BAB III
AJARAN WAHIDIYAH
Bahasan 1
Pengertian Ajaran Wahidiyah
A.
Pengertian
Wahidiyah.
1.
Syirik Dan
Tauhid
Membebaskan
jiwa manusia dari kemusyrikan merupakan visi dan missi perjuangan para
nabi dan rasul yang paling utama.
Dan perjuangan ini kemudian diteruskan oleh para waliyullah dan kuhususnya para
al-Ghauts Ra pada setiap zaman. Memahami
kedudukan Allah Swt Pencipta alam semesta dan posisi makhluk, merupakan garis
demarkasi (al-had al-fashil) antara tauhid dan syirik. Ketentuan sesat atau tidak terhadap iman seseorang,
ditentukan dalam pemahaman ini.
Syirik
adalah paham yang mengatakan bahwa Allah Swt memiliki pembantu atau sekutu
dalam menciptakan dan mengatur alam semesta. Dengan demikian paham
yang mengatakan, makhluk dengan dirinya sendiri dapat mendatangkan kemaslahatan
atau menolak kemadlorotan baik untuk dirinya atau untuk lainnya, merupakan
paham syirik. Misalkan saja, kita merasa dapat menolong kepada diri sendiri atau dapat menolong
keluarga dan orang lain dengan tanpa izin Allah Swt. Atau air
dengan dirinya sendiri (tanpa izin Allah Swt) dapat menghilangkan haus, menyegarkan tubuh, merebus
masakan, menghidupkan tanaman. Racun dengan dirinya sendiri, tanpa Allah dapat mendatangkan
kematian kepada manusia. Demikian pula dalam kasus kehidupan makhluk yang tanpa
izin-Nya tidak dapat memberikan manfaat kepada dirinya atau lainnya.
Dan,
al-Qur’an menerangkan, secara umum keimanan seseorang terhadap Allah Swt dan
kekuasaan-Nya, masih bercampur dengan pemahaman syirik (menyekutukan-Nya dengan
makhluk). Sebagaimana keterangan dalam firman
Allah Swt , Qs. Yusuf : 106 :
وَمَايُؤْمِن أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ اِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ
Dan
tidak beriman kepada Allah kebanyakan manusia, kecuali mereka
mempersekutukan-Nya.
Dan pula, kebanyakan manusia menganggap
rendah dan remeh terhadap nilai
dosa syirik, hingga tidak ada keinginan atau usaha
untuk membersihkannya. Padahal Allah Swt sangat benci dan murka jika Dia Azza wa Jalla
disekutukan dengan makhluk. Dikatakan syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika
seseorang mengambil makhluk (termasuk diri sendiri) sebagai penolong, dengan
anggapan datangnya pertolongan dari makhluk, bukan dari Allah Swt. Firman Allah
Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44 :
أَمِ اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لاَ
يَمْلِكُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ
مُلْكُ السَمَوَاتِ وَالاَرْضِ ثُمَّ اِلَيهِ تُرْجَعُونَ
Apakah mereka mengambil
penolong-penolong selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu
mengambil syafaatnya juga), padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan
tidak memiliki akal?. Katakanlah : hanya kepunyaan Allah semua syafa’at (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya
kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.
Allah Swt sangat murka dan merasa jijik
(najis) melihat mukmin yang hatinya berbuat syirik. Dan bila seseorang hatinya
telah mati, ia tidak memiliki rasa takut kepada-Nya meskipun sering berbuat
kemusyirikan, na’udzu billah. Rasulullah Saw
bersabda : [1]
أَبْغَضُ إِلَهٍ عُبِدَ فِي الأَرضِ هُوَ الهَوَى :
Sesembahan dibumi yang paling dibenci oleh Allah adalah hawa nafsu.
أَبْغَضُ إِلَهٍ عُبِدَ فِي الأَرضِ هُوَ الهَوَى :
Sesembahan dibumi yang paling dibenci oleh Allah adalah hawa nafsu.
Dan dalam ayat 28 surat at-Taubah, Allah Swt juga mengabarkan kebencian dan
kejijkan-Nya terhadap kaum musyrikin :
يَأَيُّها الذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا المُشْرِكُونَ نَجَسٌ :
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang musyrik itu najis.
يَأَيُّها الذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا المُشْرِكُونَ نَجَسٌ :
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang musyrik itu najis.
Membersihkan
hati dari pemahaman syirik, merupakan fardlu ain. Karena, amal ibadah akan
menjadi sia-sia bila didasari iman syirik. Serta merupakan dosa terbesar yang
tidak akan mendapatkan ampunan-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-An’aam : 88 :
وَلَوْ
أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ :
Dan jika mereka pada musyrik, maka niscaya menjadi sia-sia dari mereka apa yang telah mereka amalka. Dan, Qs. An-Nisa’ : 48 :
Dan jika mereka pada musyrik, maka niscaya menjadi sia-sia dari mereka apa yang telah mereka amalka. Dan, Qs. An-Nisa’ : 48 :
إِنَّ اللهَ
لاَيَغْفِرُ أَنْ يشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَالِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa menyekutukan makhluk dengan-Nya (syirik) dan mengampuni dosa lainnya bagi yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa menyekutukan makhluk dengan-Nya (syirik) dan mengampuni dosa lainnya bagi yang dikehendaki-Nya.
Seseorang
dapat bertemu (liqa’/ makrifat) kepada Tuhannya,
sekiranya ia tidak menyekutukan-Nya dengan makhluk serta beramal shalih. Firman Allah Swt,
Qs, al-Kahfi : 110 :
وَمَنْ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلاً صالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Dan
siapa saja yang menginginkan bertemu Tuhannya, maka berkerjakanlah amal shalih
serta tidak menyekutukannya dengan makhluk sedikitpun.
Sebagai mukmin
yang ingin menyempurnakan iman, haruslah benar-benar memahami dan memperhatikan
hati dari sifat-sifat syirik. Menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (musyrik),
tidak sekedar sebagai kotoran hati, namun ia merupakan najis (kotoran yang
menjijikkan) hati, dan merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt
serta sia-sia amal ibadah yang dilaksanakan. Hadlaratul Mukarram Romo KH. Abdul
Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo,
menfatwakan bahwa syirik merupakan pangkal segala penyakit hati.
Pada umumnya, manusia kurang peka dan perhatian terhadap penyakit
hati (terutama syirik). Mereka menganggap syirik, ujub, riya’ dan penyakit hati
lainnya merupakan hal yang lumrah dan biasa. Hal ini disebabkan oleh fikiran
dan hati yang sudah terbakar oleh nafsu, hati yang buta, dan hati yang hampir mati.
Lain itu pula, hati yang telah mati akan menyebabkan lahirnya pemahaman
terbalik. Artinya, syirik dianggap sebagai tauhid, dan tauhid dianggap sebagai
syirik. Dan memang hanya orang-orang yang hatinya hidup dan mendapat
hidayah-Nya saja, yang dapat memahami dan membedakan antara tauhid dan syirik.
Sadar BILLAH dalam setiap saat, waktu dan kondisi itulah tauhid,
me-Maha Esa-kan dan me-Maha Besar-kan Allah Swt. Dan tidak sadar BILLAH
(LINAFSIH dalam istilah Wahidiyah), tergantung dan berhenti pada makhluk itulah
kemusyrikan. Membebaskan jiwa manusia dari belenggu kemusyrikan merupakan inti
dan pokok dalam perjuangan Wahidiyah, perjuangan FAFIRRU ILALLAH WA RASULIHI
SAW.
2.
Arti Wahidiyah.
Wahidiyah bukanlah sebuah golongan atau aliran baru dalam Islam,[2]
sebagaimana anggapan atau asumsi dari orang-orang yang belum memahaminya. Ia merupakan
kondisi iman seserorang yang telah terbebas dari kemusyrikan. WAHIDIYAH
merupakan kesadaran mukmin dalam berke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
WAHIDIYAH merupakan kata dalam bahasa arab yang diambil dari kata
WAAHID yang memiliki arti “satu/ esa/ tunggal”. Kemudian kata ini dalam asmaul husna (asma Allah Swt yang sangat
baik) dikhususkan hanya kepada-Nya, yang berarti Dzat Yang Maha Esa. Kata
وَاحِد ini jika
ditambah dengan “ya’ nisbah/ يَة ” pada akhir
kalimah, menjadi وَاحِدِيَة / WAHIDIYAH yang memiliki arti : pemahaman yang berkaitan atau
berhubungan dengan ke-Esa-an Allah Swt. Dengan pengertian semacam ini, para
ulama sufi sering
mengartikannya dengan MENG-ESA-KAN atau me-MAHA ESA-kan Allah Swt.
Jadi,
WAHIDIYAH dapat dipahami sebagai lawan kata dari Syirik.
Bertauhid bukan sekedar pengetahuan tentang ke-ESA-an Allah Swt, bukan sekedar dapat mengapal asma dan
sifat-sifat-nya. Akan tetapi, ia lebih murapakan perbuatan hati/ tindakan
jiwa/ prilaku batin yang telah dapat memahami keberadaan dan kekuasaan-Nya
dalam semesta alam. Dapat memandang kebesaran Allah Swt, dalam segala makhluk.
Dengan demikian, dalam membebaskan hati
dari musyrik, tidak dapat dengan cara meniadakan makhluk dalam alam fikiran.
Karena hal ini tidak mungkin dapat dilakukan. Maka,
seseorang dikatakan : tidak menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (bertauhid/ berwahidiyah),
ketika berhubungan dengan makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra), selama
memahami bahwa keberadaan makhluk dengan segala yang melekatinya semata-semata
sebagai pancaran dari Allah Swt.
Meng-ESA-kan
Allah Swt, tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan cara meniadakan makhluk dari
alam fikiran atau dari hati. Dalam meng-ESA-kan-Nya secara sempurna tidak bisa tanpa melalui makhluk dengan memahami kebesaran Allah Swt.
Sebab selama kita wujud baik dalam alam fana atau alam baqa, tidak mungkin bisa
terbebas dari wujudnya makhluk. Diri kita, gerak-gerik lahir batin kita,
lingkungan kita, alam fikiran, batin kita, dan bahkan perbuatan kita
meng-ESA-kan-Nya juga termasuk makhluk. Dengan demikian, agar dapat
meng-ESA-kan Allah Swt (tidak usyrik), sarananya adalah :
1.
Melalui makhluk (termasuk diri sendiri).
2.
Mengetrapkan
ajaran atau prinsip LILLAH dan BILLAH secara dzauqiyah.
3.
Memahami dan
menyadari bahwa makhluk tidak dapat memberi manfaat atau madlaraat kepada diri
sendiri atau kepada lainnya, kecuali atas izin dan kuasa Allah Swt semata.
Makhluk hanya sebagai pancaran dan sarana Allah Swt dalam mengatur makhluk
lainnya. Demikian pula Rasulullah
Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra, juga hanya sebagai pintu atau sarana-Nya.[3]
Makna wahidiyah dalam pandangan para waliyullah
dan al-Ghauts Ra :
الوَاحِدُ يَتَعَدَّدُ بِالمَظَاهِرِ
وَالآحَدُ لاَيَتَعَدَّدُ لأَنَّهُ خُلاَصَة الوَاحِدُ فَإِذَا تَعَدَّدَ الوَاحِدُ
تَنْزِيْلٌ لِكَمَالِ الدَائرَةِ وَإِذَا تَكَمَّلَتْ صَارَتْ حَقِيْقَةَ
وَاحِدِيَةً أَحَدِيَةً لِجَمِيْعِ الدَوَائِرِ فَهَذِهِ خَلاَصَةُ الحَقَائِقِ.
فَمَنْ صَدَقَ اللهَ وَوَحَّدَهُ اللهُ فَصَارَ وَاحِدًاعَارِفا
بِاللهِ
وَللهِ.
Al-Wahid,
dalam penampakannya pada makhluk menunjukkan jumlah bilangan. Sedangkan al-Ahad
tidak menunjukkan jumlah bilangan, karena ia merupakan
ringkasan dari al-Wahid. Ketika al-Wahid tampak dalam jumlah
bilangan, bertujuan untuk kesempurnaan seluruh wujud. Dan ketika
keberadaan wujud telah sempurna, maka wujud alam ini sebagai
hakikat Wahidiyah dan Ahadiyah, yang
mana ia merupakan
ringkasan seluruh hakikat wujud. Barang siapa yang dibenarkan (agamanya) oleh
Allah, maka Allah memberinya (ilmu) tauhid, serta Allah
menjadikannya sebagai satu-satunya hamba yang sadar Billah dan Lillah.
2.
Dan al-Ghauts
fii Zamanihi Imam al-Gazali Ra, ketika memberi penjelasan makna surat ikhlas,
mengatakan : [5]
فَالوَاحِدُ نَفْيُ الشَرِيْكِ
فَالأحَدُ نَفْيُ الكَثْرَةِ فِي ذَاتِهِ الصَمَدُ المُحْتَاجُ إِلَيْهِ غَيْرُهُ.
والصَمَدِيَهُ دَلِيْلٌ عَلَى الوَاحِدِيَةِ وَالآحَدِيَةِ.
Makna al-Wahid,
adalah ketiadaan sekutu (bagi-Nya), sedangkan makna al-Ahad, adalah
ketiadaan jumlah (susunan) didalam Dzat-Nya,(yang menjadi) tempat bergantungnya
makhluk, dan yang selain diri-Nya berhajat kepada-Nya. Shamadiyah
(ketergantungan hamba kepada Allah meskipun berinteraksi makhluk), merupakan
bukti kepada tauhid Wahidiyah dan Ahadiyah.
عَبْدُ
الوَاحِدُ : هُوَ الذِي بَلَغَهُ اللهُ الحَضْرَةَ الوَاحِدِيَةَ وَكَشَفَ لَهُ
عَنْ أَحَدِيَةِ جَمِيْعِ أَسمَائِهِ, فَيَدْرِكُ مَا يُدْرَكُ وَيَفْعَلُ مَا
يُفْعَلُ بِأَسْمَائِهِ وَيُشَاهِدُ وُجُودَهُ بِأَسْمَائِهِ الحُسْنَى. وَهُوَ
وَحِيْدُ الوَقتِ صَاحِبُ الزَمَانِ الَذِي لَهُ القُطْبِيَةُ الكُبْرَى
بِالأَحَدِيَةِ
Abdul
Wahid : adalah orang yang Allah telah menghendakinya sampai ke derajat hadlrah
Wahidiyah. Dan Allah telah membukakan tabir baginya dari sinar Ahadiyah seluruh
asma-Nya. Hamba ini dapat menemukan sesuatu (atas izin Allah semata) yang Dia
temukan, dan melakukan sesuatu yang Dia lakukan. Dan dapat musyahadah tentang
wujud-Nya dengan asma-Nya yang baik. Dialah satu-satunya hamba Allah (yang
sempurna) pada waktu itu. Dialah orang yang memahami (baik buruknya) zaman. Dan
yang baginya (derajat) wali quthub yang besar dengan pemahaman iman Ahadiyah.
4.
Al-Ghauts fi
Zamanihi Syekh Abdul Karim al-Jilliy Ra (w. 826 H) menjelaskan tentang makna
iman Wahidiyah : [7]
والنَاظِرُ فِي مِرأَة هَذَا
الاِسْمِ ذَوْقًا يَكُونُ عِنْدَهُ مِنْ عُلُومِ التَوْحِيْدِ عِلْمُ
الوَاحِدِيَّةِ
Dan orang
yang hatinya dapat memandang (kepada Allah Swt) dalam cermin
makhluk ini dengan dzauqiyah (rasa
hati), maka orang tersebut memiliki beberapa ilmu tauhid, yaitu ilmu Wahidiyah.
5.
Al-Ghauts fi Zamanihi
Syeh Kamskhanawi Ra dalam kitab Jami’ al-Ushul, bagian mutammimat pada bab “shad dan dha”, menjelaskan :
صُوَرُ الحَقِّ هُوَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِتَحَقُّقِهِ بِالحَقِيْقَةِ الأَحَدِيَةِ وَالوَاحِدِيَةِ
Yang dinamakan Citra al-Haq: adalah Nabi Muhammad Saw, yang telah
membuktikan dengan semestinya tentang hakikat maqam Ahadiyah dan Wahidiyah.
ظِلُّ الإلَهِ هُوَ الإِنْسَانُ
الكَامِلُ المُتَحَقِّقُ بِالْحَضْرَةِ َالْوَاحِدِيَة
Payung
Tuhan (untuk makhluk/ dalam bumi) adalah manusia sempurna yang telah dapat menyatakan maqam hadhrah
Wahidiyah.
Dikatakan
syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika seseorang mengambil
makhluk sebagai penolong, dengan anggapan pertolongan tersebut datangnya dari
makhluk tersebut, dan bukan dari Allah Swt. Sebagaimana keterangan dalam firman
Allah Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44 :
أَمِ اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لاَ يَمْلِكُوْنَ
شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَمَوَاتِ
وَالاَرْضِ ثُمَّ اِلَيهِ تُرْجَعُونَ
Apakah mereka
mengambil penolong-penolong
selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu mengambil syafaatnya juga),
padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan tidak memiliki akal?.
Katakanlah : hanya kepunyaan
Allah semua syafa’at [8] (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian
kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.
B.
Pengetrapan
Ajaran Wahidiyah .....................Bersambung .........
[1]. HR. Thabrani dari Abi
Umaamah.
[2]. Dalam Islam terdapat
(dibolehkannya lahir) beberapa aliran yang positif. Misalnya, dalam ilmu fiqh,
terdapat aliran Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hanbali, as-Tsauri atau ad-Dzahiri, dan dalam lingkungan ilmu bahasa arab
terdapat aliran Bashrah dan aliran Kufah, dan dalam system pembacaan al-Qur’an
terdapat 7 aliran (Ashim, Kisai, Hamzah,
Hafash), 10 atau 15 aliran yang dikenal dengan qira’ah sab’ah, asyarah atau
khamsyah ‘asyar. Demikian pula dalam ilmu tasawuf terdapat aliran Kufi,
Bashri, Mishri, Hijazi. Semua aliran positif diatas tidak
bertentangan, bahkan mendukung pemahaman dan pendalaman pokok-pokok dasar
ajaran Islam.
وَمِنَ
الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يَتَّخِذَ الأَولِيَاءَ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ :
Termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah dengan mahluk), sekiranya mengambil auliya’ tanpa Allah. Lihat kitab Thabaqatul Kubra karya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra juz II dalam bab “kisah Imam Syadzili”.
Termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah dengan mahluk), sekiranya mengambil auliya’ tanpa Allah. Lihat kitab Thabaqatul Kubra karya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra juz II dalam bab “kisah Imam Syadzili”.
Keterangan
yang sama juga berikan a al-Ghauts fii Zamanihi Imam Kamasykhanawi Ra dalam
kitabnya Jami’ al-Ushuul pada bab syafaat :
الشِرْكُ بِاللهِ اِتِّخَاذُ الأَوْلِيَاءِ وَالشُفَعَاءِ دُوْنَ اللهِ:
Syirik dengan Allah adalah mengambil (menjadikan) para waliyullah atau para penolong tanpa Allah.
الشِرْكُ بِاللهِ اِتِّخَاذُ الأَوْلِيَاءِ وَالشُفَعَاءِ دُوْنَ اللهِ:
Syirik dengan Allah adalah mengambil (menjadikan) para waliyullah atau para penolong tanpa Allah.
[5]. Kitab al-Madlnun
Bih ‘alaa Ghairi Ahlih, Imam al-Ghazali Ra dalam pasal IV pada bab
perbedaan makna Wahid dan Ahad
[8] HR. Thabrani
(Ibnu Umar) dan riwayat Abu Nuaim serta Baihaqi (Abu Hurairah)Rasulullah Saw
bersabda : المَقَامُ المَحْمُودُ الشَفَاعَةُ : Kedudukan yang terpuji (bagi Rasulullah) adalah syafaat. Dalam kitab Jami’
as-Shagir, juz II, pada bab “miim”. Hadis ini hasan dan shahih.
Tentang arti
syafa’at Rasulullah Saw, dalam kitab Dalil al-Falihin-nya Syeh Muhammad
Ibn ‘Alan al-Makkiy (w. 1058 H), juz II, dalam bab “as-Syafa’ah”, Imam ar-Raziy
berkata :
وَأَصْلُهَا
الشَفْعُ ضِدُّ الوِتْرِ كَأَنَّ صَاحِبَ الحَاجَةِ كَانَ فَرْدًا فَصَارَ صَاحِبُ
الشَفْعِ
لَهُ شَفْعًا أَيْ صَارَ زَوْجًا
Dan
asalnya makna syafa’at itu “genap” kebalikan “ganjil”. Sehingga, sesungguhnya,
orang yang menghajatkan syafa’at itu, seakan-akan seorang diri, maka pemilik
syafa’at akan menjadi penggenap bagi orang itu. Yakni, menjadi pendamping
hidup.
Dan
dalam kitab Sa’adah ad-Daraini nya Syeh An-Nabhani, dalam bab 5, tentang syafaat Rasulullah Saw,
yang menukil dari fatwa Imam Ghazali :
أنَّهَا نُورٌ يُشْرَقُ مِنَ
الحَضْرَةِ الاِلَهِيَةِ عَلَى جوهَرِ النُبُوَّةِ وَيُنْشَرُ مِنْهُ عَلَى كُلِّ
جَوُهرٍ
Sesungguhnya,
syafa’at itu merupakan NUR dari keharibaan Tuhan kepada diri Nabi. Kemudian
dari Nabi, NUR itu dipancarkan kepada seluruh mahluk.
Penjelasan
yang sama, juga dijelaskan dalam kitab Jami al-Ushul-nya Syeh
Kamsykhanawi Ra dalam “Bayan as-Syafaah”
KETERANGAN : MATERI UP GRADING DA'I WAHIDIYAH OLEH YPW PUSAT KEDUNGLO KEDIRI.
KETERANGAN : MATERI UP GRADING DA'I WAHIDIYAH OLEH YPW PUSAT KEDUNGLO KEDIRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar