Sabtu, 14 Mei 2016

Catatan Kecil 129 : TAWASSUL KEPADA ROSULULLOH SAW SESUDAH WAFATNYA

YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
KISAH DAN PETUAH
Catatan Kecil 129 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KETAHUI, RASAKAN DAN ALAMI DALAM PERJUANGAN WAHIDIYAH :
TAWASSUL KEPADA ROSULULLOH SAW SESUDAH WAFATNYA :
1. Kisah Sahabat Bilal al-habsyi Ra.
Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Sahabat Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulallah SAW.
Beliau SAW bersabda kepada Bilal : ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’) ?
Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku ?’. Selepas itu, dengan perasa- an sedih, Sahabat Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah.
Lalu Sahabat Bilal mendatangi kubur Nabi SAW sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasululloh SAW. Selang beberapa lama, Sayyid Hasan dan Sayyid Husein (cucu Rasulallah SAW) datang.
Kemudian Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 Halaman: 208, Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358).
Bilal menganggap ungkapan Rasulallah SAW dalam mimpinya sebagai teguran dari beliau Nabi SAW, padahal secara dhohir beliau SAW telah wafat.
Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju Madinah untuk menziarahi makam Rasulallah SAW ?
Kalau Rasulallah benar-benar telah wafat sebagaimana anggapan madzhab Wahabi bahwa yang telah wafat itu sudah tiada manfaat lagi, maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulallah SAW itu.
Apa yang dilakukan sahabat Bilal juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab – tentang pelarangan bepergian untuk ziarah kubur sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.
Apakah sahabat Bilal khusus datang jauh-jauh dari Syam hanya sekedar berziarah dan memeluk pusara Rasulallah SAW tanpa mengatakan apapun (tawassul) kepada penghuni kubur tersebut ? Sekarang mari kita lihat riwayat lain yang berkenaan dengan diperbolehkannya tawassul secara langsung kepada yang telah meninggal dunia :
“Masyarakat telah tertimpa bencana kekeringan di zaman kekhalifahan Sayyidnia Umar bin Khattab. Sahabat Bilal bin Harits –salah seorang sahabat Nabi SAW – datang ke pusara Rasululloh SAW dan mengatakan :
‘Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah (banyak) yang binasa’. Rasululloh SAW menemuinya di dalam mimpi dan memberitahukannya bahwa mereka akan diberi hujan (oleh Allah) ”.
(Fathul Bari jilid 2 halaman 398, atau as-Sunan al-Kubra jilid 3 halaman 351)
Hadits-hadits diatas mencakup sebagai dalil tentang kebolehan tabarruk dan tawassul kepada orang yang dhahirnya telah wafat, hal itu telah dicontohkan oleh tokoh Salaf Saleh.
2. Kisah Tawassul seorang Baduwi pada zaman khalifah Sayyidina Ali Kw.
Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul ‘Mishbah adz-Dzolam’; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib Kw yang pernah mengisahkan :
“Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumi- kan Rasulullah SAW. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasulallah saw. dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata :
‘Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat;
"Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ (QS an-Nisa: 64) dan aku telah mendzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Kemudian terdengar seruan dari dalam kubur:
‘Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu’ ”.
(Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361).
Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah SAW pasca wafat beliau adalah hal yang benar, legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah seperti kata Wahaby.
Bagaimana tidak ?
Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul/istigho - tsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasululloh SAW – dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara– yang ditujukan kepada Rasulallah yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib Kw.
Dan khalifah Sayyidina Ali Kw sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah SAW yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana Rasulullah SAW pernah bersabda berkaitan dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. sebagai berikut :
‘Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali’.
(Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298).
Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi 3/124,
‘Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari kebangkitan’.
Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126, ‘Aku (Rasulallah saw.) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa meng- hendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya’.
Dalam Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122, ‘Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan setelah (kematian)-ku’. Dan masih banyak lagi riwayat mengenai Khalifah Ali kw.ini.
3. Kisah Al-‘Utbah
Syeikh Abu Manshur As-Shabbagh dalam kitabnya Al-Hikayatul Masyhur- ah mengemukakan kisah peristiwa yang diceriterakan oleh Al-‘Utbah sebagai berikut :
“Pada suatu hari ketika aku (Al-‘Utbah) sedang duduk bersimpuh dekat makam Rasulallah saw., tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui.
Didepan makam beliau itu ia berkata: ‘As-Salamu’alaika ya Rasulallah. Aku mengetahui bahwa Allah telah berfirman: Sesungguhnya jika mereka ketika berbuat dhalim terhadap diri mereka sendiri segera datang kepadamu (hai Nabi Muhammad SAW), kemudian mohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun me mohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka akan mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (An-Nisa: 64).
Sekarang aku datang kepadamu ya Rasulallah untuk mohon ampunan kepada Allah atas segala dosaku, dengan syafa’atmu, ya Rasulallah..’. Setelah mengucapkan kata-kata itu ia lalu pergi. Beberapa saat kemudian aku (Al-‘Utbah) terkantuk. Dalam keadaan setengah tidur itu aku bermimpi melihat Rasulallah saw. berkata kepadaku : ‘Hai ‘Utbah, susullah segera orang Badui itu dan beritahu kan kepadanya bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya’ ”.
Peristiwa diatas ini dikemukakan juga oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Idhah bab 4 hal. 498.
Dikemukakan juga oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengenai ayat An-Nisa : 64. Para ulama pakar lainnya yang mengetengah- kan peristiwa Al-‘Utbah ini ialah:
Syeikh Abu Muhammad Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Al-Mughny jilid 3/556 ; Syeikh Abul Faraj Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Asy-Syarhul-Kabir jilid 3/495 ; Syeikh Manshur bin Yunus Al-Bahuty dalam kitabnya Kisyaful-Qina (kitab ini sangat terkenal dikalangan madzhab Hanbali) jilid 5/30 dan Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi jilid 5/265) yang mengemukakan peristiwa semakna tapi kalimatnya agak berbeda.
Hadits-hadits diatas, jelas lelaki itu bertawassul kepada Rasulallah saw agar beliau saw. berdo’a kepada Allah swt. untuk orang itu.
Kalau ini bukan di katakan sebagai dalil tawassul, mengapa orang tersebut tidak langsung ber- do’a kepada Allah swt. tanpa mohon kepada beliau saw. untuk mendo’akannya ?
4. Kisah Shahabat dan Ahlu Madinah Bertabaruk dengan makam Nabi Muhammad SAW (1)
Ad-Darami meriwayatkan : “Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Mereka mengadu kepada Sayyidah Aisyah ra (ummul Mukminin). Sayyidah Aisyah ra mengatakan:
‘Lihatlah pusara Nabi SAW ! Jadikanlah ia (pusara) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit’.
Dia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbuhlah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun ‘al-fatq’ (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56).
5. Kisah Shahabat dan Ahlu Madinah Bertabaruk dengan makam Nabi SAW(2)
Hadits serupa diatas yang diriwayatkan secara berangkai dari Abu Nu’man dari Sa’id bin Zaid, dari ‘Amr bin Malik Al-Bakri dan dari Abul Jauza bin ‘Abdullah yang mengatakan sebagai berikut:
“Ketika kota Madinah dilanda musim gersang hebat, banyak kaum muslimin mengeluh kepada isteri Rasulallah saw. Sayyidah ‘Aisyah ra.
Kepada mereka Sayyidah ‘Aisyah berkata: ‘Datang-lah kemakam Nabi saw. dan bukalah atapnya agar antara makam beliau dan langit tidak terhalang apapun juga’. Setelah mengerjakan saran Sayyidah ‘Aisyah ra.itu turunlah hujan hingga rerumputan pun tumbuh dan unta-unta menjadi gemuk”. (ini menggambarkan betapa banyaknya hujan yang turun hingga kota Madinah menjadi subur kembali). (Kitab Sunan Ad-Daramy jilid 1/43).
6. Kisah Shahabat Bilal bin al-Harits al-Muzni dan Ahlu Madinah Bertabaruk dengan makam Nabi (3) dan bukti pengkafiran wahaby terhadap sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzni
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shohih dari Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar – seorang bendahara Sayyidina Umar bin Khottob Ra –. yang ber- kata:
“Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang kemakam Nabi Muhammad saw. seraya berkata:
‘Ya Rasulullah mohonkan (kepada Allah swt) hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa’. Kemudian didalam tidur bermimpi datanglah sese- orang dan berkata kepadanya: ‘Datangilah Umar’ ! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat: Kitab Fathul Bari 2/577).
Di atas adalah kitab fathul bary syarah sohih bukhary oleh ulama islam ahli sunnah wal jama’ah al-asya’irah iaitu imam syeikh ibnu hajar al-asqolany.
Di atas pula adalah isi kandungannya dalam permulaan kitab tadi yang dicetak dengan nama 4 buat syarikat pencetakan menyatakan kitab tersebut telah di tahkik ( diletak nota ) oleh abdul aziz bin baz al-wahhabi.lihat line yang telah dimerahkan.
Nah….inilah bukti bahawa bin baz mufti wahhabi dan kesemua wahhabi di malaysia mengkafirkan sahabat Nabi Muhammad SAW : di atas adalah isi kandungan kitab tersebut yang ditambah nota kakinya oleh bin baz al-wahhabi dan kesemua wahhabi di malaysia mengakuinya. tertera pada line yang berwarna merah hadits nabi yang sahih dalam kitab fathul bary tersebut menyatakan bahawa sahabat nabi yang bernama bilal al-harith almuzany telah melakukan amalan tawassul yaitu meminta hujan dari Allah bertawassulkan Nabi SAW dinamakan “istisqo’ “.
Pada line yang berwarna biru pula adalah kenyataan rasmi bin baz al-wahhabi dan kesemua wahhabi malaysia mempersetujuinya dimana kenyataan tersebut amat jelas wahhabi mengkafirkan dan menghukumi syirik sahabat nabi (bilal) kerana bertawassulkan nabi ketika ” istisqo’ “.
Dan perhatikan pada kenyataan wahhabi diatas :
و ان ما فغله هذا الرجل منكر ووسيلة الى الشرك
Yang diertikan “sesungguhnya apa dilakukan oleh lelaki ini iaitu sahabat nabi muhammad SAW (bilal) adalah satu-satunya pembawa syirik“. dan perhatikan pada ayat selepasnya lebih jelas wahhabi mengkafirkan sahabat nabi SAW dan menghukumi sahabat nabi muhammad (bilal) sebagai musyrik.
Semoga Allah memelihara kita dari terjatuh dalam kancah wahhabi atau yg seakidah dgn wahhabi. sekalipun nk didakwa wahhabi tak wujud didunia ini tapi kekufuran mereka masih menyebarkannya termasuk website mereka yg bertopengkan ahkam.
7. Kisah Shahabat Bilal bin al-Harits al-Muzni dan Ahlu Madinah Bertabaruk dengan makam Nabi (4)
Hadits lainnya yang semakna dengan hadits terakhir diatas ini tentang tawassul pada Rasulallah saw. dimuka makam beliau yaitu yang diketengah- kan oleh Al-Hafidz Abubakar Al-Baihaqy. Hadits itu diriwayatkan secara berangkai oleh para perawi: Abu Nashar, Ibnu Qatadah dan Abubakar Al-Farisy dari Abu ‘Umar bin Mathar, dari Ibrahim bin ‘Ali Adz-Dzihly, dari Yahya bin Yahya dari Abu Mu’awiyah, dari A’masy bin Abu Shalih dan dari Malik bin Anas yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada zaman Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. terjadi musim kemarau amat gersang. Seorang datang kemakam Rasulallah saw. kemudian berkata: ‘Ya Rasulallah, mohonkanlah hujan kepada Allah bagi ummat anda. Mereka banyak yang telah binasa’. Pada malam harinya orang itu mimpi didatangi Rasulallah saw. dan berkata kepadanya:
‘Datanglah engkau kepada ‘Umar dan sampaikan salamku kepadanya. Beritahukan dia bahwa mereka akan memperoleh hujan’. Katakan juga kepadanya: ‘Engkau harus bijaksana …bijaksana’ ! Kemudian orang itu segera menyampaikan berita mimpinya kepada Khalifah ‘Umar. Ketika itu ‘Umar berkata: ‘Ya Rabb (Ya Tuhanku), mereka mohon pertolongan-Mu karena aku memang tidak dapat berbuat sesuatu’ “.
Hadits itu isnadnya shohih.
Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid 1/91 mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 18 H. Ibnu Abi Syaibah juga mengetengahkan hadits itu dengan isnad shohih dari riwayat Abu Shalih As-Saman yang berasal dari Malik ad-Dariy, seorang bendaharawan (Khazin) pada zaman Khalifah Umar. Menurut Saif dalam kitabnya Al-Futuh orang yang mimpi didatangi Rasulallah saw. itu ialah sahabat Nabi saw. yang bernama Bilal bin Al-Harits Al-Muzny. Dalam kitab Fathul Bari jilid 11/415 Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut isnadnya shohih.
8. Tawassul dengan hanya menyebut nama Rasulallah saw. (1)
Al-Haitsam bin Khanas meriwayatkan kesaksiannya sendiri sebagai berikut:
“Ketika aku datang kepada ‘Abdullah bin Umar ra.kulihat ada seorang yang menderita kejang kaki (kaku hingga tidak dapat berjalan). ‘Abdullah bin Umar berkata kepadanya:
‘Sebutlah orang yang paling kau cintai‘! Orang yang kejang itu berseru: ‘Ya Nabi Muhammad’ SAW ! Saat itu juga aku melihat ia langsung dapat berjalan seperti orang yang terlepas dari belenggu “.
9. Tawassul dengan hanya menyebut nama Rasulallah saw. (2)
Imam Mujahid meriwayatkan hadits dari Abdullah bin ‘Abbas sebagai berikut :
“Seorang yang menderita penyakit kejang kaki datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. Kepadanya ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai !’ Orang itu lalu menyebut ; Wahai Nabi ‘Muhammad saw’.!
Seketika itu juga lenyaplah penyakitnya“. Ibnu Taimiyyah juga mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya Al-Kalimut-Thayyib bab 47 halaman 165.
10. Kisah Shahabat yang menyaksikan kisah No. 2, mengajarkan Tawassul ini Pada Masa Khalifah Utsman bin Adi Affan.
Kisah ini telah dijelaskan pada hadits-hadits pada point B diatas.
D. Allah menjadikan Penolong-penolong bagi Orang Beriman
Disamping itu, sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul/ istighotsah ialah, ijma’ kaum muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sezaman dengan Rasulallah saw.
Kaum muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka bertawassul kepada para nabi dan orang-orang sholeh (para waliyulloh). Tidak ada seorang ulama pun yang memprotes dan mengharamkan, mensyirikkan perbuatan ini, kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya Begitu pun juga halnya dengan permintaan tolong kepada hamba Allah, tidak langsung kepada Allah swt., itu adalah mustahab.
1. Allah swt. berfirman Surah At Tahriim ayat 4 :
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ (4
“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi SAW, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (Q.S. 66:4).
Apakah kita benar-benar menyekutukan sesuatu kepada Allah ketika kita percaya bahwa Malaikat Jibril as, orang beriman dan para malaikat yang juga bisa sebagai Maula (pelindung) kita dan Naseer (Penolong) bersama-sama dengan Allah ?.
Jika kita tetap memakai pengertian Syirik sebagaimana pendapat golongan wahabiyyun pengingkar, maka kita secara otomatis telah membuat Allah sendiri Musyrik (Na‘udzubillah) dan begitu pula dengan orang-orang yang percaya terhadap seluruh ayat Al-Quran. Dan masih banyak firman Allah swt. yang mengatakan selain Dia ada hamba-hamba-Nya yang bisa menolong.
1. Hadits Rasulallah saw.:
وَاللهُ فِى عَوْنِ العَبْدِ مَاكَانَ العَبْدُ فِى عَوْنِِ أخِيْهِ
Allah menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya”. (HR Muslim, Abu Daud dan lainnya.
2. Hadits :
إنَّ لِلَّهِ خلْـقًا خَلَقَهُمْ لِحَوَائِجِ النَّاسِ يَفْزَعُ النَّاسُ إلَيْهِمْ فِي حَوَائِجِهِمْ واُولاَئِـكَ الآمِنُوْنَ مِنْ عَذَابِ اللهِ
“Allah mempunyai makhluk yang diciptakan untuk keperluan orang banyak. Kepada mereka itu banyak orang yang minta pertolongan untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka adalah orang-orang yang selamat dari siksa Allah”.
3. Sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Abbas ra. mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda:
“Banyak Malaikat Allah dimuka bumi selain yang bertugas mengawasi amal perbuatan manusia. Mereka mencatat setiap lembar daun yang jatuh dari batangnya. Karena itu jika seorang diantara kalian tersesat ditengah sahara (atau tempat lainnya), hendaklah ia berseru: ‘Hai para hamba Allah tolonglah aku’ “.
(HR.At-Thabrani dengan para perawi yang terpercaya).
4. ‘Abdullah bin Mas’ud ra meriwayatkan, bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda :
“Jika seorang diantara kalian ternak piaraannya terlepas ditengah sahara, hendaklah ia berseru: ’Hai para hamba Allah, tahanlah ternakku…hai para hamba Allah tahanlah ternakku’. Karena sesungguhnya Allah mempunyai makhluk (selain manusia) dimuka bumi yang siap memberi pertolongan”.
(HR. Abu Ya’la dan At-Thabarani dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya, kecuali satu orang yang dipandang lemah yaitu Ma’ruf bin Hasan). Imam Nuruddin ‘Ali bin Abubakar Al-Haitsami juga mengetengahkan riwayat ini dalam Majma’uz-Zawaid Wa Manba’ul-Fuwa’id jilid X/132.
‘Utbah bin Ghazwan mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulallah saw. bersabda:
“Jika seorang dari kalian kehilangan sesuatu atau ia mem- butuhkan bantuan, saat ia berada didaerah dimana ia tidak mempunyai kenalan, maka ucapkanlah; ’Hai para hamba Allah, tolonglah aku’, karena sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba (makhluk-makhluk ciptaan-Nya selain manusia) yang tidak kita lihat”. Dan ‘Utbah sendiri telah mencoba melaksanakan anjuran Rasulallah saw. ini !.
Riwayat diatas ini diketengahkan oleh At-Thabarani dengan para perawi yang dapat dipercaya, kecuali Yazid bin ‘Ali yang oleh At-Thabarani di pandang lemah, karena Yazid ini tidak hidup sezaman dengan ‘Utbah. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain yang tidak kami cantumkan disini.
Hadits-hadits diatas ini juga menunjukkan permintaan tolong kepada hamba Allah yang tidak kelihatan (ghoib), tidak langsung minta tolong kepada Allah !.
Apakah orang yang minta pertolongan pada hamba Allah tidak langsung kepada Allah swt. disebut ‘musyrik atau durhaka’ ?
Jadi sekali lagi permintaan tolong/istighotsah itu bukan berarti berbuat ke kufuran apa pun kecuali jika disertai keyakinan sebab utama pertolongan bukan dari Allah swt. melainkan dari orang yang dimintai tolong itu sendiri. Kita harus mempunyai keyakinan bahwa orang yang mohon pertolongan itu adalah upaya/iktisab sedangkan yang dimintai pertolongan itu hanya sekedar washithah.
Begitupun juga soal minta syafa’at kepada Nabi atau kepada para waliyullah atau kepada orang shaleh yang telah wafat. Namun kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa Nabi, para waliyullah dan orang-orang shalih yang telah wafat tersebut dapat memberi syafa’at tanpa seizin Allah swt. Kaum muslimin juga percaya bahwa yang mohon syafa’at itu adalah ‘upaya/ iktisab’ sedangkan yang diminta syafa’at adalah ‘washithah’, tidak lebih dari itu !!
E. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab (Imamnya madzhab Wahabi) tidak mengingkari tawassul.
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab adalah orang yang sering menolak atau mengharamkan tawassul, tetapi anehnya atas pertanyaan yang diajukan kepadanya, menjawabnya dalam kitab Al-Istifta:
“Tidak ada salahnya orang bertawassul kepada orang-orang sholeh”. Lebih lanjut dia mengatakan, ‘bahwa pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang memperbolehkan tawassul khusus kepada Nabi Muhammad saw. saja, berlainan sekali dengan pendapat sementara orang yang tidak memperbolehkan minta pertolongan kepada sesama makhluk’.
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berpendapat, bahwa persoalan tersebut adalah persoalan Fiqh. Ia mengatakan:
‘Banyak ulama yang tidak menyukai hal itu (tawassul). Kalau kami sependapat dengan jumhurul-ulama yang memandang tawassul itu makruh, tidaklah berarti bahwa kami mengingkari atau melarang orang bertawassul. Kami pun tidak mempersalahkan orang yang melakukan ijtihad mengenai soal itu. Yang kami ingkari dan tidak dapat kami benarkan ialah orang yang lebih banyak minta (berdo’a) kepada sesama makhluk daripada mohon kepada Allah swt. Yang kami maksud ialah orang yang minta-minta kepada kuburan, seperti kuburan Syeikh Abdul Kadir Al-Jailani dan lain-lain. Kepada kuburan-kuburan itu mereka minta supaya diselamatkan dari bahaya, minta supaya dipenuhi keinginannya dan lain sebagainya’ “.
Demikianlah antara lain yang dikatakan oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dalam Majmu’atul-Muallafat bagian 111 halaman 68, yang diterbitkan oleh ‘Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud’ dalam pekan peringatan Muhammad Ibnu ‘Abdul-Wahhab.
F. Para Nabi Hakikatnya Hidup didalam Kuburnya.
Jelaslah bagi golongan yang mau berpikir, sekalipun Rasulallah saw. telah wafat namun ketinggian martabatnya, kemuliaan kedudukannya dan segala keutamaannya masih tetap disisi Allah swt. Dan pujian-pujian, tawassul serta salam pada beliau saw. selalu sampai kepadanya. Tidak lain semua itu dalam usaha mendekatkan diri pada Allah swt. pada hakekatnya berdasar- kan keyakinan akan kebenaran ayat-ayat Allah dan Sunnah Nabi saw.
Hadits yang dikemukakan oleh Al-Hafidz Ismail Al-Qadhi dalam kitabnya tentang shalawat kepada Nabi Muhammad saw. dan Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id dan menilainya sebagai hadits shohih sebagai berikut :
حَياَتيِ خَيْرُْ لَّكُمْ فَاِذَا أَنَامِتُّ كَانَتْ وَفَاتِى خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَىَّ أَعْمَالَكُم
فَاِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ الله وَأِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ
“Hidupku didunia ini baik untuk kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun baik bagi kalian. Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu baik, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu yang buruk aku mohon kan ampunan kepada-Nya bagi kalian”.
2. Juga sabda beliau saw. yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah ra :
مَا مِنْ اَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى أرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ.
“Setiap salam yang disampaikan kepadaku oleh seseorang, Allah akan menyampaikan kepada ruhku agar aku menjawab salam itu”.(HR.Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Dawud). Imam Nawawi mengatakan hadits ini isnadnya shohih.
3. ‘Ammar bin Yasir ra meriwayatkan, bahwasanya Rasulallah saw bersabda :
قاَلَ رَسُولُ اللهِ.صَ. اِنَّ اللهَ وَكَّلَ بِقَبْرِى َملَكاً أَعْطاَهُ اللهُ أَسْماَء الْخَلآِئقِ،
فَلآ يُصَلِّى عَلَىَّ اَحَدًا أِلىَ يَوْمِ الْقِياَمَةِ أِلآّ أَبْلَغَنِى بِاِسْمِهِ وَاسْمِ أَبِيْهِ،
هَذَا فُلآنُ اِبْنُ فُلآنُ قَدْ صَلَّى عَلَيْكَ
“Allah mewakilkan Malaikat didalam kuburku. Kepadanya Allah memberikan nama-nama seluruh umat manusia. Karena itu hingga hari kiamat kelak setiap orang yang mengucapkan shalawat kepadaku pasti akan disampaikan oleh Malaikat itu nama dan nama ayahnya: si Fulan bin si Fulan telah mengucapkan shalawat kepada anda”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazar. Dalam riwayat Abu Syaikh Ibnu Hibban disampaikan dalam kalimat agak berbeda tetapi sama maknanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Thabarani dan lain-lain.)
Dari semua hadits tersebut jelas buat kita bahwa Rasulallah saw. dialam barzakh senantiasa menjawab setiap salam yang disampaikan oleh ummat-nya kepada beliau saw. Salam artinya keselamatan, dengan demikian terang lah bahwa Rasulallah saw. selalu berdo’a keselamatan dan ampunan untuk ummatnya.
4. Anas Ra. Meriwayatkan hadits :
“Semua para nabi adalah hidup didalam kubur dan mereka melakukan shalat (HR. Imam Baihaqi dalam kitabnya Hayati Anbiya (Nabi-nabi hidup dalam kuburnya). Allamah Juga meriwayatkan hadits ini dari berbagai isnad.
5. Hadits Riwayat Muslim, Dari Anas ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
“Pada malam mi’raj, daku melewati Nabi Musa as. Dan melihatnya shalat didalam kuburnya.”
6. Hadits Riwayat Muslim, mengenai berjumpanya nabi Muhammad SAW dengan para Nabi pada waktu isra mi’raj.
Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Daku Nampak sendiri sekumpulan Nabi-nabi dan melihat Nabi Ibrahim As dan nabi Isa As. Sedang shalat di dalam keadaan berdiri”.
7. Imam Suyuti Rah. Juga menulis Kitab tentang Hidupnya para nabi di dalam kuburnya.
(KitabFadhilah Shalawat Syaikhul Hadits Maulana zakariyya Halaman 16).
G. Diantara dalil-dalil orang yang membantah serta jawabannya
Lebih mudahnya marilah kita baca sanggahan Imam Syaukani terhadap orang yang melarang Tawassul dengan makhluk atau sesama manusia dalam berdo’a memohon sesuatu kepada Allah swt., berikut ini:
Imam Syaukani dalam Ad-Durr An-Nadhiid Fi Ikhlashi Kalimatit Tauhid mengatakan :
“Syeikh ‘Izuddin Ibnu ‘Abdussalam telah menegaskan: ‘Tawassul yang diper- bolehkan dalam berdo’a kepada Allah hanyalah tawassul dengan Nabi Muhammad saw., itupun kalau hadits yang mengenai itu shohih’.
Asy-Syaukani selanjutnya berkata, mungkin hadits yang dimaksud oleh Syeikh ‘Izuddin ialah hadits mengenai soal tawassul yang dikemukakan oleh An-Nasai dalam Sunan-nya, At-Tirmudzi dan dipandang shohih olehnya oleh Ibnu Majah dan lain-lain, yaitu ‘sebuah hadits yang meriwayatkan adanya seorang buta datang menghadap Nabi Muhammad saw…’. (baca hadits ‘Utsman bin Hunaif yang telah kami kemukakan—pen). Mengenai soal itu ada dua pendapat:
Pendapat pertama:
Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina ‘Umar bin Khattab ra. (dalam shohih Al-Bukhori dll.), yaitu setelah Rasulallah saw. wafat, tiap musim gersang atau paceklik ia bersama kaum Muslimin berdo’a kepada Allah swt. mohon diturunkan hujan (istisqa) dengan bertawassul pada paman Nabi saw., yaitu ‘Abbas bin Abdul Mutthalib.
Pendapat kedua :
Bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperkenan- kan baik dikala beliau saw. masih hidup maupun setelah wafat, dihadapan beliau mau pun tidak sepengetahuan beliau saw. Mengenai tawassul dengan Rasulallah saw. dikala hidupnya, tidak ada perbedaan pendapat. Adapun mengenai tawassul dengan pribadi orang selain beliau saw. setelah beliau wafat, hal ini disepakati bulat oleh para sahabat Nabi secara diam-diam.
Tidak seorang pun dari para sahabat Nabi yang mengingkari atau tidak mem benarkan prakarsa Khalifah Umar ra. untuk bertawassul dengan paman Nabi saw. yaitu ‘Abbas ra.. Saya (Imam Syaukani) berpendapat: ‘bahwa tawassul diperkenankan tidak hanya khusus pada pribadi Rasulallah saw. sebagai- mana yang dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin. Mengenai soal itu ada dua alasan (dalil/hujjah).
Pertama:
Telah disepakati bulat oleh para sahabat Nabi saw, yaitu sebagai- mana dikatakan dalam hadits ‘Umar bin Khattab ra’.
Kedua:
Tawassul pada para ‘ahlul-fadhl’ (pribadi-pribadi utama dan mulia) dan para ahli ilmu (para ulama), pada hakekatnya adalah tawassul pada amal kebajikan mereka. Sebab, tidak mungkin dapat menjadi ‘ahlul-fadhl’ dan ‘ulama’, kalau mereka itu tidak cukup tinggi amal kebajikannya. Jadi kalau orang berdo’a kepada Allah swt. dengan mengucap:
‘Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bertawassul kepada orang alim yang bernama Fulan…., itu telah menunjukkan pengakuannya tentang kedalaman ilmu yang ada pada orang ‘alim yang dijadikan washilah. Hal ini dapat dipastikan kebenarannya berdasarkan sebuah hadits dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim tentang hikayat tiga orang dalam goa yang terhambat keluar karena longsornya batu besar hingga menutup rapat mulut goa. Mereka kemudian berdo’a dan masing-masing bertawassul dengan amal kebajikannya sendiri-sendiri. Pada akhirnya Allah mengabulkan do’a mereka dan terangkatlah batu besar yang menyumbat mulut goa.
Lebih jauh Asy-Syaukani mengatakan: ‘Kalau bertawassul dengan amal ke bajikan tidak diperkenankan atau merupakan perbuatan syirik, sebagai- mana dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin dan para pengikutnya; Tentu Rasul- Allah saw. tidak akan menceriterakan hikayat tersebut diatas, dan Allah tidak akan mengabulkan do’a mereka bertiga’.
1. Para penentang tawassul berhujjah:
(Tulisan yang di TEBALkan adalah tambahan dari penulis, bukan dari kitab asyaukani).
Nash-nash Al-Qur’an yang dijadikan hujjah/dalil untuk tidak membenarkan tawassul dengan para ahli takwa dan orang-orang sholeh seperti firman-firman Allah swt.:
“Kami tidak menyembah mereka (berhala-berhala) kecuali untuk men- dekatkan diri kami sedekatnya dengan Allah”.(Az-Zumar : 3)
َلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ اَحَدًا
“…Maka janganlah kalian berdo’a kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang”. (Al-Jin:18)
لَهُ دَعْوَةُ اْلحَقُّ وَالّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ لآيَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
“Hanya Allah lah (yang berhak mengabulkan) do’a yang benar. Apa-apa juga yang mereka seru selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun juga bagi mereka.” (Ar-Ra’ad : 14).
Jawaban :
Ayat-ayat diatas dan ayat-ayat lainnya tidak pada tempatnya dijadikan hujjah bagi persoalan itu. Bahkan ayat-ayat tersebut oleh mereka hanya dijadikan dalil untuk memperuncing perselisihan pandangan. Sebab, ayat-ayat suci tersebut pada hakekatnya adalah larangan menyekutukan Allah swt. Sedangkan soal tawassul sama sekali buka soal menyembah sesuatu selain Allah. Ayat-ayat tersebut ditujukan kepada mereka yang tidak berdo’a kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a hanya kepada Allah swt. tidak berdo’a kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah !.
2. Juga golongan wahabi pengingkar ini berhujjah/berdalil pada firman Allah swt. :
\
وَمَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْنِ ثُمَّ مَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْن يَوْمَ لآ تَمْلِكُ َنفْسُْ لِنَفْسٍ شَيئًا وَالأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
“Tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Yaitu hari pada saat seseorang tidak berdaya sedikitpun menolong orang lain; dan segala urusan pada hari itu berada di dalam kekuasaan Allah” (Al-Infithar:17-19).
Jawaban :
Ayat suci tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengingkari kebenaran tawassul, karena orang yang bertawassul dengan Nabi, ulama yang sholeh dan ahli taqwa, sama sekali tidak mempunyai pikiran atau keyakinan bahwa Nabi, ulama yang sholeh, ahli taqwa atau waliyullah yang mereka jadikan washilah, itu akan menjadi sekutu Allah atau menyaingi kekuasaan-Nya pada hari pembalasan ! Setiap muslim tahu benar bahwa keyakinan seperti itu adalah sesat.
3. Pihak-pihak yang melarang tawassul pada Nabi Muhammad saw. juga meng gunakan firman-firman Allah dibawah ini sebagai dalil:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِشَئُْ
“Tidak ada sedikitpun campur tanganmu (hai Muhammad) dalam urusan mereka (kaum musyrikin)”. (Ali Imran : 128).
Dan firman-Nya lagi : قُلْ لآ اََمْلِكُ لِنَفْسِى نَقْعًا وَلآ ضَرًّا
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan ke manfaatan bagi diriku, dan tidak pula berkuasa menolak kemadharatan”. (Al-A’raf : 188)
Jawaban :
Itu pun tidak pula pada tempatnya, karena Allah swt. telah mengaruniakan kedudukan (maqam) terpuji dan tertinggi kepada Rasulallah saw. yaitu kewenangan memberi syafa’at seizin Allah. Demikian pula pernyataan beliau saw. kepada kaum kerabatnya, beberapa saat setelah beliau menerima wahyu Ilahi, ‘dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat’ (Asy-Syu’ara : 214), yaitu: ‘Hai Fulan bin Fulan dan hai Fulanah binti Fulan, di hadapan Allah aku (Muhammad saw.) tidak dapat memberi pertolongan apa pun kepada kalian…!
Pernyataan Rasulallah saw. itu tidak berarti lain kecuali bahwa beliau tidak berdaya menangkal madharat/malapetaka yang telah dikenakan Allah kepada seseorang dan beliau saw. pun tidak berdaya menolak manfaat yang telah diberikan Allah swt. kepada seseorang, sekalipun orang itu kerabat beliau sendiri.
Pengertian itu tidak ada kaitannya dengan tawassul. Karena orang yang bertawassul tetap memanjatkan do’anya kepada Allah swt. Bertawassul kepada Rasulallah saw. dalam berdo’a tidak berarti lain kecuali mengharap- kan syafa’at beliau agar Allah swt. berkenan mengabulkan do’a dan per- mohonan yang diminta. Adapun soal terkabulnya suatu do’a atau tidak, sepenuhnya berada didalam kekuasaan Allah swt.”. Demikianlah garis besar pandangan Imam Asy-Syaukani mengenai soal tawassul.
ALFAATIHAH - MUJAHADAH !.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar
Ahmad Dimyathi Kesempatan baik tersebut dipakai oleh Mbah Yahi Madjid Qs wa Ra untuk menyiarkan Shalawat Wahidiyah kepda segenap hadirin.

“Nuwun sewu hadirin hadirot, kula gadah amalan Shalawat Wahidiyah. Punapa Panjenengan kersa kula ijazahi ?” (Mohon maaf, saya mempunyai amalan Shalawat Wahidiyah. Apakah Hadirin bersedia saya beri ijazah ?), tutur Mbah Yahi Madjid dalam sambutannya.

Spontan yang hadir menjawab “kerso” (bersedia). Di antara hadirin, ada yang berdiri dan ada yang setengah berdiri, seakan terpanggil dan tergugah dalam hatinya. Saat itu pula KH. Wahab Hasbullah spontan berdiri sambil mengacungkan tangannya dibarengi ucapan yang lantang: “Qobiltu awwalan. Qobiltu awwalan.” (Saya yang menerima pertama).

Sementara itu KH. Wahab Hasbullah dalam sambutannya, antara lain mengatakan, “Hadirin.. ilmunya Gus Madjid dalam sekali, ibaratnya sumur begitu, sedalam sepuluh meter. Sedang saya hanya memiliki ukuran satu koma dua meter saja. Sholawatnya Gus Madjid ini akan saya amalkan..”.

Setelah itu Mbah Yahi semkin giat dalam menyiarkan Shalawat Wahidiyah. Karena itulah Beliau mulai dijahui oleh kawan-kawannya di syuriah, karena ada beberapa yang merasa takut, kalau-kalau Shalawat Wahidiyah akan jadi saingan berat NU. Maka ketika beberapa ulama utusan Partai NU cabang Kediri bersama-sama silaturrahim kepada Beliau Mbah Madjid mohon penjelasan tentang Shalawat Wahidiyah, Beliau pun menjelaskannya dengan jawaban yang singkat dan tepat. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan di antaranya, “Sholawat Wahidiyah itu prinsipnya apa ? Dasar apa dan menurut qoul yang mana ?”

Dengan tegas, Beliau menjawab, “Sholawat Wahidiyah itu susunan saya sendiri”. Para tamu, kembali bertanya, “Apa benar, Kyai mengatakan kalau orang membaca Sholawat Wahidiyah itu sama dengan ibadah satu tahun ?”.

“Oh.. bukan begitu. Saya hanya mendapat alamat ghoib (pengalaman sepiritual/rohani), kalau membaca sholawat Allahumma kamaa anta ahluh… 1 kali saja itu nilainya sama dengan ibadah setahun. Begitu itu, ya tidak saya jadikan hukum. Ada lagi keterangan lain, orang membaca Sholawat Badawi sekali sama saja dengan khatam dalail sepuluh kali”, jawab Mbah Yahi Abdul Madjid QS wa RA dengan tegas dan berani.

Para tamu masih terus penasaran dan bertanya, “Apa benar Kyai, kalau tidak mengamalkan Shlawat Wahidiyah itu tidak bisa ma’rifat ? Itu kan namanya menjelek-jelekan thoriqoh. Menafikan thoriqoh ?”

“Bukan begitu. Masalah jalannya ma’rifat kepada Alloh itu banyak”, jawab Mbah Yahi. Mendengar jawaban Mbah Yahi Madjid yang tegas dan lugas tersebut, kemudian para tamu tidak bertanya kembali.

Suatu ketika Mbah Yahi Madjid Mualif Sholawat Wahidiyah memberikan penjelasan mengenai Sholawat Wahidiyah di dukuh Mayam Desa Kranding, Kec. Mojo, Kab. Kediri, di hadapan para kyai se-kecamatan Mojo Selatan, di antara yang hadir adalah Almaghfurllah KH. M. Djazuli Pengasuh Ponpes Al Falah Ploso, dalam khutbah iftitah-nya Beliau Mbah Yahi Madjid Muallif Sholawat Wahidiyah mengucapkan: “Alhamdulillaahi aataanaa bilwahidiyyati bi fadhli robbinaa..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar