Sabtu, 22 Maret 2014

0036.01.317 - Fiqih Tasawuf.

YAA  SAYYIDII  YAA  ROSUULALLOH  !
I. 01.317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"

0036.01.317  -   Fiqih Tasawuf.

A.               Islam itu Kaffah.

Suatu saat Rasulullah Saw sedang berkumpul dengan para sahabat. Tiba-tiba datang seseorang yang berpakaian bersih dan belum dikenal sebelumnya. Ia duduk didepan Rasulullah Saw dengan duduk yang sangat berdekatan. Lelaki bertanya : apakah iman itu ?. Nabi Saw menjawab : Iman adalah sekiranya engkau percaya kepada Allah Swt, rasul-nNya, malaikat-Nya, kitab-Nya, hari kiamat dan takdir-Nya yang baik maupun yang buruk. Lelaki berkata : benar wahai Rasulullah. Lelaki bertanya : apakah Islam itu ?. Rasul menjawab : Islam adalah sekiranya sengkau bersaksi tidak tuhan selain Allah, dan bersaksi sesungguhnya Muhammad utusan-Nya serta dengan pertemuan-Nya, melaksanakan shalat, berpuasa ramadlan, membayar zakat dan menjalankan ibadah haji. Lelaki : benar engkau Muhammad, dan apakakah ihsan itu ?.   Nabi Saw : ihsan adalah sekiranya engkau menyembah-Nya seakan-akan engkau melihatnya. Dan jika kamu tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. Lelaki benar engkau Muhammad. Setelah orang ini pergi, Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabat, tahukah kamu siapa lelaki tersebut. Sahabat menjawab : kami tidak tahu. Rasulullah Saw bersabda : Ia adalah Jibril datang mengajarkan agama kepada kamu semua. 
Hadis diatas dapat dikatakan sebagai hadis induk. Karena menjelaskan apa dan mencakup apa saja syariat yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Iman, Islam dan ihsan itulah sunnah rasul. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.Dan untuk memperdalam pembahasannya, terlahirlah ilmu yang dikenal dengan aqidah yang membahas iman), fiqih yang membahas Islam, dan akhlak yang membahas ikhsan. Dan pula agar tuntas dalam pembahasan, ketiga ilmu tersebut terpisah baik kajiannya maupun obyeknya. Namun dalam praktek amaliyah, ketiganya merpakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Agama Islam adalah keluhuran moral. Dengan landasan prinsip ini, dalam ulasan ilmu fiqih dalam Perjuangan Wahidiyah, senantiasa terkait dengan tujuan pokok dari syariah Islam yang rahmatan lil’alamin. Sebab, sebelum terjadinya pemisahan ilmu keislaman, antara aqidah, fiqih dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Syariah Islam mencakup dua sisi, lahiriyah dan batiniyah, atau syariah dan hakikat. Apabila dikeduanya dipisahkan, maka hilanglah tujuan utama dari syariah (undang-undang, atau tuntunan) yakni rahmatan lil’alamin. Dan pula, pemisahan antara keduanya, akan membawa kaum muslimin kepada kehidupan yang terisolir dari keadaan rasional maupun lingkungan alam. Berdasar syariat lahjiriyah, membuat jiwa menjadi keras karena tidak memiliki ketaqwaan hakiki, sedangkan hanya berdasar hakikat, dapat membawa matinya kerasionalan. Sebagaimana yang terungkap dalam syairnya Imam Syafii yang terkumpul dalam kitab Diwan as-Syafii :
فَقِيْهًا صُوفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا          فَإِنِّـي  وَحَـقُّ اللهِ  إِيَّاكَ  أَنْصَـحُ
فَذَاكَ قَاسَ لَمْ يَذُقْ  قَلْبُهُ  تُقًى          وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الجَهْلِ يَصْلُحُ
          Jadilah kamu orang yang berpegang kepada fiqh dan tasawuf, jangan menjadi salah satunya saja. Orang yang berpegang kepada fiqih saja, hatinya akan membatu serta tidak merasakan taqwa. Sedangkan orang yang hanya berpegang kepada tasawuf saja, menjadi bodoh. Bagaimana orang bodoh menjadi baik.
          Pada masa Rasulullah Saw masih hidup segala sesuatu beliau pimpin sendiri. Semua peristiwa yang terjadi langsung mendapat ketentuan dari beliau. Para sahabat diberinya petunjuk. Ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan Allah Swt melalui perantara jibril langsung beliau ajarkan dan kemudian ditulis serta dihapalkan oleh para sahabat. Bila suatu peristiwa diajukan kepadanya, beliau tidak segera menjawab karena menunggu turunnya wahyu Tuhan. Setelah mendapatkan wahyu yang berkaitan dengan hal yang dikemukakan, terus beliau sampaikan kepada para sahabat. Seringkali wahyu yang turun, selain majwab kasus yang terjadi, juga menjelaskan hukum-hukum yang lainnya.
          Rasulullah Saw menerima wahyu kira-kira selama 23 tahun. Sebagai pedoman hidup untuk seluruh manusia, wahyu yang diterima oleh beliau tidak bersifat rinci melainkan bersifat global. Dan karenanya, bahasa yang digunakan padat kandungan, baik makna, muatan hukum dan tujuan atau manfaat. Disebabkan al-Qur’an sarat kandungan, dan agar tidak salah penafsiran bagi ummat dikemudian harinya, terlebih dahulu Beliau Saw memberikan ulasannya, yang juga masih bersifat global, yang dikenal dengan nama hadis atau sunnah. Dan yang kemudian, al-Qur’an dan hadis, sebagai padoman pokok ummat Islam dalam menentukan hukum peristiwa yang secara jelas belum ditentukan.
Apabila al-Qur’an dikaji secara mendalam, maka didalamnya dapat ditemukan berbagai bentuk tntunan (syariah), yag secara global dapat dibagi kedalam tiga bagian utama; tuntunan yang berkaitan dengan ‘aqidah, tuntunan yang berkaitan dengan fiqif (furu’) baik ibadah lahir atau mu’amalat, dan tuntunan yang barkaitan dengan akhlak (moral).
Tuntunan “aqidah” mencakup keimanan kepada Allah Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, mengesakan dan hanya menyembah-Nya tanpa mepersekutukan Dia dengan lain-Nya, serta keimanan kepada malaikat-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan ketentuan atas baik dan buruk itu berasal dari-Nya (qadla dan qadar). Sedangkan tuntunan “fiqih” meliputi hukum-hukum ibadah, kaffarah, nadzar, transaksi niaga, pernikahan, pidana dan hukumannya, ketata tertiban masarakat, dan hukum-hukum lainnya. Adapun tuntunan yang berkaitan dengan moral, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkannya.  Misalnya, perintah berprilaku zuhud, sabar, tawakkal, ridla, cinta, hidup sederhana, tolerasnsi serta pemaaf dan penyayang, yang semua ini sebagai kesempurnaan iman mukmin.
Sehingga tanpa landasan moral dalam menjalankan syariat, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan tuntunan ‘aqidah maupun fiqih, akan membuat tuntunan tersebut, semacam jasmani tanpa ruhani, wadah tanpa isi atau kata tanpa kedalaman makna. Dan pula, keagamaan sesorang bukanlah hanya terletak pada formalitas agama, atau sekedar penunaian seruan agama yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan diri. Disamping memberikan tuntunan kebaikan lahiriyah, Islam juga menekankan murninya niat, nilai perbuatan itu dilihat dari niatnya (al-Hadis). Oleh karenanya rasa keagamaan (kedekatan kepada Allah Swt) sebagai buah dari pelaksanan tuntunan, dapat tercapai setelah seseorang memurnikan niat dalam beribadah, serta penyelarasan antara menyembah kepada-Nya dan keharmonisan hidup bermasarakat.

Sebelum masa pemilhan ilmu keislaman, yang dinamakan ilmu fiqih awal mulanya mencakup syariat dan hakikat. Kesatuan ilmu tersebut tercermin dalam penerapannya. Namun, setelah terjadi pemilahan ilmu menjadi beberapa ilmu (fiqih, tafsir, hadis, garamtika, tasawuf dan sebagainya) berdampak negative bagi kehidupan muslim. Sebagian dari mereka yang menekuni bidang fiqih, tafsir dan hadis, dalam pengamalannya meninggalkan prisip tasawuf. Demikian pula, sebagian kaum sufi, meninggalkan prinsip syariah.
akhlak dan fiqih, yang mana ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pelaksanan fiqih saja akan terasa kosong, bila tiodak disertai aqidah yang lurus dan akhlak yang mulia. Demikian pula, iman yang kuat harus diwujudkan dengan prilaku fiqih dan akhlakul karimah. Mukmin tidak dibenarkan hanya berpegang kepada salah-satunya. Ketiga bagian tersebut, dalam kehidupan ummat Islam, dikenal dengan istilah syariat dan hakikat atau fiqih dan tasawuf, yang kedua prinsip ini tidak boleh dipilih salah satunya.

Sumber Pengambilan Fiqih Islam.         
Hukum Islam, jika dilihat dari sumber pengambilannya, terbagi kedalam lima bagian :[1]
1.     Hukum yang diambil dari nash yang jelas (qath’i wurud = al-Qur’an atau hadis mutawatir) dan yang maksudnya jelas terhadap hukum tertentu (qath’i dalalah).
Keputusan hukum yang diambil dari nash seperti ini, bersifat tetap dan tidak berubah, serta wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslimin. Seperti ketentuan wajib terhadap shalat lima waktu, berpuasa ramadlan, menjalankan ibadah haji mengeluarkan zakat dan lainnya.

2.     Hukum yang diambil dari nash yang jelas (qath’i wurud), namun maksudnya tidak jelas, hingga diperselisihkan oleh para ulama (dhanny dilalah).
Terhadap nash seperti ini, ulama mujtahid (ulama yang menguasai al-Qur’an dan hadis berserta ilmunya) boleh melaksanakan ijtihad (menggali hokum yang terkandung didalamnya), sebatas memahami nash itu saja, dan tidak boleh melampaui nas tersebut. Sebab nash seperti ini, melahirkan keputusan yang berbeda (sebagaimana yang akan dikupas selanjutnya) dari para ulama fiqh. Dan, ummat Islam dibolehkan mengikuti hasil keputusan ulama manapun yang dipercayainya.
Misalnya : nash hadis :
a.     Keputusan hukum khiyar majlis dalam akad jual beli.
Dalam memahami teks hadis (البَيْعَانِ بِالخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا : Pelaku transaksi {penjual dan pembeli}, boleh meneruskan transaksi atau membatalkannya, selagi belum berpisah).
Makna “berpisah”, memungkinkan dimaknai dengan berpisah badan, dan berpisah pembicaraan. Bagi mereka yang memaknai dengan berpisah pembicaraan, menilai pembatalan transaksi hukumnya tidak sah, setalah terjadinya kesepakatan, meskipun masing-masing masih dalam satu majlis. Bagi mereka yang memaknai berpisah badan, menilai sah terhadap pembatalan transaksi, selama masih dalam satu majlis. Demikian pula dalam ijab qabul akad lainnnya, seperti aqad nikah,  
b.     Keputusan hokum batal atau tidaknya bersuci karena sentuhan pria dengan wanita.
Dalam memahami teks ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 6 (أَوْ لَمَسْتُمُ النِسَاءَ = atau kamu semua menyentuh wanita). Makna “sentuhan”, memungkinkan dimaknai suntuhan khusus dan biasa. Bagi mereka yang memaknainya dengan sentuhan khusus (bersetubuh), suami istri tidak batal bersucinya, meskipun saling berpegangan atau bahkan berciuman. Dan terlarangnya sentuhan antara pria dan wanita yang bukan muhrim, selama menimbulkan syahwat, jika menimbulkan syahwat, hukumnya boleh. Dan bagi mereka yang memaknai dengan sentuhan biasa, sentuhan antara pria wanita yang tidak muhrim dan sama-sama sudah balig serta tanpa adanya pembatas menyebabkan batalnya bersuci. (kitab Bidayah al-Mujtahid, dalam bab “hal yang membatalkan bersuci”)
c.      Dan masih banyak kasus lainnya.


3.     Hukum yang diambil dari nash yang kurang jelas keberadaanya (dhani wurud = hadis yang diperdebatkan kredibelitasnya, shahih, hasan, dla’if, atau bahkan maudlu’), dan tidak jelas pula artinya (qath’i dalalah).
Seperti ketentuan hukum tentang  berziarah, bertawassul dan beristghatsah kepada Rasulullah Saw atau para waliyullah Ra. Mereka yang menentang amalan tawassul, biasanya menggunakan metode mendla’ifkan hadis (nash) yang dipakai dasar hukum oleh mkmin yang bertawassul. Dan disini yang perlu diketahui, pen-dla’if-an hadis tersebut, bukan oleh ulama tempo dulu, tapi oleh ulama pada masa mereka yang notabene hidupnya pada era akhir-akhir ini.
Bahkan dalam buku “Mereka Memalsukan Kitab Karya Ulama Klasik”, tulisan Syeh Idahram, diantara mereka ada yang mencetak kitab hadis Shahih Bukhari dan Muslim serta lainnya, dengan menghapus hadis wasilah atau mengganti redaksinya.
4.     Hukum yang tidak ada nash, tetapi pada suatau masa para ulama (mujtahid, baik dari sahabat, tabi’in atau ulama sesudahnya), telah bersepekat terhadap ketentuan hukumnya. Misalnya :
a.     Pusaka untuk datuk hanya 1/6 peninggalan.
b.     Batalnya perkawinan antara muslimah dengan lelaki non muslim.
c.      Lebih afdlalnya melaksanakan shalawat tarawih 20 rakaat.
d.     Lebih utamanya bertawassul dan beristighatsah.
e.      Dan masih banyak kasus lainnya.
Hukum yang dihasilkan dari ijma’ ulama ini, bersufat mengikat kepada seluruh ummat islam. Artinya, setiap mulim wajib menjalankannya.
Namun, dalam era sekarang ini, mencari ijma’ ulama sudah tidak mungkin. Sebab yang ada hanya ijma’ ulama dalam satu kelompok. Sedangkan ulama dalam kelompok lain menolak ijma’ tersebut.

5.     Hukum yang tidak dari nash, baik dhanni atau qath’i, dan tidak ada kesepekatan terhadap hukum itu dari para ulama mujtahid pada waktu itu.
Hukum yang dihasilkan dari nash seperti ini banyak menghiasi kitab-kitab fiqih Islam yang dipegangi oleh masing-masing kelompok. Hukum seperti adalah hasil pemikiran ulama menurut cara/ metode pengambilan hukum yang dipegangi. Dan hukum seperti ini sifatnya tidak tetap, dan mungkin berubah yang disebabkan adanya alasan baru yang dijadikan pertimbangan dalam penentuan hukum. Maka keputusan pertama (qadim) berbeda dengan keputusan baru (jadid) atau keputusan ulama yang satu dapat dibantah oleh ulama lain, atau keptusan ulama masa dulu dapat dibantah oleh ulama sekarang dan seterusnya.
Hasil keputusan hokum yang berdasar nash seperti ini, tidak wajib kaum muslimin untuk menjalankannya. Hanya wajib bagi ulama mujtahid itu sendiri dan orang yang meminta fatwa darinya.

                   Islam bukan untuk meruntuhkan adata tau kebudayaan yang ada diluar.

Pembagian dan pemilihan ilmu dalam Islam,[2]
Aqidah, Fiqih,  dan akhlak atau tasawuf [3]





[1].       Lihat buku Fiqh Islam, karya Sulaiman Rasyid, penerbit “Atthahiriyah Jakarta”, cetakan tahun 1076 (kecuali keterangan yang kami tulis pada bagian nomer 3). Sebagian ulama lain membaginya kedalam 5 bagian (lihat keterangan bagian nemr 3).
[2].       Kitab al-Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun.
[3].       Buku Sufi Dari Zaman ke Zaman (terjemahan kitab al-Madkhal, Syeh Taftazani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar