YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
KISAH DAN PETUAH
KISAH DAN PETUAH
Catatan Kecil 127 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KETAHUI, RASAKAN DAN ALAMI DALAM PERJUANGAN WAHIDIYAH :
TAWASSUL / ISTIGHOTSAH - bahasan kelima (5);
Prilaku Salaf Saleh (Para Waliyulloh) Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah
Kita semua mengetahui bahwa para sahabat, tabiin dan tabiut at-tabiin adalah termasuk dalam golongan salaf soleh (Waliyulloh) dimana mereka hidup sangat dekat denga zaman penurunan risalah Islam yg dibawa Nabi Muhammad SAW.
Terkhusus para sahabat yang mendapat pengajaran langung dari Rasululloh SAW dimana setiap perkara yang tidak mereka pahami langsung mereka tanyakan dan langsung mendapat jawabannya dari baginda Rasululloh SAW. Salah satu dari sekian perkara yang menjadi bahan kajian kita kali ini adalah, bagaimana pemahaman para sahabat Nabi SAW berkaitan dengan konsep istighotsah / tawassul yang sesuai dengan petunjuk Rasululloh SAW.
Untuk mempersingkat waktu, di sini kita akan menunjukkan beberapa riwayat yang menjelaskan pemahaman Salaf Saleh – yang dalam hal ini mencakup para sahabat mulia Rasululloh SAW - berkaitan dengan konsep tersebut, dan parktik mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kita akan memberikan beberapa contoh aja disini seperti di bawah :
01- Dahulu Rasululloh SAW mengajarkan seseorang tentang tata cara memohon kepada Allah dengan lantas menyeru Nabi Muhammad SAW untuk bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah agar mengabulkan syafaatnya (Nabi SAW) dengan mengatakan:
“يا محمد يا رسول الله إني أتوسل بك إلي ربي في حاجتي لتُقضي لي اللهم فشفعه فيٍ”َ.
(Wahai Nabi Muhammad SAW, Wahai Rasululloh SAW ! Sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan untukku. Ya Allah, terimalah bantuannya padaku).
(Lihat: Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il” karya Ibnu Taimiyah 1/18)
Jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan lelaki di atas adalah lelaki muslim yang sezaman dan pernah hidup bersama Nabi Muhammad Rasululloh SAW, serta pernah belajar dari beliau, yang semua itu adalah memenuhi kriteria sahabat menurut ajaran Ahlusunnah wal Jamaah.
Mari kita teliti dan renungkan kata demi kata dari ajaran Rasululloh SAW terhadap salah seorang sahabat itu sewaktu beliau mengajarinya tata cara bertawassul melalui ‘diri’ Nabi Muhammad SAW sebagai Rasululloh, satu ‘kedudukan’ (jah) tertinggi di sisi Allah SWT.
Sengaja kita ambil rujukan dari Ibnu Taimiyah agar pengikut sekte Wahhaby - Wahabiyyun - Wahabi Dajjalis memahami dengan baik apa sinyal dibalik tujuan kami menukil dari kitab syeikh mereka itu, agar mereka dapat berpikir ulang dan tidak membabi buta.
02- Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah SWT melalui paman Rasul, Sayyid Abbas bin Abdul Mutthalib. Dalam bertawassul, khalifah Sayyidina Umar mengatakan :
“ا
للهم كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا و إنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا .
قال: فيسقون”
للهم كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا و إنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا .
قال: فيسقون”
(Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi-Mu kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka berilah kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan).
(Lihat: Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadis ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’).
Riwayat di atas memberikan pelajaran kepada kita bagaimana Khalifah Sayyidina Umar bin Khottob – sahabat dekat Rasul - melakukan hal yang pernah diajarkan Rasul kepada para sahabat mulia beliau.
Walaupun riwayat di atas menunjukkan bahwa Sayyidina Umar bin Khattab Ra bertawassul kepada manusia yang masih hidup, akan tetapi hal itu tidak berarti secara otomatis riwayat di atas dapat menjadi bukti bahwa bertawassul kepada yang telah mati adalah ‘haram’ (entah karena alasan syirik atau bid’ah), karena tidak ada konsekuensi di situ. La disinilah yg biasa diplintir n diplesetkan tuk beralasan bagi faham sekte wahabiyyah bahwa bertawasul kepada yg telah mati adalah haram, termasuk bertawassul kepada beliau Rosululloh SAW juga haram - itu pendapat mereka wahabiyyun dajjalis.
Di tambah lagi nanti terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa sebagian para sahabat – sesuai dengan pemahaman mereka dari apa yang diajarkan Rasululloh SAW - mereka para sahabat Nabi SAW juga melakukan tawassul kepada seseorang yang secara dzahir telah mati.
Yang jelas, riwayat di atas dengan benar dan tegas menjelaskan akan legalitas tawassul / istighitsah dan menyangkal keras dan tegas pendapat sebagian Wahhaby Dajjalis yang mengatakan bahwa bertawassul adalah perbuatan sis-sia dan bertentangan dengan ke-Mahamendengar-an dan Mahamengetahui-an Allah SWT.
Juga sekaligus menjelaskan legalitas tawassul melalui diri ( Sayyidina Abbas bin Abdul Mutthalib) dan kedudukan (sebagai paman Nabi manusia termulia) di hadapan Allah SWT.
03- Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani Ra dalam karyanya yang berjudul “Mishbah adz-Dzolam”;
Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw yang pernah mengisahkan :
“Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah SAW. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasululloh SAW dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata :
Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingat-mu. Dan telah turun
surat an Nisa’ ayat 64 :
surat an Nisa’ ayat 64 :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (٦٤
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Sungguh, sekiranya mereka setelah mendzalimi dirinya datang kepadamu (Nabi Muhammad SAW), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Penjelasannya :
WALAU ANNAHUM IDZ DZOLAMUU ANFUSAHUM
(Ketika mereka merasa diri-nya selalu dzolim, ketika mereka merasa banyak salah, ketika mereka merasa banyak perbuatan maksiat, ketika mereka merasa banyak dosa-nya, ketika mereka merasa gak bisa Istqoomah, selalu kembali ke perbuatan lamanya/jalan setan yg sesat/kemaksiyatan);
JAAUUKA
(namun mereka mau datang kepadamu, mereka mau sowan kepadamu, mereka mau menghadap kepadamu, mereka mau beraudensi kepadamu (Rosulullah SAW);
FASTAGHFAR-ALLOHA (di hadapan Rosulullah SAW mereka mau bertaubatan nasuha, memohon ampun kepada Alloh atas segala dosa-2nya, atas segala kedzoliman-nya, atas segala kemaksiatannya, atas segala kesalahannya, dengan penuh rasa inkisar wa iftiqor, merasa butuh sekali, nlongso merasa berlumuran dosa);
WASTAGHFAR LAHUMUR ROSUULU
(maka Rosulullah SAW ikut memohonkan ampun, ikut mendoakan kepada orang tersebut);
LAWWAJADUALLOHA TAUBATAN ROHIIMA
(maka pastilah mereka (yang mau datang menghadap (istihdhor) kepada-mu Rosul SAW tsb) akan diampuni taubatnya, akan diampuni segala dosanya).
-----
-----
Dan aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Lantas terdengar seruan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”.
(Lihat: Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361).
Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah SAW pasca wafat beliau adalah hal yang benar, legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah seperti yg dituduhkan sekte Wahaby Dajjalis, mereka berargumen karena dikitab-kitab mereka Wahaby kisah seperti tsb tidak ada tertulis. Bahkan mereka menuduh, dengan tuduhan jahat n keji bahwa kisah tersebut dibuat-buat dan palsu. Na'uudzubillah.
Bagaimana tidak ? Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul / istighotsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasululloh SAW - dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara - yang di tujukan kepada Rasululloh SAW yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw.
Dan khalifah Imam Ali Kw sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah SAW yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana Rasulullah SAW pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib KW :
– “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali”
(Lihat: Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321,
dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298)
dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298)
– “Ali bersama al-Quran dan al-Quran bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari kebangkitan”
(Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi 3/124).
– “Aku (Rasul) adalah kotanya ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa menghendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126).
– “Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan setelah (kematian)-ku” (Lihat: Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122).
Jika tawassul / istighotsah terhadap orang yang telah mati adalah syirik, haram atau bid’ah –sebagaimana yang diisukan n digembar gemborkan oleh kelompok sekte Wahhabyun - dan pada riwayat di atas disebutkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw – pemilik pujian-pujian Rasululloh SAW yang tertera dalam kitab-kitab Ahlusunnah tadi - yang menjadi saksi perbuatan si Badui muslim tadi -yang bertawassul di pusara Rasululloh SAW - lantas diam padahal beliau mampu untuk melarangnya jika itu tidak benar n legal (ghair syar’i) maka ada dua kemungkinan;
1- Sayyidina Ali Kw adalah sahabat yang tidak tahu apa-apa (bodoh) tentang hukum Islam, terkhusus masalah larangan bertawassul kepada orang yang telah meninggal. Dimana dari ungkapan pada poin ini juga meniscayakan bahwa, Rasululloh SAW telah berbohong kepada kita (umatnya), bahwa ternyata Sayyidina Ali Kw bukan pemilik keutamaan-keutamaan seperti hadis-hadis di atas. Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kemuliaan semacam itu lantas direkomendasikan oleh Rasululloh SAW yang al-Amin itu ?
2- Hadis-hadis pujian Rasululloh SAW terhadap pribadi Sayyidina Ali KW itu Haq/benar. Dan diamnya Sayyidina Ali Kw atas perbuatan si Badui tadi membuktikan bahwa bertawassul/istighotsah terhadap orang yang dzahirnya telah mati itu adalah benar n legal menurut syariat Islam, paling tidak yang dipahami Sayyidina Ali Kw sebagai pintu gerbang ilmu Rasululloh SAW, yang selalu bersama kebenaran, selalu bersama al-Quran dan yang diberi mandat Rasululloh SAW untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, pasca wafatnya Rasululloh SAW.
Tentu, bagi seorang ‘Ahlusunnah wal Jamaah sejati’, pasti ia akan memilih kemungkinan yang kedua. Karena kemungkinan yang pertama itu sangat berat resikonya di dunia maupun di akherat, terkhusus bagi pengaku Ahlusunnah wal Jamaah. Kecuali jika kita melakukan kebodohan sebagaimana apa yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama Wahhaby Dajjalis, mudah menvonis sebuah hadis yang tidak sesuai dengan doktrin akidahnya dengan vonis “hadis lemah” (dho’if) n Hadits Palsu, tanpa melakukan pengecekan secara mendalam n detail terlebih dahulu pada Kitab-2 lain. Yang hanya mereka fanatisme dengan beralasan dikitab-kitab mereka Wahaby Dajjalis tidak ada tulisan seperti itu. Mereka membabi buta n membeo aja.
04- Ad-Darami meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada Sayyidah Aisyah Ra (ummul Mukminin). Lantas Sayyidah Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi SAW ! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai sarana penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (sejahtera)”.
(Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56).
Jika riwayat sebelumnya berkaitan dengan ‘diam’ Sayyidina Ali Kw terhadap orang yang bertawassul kepada yang telah meninggal. Padahal kita tahu bahwa Sayyidina Ali Kw adalah sahabat dan menantu mulia Rasul. Kini berkaitan dengan ‘saran” istri Rasulullah SAW. Jika bertawassul/istighotsah terhadap orang yang telah mati adalah bid’ah atau syirik atau kafir, maka apakah mungkin istri Rasululloh SAW -seperti Ummulmukminin Sayyidah Aisyah Ra - tidak mengetahui hal itu, padahal ia selalu hidup bersama Rasululloh SAW yang selayaknya Rasul sebelum mendidik orang lain terlebih dahulu mendidik istri-istri dan anaknya terlebih dahulu. Jika istighotsah terhadap orang yang dzahirnya telah mati adalah bid’ah, syirik dan kafir – yang dibenci dalam Islam- lantas, apakah mungkin Rasululloh tidak megindahkan perintah Allah SWT untuk; “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” ? Apakah kaum pengikut sekte Wahhaby Dajjalis jauh lebih pintar dan lebih paham Islam daripada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin Sayyidah Aisyah Ra ? Silahkan direnungkan dengan hati dan kepala yang dingin dan berfikir ulang, koreksi diri Wahai Saudaraku Wahabiyyun, janganlah Anda suka bikin onar, bikin keributan, dengan mengkafirkan - membidahkan - memusyrikkan orang Islam yg tidak sefaham dengan Anda Wahaby Dajjalis dengan dalih apapun, seperti alasan amar ma'ruf nahi munkar dll. - uruslah di Anda sendiri ga perlu ngrecoki orang Islam yg berhaluan Ahli Sunnah Wal jama'ah sebenarnya !.
05- Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Dari riwayat Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Sayyidina Umar- yang berkata: Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang ke makam Nabi Muhammad SAW seraya berkata: Yaa Rasulallah mintakan hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa. Kemudian datanglah seseorang dimimpi tidurnya dan berkata kepadanya : Datangilah Umar ! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat.
(Lihat: Kitab “Fathul Bari” 2/577).
Riwayat di atas juga menguatkan bahwa beberapa di kalngan sahabat Nabi SAW kala itu sudah menjadi hal yang biasa jika seseorang memiliki hajat untuk bertawassul kepada Rasulullah SAW, walaupun yang secara dzahir telah meninggal dunia. Lantas apakah kaum sekte Wahaby Dajjalis masih bersikeras menyatakan bahwa Salaf Saleh tidak pernah mencontohkan perbuatan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ajaran syariat NabiAW ? Sekali lagi pertanyaan yang muncul, apakah kaum Wahaby Dajjalis berani menyatakan para sahabat besar itu sebagai pelaku syirik atau bid’ah atau kafir karena telah bertawassul kepada yang telah mati ???. Pertanyaan semacam ini belum pernah ada jawaban yang memuaskan dari kalangan pengikut sekte Wahhaby Dajjalis, karena mereka akan berbenturan dengan pemuka Salaf Saleh seperti sahabat-sahabat besar yang telah kami sebutkan di atas, termasuk Ummulmukminin Sayyidah Aisyah Ra, istri Nabi Muhammad SAW sendiri.
Guna mengakhiri kajian kali ini, kita akan memberikan satu contoh lagi dari riwayat (atsar) para sahabat berkaitan dengan kebenaran n legalitas syariat Islam terhadap permasalahan istighotsah / tawassul, terkhusus kepada pribadi yang dianggap secara dzohirnya telah mati/meninggal dunia.
06- Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah sayyidina Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasululloh SAW) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan Ra agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Sayyidina Usman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemudian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Sayyidina Usman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya : "Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi SAW) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah :
“ا
للهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجت
ي…”
للهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجت
ي…”
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Nabi Muhammad SAW yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Nabu Muhammad SAW, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku)
Lantas sebutkanlah hajatmu.......... !. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lantas ia kembali mendatangi pintu rumah Sayyidina Usman. Sayyidina Usmanpun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata : Apakah gerangan hajatmu ?
Lantas ia menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun segera memenuhinya. Lantas ia berkata kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja. Ia pun kembali mengatakan : "Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku) !
Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Sayyidina Usman bin Affan dan kembali bertemu Sayyid Usman bin Hunaif seraya berkata : "Semoga Allah membalas kebaikanmu !
Dia ( Sayyidina Usman bin Affan Ra) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif berkata : "Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat (Rukyah Sholihah) bahwa beliau Rasulullah SAW didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit ".
(Tulisan ini mengisaratkan pada hadis tentang sahabat yang mendatangi Rasululloh SAW karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi SAW bersabda kepadanya :
Bersabarlah ! Lelaki itu menjawab : Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda :
Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa berikut…. berkata Ibnu Hunaif : "Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit.
(Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini sahih).
Lihat hadis di atas, bagaimana sahabat Sayyidina Usman bin Hunaif memahami ajaran Rasul yang mengajarkan diperbolehkannya tawassul kepada Rasululloh SAW pada masa hidupnya namun ia juga terapkan pada pasca kematian beliau Rosululloh SAW. Apakah pemahaman sahabat Usman bin Hunaif itu tidak bisa dibenarkan ? Sebodoh-bodohnya itukah sahabat Usman bin Hunaif yang menerapkan hadis Rasululloh SAW tentang tawassul kepada yang masih hidup dengan legalitas tawassul kepada yang meninggal dunia/ mati ?
Jika ada pengikut sekte Wahhaby Dajjalis yang berani menyatakan bahwa sahabat Usman bin Hunaif adalah bodoh maka jangan segan-segan juga untuk menyatakan bahwa khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin pun bodoh, sebagaimana banyak sahabat lainnya. Kenapa tidak ? Bukankah mereka semua membenarkan ajaran tawassul / istighotsah kepada Rasul yang telah mati ? Atau selama ini pemahaman Wahhaby Dajjalis yang salah bahwa Nabi tidak ‘mati’, dzahirnya saja ‘mati’,tetapi beliau selalu hidup dan mendengar setiap permintaan yang diajukan umatnya kepada beliau, sebagai sarana (wasilah) menuju Allah SWT.
Yang sangat mengherankan sekali adalah, Nashiruddin al-Bani (konon Ahli Hadis kalangan Wahabi Dajjalis) dalam karyanya yang berjudul “at-Tawassul” yang tidak lagi dapat meragukan kesahihan riwayat di atas (sebagaimana yang dinyatakan sahih oleh at-Tabrani)
ternyata jiwa kewahabiannya terlalu kental membabi buta - sehingga virus fanatisme wahabinya sangat kuat membikin dia keras kepala, keras hati, keras membatu dan jumud – bodoh dan tolol dan tidak berani menolak fatwa pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah yang sesat itu. Seakan fatwa kedua orang itu adalah wahyu Alloh yang datang dari langit yang tidak boleh diganggu-gugat sama sekali. Absolut dan pasti benarnya. Padahal kejelasan dalil sudah nyata n terang benderang baginya. Tapi seolah matanya lahir batin buta ga mau melihat kebenaran sejati, telinganya tuli ga mau mendengarkan lg !.
ternyata jiwa kewahabiannya terlalu kental membabi buta - sehingga virus fanatisme wahabinya sangat kuat membikin dia keras kepala, keras hati, keras membatu dan jumud – bodoh dan tolol dan tidak berani menolak fatwa pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah yang sesat itu. Seakan fatwa kedua orang itu adalah wahyu Alloh yang datang dari langit yang tidak boleh diganggu-gugat sama sekali. Absolut dan pasti benarnya. Padahal kejelasan dalil sudah nyata n terang benderang baginya. Tapi seolah matanya lahir batin buta ga mau melihat kebenaran sejati, telinganya tuli ga mau mendengarkan lg !.
Keangkuhan, kesombongan - kejumudan-nya dalam menghadapi kenyataan (baca: kebenaran) semacam inilah yang ternyata juga masih diikuti oleh para pengikut Wahhabi Dajjalis di dunia ini, tidak terkecuali di Tanah Air Indonesia.
Padahal, riwayat sahabat Usman bin Hunaif – yang menjadi kepercayaan sahabat Sayyidina Ali Kw dan Sayyidina Umar bin Khottob Ra.
(Lihat: Kitab “Siar A’lam an-Nubala’” 2/320) - sebegitu jelasnya, terang benderangnya, sebagaimana keberadaan matahari di siang hari yang cerah. Memang benar firman Allah SWT yang menyatakan bahwa, kita tidak akan dapat memberi petunjuk kepada kaum yang telah tersesat, dan hanya Allah akan menambah kesesatan mereka.
Bagaimana mungkin ajaran sekte (Wahabisme) Dajjalis yang bertumpu pada pengingkaran hakekat itu akan mengaku sebagai pemurnian ajaran Islam ? Ajaran n faham Wahabisme Dajjalis Itu bohong semua, hanya kedok belaka. Namun, bagaimanapun, kebenaran harus disampaikan, karena tugas kita hanyalah menyampaikan kebenaran yang sesungguhnya.
Ini semua adalah beberapa contoh dari riwayat-riwayat yang dapat kita kemukakan pada kesempatan kali ini. Tentu masih banyak riwayat lain yang tidak akan mungin kita sebutkan di sini, untuk mempersingkat waktu dan tempat. Yang jelas, Salaf Saleh telah memberikan contoh kepada kita tentang pemahaman mereka terhadap ajaran Islam yang murni - yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Rasul - terhadap legalitas tawassul / istighotsah terhadap para kekasih Ilahi wa robbii, walaupun pasca kematian dzahir mereka.
Bersambung….....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar