YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
I. 01.317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
0036.01.317 - Fiqih Tasawuf.
A.
Islam
itu Kaffah.
Suatu saat Rasulullah Saw sedang berkumpul dengan para sahabat.
Tiba-tiba datang seseorang yang berpakaian bersih dan belum dikenal sebelumnya.
Ia duduk didepan Rasulullah Saw dengan duduk yang sangat berdekatan. Lelaki
bertanya : apakah iman itu ?. Nabi Saw menjawab : Iman adalah sekiranya engkau
percaya kepada Allah Swt, rasul-nNya, malaikat-Nya, kitab-Nya, hari kiamat dan
takdir-Nya yang baik maupun yang buruk. Lelaki berkata : benar wahai
Rasulullah. Lelaki bertanya : apakah Islam itu ?. Rasul menjawab : Islam adalah
sekiranya sengkau bersaksi tidak tuhan selain Allah, dan bersaksi sesungguhnya
Muhammad utusan-Nya serta dengan pertemuan-Nya, melaksanakan shalat, berpuasa
ramadlan, membayar zakat dan menjalankan ibadah haji. Lelaki : benar engkau
Muhammad, dan apakakah ihsan itu ?. Nabi Saw : ihsan adalah sekiranya engkau
menyembah-Nya seakan-akan engkau melihatnya. Dan jika kamu tidak mampu
melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. Lelaki benar engkau Muhammad. Setelah
orang ini pergi, Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabat, tahukah kamu
siapa lelaki tersebut. Sahabat menjawab : kami tidak tahu. Rasulullah Saw
bersabda : Ia adalah Jibril datang mengajarkan agama kepada kamu semua.
Hadis diatas dapat dikatakan sebagai hadis induk. Karena
menjelaskan apa dan mencakup apa saja syariat yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Iman, Islam dan ihsan itulah sunnah rasul. Ketiganya merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan.Dan untuk memperdalam pembahasannya, terlahirlah
ilmu yang dikenal dengan aqidah yang membahas iman), fiqih yang membahas Islam,
dan akhlak yang membahas ikhsan. Dan pula agar tuntas dalam pembahasan, ketiga
ilmu tersebut terpisah baik kajiannya maupun obyeknya. Namun dalam praktek
amaliyah, ketiganya merpakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Agama Islam adalah keluhuran moral. Dengan landasan prinsip ini, dalam
ulasan ilmu fiqih dalam Perjuangan Wahidiyah, senantiasa terkait dengan
tujuan pokok dari syariah Islam yang rahmatan lil’alamin. Sebab, sebelum
terjadinya pemisahan ilmu keislaman, antara aqidah, fiqih dan akhlak merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan. Syariah Islam mencakup dua sisi, lahiriyah
dan batiniyah, atau syariah dan hakikat. Apabila dikeduanya dipisahkan, maka
hilanglah tujuan utama dari syariah (undang-undang, atau tuntunan) yakni rahmatan
lil’alamin. Dan pula, pemisahan antara keduanya, akan membawa kaum muslimin
kepada kehidupan yang terisolir dari keadaan rasional maupun lingkungan alam. Berdasar
syariat lahjiriyah, membuat jiwa menjadi keras karena tidak memiliki ketaqwaan
hakiki, sedangkan hanya berdasar hakikat, dapat membawa matinya kerasionalan. Sebagaimana
yang terungkap dalam syairnya Imam Syafii yang terkumpul dalam kitab Diwan
as-Syafii :
فَقِيْهًا صُوفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا فَإِنِّـي وَحَـقُّ اللهِ إِيَّاكَ
أَنْصَـحُ
فَذَاكَ قَاسَ لَمْ يَذُقْ قَلْبُهُ
تُقًى وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الجَهْلِ يَصْلُحُ
Jadilah
kamu orang yang berpegang kepada fiqh dan tasawuf, jangan menjadi salah satunya
saja. Orang yang berpegang kepada fiqih saja, hatinya akan membatu serta tidak
merasakan taqwa. Sedangkan orang yang hanya berpegang kepada tasawuf saja,
menjadi bodoh. Bagaimana orang bodoh menjadi baik.
Pada masa Rasulullah Saw masih hidup
segala sesuatu beliau pimpin sendiri. Semua peristiwa yang terjadi langsung
mendapat ketentuan dari beliau. Para sahabat diberinya petunjuk. Ayat-ayat
al-Qur’an yang diturunkan Allah Swt melalui perantara jibril langsung beliau
ajarkan dan kemudian ditulis serta dihapalkan oleh para sahabat. Bila suatu
peristiwa diajukan kepadanya, beliau tidak segera menjawab karena menunggu
turunnya wahyu Tuhan. Setelah mendapatkan wahyu yang berkaitan dengan hal yang
dikemukakan, terus beliau sampaikan kepada para sahabat. Seringkali wahyu yang
turun, selain majwab kasus yang terjadi, juga menjelaskan hukum-hukum yang
lainnya.
Rasulullah Saw menerima wahyu
kira-kira selama 23 tahun. Sebagai pedoman hidup untuk seluruh manusia, wahyu
yang diterima oleh beliau tidak bersifat rinci melainkan bersifat global. Dan
karenanya, bahasa yang digunakan padat kandungan, baik makna, muatan hukum dan
tujuan atau manfaat. Disebabkan al-Qur’an sarat kandungan, dan agar tidak salah
penafsiran bagi ummat dikemudian harinya, terlebih dahulu Beliau Saw memberikan
ulasannya, yang juga masih bersifat global, yang dikenal dengan nama hadis
atau sunnah. Dan yang kemudian, al-Qur’an dan hadis, sebagai padoman
pokok ummat Islam dalam menentukan hukum peristiwa yang secara jelas belum
ditentukan.
Apabila al-Qur’an dikaji secara mendalam, maka didalamnya dapat
ditemukan berbagai bentuk tntunan (syariah), yag secara global dapat
dibagi kedalam tiga bagian utama; tuntunan yang berkaitan dengan ‘aqidah,
tuntunan yang berkaitan dengan fiqif (furu’) baik ibadah lahir atau
mu’amalat, dan tuntunan yang barkaitan dengan akhlak (moral).
Tuntunan “aqidah” mencakup keimanan kepada Allah Yang Maha
Pencipta, Maha Kuasa, mengesakan dan hanya menyembah-Nya tanpa mepersekutukan
Dia dengan lain-Nya, serta keimanan kepada malaikat-Nya, para rasul-Nya, hari
kiamat dan ketentuan atas baik dan buruk itu berasal dari-Nya (qadla dan
qadar). Sedangkan tuntunan “fiqih” meliputi hukum-hukum ibadah, kaffarah,
nadzar, transaksi niaga, pernikahan, pidana dan hukumannya, ketata tertiban
masarakat, dan hukum-hukum lainnya. Adapun tuntunan yang berkaitan dengan
moral, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkannya. Misalnya, perintah berprilaku zuhud, sabar,
tawakkal, ridla, cinta, hidup sederhana, tolerasnsi serta pemaaf dan penyayang,
yang semua ini sebagai kesempurnaan iman mukmin.
Sehingga tanpa landasan moral dalam menjalankan syariat,
baik yang berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan tuntunan ‘aqidah
maupun fiqih, akan membuat tuntunan tersebut, semacam jasmani tanpa ruhani,
wadah tanpa isi atau kata tanpa kedalaman makna. Dan pula, keagamaan sesorang
bukanlah hanya terletak pada formalitas agama, atau sekedar penunaian seruan
agama yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan diri. Disamping memberikan
tuntunan kebaikan lahiriyah, Islam juga menekankan murninya niat, nilai
perbuatan itu dilihat dari niatnya (al-Hadis). Oleh karenanya rasa
keagamaan (kedekatan kepada Allah Swt) sebagai buah dari pelaksanan tuntunan,
dapat tercapai setelah seseorang memurnikan niat dalam beribadah, serta penyelarasan
antara menyembah kepada-Nya dan keharmonisan hidup bermasarakat.
Sebelum masa pemilhan ilmu keislaman, yang dinamakan ilmu fiqih awal
mulanya mencakup syariat dan hakikat. Kesatuan ilmu tersebut tercermin dalam
penerapannya. Namun, setelah terjadi pemilahan ilmu menjadi beberapa ilmu
(fiqih, tafsir, hadis, garamtika, tasawuf dan sebagainya) berdampak negative
bagi kehidupan muslim. Sebagian dari mereka yang menekuni bidang fiqih, tafsir
dan hadis, dalam pengamalannya meninggalkan prisip tasawuf. Demikian pula,
sebagian kaum sufi, meninggalkan prinsip syariah.
akhlak dan fiqih, yang mana ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan. Pelaksanan fiqih saja akan terasa kosong, bila tiodak
disertai aqidah yang lurus dan akhlak yang mulia. Demikian pula, iman yang kuat
harus diwujudkan dengan prilaku fiqih dan akhlakul karimah. Mukmin tidak
dibenarkan hanya berpegang kepada salah-satunya. Ketiga bagian tersebut, dalam
kehidupan ummat Islam, dikenal dengan istilah syariat dan hakikat
atau fiqih dan tasawuf, yang kedua prinsip ini tidak boleh
dipilih salah satunya.
Sumber
Pengambilan Fiqih Islam.
Hukum
Islam, jika dilihat dari sumber pengambilannya, terbagi kedalam lima bagian :[1]
1.
Hukum
yang diambil dari nash yang jelas (qath’i wurud = al-Qur’an atau hadis
mutawatir) dan yang maksudnya jelas terhadap hukum tertentu (qath’i dalalah).
Keputusan hukum yang diambil dari nash seperti ini, bersifat tetap dan
tidak berubah, serta wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslimin. Seperti
ketentuan wajib terhadap shalat lima waktu, berpuasa ramadlan, menjalankan
ibadah haji mengeluarkan zakat dan lainnya.
2.
Hukum
yang diambil dari nash yang jelas (qath’i wurud), namun maksudnya tidak jelas,
hingga diperselisihkan oleh para ulama (dhanny dilalah).
Terhadap nash seperti ini, ulama mujtahid (ulama yang menguasai
al-Qur’an dan hadis berserta ilmunya) boleh melaksanakan ijtihad (menggali
hokum yang terkandung didalamnya), sebatas memahami nash itu saja, dan tidak
boleh melampaui nas tersebut. Sebab
nash seperti ini, melahirkan keputusan yang berbeda (sebagaimana yang akan
dikupas selanjutnya) dari para ulama fiqh. Dan, ummat Islam dibolehkan
mengikuti hasil keputusan ulama manapun yang dipercayainya.
Misalnya : nash hadis :
a.
Keputusan
hukum khiyar majlis dalam akad jual beli.
Dalam memahami teks hadis (البَيْعَانِ بِالخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا :
Pelaku transaksi {penjual dan pembeli}, boleh meneruskan
transaksi atau membatalkannya, selagi belum berpisah).
Makna “berpisah”, memungkinkan dimaknai dengan berpisah
badan, dan berpisah pembicaraan. Bagi mereka yang memaknai dengan berpisah
pembicaraan, menilai pembatalan transaksi hukumnya tidak sah, setalah
terjadinya kesepakatan, meskipun masing-masing masih dalam satu majlis. Bagi
mereka yang memaknai berpisah badan, menilai sah terhadap pembatalan
transaksi, selama masih dalam satu majlis. Demikian pula dalam ijab qabul akad
lainnnya, seperti aqad nikah,
b.
Keputusan
hokum batal atau tidaknya bersuci karena sentuhan pria dengan wanita.
Dalam memahami teks ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 6 (أَوْ
لَمَسْتُمُ النِسَاءَ = atau kamu semua menyentuh wanita). Makna “sentuhan”,
memungkinkan dimaknai suntuhan khusus dan biasa. Bagi mereka yang
memaknainya dengan sentuhan khusus (bersetubuh), suami istri tidak batal
bersucinya, meskipun saling berpegangan atau bahkan berciuman. Dan terlarangnya
sentuhan antara pria dan wanita yang bukan muhrim, selama menimbulkan syahwat, jika
menimbulkan syahwat, hukumnya boleh. Dan bagi mereka yang memaknai dengan sentuhan
biasa, sentuhan antara pria wanita yang tidak muhrim dan sama-sama sudah
balig serta tanpa adanya pembatas menyebabkan batalnya bersuci. (kitab Bidayah
al-Mujtahid, dalam bab “hal yang membatalkan bersuci”)
c.
Dan
masih banyak kasus lainnya.
3.
Hukum
yang diambil dari nash yang kurang jelas keberadaanya (dhani wurud =
hadis yang diperdebatkan kredibelitasnya, shahih, hasan, dla’if, atau bahkan
maudlu’), dan tidak jelas pula artinya (qath’i dalalah).
Seperti ketentuan hukum tentang berziarah, bertawassul dan beristghatsah kepada
Rasulullah Saw atau para waliyullah Ra. Mereka yang menentang amalan tawassul, biasanya
menggunakan metode mendla’ifkan hadis (nash) yang dipakai dasar hukum oleh
mkmin yang bertawassul. Dan disini yang perlu diketahui, pen-dla’if-an hadis
tersebut, bukan oleh ulama tempo dulu, tapi oleh ulama pada masa mereka yang
notabene hidupnya pada era akhir-akhir ini.
Bahkan dalam buku “Mereka Memalsukan Kitab Karya Ulama Klasik”,
tulisan Syeh Idahram, diantara mereka ada yang mencetak kitab hadis Shahih
Bukhari dan Muslim serta lainnya, dengan menghapus hadis wasilah atau mengganti
redaksinya.
4.
Hukum
yang tidak ada nash, tetapi pada suatau masa para ulama (mujtahid, baik dari
sahabat, tabi’in atau ulama sesudahnya), telah bersepekat terhadap ketentuan
hukumnya. Misalnya :
a.
Pusaka
untuk datuk hanya 1/6 peninggalan.
b.
Batalnya
perkawinan antara muslimah dengan lelaki non muslim.
c.
Lebih
afdlalnya melaksanakan shalawat tarawih 20 rakaat.
d.
Lebih
utamanya bertawassul dan beristighatsah.
e.
Dan
masih banyak kasus lainnya.
Hukum yang dihasilkan dari ijma’ ulama ini, bersufat mengikat
kepada seluruh ummat islam. Artinya, setiap mulim wajib menjalankannya.
Namun, dalam era sekarang ini, mencari ijma’ ulama sudah tidak
mungkin. Sebab yang ada hanya ijma’ ulama dalam satu kelompok. Sedangkan ulama
dalam kelompok lain menolak ijma’ tersebut.
5.
Hukum
yang tidak dari nash, baik dhanni atau qath’i, dan tidak ada kesepekatan
terhadap hukum itu dari para ulama mujtahid pada waktu itu.
Hukum yang dihasilkan dari nash seperti ini banyak menghiasi
kitab-kitab fiqih Islam yang dipegangi oleh masing-masing kelompok. Hukum
seperti adalah hasil pemikiran ulama menurut cara/ metode pengambilan hukum
yang dipegangi. Dan hukum seperti ini sifatnya tidak tetap, dan mungkin berubah
yang disebabkan adanya alasan baru yang dijadikan pertimbangan dalam penentuan
hukum. Maka keputusan pertama (qadim) berbeda dengan keputusan baru (jadid)
atau keputusan ulama yang satu dapat dibantah oleh ulama lain, atau keptusan
ulama masa dulu dapat dibantah oleh ulama sekarang dan seterusnya.
Hasil keputusan hokum yang berdasar nash seperti ini, tidak wajib
kaum muslimin untuk menjalankannya. Hanya wajib bagi ulama mujtahid itu sendiri
dan orang yang meminta fatwa darinya.
Islam bukan untuk meruntuhkan
adata tau kebudayaan yang ada diluar.
[1]. Lihat buku Fiqh
Islam, karya Sulaiman Rasyid, penerbit “Atthahiriyah Jakarta”, cetakan
tahun 1076 (kecuali keterangan yang kami tulis pada bagian nomer 3). Sebagian
ulama lain membaginya kedalam 5 bagian (lihat keterangan bagian nemr 3).
[2]. Kitab
al-Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun.
[3]. Buku Sufi
Dari Zaman ke Zaman (terjemahan kitab al-Madkhal, Syeh Taftazani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar