebih berat dibanding dengan
penggunaan aktifitas batin. Penggunaan aktifitas batin, tidak akan mengganggu
pelaksanaan aktifitas lahir, bahkan menunjangnya. Kemampuan batin atau
kemampuan ruhani, sangat luas dan tidak terbatas, dan justru besar sekali
menunjang kelancaran penggunaan kemampuan lahir. Makin banyak dan makin tekun
menggunakan kemampuan batin makin besar pula potensi batiniyah seseorang dan
makin dekat kepada ridla Allah Swt dan otomatis makin mustajabah.
Kemampuan
batin yang dimaksudkan disini adalah kemampuan berdoa dalam bermunajat kepada
Allah Swt untuk memohon petunjuk dan pertolongan-Nya.[32] Rasulullah Saw
bersabda : الدُعَاءُ سِلاَحُ المُؤْ مِنِ
: Doa adalah senjatanya orang-orang beriman.[33] Dan, الدُعَاءُ مُخَّ العِبَادَةِ : Doa (menghamba kepada Allah Swt )adalah otak
(inti) ibadah.[34]
Disamping
melatih jiwa dengan akhlak yang baik, dalam usaha pembersihan jiwa, haruslah
disertai dengan memanjatkan doa permohonan kepada Allah Swt. Karena meskipun
seluas apapun ilmu agama dikuasai seseorang, serta segigih apapun usaha dalam
pembersihan jiwa, akan sia-sia belaka selama tidak mendapat pertolongan dan
hidayah dari Allah Swt.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يُزَكُّونَ
أَنْفُسَهُمْ بَلْ اللهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَـاءُ
Apakah kamu tidak memperhatikan kepada orang-orang
yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah yang membersihkan siapa saja
yang dikehendaki-Nya.
Makna ayat diatas diperjelas lagi
dalam firman Allah Swt, Qs. an-Nuur : 2 :
وَلَولاَ فَضْلُ
اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَّى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ
اللهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Dan sekiranya tidak karena karunia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu semua, niscaya selamanya tidak ada seorangpun dari kamu
(yang jiwanya) bersih. Akan tetapi Allah membersihkan orang yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar dan Mengetahui.
Tanpa pertolongan Allah Swt,
manusia tidak dapat membersihkan hatinya dari kotoran nafsu. Hanya kekuatan
Allah Swt yang membersihkan jiwa manusia. Sedangkan dalam prosesnya, pembersihan
jiwa melalui pintu Rasulullah Saw. Sebagaimana seorang pasien yang sedang
berobat, secara hakiki Allah Swt yang menyembuhkannya, namun prosesnya melalui
dokter yang merawatnya. Dan juga hanya Allah Swt yang memberi rizki kepada
kita, namun prosesnya melalui sesama makhluk.
لَقَدْ مَنَّ اللهُ الذِيْنَ أَمَنُوا اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ
رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِم وَيُعَلِّمُهُمُ الكِتَابَ وَالحِكْمَةَ
Sesungguhnya
Allah telah memberi nikmat kepada orang mukmin ketika Ia mengutus didalam
kelompok mereka seorang Rasul, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan mereka kitab (al-Quran) dan hikmah.
Ayat diatas menerangkan bahwa Rasulullah Saw ditugaskan untuk :
1.
Menjelaskan/ membacakan ayat-ayat Allah Swt kepada manusia.
أَنَا مُحَمَّدٌ
أَنَا أَحْمَدُ المَاحِي الذِي يَمْحُواللهُ بِي الكُفْرَ أَنَاالحَاشِر الذِي
يُحْشَر النَاسِ عَلَى قَدَمِي أَنَا العَاقِبُ
Aku adalah Muhammad.
Aku adalah Ahmad.[40] Aku adalah pembasmi. Yang mana Allah
membasmi kekufuran melalui Aku. Aku adalah Pengumpul. Yang mana manusia dikumpulkan dibawah tapak
kaki-Ku (disekitarku). Aku adalah Nabi Penutup
Rasulullah Saw adalah Pembasmi
kekufuran hati, dan Pengumpul manusia (dekat kepadanya) dibawah tapak kakinya.[41]
Keberhasilan dalam pembersihan
jiwa tergantung dari hidayah Allah dan syafaat Rasulullah Saw. Disamping
melatih jiwa dengan sifat-sifat yang baik, harus disertai berdoa munajat untuk
memohon hidayah Allah Swt dan tarbiyah Rasulullah Saw.
Demikianlah tugas dan kedudukan
Rasulullah Saw dalam pembersihan jiwa manusia. Berkaitan dengan pembersihan
jiwa, Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, mengajak
seluruh ummat masarakat dari bangsa manapun dan golangan apapun tanpa pandang
bulu, tua muda, pria wanita untuk beraudensi kepada Rasulullah Saw, dengan
memberikan dan mengijazahkan secara mutlak kepada ummat masarakat sebuah doa
berupa shalawat Wahidiyah, yang jika diamalkan secara tekun serta
sungguh-sungguh dan istiqamah dapat membuahkan hati yang jernih dan makrifat
kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Dan bagi mereka yang belum berkesempatan
mengamalkan shalawat Wahidiyah secara keseluruhan, boleh mengamalkan atau
membaca kalimat nida’ rasul : يَا سَيِّدِي
يَارَسُولَ اللهِ =
YAA SAYYIDII YAA RASULULLAH (Duhai Pimpinan kami. Duhai Utusan Allah), dengan
diulang-ulang minimal selama 30 menit. Dan semakin lama waktu yang digunakan atau
semakin banyak membacanya, maka semakin baik.
Alhamdulillah
dalam Wahidiyah kita dididik, dibimbing dan dituntun bermujahadah secara lahir
dan batin, menggunakan kekuatan batin untuk berdoa berdepe-depe (merasa sangat
membutuhkan), bermunajat kehadirat Allah Swt memohon syafaat Rasulullah Saw,
dan barakah karamah serta nadrah dari Ghauts Hadzaz Zaman Ra, yaitu dengan
MUJAHADAH WAHIDIYAH.
E. Adab Mujahadah
Dalam kitab al-Anwarul Qudsiyah fii Ma’rifah Qawa’id as-Shufiyah,[42]
dijelaskan, orang
yang berdzikir kepada Allah Swt tanpa disertai adab yang sempurna, hanya
sedikit manfaat yang diperolehnya, dan bahkan tidak akan sampai keharibaan-Nya.
أَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ خَلَتْ عَنِ الأَدَبِ فَهُوَ
قَلِيْلَةُ الجَدْوَى. وَأَجْمَعَ الأَشْيَاخُ أَنَّ العَبْدَ يَصِلُ
بِعِبَادَتِهِ إِلَى حُصُولِ الثَوَابِ وَدُخُولِ الجَنَّةِ. وَلاَ يَصِلُ إِلَى حَضْرَةِ رَبِّهِ إِلاَّ
إِنْ صَحِبَهُ الأَدَبُ فِي تِلْكَ العِبَادَةِ.
Sesungguhnya setiap ibadah yang sepi
(kosong) dari adab, maka sedikit manfaatnya. Ijma’ (kesepakatan) para Guru
Ruhani : Sesungguhnya seseorang dengan ibadahnya akan memperoleh pahala dan
masuk surga. Dan tidak dapat sampai (wushul) keharibaan Tuhannya, kecuali
ibadah yang disertai adab.
Didalam
mujahadah Wahidiyah, ketika bermujahadah kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw telah
diberikan tuntunan-tuntunan mengenai cara-cara dan adab lahiriyah dan batiniyah.
Tuntunan-tuntunan tersebut, antara lain :
1.
Harus
betul-betul dijiwai dengan LILLAH BILLAH, LIRRASUL BIRRASUL dan LILGHAUTS
BILGHAUTS.
2.
Mengakui
dengan jujur terhadap segala dosa-dosa, dan bahkan merasa menjadi sumbernya
dosa. Merasa dhalim bahkan merasa menjadi sumber segala kedhaliman didunia. Bahkan
sangat baik, ketika saat bermujahadah dihadapah Allah Swt wa Rasulihi Saw dapat
merasa, “bahwa tidak ada orang lain yang lebih buruk, lebih berlarut-larut,
lebih dhalim dan penuh berlumuran dosa daripada dirinya”. Dosa kepada Allah Swt
wa Rasulihi Saw, dosa kepada Ghauts Hadzaz Zaman Ra, serta dosa kepada orang
tua, dosa kepada keluarga, dosa terhadap tetangga, kepada pemimpin, kepada
rakyat, terhadap bangsa dan Negara, terhadap agama…. dan sebagainya, dosa
terhadap ummat masarakat, terhadap sesama mahluk pada umumnya. Pokoknya merasa berdosa,
dan bahkan menjadi sumber segala dosa yang dilakukan orang lain. Firman Allah
Swt dalam hadis qudsi : [43]
كُلُّ بَنِي أدَمَ خَطَّاؤونَ وَخَيْرُ الخَطائِيْنَ التَوَّابُونَ
Seluruh anak cucu Adam itu penuh kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik
orang yang salah adalah mereka yang bertaubat.
Banyak manusia yang mengerti bahwa dirinya memiliki
banyak dosa. Namun merasa malu dihadapan Allah Swt karena merasa berlumuran
dosa, sangatlah sukar. Apalagi dapat memiliki takut kepada-Nya. Memang semua kebaikan
dan keutamaan tergantung hidayah dari Allah Swt dan kepekaan jiwa seseorang
terhadap keberadaan dan kebesaran-Nya.
3.
Tadlallul
(merendahkan diri serendah-rendahnya) dan tadzallum merasa diri sebagi orang
yang dhalim sedhalim-dhalimnya. Merasa iftiqar (sangat butuh sekali) akan
maghfrah ampunan Allah Swt, jangkungan syafaat tarbiyah Rasulullah Saw dan
barakah karamah nadzrah doa restu Beliau Ghauts Hadzaz Zaman Ra.
لاَيَكُونُ الفَضْلُ إِلاَّ لِلْقُلُوبِ المُنْكَسِرَةِ المُتَعَرِّضَةِ
لِلنَّفَحَاتِ الإِلَهِيَّةِ
Tidak ada fadlal
(maghfirah, taufiq, hidayah, ‘inayah, rahmat dsb) dari Allah Swt, kecuali
(diberikan) kepada hati yang sungguh nelongso (merintih serta sangat membtuhkan
pertolongan), dengan meratapi dosa, dan sangat mengharapkan pertolongan Ilahi.[44]
يَادَوُدَ أَنِيْنُ المُذْنِبِيْنَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ صُرَاخِ
العَابِدِيْنَ
Wahai Daud, rintihan orang-orang yang berdosa itu lebih Aku cintai daripada
nyaringnya suara orang-orang yang beribadah.
4.
Disamping
berdoa untuk diri sendiri dan keluarga tentunya, supaya juga memohonkan bagi
orang lain, bagi ummat dan masarakat, bagi bangsa dan negara, bagi mahluk
semuanya. Memohonkan masarakat baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.
5.
Lebih
menutamakan istiqamah dari pada karamah dalam bermujahadah.
قَالَ أَبُو عَلِي الجُوزْجَانِي : كُنْ
طَالِبَ الإِسْتِقَامَةِ لاَ طَالِبَ الكَرَامَةِ, فَإِنَّ نَفْسَكَ مُتَحَرِّكَةٌ
فِي طَلَبِ الكَرَامَةِ وَرَبُّكَ يَطْلُبُ مِنْكَ الإِسْتِقَامَةِ
Jadilah kamu orang
yang mencari istiqamah bukan mencari karamah. Sesungguhnya jiwamu membisikkan
pencarian karamah, sedangkan Tuhanmu mengharapkan keistiqamahan dari dirimu.[46]
Sebagai penutup dalam pembahasan ini, mari bersama-sama koreksi diri
kita masing-masing. Sadarkah, bahwa diri kita adalah makhluk yang lemah, tapi sombong dan angkuh. Namun, sering
memiliki perasaan tidak membutuhkan kepada Allah Swt. Kita manusia yang
berlumuran dosa, namun tidak merasa malu dan takut akan siksaan-Nya.
Al-Fatihah 1 x
Yaa
Syafi’al Khalqis Shalaatu ………. 3 x
Yaa
Sayyidii Yaa Rasulallah 7 x
Yaa
Ayyuhal Ghautsu Salaamullahi…. 3 x
Al-Fatihah 1 x
[1]. Buku Kuliah Wahidiyah bab
I hal menjernihkan hati (cetk. Yayasan Perjuangan Wahidiyah Pusat).
[3]. Hadis riwayat
Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim (kitab Jami’as-Shagir-nya
Syeh Jalaluddin as-Suyuthi, juz II pada bab “kaaf”. Atau kitab Kasyful
Khifa’ juz II, nomer hadis :
1967.
[4]. Dalam kitab at-Ta’riifaat-nya
Syeh Ali al-Jurjaani diterangkan bahwa “inaabah” : adalah kesadaran tentang kemampuan mengembalikan segala
sesuatu kepada Tuhan.
[5]. Kitab Kimya’
as-Sa’aadah-nya Imam al-Ghazali Ra. Hadis yang
sepadan arti diriwayatkan oleh Syeh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H) dalam
kitabnya al-Ghunyah, juz I dalam bab “al-Itti’adz bi Mawa’idz al-Qur’an
wal al-Faadz an-Nabawiyah”, juz I pada pasal ke 5.
[6]. Kitab Muhtashar
Ihya, Imam Ghazali, bab 21 dalam pasal II, dan kitab Awarif al-Ma’arif
–nya Imam Syihabuddin Suhrawardi, dalam bab II.
[7]. Hadlrtul
Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok
Pesantren Kadunglo dalam salah satu fatwanya menjelaskan : “bertambahnya iman
kepada Allah itu dapat dirasakan. Sedangkan menurunnya iman kepada Allah Swt,
manusia tidak dapat merasakannya”
[8]. Lebih jelasnya
lagi tentang makna dan tujuan mujahadah, dapat dilihat dalam kitab Riyaadl
as-Shalihin-nya Imam Yahya Ibn Syaraf an-Nawawi pada bab “mujahadah”
[10]. Kitab al-Anwar
al-Qudsiyah nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, bab I “nudzbah adab
al-murid” dalam bahasan ke 79).
[11]. HR. Tirmidzi dan
Ibnu Hibban dari Fadlalah Ibn Ubaid. Kitab Jami’ as-Shaghir juz II dalam
bab “miim”. Imam Suyuthi mengatakan bahwa ini hadis shahih.
[12]. Dalam kitabnya al-Ghunyah
li Thalibi Thariq al-Haqqi, juz I dalam “al-Itti’adz bi Mawa’idz al-Qur’an
wal Alfaadz an-Nabawiyah”, juz I pada pasal ke 9.
[13]. Buku Risalah
Tanya Jawab Shalawat Wahidiyah Dan Ajarannya (cetakan PW Pusat).
[14]. HR. Imam
Thabrani, Imam Ibnu ‘Adi dan Imam al-Baihaqi, dari sahabat Abu Hurairah ra. Kitab
Kasyful Khifa wa Munzil al-Ilbaas-nya Syeh al-‘Ajuluuni, juz II nomer
hadis : 376. Atau kitab Minhaaj al-Qaashidiin-nya Ibnu Qudamah dalam bab
“ilmu tidak manfaat”
[15]. Hadis riwayat
Imam Tirmidzi Ra, Ibnu Majah dari Abdullah Ibn Umar Ra. (kitab Kasyful
Khifa’, juz II, nomer hadis : 2526, kitab Minhaaj al-Qaashidiin-nya
Ibnu Qudamah, dalam pembahasan “Ulamaus Suu’ dan ‘Ulama akhirat”.
[16]. HR. Baihaqi. Kitab Kasyful Khifa', nh :
412. Kitab
Muhtashar Ihya’ Ulum ad-Diin-nya Imam Ghazali, bab XXI dalam pasal
“nafsu”
[17]. Imam Ghazali Ra
dalam kitabnya Mukhtashar Ihya’ dalam bab XXI pada pasal “nafsu”, dan
Syeh Syihabuddin dalam kitabnya Awarif al-Ma’arif dalam bab 13,
(keduanya) mengatakan bahwa kalam ini sebagai hadis Rasulullah Saw.
[18]. Dalam kitab kasyful Khifa’ dalam juz I nomer
hadis 1360, dijelaskan beberapa pendapat ulama tentang kedudukan hadis jihad
nafsu tersebut :
a.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa kalam diatas merupakan kalam
dari Syeh Ibrahim Ibn ‘Ailah. Meski demikian Imam al-Haitami menilai maknanya
shahih.
b.
Imam al-‘Iraaqi (guru dari Imam Sakhawi dalam bidang hadis), mengatakan,
bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi. Hanya saja sanadnya bersetatus
dla’if.
c.
Imam al-Khathib al-Badaadi meriwayatkannya dalam kitabnya Taariikh,
hanya saja dengan redaksi lain,
Rasulullah Saw bersabda :
وَقَدَّمْتُمْ مِنَ الجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ
الأَكْبَرِ. قَالُوا : وَمَا الجِهَادُ الأَكْبَرِ؟. مُجَاهَدَةُ العَبْدِ هَوَاهُ
Telah melangkah kamu semua dari perang kecil kepada perang
besar. Sahabat bertanya : apa perang besar itu
?. Nabi Muhammad Saw bersabda : perangnya seseorang terhadap hawa
nafsunya.
[19]. Kitab Kasyful
Khifa’ dalam “muqaddimah”, dan kitab “Tadribul Rawi” Imam Suyuthi, dalam
bahasan kedudukan hadis.
[20]. Imam Malik Ibn Anas, ketika menuliskan hadis dalam
kitabnya al-Muwattha’, setiap malam bertemu dengan Rasulullah Saw secara
ruhaniyah. (Lihat kitab Tanwir al-Hawalik ‘ala Syarh al-Muwattha’ Malik,
Syeh Jalaluddin Suythi Ra, dalam “muqaddimah”).
[21]. HR. Imam al-Khathib al-Badaadi. Kitab Kasyful Khifa’-nya
Syeh al-‘Ajuluuni, dalam juz I, nomer hadis : 1360. Dan
kitab ad-Durarul Muntatsirah-nya Imam Suyuthi.
[22]. Kitab al-Ghunyah
li Thaliby Thariqil Haqq, juz I bab “al-itti’adz bi mawa’idzil Qur’an”
pasal ke 9.
[24]. Lihat kitab Kasyful
Khifa’-nya Syeh Ajuluuni, nomer hadis : , dan kitab Minhaaj al-Qaashidiin-nya
Ibnu Qudamah, dalam bab “celaan terhadap sifat kikir”.
[25]. HR. Tirmidzi dan
Ibnu Hibban dari Fadlalah Ibn Ubaid. Kitab Jami’ as-Shaghir juz II dalam
bab “miim”. Imam Suyuthi mengatakan bahwa ini hadis shahih.
[26]. Firman Allah Swt, Qs.
Al-Ankabut : 6 : وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ
لِنَفِسِهِ, إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنِ العَالَمِيْن : Dan barang
siapa yang sungguh-sungguh (dalam kebaikan) maka ia berjuang untuk dirinya.
Sesungguhnhya Allah, niscaya tidak membutuhkan makhluk semesta alam.
[27]. Terbukanya mata hati hingga dapat memandang kebesaran Allah Swt.
رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ يَوْمٍ فِيْمَا سِوَاهُ
مِنَ المَنَازِلِ.: Bersiap siaga (ribath) satu hari dalam jalan Allah, kedudukannya lebih baik
daripada 1000 hari yang didalamnya tanpa ribath. (HR. Imam
Tirmidzi, Imam Nasai dan al-Hakim dari Usman Ra. Kitab Jami’ as-Shagir, juz II,
dalam bab “ra”).
[29]. Kitab al-Anwar
al-Qudsiyah fii Ma’rifi Qawa’id as-Shufiyah, dalam bab I, pada bahasan ke
3. dan dalam bahsan ke 27, Syeh menjelaskan : وَمِنْ شَـأْنِهِ مُجَاهدَةُ نَفْسِهِ دَائِمًا فِيْ تَرْكِ
الشَهَوَاتِ. : Diantara kehidupan orang-orang yang sadar dan
mendekat kepada
Allah, adalah senantiasa melawan nafsunya untuk meninggalkan syahwat.
[30]. Kitab Jami’ al-Ushul fil Auliya’, mutammimaat
pada “kaifiyah thariqah an- naqsyabandiyah”
[32]. Dinukil dari
Buku Kuliah Wahidiyah yang dikeluarkan oleh PW Pusat.
[33]. HR. Abu Nuaim
dan al-Hakim dari Ali Ibn Abi Thalib Ra
[35]. Dalam kitab Lubab
an-Nuqul Syeh Jalaluddin as-Suyuthi, diterangkan bahwa ayat ini awalnya
turunkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang merasa hatinya sudah bersih
tanpa mengikuti petunjuk Rasulullah Saw.
[36]. Arti yang sepadan juga
tedapat dalam firman Allah, Qs : 2/ 129 dan 151, dan Qs : 62/ 2.
[38]. Dalam kitab tafsir Hasyiyah
as-Shawi juz I, dijelaskan bahwa
pengajaran Rasulullah Saw kepada ummatnya dapat dilakukan secara langsung atau
oleh melalui perantara seperti ulama.
[39]. Hadis riwayat
Imam Bukhari (Shahih Bukahri, nomer hadis : 2896), Imam Tirmidzi (Syamaail
al-Muhammadiyah bab 51, hadis nomer hadis : 306, dan Sunan Timidzi,
nomer hadis: 2842, Imam Malik (al-Muwaththa’ hadis terakhir), Muslim (Shahim
Muslim, nomer hadis : 2354). dan Kitab Jala’ al-Afham, bab asma Nabi
Saw, kitab As-Syifa bab “asma rasul”, kitab Dalil al-Falihin bab
“Asma Rasulullah Saw”, dan kitab Siraj
al-Munir II/ 18.
[40]. Imam Ibnul
Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Jala’ al-Afham-nya, pada penjelasan
tentang “asma Rasulullah Saw” menerangkan : nama Muhammad memiliki arti
sebagai manusia yang paling mengerti bagaimana cara memuji kepada Allah Swt
secara benar, serta manusia yang paling banyak memuji kepada-Nya. Sedangkan
nama Ahmad memiliki arti manusia yang paling banyak dipuji oleh seluruh
makhluk. Bahkan manusia yang paling dipuji oleh Allah Swt.
[41]. Syeh Abul Fadlal
‘Iyadl al-Yahshubi dalam kitabnya as-Syifa’, para ulama yang menjelaskan
makna tapak kakiku dengan : بِمُشَاهَدَتِيْ : dengan musyahadah kepadaku. Penafsiran
ini juga dikuatkan oleh Qs. al-Fatah : 8 – 9 : انَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا
وَمُبَشّرًا وَنَذ يْرًا لِتُؤْ مِنُوا
بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ : Sesungguhnya Aku (Allah) mengutus Engkau (Muhammad),
sebagai saksi, dan sebagai pemberi berita gembira serta peringatan, agar mereka
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya).
Para ulama tafsir al-Qur’an menjelaskan
tentang makna ayat diatas, antara lain :
1.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya
mengatakan : وَهُوَ شَاهِدٌ عَلَى أَفْعَالِهِمْ
اليَوْمَ وَشَهِيْدٌ عَلَيْهِمْ يَوم القِيَامَةِ: Beliau (Rasulullah) menyaksikan perbuatan
manusia pada hari ini dan pada hari kiamat.
2.
Al Ghauts
fi Zamanihi Syekh an-Nabhani Ra (w. 1933 M), menjelaskan :
وَالشَاهِد
لاَ بُدَّ أَنْ يَكُوْن حَاضِرًا لِلمَشْهُودِ عَلَيْهِ وَنَاظِرًا لِلمَشْهُود بِهِ فَعُلِمَ صَلى اللهُ عَلَيْهِ مَالِئُ كُلَّ العَالمِ وَحَاضِرٌ فِي
كُل زَمَانٍ
Menjadi saksi artinya senantiasa hadir
dihadapan orang yang
disaksikan serta melihatnya. Maka sudah ma’lum bahwa sesungguhnya Rasulullah
Saw itu (jiwanya) memenuhi alam semesta dan hadir disetiap zaman. (Sa’adah
ad-Daraini, hlm 461 – 462).
Dan juga Sabda
Rasulullah Saw : الله
وَرَسُولُهُ وَلِيُّ مَنْ لاَوَلِيَّ لَهُ : Allah dan rasul-Nya adalah penguasa bagi
orang yang tidak ada penguasa bagi orang itu. (HR. Tirmidzi dan Baihaqi
dari Abdullah Ibn Umar Ra, lihat kitab Jami’ as-Shagir juz I, dalam bab
‘alif’).
[43]. Hadis riwayat
Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim (kitab Jami’as-Shagir-nya
Syeh Jalaluddun Suyuthi dalam juz II pada bab “kaaf”. Atau Kasyful Khifa’
juz II, nh : 1967.
[44]. Kitab Taqriib
al-Ushuul, halaman : 217.
[45]. Kitab Tanwir
al-Quluub, bab “taubat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar