YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
KISAH DAN PETUAH
KISAH DAN PETUAH
Catatan Kecil 124 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KETAHUI, RASAKAN DAN ALAMI DALAM PERJUANGAN WAHIDIYAH :
TAWASSUL / ISTIGHOTSAH - bahasan ketiga (3);
Ayat-Ayat al-Quran tentang Obyek Tawassul / Istighotsah
Dalam al-Quran, Allah SWT telah menekankan kepada ummat Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan tawassul, dan Ia telah mengizinkan mereka untuk melakukan tawassul dengan berbagai jenis dan bentuknya. Ini semua menjadi bukti bahwa tawassul sama sekali tidak bertentangan dengan konsep kesempurnaan Ilahi, termasuk dengan ke-Maha Mendengar-an dan ke-Maha Mengetahui-an Allah terhadap doa hamba-hamba-Nya, apalagi dengan kesia-siaan perbuatan tawassul.
Di sini, kita akan sebutkan secara ringkas beberapa bentuk tawassul yang dilegalkan menurut al-Quran;
1- Tawassul dengan Nama-Nama Agung Allah
Allah SWT berfirman :
و لله الأسماء الحسنى فادعوه بها وذرواالذين يلحدون في أسمئه سيجزون ما كانوا يعملون
“Hanya milik Allah Asma-ul Husna (nama-nama yang agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama baik itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (Surah al-A‘raf :ayat 180)“
Ayat di atas dalam rangka menjelaskan tentang kebaikan nama-nama Allah tanpa ada perbedaan dari nama-nama itu. Dan melalui nama-nama penuh berkah itulah kita diperkenankan untuk berdoa kepada Allah. Tentu nama Allah bukan Dzat Allah sendiri. Akan tetapi melalui nama-nama Allah yang memiliki kandungan sifat keindahan, rahmat, ampunan dan keagungan itulah kita disuruh memohon kepada Dzat Allah SWT, obyek utama doa, untuk pengkabulan segala hajat dan pengampunan dosa.
MAKA DLM SHOLAWAT WAHIDIYAH DIAWALI DENGAN MENYEBUT NAMA-NAMA AGUNG ALLAH SWT : "ALLOHUMMA YAA WAAHIDU YAA AHAD, YAA WAAJIDU YAA JAWAAD.....DST..."
2- Tawassul melalui Amal Saleh
Amal saleh merupakan salah satu jenis sarana (wasilah) yang dilegalkan oleh Allah SWT. Amal saleh juga bukan Dzat Allah itu sendiri, namun Allah membolehkan kita mengambil sarana darinya untuk memohon sesuatu kepada Dzat Allah SWT.
Melalui sarana tersebut seorang hamba akan didengar semua keinginannya oleh Allah. Ketika tawassul berarti;
“Mempersembahkan (menyodorkan) sesuatu kepada Allah demi untuk mendapat Ridho-Nya” maka tanpa diragukan lagi bahwa amal saleh adalah salah satu dari sekian sarana yang baik untuk mendapat ridho Ilahi.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS ketika pertama kali membangun Ka’bah. Allah dalam al-Quran berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Nabi Ibrahim As meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Nabi Ismail As (seraya berdoa):
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ. رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 127-128)
Ayat di atas menjelaskan bagaimana hubungan antara Amal Saleh (pembangunan Ka’bah) dengan keinginan Nabi Ibrahim al-Khalil agar Allah menjadikan dirinya, anak-cucunya sebagai muslim sejati dan agar Allah menerima taubatnya.
3- Tawassul melalui Doa Rasul
Allah SWT dalam al-Quran (dalam banyak ayat) menyebutkan betapa agung kedudukan para Nabi dan Rasul di sisi-Nya. Allah SWT juga menekankan bahwa mereka adalah manusia-manusia khusus yang berbeda secara kualitas maupun kuantatitas bobot penciptaan yang mereka miliki dibanding manusia biasa, apalagi berkaitan dengan pribadi agung Nabi Muhammad bin Abdillah SAW sebagai penghulu para Nabi dan Rasul. Atas dasar itu, jika kita lihat, dalam masalah seruan (panggilan) saja –yang nampaknya remeh- para manusia diperintah untuk TIDAK menyamakannya dengan seruan terhadap manusia biasa lainnya. Allah SWT berfirman :
لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٦٣
63. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul (Nabi Muhammad SAW) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)[45]. Sungguh, Allah mengetahui orang-orang yang keluar (secara sembunyi-sembunyi) di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya)[46], maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya[47] takut akan mendapat cobaan[48] atau ditimpa azab yang pedih. (QS an-Nur: 63)
Penjelasan ayat tsb :
[45] Maksudnya adalah jangan memanggil Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti memanggil antara sesama, misalnya memanggil Beliau dengan mengatakan, “Wahai Muhammad,” tetapi katakanlah, “Wahai Nabiyullah,” atau “Wahai Rasulullah,” dengan ucapan yang lembut dan tawadhu’ dan dengan merendahkan suara. Qatadah berkata, “Allah memerintahkan agar Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam disegani, dimuliakan, dibesarkan dan dituakan.
”Bisa juga maksud ayat ini adalah, tidak menjadikan panggilan (seruan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti seruan antara sesama kita yang bisa dipenuhi dan bisa tidak. Oleh kaena itu, apabila Beliau memanbggil kita, maka kita wajib mendatangi bahkan meskipun kita sedang shalat sunat.
[46] Misalnya dengan keluar dari masjid diam-diam disangkanya tidak ada yang tahu, padahal Allah mengetahui mereka dan akan memberikan balasan yang setimpal. Oleh karena itulah, pada lanjutan ayatnya Dia mengancam mereka.
[47] Dengan pergi diam-diam (tanpa menampakkan dirinya) dan meminta izin karena ada urusan atau bahkan tidak ada urusan sama sekali, tetapi hanya mengikuti hawa nafsunya saja.
-----
Bahkan dalam kesempatan lain Allah SWT juga menjelaskan, betapa manusia agung Rosululloh SAW pemilik kedudukan (jah) tinggi di sisi Allah SWT itu telah mampu menjadi pengaman bagi penghuni bumi ini dari berbagai bencana. Allah SWT berfirman :
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (٣٣
33.[13] Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka[14]. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan[15].
Penjelasan Ayat tsb :
[13] Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: Abu Jahal berkata, “Ya Allah, jika (Al Quran) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.” Maka turunlah ayat, “Wa maa kaanallahu liyu’adzdzibahum wa anta fiihim…dst sampai wa hum yashudduuna ‘anil masjidil haraam…dst.” Lihat surat Al Anfaal: 33-34.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa kaum musyrik melakukan thawaf di Baitullah dan berkata, “Labbaika laa syariika lah, labbaik.” (artinya: Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu), lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, sungguh.” Kemudian mereka berkata, “Laa syariika lak illaa syariikun huwa laka tamlikuhu wa maa malak.” (artinya:
Tidak ada sekutu bagi-Mu, selain sekutu yang Engkau memilikinya dan ia miliki), dan berkata, “Ghufraanak, ghufraanak” (Ampunan-Mu ya Allah, kami minta), maka Allah menurunkan ayat, “Wa maa kaanalllahu liyu’adzdzibahum wa anta fiihim wa maa kaanallahu liyu’adzdzibahum wa hum yastaghfiruun.” Ibnu Abas berkata, “Pada mereka ada dua keamanan; nabi Allah dan istighfar. Namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah pergi dan masih ada istighfar,” (Allah berfirman), “Mengapa Allah tidak menghukum mereka padahal mereka menghalang-halangi orang untuk (mendatangi) Masjidilharam dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya?
Orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa.” Ibnu Abbas berkata, “Ini adalah azab akhirat.” Ia juga berkata, “Sedangkan yang tadi adalah azab dunia.”
(Hadits ini hasan, disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim juz 3 hal. 241).
Bisa saja ayat di atas turun berkenaan sebab pertama atau kedua atau secara bersamaan karena kedua sebab itu, wallahu a’lam.
[14] Hal itu, karena azab apabila turun maka akan merata, dan suatu umat tidaklah diazab kecuali setelah nabinya dan kaum mukmin keluar daripadanya.
[15] Yakni dalam ucapan mereka ketika thawaf, “Ghufraanak, Ghufraanak” (artinya Ampunan-Mu yang Allah kami minta). Ada pula yang menafsirkan bahwa yang memohon ampunan itu adalah orang-orang mukmin yang tertindas. Dan ada pula yang berpendapat, bahwa setelah mereka mengucapkan kata-kata itu di hadapan banyak orang, mereka menyadari keburukannya, mereka takut kalau azab itu menimpa mereka sehingga mereka beristighfar, wallahu a’lam.
----
Bahkan dalam banyak kesempatan (ayat), Allah SWT menyandingkan nama-Nya dengan nama Rasulullah SAW dan menyatakan bahwa perbuatan keduanya dinyatakan sebagai berasal dari sumber yang satu. Ini sebagai bukti, betapa tinngi, agung dan mulianya sosok Nabi Muhammad SAW di mata Allah SWT.
Sebagai contoh, apa yang dinyatakan Allah SWT dalam al-Quran yang berbunyi :
يَعْتَذِرُونَ إِلَيْكُمْ إِذَا رَجَعْتُمْ إِلَيْهِمْ قُلْ لا تَعْتَذِرُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكُمْ قَدْ نَبَّأَنَا اللَّهُ مِنْ أَخْبَارِكُمْ وَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (٩٤
94.[1] Mereka (orang-orang munafik yang tidak ikut berperang) akan mengemukakan alasannya kepadamu, ketika kamu telah kembali kepada mereka. Katakanlah (Nabi Muhammad SAW), "Janganlah kamu mengemukakan alasan; kami tidak percaya lagi kepadamu, sungguh, Allah telah memberitahukan kepada Kami tentang beritamu[2]. Dan Allah akan melihat pekerjaanmu[3], (demikian pula) Rasul-Nya kemudian kamu dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan[4];
Penjelasan Ayat tsb :
[1] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan tentang sikap kaum munafik yang tidak mau berperang dengan mengemukakan udzur yang sebenarnya tidak dapat diterima, maka di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan bahwa mereka akan datang mengemukakan udzur setelah Beliau pulang dari perang.
[2] Dan berita yang disampaikan-Nya adalah berita yang paling benar.
[3] Apakah setelahnya kamu akan berhenti dari perbuatan buruk yang kamu lakukan atau tetap terus? Dan Pekerjaan atau perbuatan merupakan ukuran benar-tidaknya kata-kata yang diucapkannya.
[4] Oleh karena itu, Dia akan memberikan balasan terhadapnya tanpa menzalimi sedikit pun.
-----------
-----------
Atau ayat yang berbunyi :
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا وَمَا نَقَمُوا إِلا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ فِي الأرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
74.[32] Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti Muhammad). Sungguh, mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran[33], dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya[34]; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka[35]. Maka jika mereka bertobat[36], itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia[37] dan akhirat[38]; dan mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di bumi.
(QS at-Taubah: 74)
(QS at-Taubah: 74)
Penjelasan Ayat tsb :
[32] Ibnu Jarir berkata: telah menceritakan kepadaku Ayyub bin Ishaq bin Ibrahim, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Rajaa’, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Israil dari Simak dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah duduk di bawah naungan sebuah pohon dan bersabda, “Sesungguhnya akan datang kepada kalian seseorang yang memandang dengan kedua mata setan. Apabila dia datang, maka janganlah berbicara dengannya.” Tidak lama kemudian datanglah seorang laki-laki yang nampak biru, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda, “Atas dasar apa kamu dan kawan-kawanmu memakiku?” Maka orang itu pun pergi dan kembali dengan membawa kawan-kawannya. Mereka pun bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengucapkannya dan tidak melakukannya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memaafkan mereka. Alah Subhaanahu wa Ta'aala lantas menurunkan ayat, “Yahlifuuna billahi maa qaaluu…dst.” kemudian menyifai mereka semua sampai akhir ayat.
Dalam Ash Shahihul Musnad oleh Syaikh Muqbil disebutkan, “Ayyub bin Ishaq bin Ibrahim bin Safiri adalah guru At Thabari. Ibnu Abi Hatim berkata, “Kami mencatat tentangnya ketika di Ramalah, dan saya sebutkan kepada bapak saya, lantas ia mengenalinya dan berkata, “Ia seorang yang sangat jujur.” Sedangkan Abdullah bin Raja’ Abu ‘Amr, Abu Zur’ah berkata, “Hasan haditsnya dari Israil,” Abu Hatim berkata, “Tsiqah”, dan Ya’qub bin Sufyan berkata, “Tsiqah.”
[33] Seperti perkataan mereka, “Sungguh, orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah.” Orang-orang yang lemah yang mereka maksud adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Demikian pula olok-olokkan mereka kepada Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya.
[34] Maksudnya mereka ingin membunuh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sepulang dari Tabuk. Jumlah mereka ketika itu dua belas orang. Mereka mencoba membunuh Beliau pada malam ‘Aqabah ketika Beliau pulang dari Tabuk, di mana ketika itu, Beliau melewati ‘aqabah (jalan di atas bukit), sedangkan para sahabat yang lain melewati jalan lembah. Ketika itu, ‘Ammar bin Yasir dan Hudzaifah bin Al Yaman bersama Beliau memegang unta Beliau dan mengarahkannya. Tiba-tiba mereka mendengar serangan orang-orang yang meutup muka dari belakang, maka Beliau mengirim Hudzaifah, kemudian Hudzaifah memukul muka unta-unta mereka dengan tongkatnya, maka Allah menaruh rasa takut ke dalam hati mereka dan mereka pun lari ketakutan. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan nama-nama mereka itu dan maksud mereka melakukan hal itu kepada Hudzaifah, oleh karenanya Hudzaifah disebut shaahib sir (orang yang mendapat rahasia) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
[35] Sungguh aneh, mengapa mereka mencela Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam; orang yang menjadi sebab keluarnya mereka dari kebodohan kepada cahaya, menjadikan mereka kaya setelah sebelumnya miskin. Bukankah seharusnya orang yang berjasa kepada mereka dimuliakan, dipercayai dan dihormati; tidak dicela, dan pantaskah air susu dibalas dengan air tuba?
[36] Dari kemunafikan dan beriman kepadamu. Di ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menawarkan mereka untuk bertobat meskipun mereka telah melakukan perbuatan yang demikian buruk.
[37] Dengan mendapatkan kesedihan, kegelisahan dan kekecewaan karena menangnya agama Allah dan apa yang mereka harapkan tidak tercapai.
[38] Dengan dimasukkan ke dalam neraka.
-----
Dan masih banyak ayat lainnya yang menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW adalah makhluk termulia dan memiliki kedudukan khusus di sisi Khaliknya.
Jika kita telah mengetahui kedudukan tinggi Rasul semacam ini maka kita akan mendapat kepastian (tentu dengan berdasar dalil) bahwa permohonan doa –tentu doa yang baik- dengan menjadikan Rasul sebagai sarana (wasilah) niscaya Allah SWT akan enggan menolak permintaan kita dengan membawa nama kekasih-Nya tersebut.
Dengan menyebut nama Rasulullah Nabi Muhammad bin Abdullah SAW maka kita telah menyeru Allah SWT dengan berpegangan terhadap tonggak yang sangat kokoh yang tidak akan tergoyahkan.
Atas dasar itu, Allah SWT memerintahkan kepada para pelaku dosa dari kaum muslimin untuk berpegangan dengan tonngak yang tak tergoyahkan tersebut (hakekat Muhammad Rasulullah SAW) dan meminta pengampunan di setiap majlis mereka, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Karena melalui permohonan ampun melalui hakekat pribadi Nabi Muhammad SAW adalah kunci dari penyebab turunnya rahmat, pengampunan dan ridho Allah SWT.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman surat an Nisa’ ayat 64 :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (٦٤
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Sungguh, sekiranya mereka setelah mendzalimi dirinya datang kepadamu (Nabi Muhammad SAW), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Penjelasannya SURAT AN-NISA' AYAT 64 :
WALAU ANNAHUM IDZ DZOLAMUU ANFUSAHUM
(Ketika mereka merasa diri-nya selalu dzolim, ketika mereka merasa banyak salah, ketika mereka merasa banyak perbuatan maksiat, ketika mereka merasa banyak dosa-nya, ketika mereka merasa gak bisa Istqoomah, selalu kembali ke perbuatan lamanya/jalan setan yg sesat/kemaksiyatan);
JAAUUKA
(namun mereka mau datang kepadamu, mereka mau sowan kepadamu, mereka mau menghadap kepadamu, mereka mau beraudensi kepadamu (Rosulullah SAW);
FASTAGHFAR-ALLOHA (di hadapan Rosulullah SAW mereka mau bertaubatan nasuha, memohon ampun kepada Alloh atas segala dosa-2nya, atas segala kedzoliman-nya, atas segala kemaksiatannya, atas segala kesalahannya, dengan penuh rasa inkisar wa iftiqor, merasa butuh sekali, nlongso merasa berlumuran dosa);
WASTAGHFAR LAHUMUR ROSUULU
(maka Rosulullah SAW ikut memohonkan ampun, ikut mendoakan kepada orang tersebut);
LAWWAJADUALLOHA TAUBATAN ROHIIMA
(maka pastilah mereka (yang mau datang menghadap (istihdhor) kepada-mu Rosul SAW tsb) akan diampuni taubatnya, akan diampuni segala dosanya).
-----
-----
Ayat tadi dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti firman Allah SWT :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا يَسْتَغْفِرْ لَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ لَوَّوْا رُءُوسَهُمْ وَرَأَيْتَهُمْ يَصُدُّونَ وَهُمْ مُسْتَكْبِرُونَ (٥
5. Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang munafik), “Marilah (beriman), agar Rasulullah memohonkan ampunan bagimu[18].” Mereka membuang muka[19] dan engkau melihat mereka berpaling[20] menyombongkan diri[21].
(QS al-Munafiqqun: 5).
(QS al-Munafiqqun: 5).
Penjelasan Ayat tsb :
[18] Terhadap hal yang terjadi padamu agar keadaanmu menjadi baik dan amalmu diterima.
[19] Mereka menolak meminta doa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
[20] Dari kebenaran sambil membencinya.
[21] Inilah keadaan mereka ketika diajak meminta doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan hal ini termasuk kelembutan Allah dan karamah(kemuliaan)-Nya kepada Rasul-Nya yaitu mereka (kaum munafik) tidak mau datang kepada Beliau agar Beliau memintakan ampunan untuk mereka, dan sama saja bagi mereka baik Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memintakan ampunan untuk mereka atau tidak, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak akan mengampuni mereka karena mereka adalah orang-orang yang fasik; yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Oleh karena itu, istighfar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah bermanfaat bagi mereka meskipun melakukan istighfar untuk mereka sebanyak tujuh puluh kali (lihat At Taubah: 80).
----------
----------
Semua itu sebagai sedikit bukti bahwa Rasulullah SAW memiliki kedudukan, kemualiaan dan keagungan di mata Allah SWT, Pencipta dan Penguasa alam semesta.
Hakekat tersembunyi dari pribadi agung Nabi Muhammad SAW semacam ini hanya akan bisa dipahami dan diyakini dengan baik oleh pribadi-pribadi yang mengenal betul siapakah gerangan Nabi Muhammad bin Abdillah SAW tadi.
Bagi orang yang belum mengenal diri baginda Rasul niscaya ia akan meragukannya, karena masih mengaggap Rasul sebagai manusia biasa, selayaknya manusia biasa lainnya.
Anggapan kerdil semacam inilah yang menyebabkan beberapa pengikut sekte Wahaby terjerumus ke lembah penyesatan kelompok lain yang mengetahui rahasia keagungan Rasul sewaktu mereka memuji Rasulullah SAW dengan pujian-pujian yang bersumber dari al-Quran dan Hadis sahih, baik pujian yang terjelma dalam kitab-kitab maulid maupun kitab-kitab ratib. Rahasia hakekat Nabi Muhammad SAW – dan nabi-nabi lain- ini pulalah yang akan kita jadikan dalil “Legalitas Tawassul kepada Pribadi Agung yang secara Zahir telah Meninggal”, pada kesempatan mendatang.
4- Tawassul melalui Doa Saudara Mukmin
Salah satu sarana lain yang disinggung oleh Allah SWT dalam al-Quran adalah, doa saudara mukmin.
Dalam al-Quran, Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٠
10. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa[36], "Ya Tuhan Kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami[37], dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS al-Hasyr: 10)
Penjelasan Ayat tsb :
[36] Untuk diri mereka dan seluruh kaum mukmin. Doa ini mengena kepada seluruh kaum mukmin yang terdahulu dari kalangan para sahabat, sebelum mereka dan setelah mereka. Hal ini termasuk keutamaan iman, dimana kaum mukmin dapat memperoleh manfaat dari keimanan sebagian mereka dari sebagian yang lain dan doa dari sebagian mereka kepada sebagian yang lain karena ikut serta dalam keimanan yang menghendaki untuk mengikat persaudaraan antara kaum mukmin, dimana di antara cabangnya adalah satu sama lain saling mendoakan dan saling mencintai. Oleh karena itulah, dalam doa ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan penafian ghil (dengki dan dendam) baik sedikit maupun banyak, dimana apabila ghil itu tidak ada, maka akan tetap kebalikannya, yaitu kecintaan antara kaum mukmin, saling berwala (membela), menasihati dan lain sebagainya yang termasuk hak orang-orang mukmin.
[37] Dalam ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyifati generasi setelah sahabat dengan iman, karena ucapan mereka, “Yang telah beriman lebih dahulu dari kami” menunjukkan keikutsertaan mereka dengan keimanan, dan bahwa mereka mereka mengikuti para sahabat dalam beraqidah dan dalam beragama. Mereka ini adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga menyifati mereka dengan mengakui dosa dan beristighfar darinya serta permohonan ampun mereka untuk saudara mereka, usaha mereka untuk menghilangkan rada iri dan dendam dari hati mereka terhadap saudara mereka kaum mukmin karena doa tersebut menghendaki demikian, dan agar mereka mencintai saudara mereka sebagaimana mereka mencintai diri mereka, bersikap tulus kepada mereka di waktu hadir maupun di waktu tidak hadir, di masa hidup maupun setelah mati. Ayat ini juga menunjukkan bahwa hal itu termasuk hak-hak kaum mukmin yang satu dengan yang lain. Selanjutnya mereka tutup doa mereka dengan dua nama Allah Yang Mulia yang menunjukkan sempurnanya rahmat Allah, sangat sayang, serta berbuat ihsan kepada mereka yang di antaranya adalah dengan memberi mereka taufiq untuk memenuhi hak Allah dan hak-hak hamba-Nya.
----------
----------
Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum mukmin yang datang terakhir telah mendoakan untuk mendapat pengampunan bagi kaum mukmin yang terdahulu. Ayat ini selain membuktikan bahwa doa kepada orang terdahulu sangat ditekankan oleh Islam, juga bisa menjadi bukti global bahwa memberi hadiah doa kepada yang telah mati –walau bukan anak serta famili (kerabat)- akan dapat sampai dan bermanfaat buat sang mayit di alam sana.
5- Tawassul melalui Diri Para Nabi dan Hamba Saleh
Bagian dari tawassul ini berbeda dengan bagian sebelumnya (lihat no 3). Jika pada kesempatan yang lalu disebutkan mengenai tawassul melalui doa Nabi maka pada kesempatan kali ini kita diberitahukan tentang tawassul kepada diri dan pribadi Nabi agar menjadi sarana pengkabulan doa, karena mereka memiliki kedudukan (jah) di sisi Allah SWT.
Sebagai contoh apa yang dilakukan nabi Ayyub As dengan baju bekas dipakai (melekat di badan) oleh Yusuf sebagai sarana (wasilah) kesembuhannya dari kebutaan, berkat izin Allah SWT. Jelas sekali perbedaan antara tawassul melalui doa Nabi, dengan tawassul melalui diri Nabi.
Jadi, di sini kita diberitahukan tentang legalitas tawassul kepada Allah melalui keutamaan (fadhilah), kedudukan (jah), kemuliaan (karamah) dan keagungan (adzamah) pribadi Nabi/Rasul di sisi Allah SWT. Ini merupakan bentuk anugerah khusus (‘inayah khasshah) yang Allah berikan kepada para nabi dan rasul, juga para kekasih-Nya yang lain. Jadi sarana (wasilah) yang dijanjikan Allah SWT itu diletakkan kepada pribadi para hamba Allah yang telah dimuliakan, diagungkan dan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
Hal itu sebagaimana Allah telah mengangkatnya ke pangkuan-Nya. Allah SWT berfirman:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ (٤)
4. Dan Kami tinggikan sebutan (nama)mu[4] bagimu. (QS al-Insyirah: 4).
Penjelasan Ayat tsb :
[4] Meninggikan nama Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di sini maksudnya ialah meninggikan derajat dan mengikutkan nama Beliau dengan nama Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam kalimat syahadat, azan dan iqamat, tasyahhud dalam shalat, khutbah dan lain-lain serta menjadikan taat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk taat kepada Allah. Di samping itu, Beliau sangat dicintai, dimuliakan dan dibesarkan di hati umatnya setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
Orang-orang semacam itu (manusia Saleh pengikut sejati Rasul SAW), mereka adalah para pemiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, maka Allah SWT memerintahkan kepada segenap kaum muslimin lainnya untuk memuliakan dan menghormati mereka.
Allah SWT berfirman:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [الأعراف: 157
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung” (QS al-A’raf: 157).
Jika kunci terkabulnya doa terdapat pada kepribadian dan kedudukan luhur di sisi Allah SWT yang dimiliki oleh setiap manusia Saleh tadi maka sudah menjadi hal yang utama jika mereka dijadikan sebagai sarana (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk mendapat keridhoaan Allah. Sebagaimana doa mereka pun selalu didengar dan dikabulkan oleh Allah SWT.
Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan ‘doa’ manusia saleh sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan sarana (wasilah) kepribadian (dzat / syakhsyiyah) dan kedudukan (jah / maqom / manzilah / karamah / fadhilah) manusia saleh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara ‘sarana pengkabulan doa’ dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung manusia saleh’ terdapat relasi erat dan menjadio konsekuensi logis, riil dan legal (syar’i).
Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan doa manusia saleh oleh Allah disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah SWT.
Tawassul jenis ini juga memiliki sandaran hadis yang diriwayatkan oleh para imam perawi hadis dari Ahlusunnah melalui jalur yang sahih. Untuk menyingkat waktu, bagi yang ingin menelaah lebih lanjut hadis-hadis tersebut, silahkan merujuknya dalam kitab-kitab hadis seperti ;
a- Musnad Imam Ahmad bin Hambal; jilid: 4 halaman: 138 hadis ke-16789
b- Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadis ke-1385
c- Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da’awaat, bab 119 hadis ke-3578
b- Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadis ke-1385
c- Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da’awaat, bab 119 hadis ke-3578
6- Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Saleh
Disamping yang telah kita singgung pada bagian sebelumnya (no 5), jika kita telaah dari sejarah hidup para pendahulu dari kaum muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka melegalkan tawassul dengan jalan ini, sesuai pemahaman mereka tentang syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para manusia Saleh, dimana diyakini bahwa para manusia saleh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah SWT.
Manusia saleh yang dimaksud di sini adalah sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Rasul kepada Muadz bin Jabal ini, Rasul bersabda: “Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui apakah hak Allah kepada hamba-Nya?”.
Muadz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”.
Lantas Rasul bersabda: “Sesunguhnya hak Allah kepada Hamba-Nya adalah hendaknya hamba-hamba-Nya itu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya terhadap apapun”.
Agak beberapa lama, kembali Rasul bersabda: “Wahai Muadz!”, aku (Muadz) menjawab: “Ya wahai Rasul!?”.
Rasul bertanya: “Adakah engkau tahu, apakah hak seorang hamba ketika telah melakukan hal tadi?”. aku (Muadz) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”.
Rasul bersabda: “Ia tiada akan mengazabnya”.
(Lihat: Sohih Muslim dengan syarh dari an-Nawawi jilid: 1 halaman: 230-232).
Dari hadis tadi jelas bahwa maksud dari Saleh adalah setiap orang yang melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan tidak melakukan penyekutuan terhadap Allah SWT.
Dan dikarenakan tawassul (mengambil wasilah) bukanlah tergolong penyekutuan Allah –karena dilegalkan oleh Allah SWT- maka para pelaku tawassul pun bisa masuk kategori orang Saleh pula, jika ia melakukan peribadatan yang tulus dan tidak melakukan kesyirikan (penyekutuan Allah).
Orang-orang saleh semacam itulah yang dinyatakan dalam al-Quran sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup di tengah-tengah manusia. Allah SWT berfirman:
“Dan apakah orang yang sudah mati Kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?
Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang Telah mereka kerjakan” (QS al-An’am: 122).
Atau sebagaimana dalam firmah Allah SWT lainya; “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hadid: 28).
Sebagaimana kita semua mengetahui bahwa, fungsi dan kekhususan cahaya adalah; “ia sendiri terang dan mampu menerangi obyek lain”. Begitu juga dengan manusia saleh yang mendapat otoritas pembawa pancaran Ilahi.
Dari sini jelas sekali bahwa al-Quran telah menun jukan kepada kita bahwa, para nabi dan manusia saleh dari hamba-hamba Allah –seperti peristiwa umat nabi Isa al-Masih atau saudara-saudara nabi Yusuf (anak-anak Yakqub)- telah melakukan tawassul.
Dan al-Quran pun telah dengan jelas memberikan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul.
Tawassul tersebut bukan hanya sebatas berkaitan dengan doa para manusia kekasih Ilahi (Waliyulloh) itu saja, bahkan pada pribadi para manusia kekasih Ilahi (Walyulloh) itu juga. Hal itu karena antara pribadi para kekasih Ilahi (Waliyulloh) dengan bacaan doa mereka tidak dapat dipisahkan dan terjadi relasi (konsekuensi) yang sangat erat. Hal ini akan semakin jelas ketika kita memasuki kajian selanjutnya.
Bersambung…..................

Tidak ada komentar:
Posting Komentar