Minggu, 22 Mei 2016

Catatan Kecil 158 : Pandangan Imam Al Ghazali Ra Al-Ghouts Fii Zamanihi Tentang Ibadah Puasa

YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
Catatan Kecil 158 : KULTUM ROMADHON
Pandangan Imam Al Ghazali Ra Al-Ghouts Fii Zamanihi
Tentang Ibadah Puasa
Berangkat dari pemikiran Imam al Ghazali Ra, bahwa pada hakikatnya
puasa adalah pintu ibadah dan juga sebagai pagar penjaga keamanan hati
manusia. Maka sedemikian tinggi keutamaan puasa, sudah sepatutnyalah
dijelaskan tentang persyaratan-persyaratannya yang bersifat lahiriah dan
batiniah yaitu dengan menyebutkan kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnah
puasa.
1. Kewajiban-kewajiban puasa
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam al Ghazali Ra membahas tentang
kewajiban-kewajiban dalam ibadah puasa yang meliputi enam hal :
a. Memperlihatkan permulaan bulan Ramadhan
Imam al Ghazali Ra memberi batasan cara memperlihatkan
permulaan bulan Ramadhan yaitu dengan melihat bulan sabit (hilal)
awal Ramadhan. Jika hal itu terhalang oleh awan, hendaknya
menetapkan permulaan bulan ramadhan tersebut dengan
menyempurnakan bilangan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari. Hal
ini dijelaskan dalam kitab Ihya Ulumuddin sebagai berikut :
مراقبة أول شهر رمضان وذلك برؤية الهلال فان غم فا ستكمال
ثلاثين يمنا شعبان ونعنى بالرؤية العلم ويحصل ذلك يقول عدل.
Artinya: “Mengintip pada permulaan bulan ramadhan dan yang
demikian itu jangan melihat bulan (ru’yah). Jikalau
45
mendung, maka disempurnakan tiga puluh hari dari pada
bulan sya’ban. Dan kami maksudkan dengan ru’yah dapat
mengetahuinya. Dan itu berhasil apabila dikatakan oleh
orang yang adil.
23
Berpijak dari pendapat di atas, memperhatikan permulaan
bulan ramadhan dengan cara melihat bulan atau menyempurnakan
bulan sya’ban selama 30 hari.
Dalam buku Fiqh Puasa, karya Yusuf Qardhawi, beliau
mengatakan bahwa ada tiga cara untuk menentukan masuknya bulan
ramadhan, yaitu: pertama, melihat hilal, kedua menyempurnakan bulan
sya’ban menjadi 30 hari ketiga menetapkan adanya hilal.24
Dengan demikian dapat diambil suatu gambaran bahwa cara
untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan yaitu melihat bulan
sabit (hilal), menyempurnakan bulan sya’ban menjadi 30 hari dan
menetapkan adanya hilal.
b. Niat Puasa.
Kewajiban puasa yang kedua menurut Imam al Ghazali
adalah niat. Sebagaimana yang diungkapkan dibawah ini:
الثانى النية ولابد لكل ليلة من نية مبيتة معينة جازمة فلونوى ان
يصوم شهررمضان دفعه واحدة لم يكفه وهوالذى عنينايقولناآل ليلة.
Artinya: Kedua niat. Dan tidak boleh tidak pada tiap-tiap malam dan
pada niat diwaktu malam, yang menentukan, lagi yang
menyakinkan, kalau diniatkan berpuasa bulan Ramadhan
sekali niat, niscaya tidak mencukupi. Dan itulah yang kami
maksudkan dengan perkataan kami tiap-tiap malam.25
Niat itu adalah amalan hati, dan niat puasa dilakukan pada
malam hari, dengan niat itu orang mulai mengarahkan hatinya untuk
berpuasa esok hari, karena Allah SWT. dan mengharap ridha-Nya.
Karena itulah yang mesti mengucapkan niat adalah hati. Karena hati
23 IMAM AL GHAZALI, IHYA’ ULUMUDDIN, JUZ I, (SEMARANG: TOHA PUTRA, T.TH.), HLM.
233. 24 YUSUF QARDHAWI, FIQH PUASA, (SURAKARTA: ERA INTERMEDIA, 2000), HLM. 40. 25 Imam al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz I, Op. cit., hlm. 233
46
itulah yang dapat memisahkan kemauan keharusan niat berpuasa.
Sebagaimana dalam hadits Rasulullah Saw.
قال رسول االله ص م من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلاصيام له.
[رواه الخمسه]
Artinya: “Barang siapa yang tidak berniat akan puasa pada
malamnya sebelum terbit fajar, maka bukanlah ia puasa”.
(Riwayat Lima Ahli Hadits).26
Hadits di atas, menjelaskan bahwa setiap malam memerlukan
niat khusus sejak malam harinya, yakni harus sudah ada niat dihati
untuk berpuasa, sebelum fajar menyingsing.
Namun ada satu hal yang perlu kita perhatikan, bahwa
manusia tidak dituntut melafadkan niat. Sepanjang pemikiran kami
tidak didapati nash syara’ yang menuntut manusia untuk melafadkan
niat, baik untuk puasa untuk shalat maupun untuk zakat, kecuali untuk
ibadah haji dan umrah.27
c. Menahan diri dari masuknya sesuatu ke dalam rongga dengan sengaja
jika tidak bisa menahan diri maka rusaklah puasanya. Sebagaimana
diungkapkan oleh Imam al Ghazali:
الثالث الامساك عن إيصال شىء إلى الجوف عمدا مع ذآر الصوم
28 فيفسد صومه بالاآل والشرب والسعوط والخقنة.
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa memasukkan sesuatu ke
dalam rongga dengan sengaja dan ia teringat puasanya baik itu makan,
minum dan memasukkan ke dalam rongga-rongga yang lain dengan
sengaja maka batal puasanya.
Zakiah Daradjad mengatakan bahwa mulai saat imsak supaya
dijaga agar jangan sampai terjadi hal-hal yang membatalkan puasa,
diantaranya.
26 Al-Hafid Ibnu Hajar al-Asfalani, Bulughul Maram, (Baerut: Kibari al-Maktabarah
Tijari yatul, t.th.), hlm. 138. 27 Yusuf Qardhawi, Op.Cit., hlm. 102 28 IMAM AL GHAZALI, IHYA ‘ULUMUDDIN, JUZ I, OP. CIT., HLM. 233.
47
- Masuknya sesuatu ke dalam rongga tubuh dengan sengaja, melalui
cara yang wajar seperti mulut, hidung, telinga dan dubur, serta asap
rokok dan obat yang dimasukkan ke dalam hidung.
- Memasukkan alat pengorek telinga ke dalam telinga, karena lubang
telinga termasuk rongga yang terlarang.
- Berkumur-kumur dan memasukkan atau menghirup air dengan
hidup secara berlebihan, dikhawatirkan air akan masuk, jika air
masuk maka puasa batal.
- Menelan sisa makanan yang melekat pada gigi.
- Muntah dengan sengaja.29
d. Kewajiban puasa yang keempat adalah menahan diri dari melakukan
jima’. Batas bersetubuh ialah masuknya ujung kemaluan laki-laki. Jika
bersetubuh pada malam hari atau bermimpi (berikhtilam), lalu datang
waktu subuh sedang ia berjanabat (berhadats besar), maka tidak
membatalkan, apabila terbit fajar, dimana ia sedang bercampur dengan
isterinya, kemudian ditariknya, maka shahlah puasanya. Tetapi jika ia
bertahan maka rusaklah puasanya dan ia harus memberikan kafarat
puasa.30
Imam al Ghazali memberi konsep sebagai berikut:
الرابع الامساك عن الجماع واحدة مغيب الحشفة وإن جامع ناسيا
لم يفطر.
Artinya: menahan diri dari pada bersetubuh. Dan batas bersetubuh
ialah masuknya ujung kemaluan laki-laki. Jikalau bersetubuh
karena lupa, maka tidak membukakan.31
Uraian di atas menjelaskan apabila dalam keadaan lupa bahwa
ia berpuasa kemudian melakukan hubungan, maka puasanya itu tidak
batal karenanya. Demikian pula jika ia melakukan pada malam hari
29 PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT, PUASA MENINGKATKAN KESEHATAN MENTAL, (JAKARTA,
CV. RUHAMA, 1993), HLM. 51. 30 Imam al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid II, Terj. Tk. H. Ismail Yakub, M.A. SH.,
(Medan: CV. Faizan, 1986), hlm. 11 31 Imam al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz I, Op. Cit., hlm. 233.
48
atau ia ikhtilam (bermimpi sehingga keluar mani) lalu masih tetap
dalam keadaan junub (belum mandi dari hadats besar) sampai sesudah
terbitnya fajar, maka puasanya tetap sah. Bahkan seandainya terbit
fajar sementara ia masih dalam keadaan bercampur dengan isterinya,
lalu ia segera menghentikannya saat itu juga, maka puasanya tetap sah.
e. Menahan diri dari pada mengeluarkan mani. Kewajiban puasa yang
kelima menurut Imam Al Ghazali adalah menahan diri dari pada
mengeluarkan mani. Mengeluarkan mani yang di maksud yaitu,
mengeluarkan mani dengan sengaja dengan setubuh atau tanpa
setubuh, maka yang demikian itu membatalkan puasa. Dan tidaklah
membatalkan hanya dengan memeluk isteri dan tidak pula dengan
tidur bersama selama tidak inzal (keluar mani lantaran dorongan
syahwat). Tetapi yang demikian itu makruh, kecuali ia seorang tua atau
dapat mengendalikan dirinya. Maka dalam hal yang demikian, tidak
mengapa berpelukan. Dan meninggalkannya adalah lebih utama.32
Sebagaimana yang diungkapkan di bawah ini:
الخامس: الامساك عن الاستمناء وهو إخراج المنى قصدا مجماع
أوبغير جماع فان ذلك يفطر ولا يفطر بقبلة زوجته
33 ولابمضاجعتها مالم ينزل.
Berangkat dari pendapat di atas, maka kewajiban puasa yang
kelima adalah menahan diri dari istimna’ yaitu mengeluarkan mani
dengan sengaja, atau tanpa jima’, melalui hal itu membatalkan puasa.
Adapun mencium atau memeluk isteri tidak membatalkan puasa
selama tidak mengeluarkan mani. Meskipun demikian, perbuatan
seperti itu makruh hukumnya kecuali jika ia sudah tua usianya atau
seorang yang mampu menahan syahwatnya (sehingga tidak khawatir
akan keluar mani). Apabila ia telah merasa khawatir akan akibat
32 IMAM AL GHAZAL, IHYA’ ULUMUDDIN, JILID II, TERJ, ISMAIL YAKUB M.A. SH, OP. CIT
HLM. 11 33 IMAM AL GHAZALI, IHYA ‘ULUMUDDIN, JUZ I, OP. CIT., HLM. 234
49
ciumannya, namun tetap juga mencium lalu tidak berhasil menahan
keluarnya mani, maka puasanya batal, karena ia dianggap tidak
menghormati dan tidak mengindahkan puasanya.
f. Menahan diri daripada mengeluarkan muntah.
Imam Al Ghazali memandang bahwa kewajiban puasa yang
keenam adalah menahan diri dari muntah. Dan jika muntah dengan
tidak sengaja, maka tidaklah batal puasanya. Apabila dahak tertelan
dari kerongkongannya atau dadanya, niscaya tidaklah membatalkan
puasanya, karena merupakan suatu kelapangan (rukhsah) lantaran
meratanya bahaya yang demikian itu. kecuali ditelannya setelah
sampai ke mulut, maka yang demikian itu membatalkan puasa.
Sebagaimana ungkapan di bawah ini:
السادس: الامساك عن اخراج القىء فالاستقاء يفسد الصوم وإن
34 ذرعه القىء لم يفسد صومه.
Ungkapan di atas menyebutkan bahwa menahan diri dari
muntah yang disengaja maka batallah puasanya. Akan tetapi apabila ia
muntah tanpa kemauannya sendiri (tidak sengaja). Karena tidak dapat
menahan, maka tidak batal puasanya. Demikian pula menahan kembali
dahaknya yang belum melewati tenggorokan atau masih dalam batas
dadanya, tidak membatalkan puasa. Hal ini termasuk keringanan bagi
orang berpuasa.
Disamping kewajiban-kewajiban puasa yang telah penulis
sebutkan di atas, Imam Al Ghazali menjelaskan tentang bagaimana
cara menunaikan puasa yang sempurna. Hal ini dijelaskan dalam Kitab
Majmu’ah Rasaail sebagai berikut:
بل تمام الصوم بكف الجوارح آلها عما يكره االله تعالى: بل ينبغي
أن تحفظ العين عن النظر إلى المكاره, واللسان عن النطق بما
لايعنيك, والاذن عن الاستماع إلى ماحرم االله تعالى فان المستمع
34 Ibid, hlm. 234
50
شريك القائل, وهو أحد المغتابين, وآذلك تكف جميع الجوارح آما
35 تكف البطن والفرج.
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa puasa yang sempurna
ialah menahan semua anggota tubuh dari apa-apa yang tidak disukai
oleh Allah SWT. engkau harus menjaga kedua matamu dari melihat
hal-hal yang haram, menjaga lidah dari mengucapkan hal-hal yang
bukan urusanmu, menjaga telinga dari mendengarkan apa-apa yang
dilarang oleh Allah sebab si pendengar berbagi salah dengan si
pengumpat. Jagalah anggota tubuh lainnya semisal perut dan
kemaluan.
2. Sunnah-sunnah puasa
Sempurnanya puasa lebih banyak ditentukan pada kesempurnaan
dalam menjalankan tata aturan puasa itu sendiri, yaitu dengan melakukan
syarat dan rukun puasa, maka terpenuhilah kewajiban puasa. Sedangkan
untuk dapat mencapai tujuan akhir dari puasa, maka segala aturan lainnya
yang akan menyempurnakan puasa harus dilaksanakan pula dengan
keikhlasan dan kesadaran.36
Imam al Ghazali memandang ada enam perkara dalam sunnahsunnah
puasa, sebagaimana dikutip dalam kitab Ihya “Ulumuddin:
وأما السنن فست: تأخير السحور وتعجيل الفطر بالتمر أو الماء قبل
الصلاة وترك السواك بعد الزوال والجود فى شهر رمضان لما سبق
من فضائله فى الزآاة ومدارسة القران والاعتكاف فى المسجد لاسيما
41 فى العشر الاخير.
Artinya: Adapun sunat, maka enam perkara: mengakhirkan sahur,
menyegerakan berbuka dengan tamar atau air sebelum shalat,
meninggalkan gosok gigi (bersuji) sesudah zawal (gelincir
35 Imam Al Ghazali, Majmu’ah Rosaail, (Baerut, Darul al Kitab al Ilmiah, t. th), hlm.
56. 36 Team Penyusun Text Book Ilmu Fiqh I, Ilmu Fiqh, Jilid I, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1983) hlm. 309. 37 Imam al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz I, Op. Cit, hlm. 234
51
matahari), bermurah hati di dalam bulan Ramadhan, karena
keutamaan-keutamaan yang telah diterangkan pada zakat
dahulu, bertadarus al-Qur'an dan beri’tikaf di dalam Masjid,
lebih-lebih pada sepuluh yang akhir.
Maka semakin banyak melakukan amalan-amalan sunat puasa
serta memperhatikan kaifiat atau tata aturan berpuasa dengan sebaikbaiknya,
maka tujuan puasa dapat diperoleh.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berpuasa adalah
sebagai berikut:38
a. Menyegerakan (ta’jil) berbuka, yaitu berbuka pada saat terbukti
matahari sudah terbenam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
39 لايزال الناس بخبر ما عجلواالفطر. [رواه متفق عليه]
Artinya: “Manusia itu masih baik selama mengerjakan berbuka
puasa”. (H.R. Mutafaq Alaih).
b. Berbuka dengan ruthhab (kurma tua), atau air atau dengan buah kurma
yang lebih utama dari ketiga hal ini adalah dengan yang pertama, yang
kedua dengan kurma, yang ketiga dengan air.
c. Berdo’a pada waktu berbuka puasa
d. Sahur, yaitu makan dan minum pada akhir malam dengan diiringi niat
untuk berpuasa.
3. Tingkatan-tingkatan puasa.
Pemikiran Imam al Ghazali bahwa pada hakekatnya kebahagiaan
hakiki adalah manusia yang mampu berada sedekat mungkin dengan
khaliqnya.
Imam al Ghazali menggambarkan sewaktu manusia itu terjerumus
ke dalam hawa nafsu, maka ia menurun ketingkat paling bawah dan
38 Abu Bakar Jabir El-Nazairi, Pola Hidup Muslim, Terj. Dr. H. Rahmat Djatnika dan
Drs. Ahmad Sumpeno (Bandung: Remaja Rosdakarya,, 1991), hlm. 262-263 39 IMAM MUSLIM BIN KHAJAJ AL QOSYAIRI AL NASYABUNI, SHAHIH MUSLIM, (BEIRUT:
DARUL AL ILMIAH, T. TH), HLM. 32.
52
berhubungan dengan lumuran hewan. Sewaktu ia mencegah diri dari hawa
nafsu, niscaya terangkatlah ia ketingkat yang paling tinggi.40
Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi
ukuran berhasil atau tidaknya manusia menjadi utama adalah mampu dan
tidaknya mengatur hawa nafsu yang ada dalam dirinya.
Berangkat dari pemikiran kemampuan manusia menundukkan
keinginan hawa nafsunya yang bertingkat-tingkat, maka Imam Al Ghazali
membagi puasa kepada tiga tingkatan atau three grades of fisiming
ordinary, special and extra-special:
41
Dalam Ihya ‘Ulumuddin Imam al Ghazali memberi tiga tingkatan
puasa, sebagaimana yang diungkapkan dibawah ini:
اعلم ان الصوم ثلاث درجات, صوم العوم, وصوم الحصوص,
وصوم حصوص الحصوص
46
Artinya: “ketahuilah ada tiga tingkatan puasa yaitu puasa umum, puasa
khusus, puasa khusus dari khusus”.
Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan tiga tingkatan yaitu:47
a. Puasa umum yaitu “mencegah perut dan kemaluan dari pada
memenuhi keinginannya”.
Puasa umum ini titik beratkan hanya kepada menahan hal-hal
yang membatalkan, dalam bentuk kebutuhan perut dan kelamin, tanpa
memandang lagi kepada hal-hal yang diharamkan dalam bentuk
perkataan dan perbuatan.
Pada tingkat ini orang yang melakukan puasa tidak akan
terbatas dari kemaksiatan, karena orang pada tingkat ini tidak
mengikutkan hatinya untuk berpuasa pula.
40 Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid II, Terj. Ismail Yakub, MA.SH. Op.Cit,
hlm. 18. 41 Al Ghazali, Inner Dimensions of Islamic Worship, (Nigeria : Islamic Foundation,
1983), hlm. 75. 42 Imam al Ghazali, Mukhtasor Ihya ‘Ulumuddin, (Baerut: Darul al Ilmiah, t. th), hlm.
21. 43 Imam al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid II, Terj. Ismail Yakub, M.A. SH., Op. Cit,
hlm. 14.
53
b. Puasa khusus yaitu “berusaha mencegah pandangan, penglihatan,
lidah, tangan, kaki dan anggota-anggota tubuh lainnya dari perbuatan
dosa”.
Puasa khusus ini, disamping mencegah keinginan perut dari
nafsu kelamin, juga menahan keinginan dari anggota-anggota badan
seluruhnya.
Hasbi Ash Shidieqy menanggapi pengertian puasa ahlul
khusus yaitu memelihara lidah dan berdusta dan berbohong sesudah
menahan diri dari makan minum dan jima’.44
Berangkat dari konsepsi al-Qur’an, bahwa kehidupan yang
sebenarnya hanya ada disisi-Nya yaitu akhirat, maka manusia
seharusnya memandang segala kenikmatan yang bersifat lahiriah dan
hanya bersifat semu sehingga tidak pula larut di dalamnya. Seperti
orang-orang yang berada pada tingkat puasa khusus, benar-benar
disadarkan untuk selalu menahan keinginan-keinginan lahiriah yang
berupa anggota-anggota badan dengan kenikmatan yang diingini oleh
anggota-anggota tersebut. Tujuannya untuk menemukan kenikmatan
yang sebenarnya yakni keterangan batin.
Puasa menurut Imam al Ghazali adalah pada hakekatnya
sebagai media untuk bisa dekat dengan Allah SWT. dan hal tersebut
benar-benar berfungsi, apabila orang yang melaksanakan puasa
dilandasi oleh kemauan yang kuat, maka motivasi untuk berada
sedekat mungkin dengan Allah SWT. akan mengalahkan keinginankeinginan
yang bersifat lahiriah. Sebagaimana yang beliau jelaskan:
“Bila dalam diri kita telah tumbuh kerinduan untuk bertemu
dengan Allah SWT. dan bila keinginan kita untuk
mendapatkan makrifat tentang keinginan-Nya nyata dan lebih
kuat daripada nafsu makan dan seksual anda berarti anda telah
menggandrungi taman makrifat ketimbang surga pemuas
nafsu indrawi.45
44 T.M. Hasbi Ash Shiddiqie, Pedoman Puasa, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
1997), hlm. 44. 45 Imam al Ghazali, Pemata al-Qur’an, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hlm. 88.
54
Berangkat dari pendapat di atas maka, untuk mendapatkan
taman makrifat manusia harus melalui proses yang begitu panjang dan
berat, seperti dalam ibadah puasa. Pada puasa tingkat khusus ini
merupakan dasar-dasar latihan untuk mengurangi syahwat anggota
badan untuk dialihkan kepada Dzat yang Maha Agung sehingga
menurut beliau, kesempurnaan puasa khusus ini adalah dengan kriteria
enam perkara sebagai berikut:50
- Memicingkan mata dan mencegahnya daripada meluaskan
pandangan kepada tiap-tiap yang cela dan dimakruhkan dan kepada
tiap-tiap yang membimbingkan dan malaikatkan hati daripada
mengingat Allah SWT.
- Menjaga lidah daripada mendengar tiap-tiap yang makruh
- Mencegah anggota-anggota badan yang lain dan segala dosa
- Tidak membanyakkan makanan yang halal waktu berbuka
- Hatinya sesudah berbuka bergantung dan bergocang antara takut
dan harap, karena ia tidak mengetahui apakah puasanya diterima
atau ditolak.
c. Puasa khusus dari khusus “yaitu puasa hati dari segala cita-cita yang
hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya daripada selain
Allah SWT. secara keseluruhan.46
Puasa khusus dan yang khusus menurut beliau adalah
puasanya para Nabi, orang-orang siddiq dan yang dekat dengan khalik,
menganggap batal apabila memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi,
sehingga hatinya lupa terhadap Allah SWT. kecuali masalah-masalah
dunia yang mendorong kearah pemahaman agama, karena hal tersebut
dianggap sebagai tanda ingat kepada akhirat.
Dalam bukunya Imam Al Ghazali yang berjudul “menangkap
kedalaman rohaniah peribadatan Islam”, menerangkan bahwa sehingga
mereka yang masuk ke dalam tingkatan puasa sangat khusus akan
46 Imam al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid 2, Terj. Ismail Yakub, MA.SH., Op.Cit.,
hlm. 14-19. 47 IBID., HLM. 14.
55
merasa berdosa apabila hari-harinya terisi dengan hal-hal yang dapat
membatalkan puasanya. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut
bermula dari rasa kurang yakin dengan janji Allah SWT. untuk
mencukupkan dengan rizkinya.48
Hati yang dimaksud dalam puasa khusus dan khusus adalah
hati itu bagaikan cermin yang bisa menerima dan memantulkan cahaya
Allah SWT sehingga selalu mengingat akan kebesaran dan keagungan
Allah SWT dengan tidak dialihkan kepada masalah-masalah yang
bersifat duniawi belaka. Karena pada hakekatnya manusia diciptakan
oleh Allah SWT. hanya untuk selalu mengabdi dan beribadah kepadaNya.
4. Macam-macam Puasa Sunnah
Puasa sunnah dikerjakan terutama pada hari-hari yang memiliki
keutamaan. Hari-hari seperti itu ada kala dilakukan disetiap tahun, setiap
bulan atau setiap pekan.
Adapun puasa tahunan, adalah: setelah ramadhan ialah puasa hari
Arafah (9 Dzulhijjah), hari ‘Asyura (10 Muharram), sepuluh hari pertama
bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram. Selama itu,
al-Asyhur al-Hurm atau bulan-bulan yang disucikan” (yakni Dzul Qa’dah,
Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) juga merupakan saat-saat yang
dianjurkan puasa padanya. Semua itu adalah waktu-waktu yang memiliki
keutamaan.49 Dalam satu bulan, hari-hari besar untuk berpuasa ialah
permulaan, pertengahan dan akhir bulan. Selain itu ada pula hari-hari
tasyrik, yaitu hari ke-13, 14 dan 15.50
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan macam-macam puasa
sunnah, Yaitu meliputi:51
48 IMAM AL GHAZALI, MENANGKAP KEDALAMAN ROHANIAH PERIBADATAN ISLAM, TERJ.
(JAKARTA: RAJAWALI, PRESS, 1987), HLM. 77. 49 IMAM AL GHAZALI, RAHASIA PUASA DAN ZAKAT, TERJ. M. AL-BAQIR (BANDUNG,
KARISMA, 2001), HLM. 37. 50 IMAM AL GHAZALI, PANDUAN PRAKTIS MENJADI SUFI, TERJ. H. M. AS’AD AL HAFIDY,
(BANDUNG: MIZAN MEDIA UTAMA, 2002), HLM. 73. 51 OP. CIT., HLM. 38-39.
56
1. Bulan-bulan Utama
Bulan-bulan utama yang dimaksud adalah Dzulhijjah,
Muharram, Rajab, dan Sya’ban. Adapun “bulan-bulan yang disucikan”
atau al-Asyhur al-Hurm ialah Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram dan
Rajab. Dan yang paling utama diantara semua itu ialah bulan
Dzulhijjah disebabkan berlangsungnya ibadah haji di bulan itu.
Bulan Dzulqaidah termasuk bulan-bulan yang disucikan dan
juga bagian dan bulan-bulan haji. Adapun syawal termasuk bulanbulan
haji, tetapi tidak termasuk bulan-bulan yang disucikan.
Sedangkan Muharram dan Rajab tidak termasuk bulan-bulan Haji.
2. Puasa-puasa Bulanan
Adapun hari-hari puasa yang berulang setiap bulan ialah awal
bulan pertengahannya dan hari-hari terakhirnya. Termasuk dalam
pertengahannya yang biasa disebut “hari-hari putih” (yakni yang
malam-malamnya diterangi sinar bulan), yaitu tanggal tiga belas,
empat belas, dan lima belas.
3. Puasa-puasa Mingguan
Adapun hari-hari puasa yang berulang setiap minggu ialah
senin, kamis, dan jum’at. Inilah hari-hari utama yang diajarkan
berpuasa padanya, disamping memperbanyak perbuatan-perbuatan
kebajikan. Hal ini mengingatkan dilipatgandakan pahalanya karena
keberkahan waktu-waktu tersebut.
4. Puasa Sepanjang Masa
Adapun puasa sepanjang masa (shaum al-dahr) adalah
meliputi semua waktu yang dianjurkan puasa padanya bahkan
melebihinya.52
Beberapa kalangan tidak menyukainya disebabkan adanya
berita-berita (dari Nabi Saw.) yang menyatakan sebagai suatu yang
tidak disukai atau terlarang. Yang benar ialah bahwa puasa seperti itu
memang tidak disukai karena dua hal, yakni karena dilakukan terus-
52 IBID., HLM. 40
57
menerus, termasuk pada kedua hari raya dan hari tasyriq (tiga hari
setelah hari raya idul adha), dan juga karena hal itu menimbulkan
kesan bahwa yang melakukannya tidak hendak mengikuti sunnah Nabi
Saw. disamping telah mempersempit dirinya sendiri. Padahal Allah
SWT. menyukai mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya, yang
telah ia tugaskan atas mereka.
Maka apabila kedua hal tersebut tidak ada, senantiasa ia
melihat kebaikan-kebaikan yang akan diperolehnya dari puasanya itu,
maka tak ada salahnya ia mengerjakannya.
Ada derajat yang lain di bawah puasa sepanjang masa, yaitu
puasa daud setengah masa, yaitu puasa sehari dan tidak puasa sehari.
Yang demikian itu pada hakikatnya lebih berat dan lebih menekankan
hawa nafsu.
5. Hikmah Puasa
Hikmah puasa yang dijalankan sebagai pengabdian kepada Allah
SWT. mengandung nilai dan hikmah bagi manusia yang menjalankannya
dengan baik. Nilai dan hikmah itu bukanlah tujuan dari puasa, melainkan
efek yang langsung diterima oleh hamba yang berpuasa.
Diantara hikmah puasa menurut Yusuf Qardhawi adalah
mendidik, iradah (kemauan), mengendalikan haw nafsu, membiasakan
bersifat sabar atas ketaatan dan sabar dalam menjauhi segala
kemaksiatan.53 Karena puasa disini adalah setengah dan sabar, maka
pahalanya pun melampaui peraturan batasan dan hitungan.54 Hal ini
dijelaskan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin:
55 فانه عمل فى الباطن بالصبر المجرد
Uraian di atas menjelaskan bahwa puasa adalah amalan pada
batin dengan kesabaran semata. Dan pahala yang diberikan kepada orang-
53 YUSUF QARDHAWI, FIQH PUASA, TERJ. MA’RUF ABDUL JALIL, (SOLO: PENERBIT ERA
INTERMEDIA, 2000), HLM. 23. 54 IMAM AL GHAZALI, RAHASIA PUASA DAN ZAKAT, OP. CIT., HLM. 12. 55 IMAM AL GHAZALI, IHYA ‘ULUMUDDIN, JUZ I, OP. CIT., HLM. 232.
58
orang sabar, sedemikian banyaknya sehingga tidak tercakup dalam
bilangannya.
Dalam ibadah puasa terdapat hikmah yang sangat besar,
diantaranya adalah untuk membentuk pribadi muslim yang berakhlakul
karimah. Pada dasarnya akhlak merupakan hal yang fundamental, karena
akhlak adalah manifestasi dari sikap dan kepribadian manusia, dan akhlak
juga merupakan kehendak lahir dan jika seseorang yang dilakukan secara
berulang-ulang.
Manusia dalam tingkah laku perbuatannya selalu dalam pilihan
antara baik dan buruk. Dalam puasa kemauan dilatih untuk selalu memilih
yang baik sehingga melahirkan tingkah laku perbuatan yang baik pula.
Dibiasakan seorang mu’min mendisiplinkan akhlaknya untuk suatu ketika
menjadi kebiasaan dan tabiatnya. Dan tabiat ini akan membentuk
kepribadian muttaqin yaitu orang yang senantiasa tattaqun. Disiplin akhlak
melindungi jiwa manusia agar dapat menghindarkan diri dari perbuatan
jahat. Puasa dapat menertibkan kemauan dari jiwanya dan pada maksudmaksud
hina dan keji yang senantiasa menggoda hatinya.
Pernyataan di atas adalah suatu gambaran global tentang hikmah
puasa dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pernyataan Imam al Ghazali
yang menekankan bahwa hikmah puasa yang paling dalam adalah
dekatnya sifat manusia dengan sifat Allah, adalah merupakan pernyataan
global pula yang secara implisit menggambarkan manusia telah dapat
mencapai hikmah ini, maka keharmonisan dalam diri dan hubungan
dengan masyarakat akan selalu terbina.
Itulah sebabnya Imam al Ghazali menekankan bahwa rahasia
puasa yang sebenarnya adalah melemahkan tenaga yang biasanya
dipergunakan syaitan untuk mengajak kita ke arah kejahatan.56 Dan tujuan
56 IMAM AL GHAZALI, MENANGKAP KEDALAMAN ROHANIAH PERIBADATAN ISLAM, OP. CIT.,
HLM. 82.
59
puasa adalah menaklukkan hawa nafsu dan meningkatkan kemauan untuk
beramal shaleh.57
Jadi kalau dilihat dari sudut psikologis maka efek yang terpenting
dari puasa ialah membentuk watak dan karakter manusia menjadi patuh
dan disiplin terhadap peraturan, kepatuhan terhadap hukum dan
menjalankan peraturan bukan karena takut dan khawatir kepada sanksi
nyata.
Orang yang mengerjakan puasa telah berjuang untuk
menundukkan hawa nafsu dan membentuk pribadi muslim yang
berakhlakul karimah dan disinilah letak nilai-nilai edukatif ibadah puasa
mendidik manusia untuk mempertinggi sifat-sifat sabar, kemampuan
menderita, kesabaran menahan adalah nilai dari aurat penting bagi
keteguhan jiwa manusia.
Dari uraian di atas, maka hikmah puasa menurut Imam al Ghazali
adalah sebagai berikut:
1. Apabila ketiga derajat puasa yang dikemukakan Imam al Ghazali di
atas dilaksanakan, maka orang yang berpuasa akan menjadi manusia
yang berakhlak mulia. Sedangkan akhlak manusia menjadi syarat yang
pokok dalam pembinaan umat dan bangsa. Jika akhlak setiap manusia
sudah baik, akan terciptalah masyarakat yang baik.
2. Dari sudut sosiologis atau kemasyarakatan, maka puasa dapat
mendidik manusia muslim dalam menumbuhkan sifat pemurah dan
penyayang.
3. Dari sudut pandang psikologi, maka pengaruh yang terpenting dari
puasa itu ialah membentuk watak dan karakter manusia menjadi patuh
dan disiplin terhadap suatu peraturan. Patuh terhadap hukum Allah
semata yang dimotori jiwa taqwa.
4. Imam al Ghazali memandang puasa pada hakekatnya adalah menahan
syahwat serta mengembalikannya kepada batas kesederhanaan, maka
57 IMAM AL GHAZALI, PANDUAN PRAKTIS MENJADI SUFI, OP. CIT., HLM. 75.
60
akan terpancarlah sifat-sifat yang mulia, seperti suka menolong,
menghormati sesama, gotong royong, dan sebagainya.
5. Puasa dapat mendidik manusia untuk menjaga dan meningkatkan
kesehatan jasmani dan rohani.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
1 komentar
Komentar
Ahmad Dimyathi YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !

Tingkatan-Tingkatan Puasa Menurut Imam Al-Ghazali Ra

PEMIKIRAN Imam al Ghazali bahwa pada hakekatnya kebahagiaan hakiki adalah manusia yang mampu berada sedekat mungkin dengan khaliqnya.

Imam al Ghazali menggambarkan sewaktu manusia itu terjerumus ke dalam hawa nafsu, maka ia menurun ketingkat paling bawah dan berhubungan dengan lumuran hewan. Sewaktu ia mencegah diri dari hawa nafsu, niscaya terangkatlah ia ketingkat yang paling tinggi.

Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi ukuran berhasil atau tidaknya manusia menjadi utama adalah mampu dan tidaknya mengatur hawa nafsu yang ada dalam dirinya.

Berangkat dari pemikiran kemampuan manusia menundukkan keinginan hawa nafsunya yang bertingkat-tingkat, maka Imam Al Ghazali membagi puasa kepada tiga tingkatan atau three grades of fisiming ordinary, special and extra-special:

Dalam Ihya ‘Ulumuddin Imam al Ghazali memberi tiga tingkatan puasa, sebagaimana yang diungkapkan dibawah ini:

“ketahuilah ada tiga tingkatan puasa yaitu puasa umum, puasa
khusus, puasa khusus dari khusus”.

Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan tiga tingkatan yaitu :

01. Puasa umum yaitu “mencegah perut dan kemaluan dari pada memenuhi keinginannya”.
Puasa umum ini titik beratkan hanya kepada menahan hal-hal yang membatalkan, dalam bentuk kebutuhan perut dan kelamin, tanpa memandang lagi kepada hal-hal yang diharamkan dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Pada tingkat ini orang yang melakukan puasa tidak akan terbatas dari kemaksiatan, karena orang pada tingkat ini tidak mengikutkan hatinya untuk berpuasa pula.

02. Puasa khusus yaitu “berusaha mencegah pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota-anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa”.
Puasa khusus ini, disamping mencegah keinginan perut dari nafsu kelamin, juga menahan keinginan dari anggota-anggota badan seluruhnya. Hasbi Ash Shidieqy menanggapi pengertian puasa ahlul khusus yaitu memelihara lidah dan berdusta dan berbohong sesudah menahan diri dari makan minum dan jima’.

Berangkat dari konsepsi al-Qur’an, bahwa kehidupan yang sebenarnya hanya ada disisi-Nya yaitu akhirat, maka manusia seharusnya memandang segala kenikmatan yang bersifat lahiriah dan hanya bersifat semu sehingga tidak pula larut di dalamnya. Seperti orang-orang yang berada pada tingkat puasa khusus, benar-benar disadarkan untuk selalu menahan keinginan-keinginan lahiriah yang berupa anggota-anggota badan dengan kenikmatan yang diingini oleh anggota-anggota tersebut.

Tujuannya untuk menemukan kenikmatan yang sebenarnya yakni keterangan batin. Puasa menurut Imam al Ghazali adalah pada hakekatnya sebagai media untuk bisa dekat dengan Allah SWT. dan hal tersebut benar-benar berfungsi, apabila orang yang melaksanakan puasa dilandasi oleh kemauan yang kuat, maka motivasi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. akan mengalahkan keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah.

Sebagaimana yang beliau jelaskan: “Bila dalam diri kita telah tumbuh kerinduan untuk bertemu dengan Allah SWT. dan bila keinginan kita untuk mendapatkan makrifat tentang keinginan-Nya nyata dan lebih kuat daripada nafsu makan dan seksual anda berarti anda telah menggandrungi taman makrifat ketimbang surga pemuas nafsu indrawi. Berangkat dari pendapat di atas maka, untuk mendapatkan taman makrifat manusia harus melalui proses yang begitu panjang dan berat, seperti dalam ibadah puasa.

Pada puasa tingkat khusus ini merupakan dasar-dasar latihan untuk mengurangi syahwat anggota badan untuk dialihkan kepada Dzat yang Maha Agung sehingga menurut beliau, kesempurnaan puasa khusus ini adalah dengan kriteria enam perkara sebagai berikut: Memicingkan mata dan mencegahnya daripada meluaskan pandangan kepada tiap-tiap yang cela dan dimakruhkan dan kepada tiap-tiap yang membimbingkan dan malaikatkan hati daripada mengingat Allah SWT.

1) Menjaga lidah daripada mendengar tiap-tiap yang makruh
2) Mencegah anggota-anggota badan yang lain dan segala dosa
3) Tidak membanyakkan makanan yang halal waktu berbuka
4) Hatinya sesudah berbuka bergantung dan bergocang antara takutdan harap, karena ia tidak mengetahui apakah puasanya diterima atau ditolak.

03. Puasa khusus dari khusus “yaitu puasa hati dari segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya daripada selain Allah SWT secara keseluruhan”.

Puasa khusus dan yang khusus menurut beliau adalah puasanya para Nabi, orang-orang siddiq dan yang dekat dengan khalik, menganggap batal apabila memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi, sehingga hatinya lupa terhadap Allah SWT. kecuali masalah-masalah dunia yang mendorong kearah pemahaman agama, karena hal tersebut dianggap sebagai tanda ingat kepada akhirat.

Dalam bukunya Imam Al Ghazali yang berjudul “menangkap kedalaman rohaniah peribadatan Islam”, menerangkan bahwa sehingga mereka yang masuk ke dalam tingkatan puasa sangat khusus akan merasa berdosa apabila hari-harinya terisi dengan hal-hal yang dapat membatalkan puasanya. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut bermula dari rasa kurang yakin dengan janji Allah SWT. Untuk mencukupkan dengan rizkinya.

Hati yang dimaksud dalam puasa khusus dan khusus adalah hati itu bagaikan cermin yang bisa menerima dan memantulkan cahaya Allah SWT sehingga selalu mengingat akan kebesaran dan keagungan Allah SWT dengan tidak dialihkan kepada masalah-masalah yang bersifat duniawi belaka. Karena pada hakekatnya manusia diciptakan oleh Allah SWT. hanya untuk selalu mengabdi dan beribadah kepada-Nya.

Sumber bacaan :

1. Imam al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid 2, Terj. Ismail Yakub, MA.SH, hlm. 14-19.
2. Abu Bakar Jabir El-Nazairi, Pola Hidup Muslim, Terj. Dr. H. Rahmat Djatnika dan Drs. Ahmad Sumpeno (Bandung: Remaja Rosdakarya,, 1991), hlm. 262-263
3. Imam Muslim Bin Khajaj Al Qosyairi Al Nasyabuni, Shahih Muslim, (Beirut:Darul Al Ilmiah, t. Th), hlm. 32
4. Al Ghazali, Inner Dimensions of Islamic Worship, (Nigeria : Islamic Foundation, 1983), hlm. 75.
5. Imam al Ghazali, Mukhtasor Ihya ‘Ulumuddin, (Baerut: Darul al Ilmiah, t. th), hlm.21.
6. T.M. Hasbi Ash Shiddiqie, Pedoman Puasa, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 44.
7. Imam al Ghazali, Pemata al-Qur’an, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hlm. 88.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar