Selasa, 17 Mei 2016

Catatan Kecil 151 : SETIAP SERATUS TAHUN, ALLOH SWT MENGUTUS SEORANG PEMBAHARU (MUJADDID)

YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
KISAH DAN PETUAH
Catatan Kecil 151 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KETAHUI, RASAKAN DAN ALAMI DALAM PERJUANGAN WAHIDIYAH :
SETIAP SERATUS TAHUN, ALLOH SWT MENGUTUS SEORANG PEMBAHARU (MUJADDID)
Imam ABDULLAH bin al Mubarak dan para Imam dari para ahli hadits, sebagaimana juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Sulaiman bin Dawud an Nahri meriwayatkan kepada kami dari Ibnu Wahab, dari Sa’id bin Abu Ayub, dari Syurahail bin Yazid al Maghazi dari Abu Alqamah, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, dimana beliau bersabda :
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini di dalam setiap penghujung seratus tahun seorang pembaharu (mujaddid) dalam perkara agama-Nya.”
Setiap golongan telah mengadakan pengakuan, bahwa Imam mereka adalah yang dimaksud dalam hadits ini. Yang jelas, wallahu a’lam, bahwa Imam dimaksud bersifat universal dan berfungsi sebagai mobilisator (penggerak) bagi setiap ilmu yang berkembang dan setiap golongan. Juga setiap golongan dari para ulama dan para ahli tafsir, ahli hadits, ahli fikih, ahli nahwu, ahli bahasa, ahli tasawuf, dan dari berbagai golongan lainnya, wallahu a’lam.
Sebagaimana terdapat pula sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Amru :
“Bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menarik ilmu agama dengan mencabutnya dari manusia, akan tetapi dengan mengambil (mewafatkan) para ulama.”
Di sini termuat penjelasan, bahwa Allah tidak akan pernah mengambil ilmu dari dada manusia setelah mereka dianugerahi ilmu oleh-Nya.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Jilid 4 hadits nomor 4291. Demikian juga dengan al Hakim dalam kitab al Mustadrak dan al Baihaqi dalam kitab al Ma’rifah dan didukung kebenarannya oleh Imam al Albani dalam kitab ash Shahihah miliknya hadits nomor 601, serta dalam kitab Shahih al Jami’. []
---------------
YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
Shahihnya Hadits Mujaddid Setiap Awal 100 Tahun
Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Daawud As-Sijistaaniy rahimahullah :
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ شَرَاحِيلَ بْنِ يَزِيدَ الْمُعَافِرِيِّ عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِيمَا أَعْلَمُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud Al-Mahriy, telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb, telah mengkhabarkan kepadaku Sa’iid bin Abi Ayyuub, dari Syaraahiil bin Yaziid Al-Mu’aafiriy, dari Abu ‘Alqamah, dari Abu Hurairah –radhiyallaahu ‘anhu-, yang mana aku mengetahuinya dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini di setiap awal 100 tahun, seseorang yang akan memperbaharui agama ini.”
[Sunan Abu Daawud 6/349, Daar Ar-Risaalah Al-‘Aalamiyyah]
Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Adiy (Al-Kaamil fiy Adh-Dhu’afaa’ 1/205); Al-Haakim (Al-Mustadrak 4/516); Al-Baihaqiy (Ma’rifatus Sunan wal Atsaar no. 109); Ath-Thabaraaniy (Mu’jam Al-Ausath no. 6527); ‘Utsmaan Ad-Daaniy (As-Sunan Al-Waaridah no. 364); Ibnu ‘Asaakir (Tabyiin Kadzib Al-Muftariy no. 34, 35; Tarikh Madinatud Damsyik 51/338); Al-Khathiib (Taariikh Baghdaad 2/399); Al-Harawiy (Dzammul Kalaam 2/111), semua dari jalan Ibnu Wahb, dari Sa’iid bin Abu Ayyuub dan seterusnya secara marfuu’.
Disebutkan pula oleh Ibnu Katsiir dalam Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah 1/33 dengan sanadnya dari Al-Khathiib, dan Yuusuf Al-Mizziy dalam Tahdziibul Kamaal 12/413 dan 24/364 dengan sanadnya dari Abu Nu’aim Al-Ashbahaaniy.
Keterangan para perawi Abu Daawud :
1. Sulaimaan bin Daawud bin Hammaad bin Sa’d Al-Mahriy, Abu Ar-Rabii’ Al-Mishriy. Seorang yang tsiqah, termasuk thabaqah ke-11, wafat tahun 253 H. Dipakai Abu Daawud dan An-Nasaa’iy. [Tahdziibul Kamaal no. 2508; Taqriibut Tahdziib no. 2551]
2. ‘Abdullaah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih. Al-Haafizh berkata bahwa ia tsiqah haafizh ‘aabid, termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 197 H. Dipakai Kutubus Sittah. [Taqriibut Tahdziib no. 3694]
3. Sa’iid bin Abi Ayyuub Miqlaash Al-Khuzaa’iy, Abu Yahyaa Al-Mishriy. Ahmad dan Abu Haatim berkata “tidak ada yang salah dengannya”, Ibnu Ma’iin dan An-Nasaa’iy mentautsiqnya, Ibnu Sa’d berkata “tsiqah tsabt”, Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan Al-Haafizh berkata “tsiqah tsabt”, termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 161 H atau setelahnya. Dipakai Kutubus Sittah. [Al-Jarh wa At-Ta’diil 4/66; Mausuu’atu Aqwaal Al-Imam Ahmad 2/26; Tahdziibul Kamaal no. 2241; Taqriibut Tahdziib no. 2274]
4. Syaraahiil bin Yaziid Al-Mu’aafiriy Al-Mishriy. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, Adz-Dzahabiy mentautsiqnya dan Al-Haafizh berkata “shaduuq”, termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 120 H atau setelahnya. Dipakai Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad, Muslim dan Abu Daawud. [Al-Kaasyif 1/482; Tahdziibut Tahdziib 4/324; Taqriibut Tahdziib no. 2763]
5. Abu ‘Alqamah Al-Mishriy Al-Qaadhiy, maulaa bani Haasyim atau dikatakan maulaa Ibnu ‘Abbaas, atau sekutu Anshaar. Seorang yang tsiqah, qaadhiy daerah Afrika, Abu Haatim berkata “hadits-haditsnya bersih”, dimasukkan Ibnu Hibbaan ke dalam Ats-Tsiqaat, Al-‘Ijliy berkata “tabi’in tsiqah”, Al-Haafizh berkata “tsiqah”, termasuk thabaqah ke-3. Dipakai Al-Bukhaariy dalam Juz’u Al-Qiraa’ah, Muslim dan 4 kitab Sunan. [Tahdziibul Kamaal no. 7524; Taqriibut Tahdziib no. 8262]
6. Abu Hurairah Ad-Dausiy Al-Yamaaniy radhiyallaahu ‘anhu. Sahabat Nabi yang mulia.
Hadits ini shahih dengan tanpa keraguan (atau hasan jika Syaraahiil dianggap “shaduuq”), muttashil dari awal hingga akhir sanad, dan kami belum mengetahui ada para imam yang ahli dalam masalah ‘ilal yang mencacatkan atau setidaknya membicarakan hadits ini.
Bagaimana dengan perkataan Abu Daawud ?
Al-Imam Abu Daawud berkata setelah menyebutkan hadits ini :
رَوَاهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ شُرَيْحٍ الْإِسْكَنْدَرَانِيُّ لَمْ يَجُزْ بِهِ شَرَاحِيلَ
“Diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman bin Syuraih Al-Iskandaraaniy, dengan tanpa melampaui Syaraahiil didalamnya.”
‘Abdurrahman bin Syuraih bin ‘Ubaidillaah bin Mahmuud Al-Mu’aafiriy, Abu Syuraih Al-Iskandaraaniy Al-Mishriy. Ahmad, Ishaaq bin Manshuur, Ibnu Ma’iin dan An-Nasaa’iy mentautsiqnya, Ahmad dalam riwayat lain menambahkan, “tidak ada yang salah dengannya”, Abu Haatim berkata “tidak mengapa dengannya”, dan ia berkata lagi “tidaklah aku menduganya bertemu dengan Syaraahiil”, Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, Ibnu Sa’d berkata “munkarul hadiits” dan ia bersendirian dalam tajriih, Ya’quub bin Sufyaan berkata “ia bagaikan para perawi yang terbaik”, Al-‘Ijliy berkata “orang Mesir yang tsiqah”, Al-Haafizh berkata “tsiqah faadhil, tadh’if dari Ibnu Sa’d tidak melukainya”, termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 167 H. Dipakai Kutubus Sittah. [Tahdziibul Kamaal no. 3845; Tahdziibut Tahdziib 6/193; Taqriibut Tahdziib no. 3892]
--------------------
Sosok Pembaharu (Mujaddid) bukanlah Seorang Pengacau Agama,
Politikus Kotor atau Pemberontak
Sulaiman ibnul Asy’ats As-Sijistani yang lebih dikenal dengan kunyahnya Abu Dawud berkata: Sulaiman bin Dawud Al-Mahri telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahb telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Sa’id bin Abi Ayyub, dari Syarahil bin Yazid Al-Ma’afiri, dari Abu ‘Alqamah, dari Abu Hurairah z dari Rasulullah SAW, beliau pernah bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT mengutus bagi umat ini di penghujung setiap seratus tahun (seabad Hijriyah) seseorang yang mentajdid (memperbaharui) agama umat ini.”
Hadits ini Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani t dalam Sunan-nya no. 4291. Dikeluarkan pula oleh Al-Imam Abu ‘Amr Ad-Dani dalam As-Sunan Al-Waridah fil Fitan no. 364, Al-Imam Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, 4/522, dan selain mereka seperti Al-Imam Al-Baihaqi, Al-Khathib, dan Al-Harawi.
Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani t menshahihkan hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, Ash-Shahihah no. 599, dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 1874. Beliau berkata: “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah (terpercaya), merupakan perawi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t (dalam Shahih-nya).” (Ash-Shahihah, 2/148)
Beliau juga mengatakan: “(Faidah): Al-Imam Ahmad t mengisyaratkan shahih-nya hadits ini. Adz-Dzahabi menyebut-kannya dalam Siyar A’lam An-Nubala` (10/46):
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal t dari beberapa jalan periwayatan dari beliau: Sesungguhnya Allah I mendatangkan bagi manusia di penghujung setiap seratus tahun seseorang yang mengajari mereka sunnah-sunnah dan meniadakan/ menolak kedus-taan dari Rasulullah n.” Al-Imam Ahmad t berkata lagi: “Maka kami pun melihat orang yang demikian sifatnya, ternyata pada akhir seratus tahun orang itu adalah Amirul Mukminin ‘Umar bin Abdil ‘Aziz t dan pada akhir seratus tahun berikutnya (seratus tahun kemudian setelah seratus tahun yang pertama -pent.) orang itu adalah Al-Imam Asy-Syafi’i t.” (Ash-Shahihah, 2/148-149)
Makna Hadits
Yang dimaksud dengan umat dalam sabda Rasulullah SAW yang mulia:
“Sesungguhnya Allah SWT mengutus bagi umat ini…”
kata Al-Qari adalah ummat ijabah (umat Islam yang telah menerima dakwah Rasulullah SAW), namun memungkinkan juga dimasukkannya ummat dakwah (mencakup non muslim yang didakwahi untuk masuk ke dalam Islam). Kata Al-Munawi t, yang dimaukan dalam hadits ini adalah ummat ijabah dengan dalil disandarkannya (di-idhafah-kan) kata ad-din (agama) kepada mereka dalam ucapan Nabi SAW (agama umat ini). (Mukaddimah Faidhul Qadir, 1/10).
Adapun maksud dari ucapan beliau Nabi SAW :
“di penghujung setiap seratus tahun”, adalah akhir dari seratus tahun atau awalnya, ketika sedikit ilmu dan sunnah di tengah umat, sebaliknya kejahilan menyebar dan banyak kebid’ahan. Namun yang tepat, yang dimaukan dalam hadits ini adalah akhir dari seratus tahun, bukan awalnya. Dengan bukti dari Al-Imam Az-Zuhri dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal serta selain keduanya dari kalangan para imam yang terdahulu maupun yang belakangan rahimahumullah.
Mereka ada yang bersepakat bahwa mujaddid yang muncul pada akhir seratus tahun yang pertama adalah Amirul Mukminin ‘Umar bin Abdil ‘Aziz Ra. Dan seratus tahun yang kedua adalah Al-Imam Asy-Syafi’i Ra (Mujaddid dibidang Fiqih). Sementara ‘Umar bin Abdil ‘Aziz wafat pada tahun 101 H dalam usia 40 tahun dan masa kekhilafahan beliau 2,5 tahun. Sedang Al-Imam Asy-Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. (‘Aunul Ma’bud, kitab Al-Malahim, bab Ma Yudzkaru fi Qarnil Mi`ah).
Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Munawi t berkata: “Dimungkinkan perhitungan seratus tahun itu dari kelahiran Nabi SAW, bi’tsah (diutusnya beliau sebagai Nabi SAW), hijrah beliau ke Madinah, atau wafat beliau. Bila ada yang mengatakan bahwa yang kedua lebih dekat/tepat maka pendapat itu tidak jauh dari kebenaran. Akan tetapi Imam As-Subki dan lainnya secara jelas menyatakan bahwa yang dimaukan adalah yang ketiga (perhitungan sejak hijrah Nabi SAW ke Madinah). (Mukaddimah Faidhul Qadir, 1/10)
Sabda Rasulullah SAW :
“Seseorang yang mentajdid (memper-baharui) agama umat ini”, yakni orang itu menerangkan tentang As-Sunnah sehingga jelas mana yang bid’ah. Ia menyebarkan ilmu, menolong ahlul ilmi, mematahkan dan merendahkan ahlul bid’ah. (‘Aunul Ma’bud, kitab Al-Malahim, bab Ma Yudzkaru fi Qarnil Mi`ah)
Jumlah mujaddid yang Allah SWT tampilkan dalam setiap kurun bisa jadi hanya satu, namun bisa pula berbilang. Mujaddid tersebut harus merupakan seorang alim yang mengetahui ilmu agama secara dzahir maupun batin. Demikian faidah yang diambil dari ucapan Al-Munawi. (Mukaddi-mah Faidhul Qadir, 1/10).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Pemahaman yang menyatakan bahwa jumlah mujaddid di setiap kurun itu bisa berbilang, lebih dari satu, memiliki sisi kebenaran. Karena terkumpulnya sifat-sifat yang dibutuhkan untuk men-tajdid perkara agama ini tidak dapat dibatasi pada satu jenis kebaikan saja. Dan tidak mesti seluruh perangai kebaikan dapat terkumpul pada satu orang, kecuali bila orang itu semacam Sayyidina ‘Umar bin Abdil ‘Aziz Ra, karena beliau bangkit menegakkan perkara agama ini pada akhir seratus tahun yang pertama dalam keadaan beliau mempunyai seluruh sifat-sifat kebaikan dan terdepan dalam sifat-sifat tersebut.
Karena itu, Al-Imam Ahmad Ra memutlakkan bahwa ahlul ilmi membawa hadits tersebut atas Kholifah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz (yakni Sayyina ‘Umar bin Abdil ‘Aziz merupakan mujaddid yang dimaksud hadits tersebut, -pen.). Adapun setelahnya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i Ra. Walaupun Al-Imam Asy-Syafi’i memiliki sifat-sifat yang bagus, namun beliau bukan orang yang menegakkan perkara jihad, dan bukan orang yang memegang kekuasaan yang dapat memerintah/menghukumi dengan adil.3 Berdasarkan hal ini, maka setiap alim yang memiliki salah satu sifat-sifat yang demikian di penghujung seratus tahun, maka dialah mujaddid yang diinginkan, baik jumlahnya berbilang atau hanya satu.” (Fathul Bari, 13/361).
Makna tajdid sendiri adalah menghi-dupkan apa yang telah terkubur ataupun runtuh berupa pengamalan terhadap Al-Qur`an dan As-Sunnah. Ataupun menghidupkan hukum-hukum syariat yang telah runtuh dan bendera-bendera As-Sunnah yang telah hilang dan ilmu-ilmu agama yang dzahir maupun batin yang telah tersembunyi.4.
Seorang mujaddid bukanlah seorang pengacau agama. Makna inilah yang dipahami kebanyakan orang, bahwa mujaddid adalah seseorang yang mengajar-kan jalan baru dalam agama, yang sebenar-nya lebih pantas dikatakan pengacau agama. Seperti kesalahpahaman orang Indonesia yang menyatakan Nurcholish Madjid sebagai mujaddid, ataupun Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani yang dianggap sebagai mujaddid. Bukan pula mujaddid adalah seorang politikus kotor, sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa mujaddid adalah seorang politikus ulung, seperti yang dikatakan orang terhadap Abul A’la Al-Maududi.
Demikian pula, mujaddid bukanlah seorang pemberontak yang memberontak terhadap pemerintah dan negara, seperti yang dikatakan orang terhadap Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, atau Sa’id Hawa.
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa seorang mujaddid tidaklah membawa agama baru, pemikiran baru atau jalan baru. Tetapi ia mengajak manusia untuk kembali kepada agama dan Perjuangan Rasulullah SAW yang murni, atau Perjuangan Fafirru Ilalloh wa Rosuulihi saw setelah mereka melupakan agama Nabi mereka dan tenggelam dalam kebodohan, ke-musrikan dan kemunafikan.
Penjagaan Allah SWT terhadap Agama ini, di antaranya dengan Menampilkan para Mujaddid
Rasulullah SAW telah lama wafat, namun agama beliau tetap terjaga sampai hari ini dan sampai nanti ketika datang hari kiamat. Al-Qur`an yang diturunkan Allah SWT kepada beliau tetap murni sebagaimana saat diturunkan Allah SWT kali yang pertama. Karena Allah I menjanjikan pemeliharaan-nya sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menu-runkan Adz-Dzikra dan Kami juga yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9).
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata: “Tidaklah dipalingkan satu makna dari makna-makna Al-Qur`an kecuali Allah akan mendatang-kan orang yang akan menerangkan al-haq yang nyata pada Al-Qur`an tersebut.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 429).
Tidak hanya Al-Qur`an yang terjaga kemurniannya, namun juga Sunnah Rasulullah SAW yang merupakan tafsir atau penjelasan dari Al-Qur`anul Karim. Para ulama-lah yang dipilih Allah SWT untuk meneruskan dakwah Rasulullah SAW kepada seluruh alam, karena mereka adalah pewaris ilmu para Nabi. Dengan keberadaan mereka, Allah I menjaga agama-Nya.
Demikianlah setelah diutusnya Rasu-lullah SAW, Allah SWT tidak membiarkan umat ini terus tenggelam dalam kebodohan, lupa akan petunjuk dan bimbingan agamanya. Di tengah umat ini selalu ada orang-orang yang Allah munculkan untuk mengadakan perbaikan ketika manusia membuat kerusakan. Di tengah mereka mesti ada Ath-Tha`ifah Al-Manshurah Al-Firqatun Najiyah. Dan di setiap penghujung seratus tahun atau satu abad dari perjalanan waktu, di tengah mereka mesti akan tampil seorang atau lebih ulama mujaddid yang akan mengajak mereka untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang murni seperti yang dibawa Nabi SAW umat ini, sebagaimana kemunculannya dipastikan dalam hadits yang telah kita bawakan di atas.
Hadrotusy Syeh Al-Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Mu'allif Sholawat Wahidiyah Qs wa Ra, Al-Ghouts Fii Zamanihi diyaqini para pengamal Sholawat Wahidiyah adalah Al-Ghouts Fii Zamanihi yang sekaligus Sosok Pembaharu (Mujaddid dibidang Tauhid/tasawuf). Salah seorang sosok Al-Ghouts yang sekaligus seorang mujaddid yang Allah SWT munculkan di abad ke-14 Hijriyyah atau bertepatan dengan abad ke- 19/20 Masehi adalah Hadrotusy Syeh Al-Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Mu'allif Sholawat Wahidiyah Qs wa Ra, Al-Ghouts Fii Zamanihi - Pengasuh Ponpes Kedunglo Kediri Jawa Timur. Beliau lahir pada tahun 1916/ 1918 M dan wafat pada tahun 1989. Karya besar beliau yang fenominal dan faktual adalah SHOLAWAT WAHIDIYAH DAN AJARAN WAHIDIYAH, atau yang lebih dikenal dengan Perjuangan Fafirruu Ilalloh wa Rosuulihi SAW, yang telah diikuti dan diamalkan oleh jutaan orang, baik di dalam negeri maupun diluar negeri. Yang telah terbukti sangat efektif dan efisiaen membawa ummat ini tuk kembali sadar dan mengabdikan diri Fafirruu Ilalloh wa Rosuulihi SAW. Amiin...! Dan Perjuangan Wahidiyah diyakini sebagai perintis Perjuangannya Imam Mahdi Ra Al-Ghouts yang terakhir dekat hari qiyamat nanti....Wallohu a'lam....
AL-FAATIHAH ...(MUJAHADAH..)
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
7 komentar
Komentar
Ikan Gurami YAA SAYYIDII YAA AYUHAL GHOUST
Edy Maryanto Yaa sayyidii yaa ayuhal Ghaust.
Ahmad Dimyathi ANDA BENAR..MKSIH JAZAA KUMULLOH...AMIIN...
Ahmad Dimyathi YA TAR SY EDIT...., TOLONG KOREKSI LG...MKSIH JAZAA KUMULLOH..AMIIN..
Ahmad Dimyathi Hadrotusy Syeh Al-Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Mu'allif Sholawat Wahidiyah Qs wa Ra, Al-Ghouts Fii Zamanihi diyaqini para pengamal Sholawat Wahidiyah adalah Al-Ghouts Fii Zamanihi yang sekaligus Sosok Pembaharu (Mujaddid dibidang Tauhid/tasawuf). Salah seorang sosok Al-Ghouts yang sekaligus seorang mujaddid yang Allah SWT munculkan di abad ke-14 Hijriyyah atau bertepatan dengan abad ke- 19/20 Masehi adalah Hadrotusy Syeh Al-Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Mu'allif Sholawat Wahidiyah Qs wa Ra, Al-Ghouts Fii Zamanihi - Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Ponpes Kedunglo Kediri Jawa Timur. Beliau lahir pada tahun 1916/ 1918 M dan wafat pada tahun 1989. Karya besar beliau yang fenominal dan faktual adalah SHOLAWAT WAHIDIYAH DAN AJARAN WAHIDIYAH, atau yang lebih dikenal dengan Perjuangan Fafirruu Ilalloh wa Rosuulihi SAW, yang kini dilanjutkan oleh Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra sbg Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Al- Munadhoroh, Al-Ghouts Hadzaz Zaman Ra, yang telah diikuti dan diamalkan oleh jutaan orang, baik di dalam negeri maupun diluar negeri. Yang telah terbukti sangat efektif dan efisiaen membawa ummat ini tuk kembali sadar dan mengabdikan diri Fafirruu Ilalloh wa Rosuulihi SAW. Amiin...! Dan Perjuangan Wahidiyah diyakini sebagai perintis Perjuangannya Imam Mahdi Ra Al-Ghouts yang terakhir dekat hari qiyamat nanti....Wallohu a'lam....
AL-FAATIHAH ...(MUJAHADAH..)
Elnik She Yaa sayyidii yaa ayyuhal Ghouts
Eri Yanto Yaa Sayyidii Yaa AyyuhalGhouts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar