Rabu, 06 April 2016

AJARAN WAHIDIYAH

BAB  III
AJARAN  WAHIDIYAH

Bahasan   1
Pengertian Ajaran Wahidiyah


A.              Pengertian Wahidiyah.
1.                 Syirik Dan Tauhid
Membebaskan jiwa manusia dari kemusyrikan merupakan visi dan missi perjuangan para nabi dan rasul yang paling utama. Dan perjuangan ini kemudian diteruskan oleh para waliyullah dan kuhususnya para al-Ghauts Ra pada setiap zaman. Memahami kedudukan Allah Swt Pencipta alam semesta dan posisi makhluk, merupakan garis demarkasi (al-had al-fashil) antara tauhid dan syirik. Ketentuan sesat atau tidak terhadap iman seseorang, ditentukan dalam pemahaman ini.
Syirik adalah paham yang mengatakan bahwa Allah Swt memiliki pembantu atau sekutu dalam menciptakan dan mengatur alam semesta. Dengan demikian paham yang mengatakan, makhluk dengan dirinya sendiri dapat mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemadlorotan baik untuk dirinya atau untuk lainnya, merupakan paham syirik. Misalkan saja, kita merasa dapat menolong kepada diri sendiri atau dapat menolong keluarga dan orang lain dengan tanpa izin Allah Swt. Atau air dengan dirinya sendiri (tanpa izin Allah Swt) dapat menghilangkan haus, menyegarkan tubuh, merebus masakan, menghidupkan tanaman. Racun dengan dirinya sendiri, tanpa Allah dapat mendatangkan kematian kepada manusia. Demikian pula dalam kasus kehidupan makhluk yang tanpa izin-Nya tidak dapat memberikan manfaat kepada dirinya atau lainnya.
Dan, al-Qur’an menerangkan, secara umum keimanan seseorang terhadap Allah Swt dan kekuasaan-Nya, masih bercampur dengan pemahaman syirik (menyekutukan-Nya dengan makhluk). Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt , Qs. Yusuf : 106 :

 وَمَايُؤْمِن أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ اِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ

Dan tidak beriman kepada Allah kebanyakan manusia, kecuali mereka mempersekutukan-Nya.
 Dan pula, kebanyakan manusia menganggap rendah dan remeh terhadap nilai dosa syirik, hingga tidak ada keinginan atau usaha untuk membersihkannya. Padahal Allah Swt sangat benci dan murka jika Dia Azza wa Jalla disekutukan dengan makhluk. Dikatakan syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika seseorang mengambil makhluk (termasuk diri sendiri) sebagai penolong, dengan anggapan datangnya pertolongan dari makhluk, bukan dari Allah Swt. Firman Allah Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44  :

أَمِ اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لاَ يَمْلِكُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَمَوَاتِ وَالاَرْضِ ثُمَّ اِلَيهِ تُرْجَعُونَ

Apakah  mereka  mengambil  penolong-penolong selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu mengambil syafaatnya juga), padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan tidak memiliki akal?. Katakanlah : hanya kepunyaan Allah semua syafa’at  (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.

Allah Swt sangat murka dan merasa jijik (najis) melihat mukmin yang hatinya berbuat syirik. Dan bila seseorang hatinya telah mati, ia tidak memiliki rasa takut kepada-Nya meskipun sering berbuat kemusyirikan, na’udzu billah. Rasulullah Saw bersabda : [1]   

أَبْغَضُ إِلَهٍ عُبِدَ فِي الأَرضِ هُوَ الهَوَى

Sesembahan dibumi yang paling dibenci oleh Allah adalah hawa nafsu.  
Dan dalam ayat 28 surat at-Taubah, Allah Swt juga mengabarkan kebencian dan kejijkan-Nya terhadap kaum musyrikin : 

يَأَيُّها الذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا المُشْرِكُونَ نَجَسٌ

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang musyrik itu najis.
Membersihkan hati dari pemahaman syirik, merupakan fardlu ain. Karena, amal ibadah akan menjadi sia-sia bila didasari iman syirik. Serta merupakan dosa terbesar yang tidak akan mendapatkan ampunan-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-An’aam : 88 :

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ

Dan jika mereka pada musyrik, maka niscaya menjadi sia-sia dari mereka apa yang telah mereka amalka. Dan, Qs. An-Nisa’ : 48  :

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَنْ يشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَالِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa menyekutukan makhluk dengan-Nya (syirik) dan mengampuni dosa lainnya bagi yang dikehendaki-Nya.

Seseorang dapat bertemu (liqa’/ makrifat) kepada Tuhannya, sekiranya ia tidak menyekutukan-Nya dengan makhluk serta beramal shalih. Firman Allah Swt, Qs, al-Kahfi : 110 :

وَمَنْ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.

Dan siapa saja yang menginginkan bertemu Tuhannya, maka berkerjakanlah amal shalih serta tidak menyekutukannya dengan makhluk sedikitpun.
Sebagai mukmin yang ingin menyempurnakan iman, haruslah benar-benar memahami dan memperhatikan hati dari sifat-sifat syirik. Menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (musyrik), tidak sekedar sebagai kotoran hati, namun ia merupakan najis (kotoran yang menjijikkan) hati, dan merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt serta sia-sia amal ibadah yang dilaksanakan. Hadlaratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, menfatwakan bahwa syirik merupakan pangkal segala penyakit hati.
Pada umumnya, manusia kurang peka dan perhatian terhadap penyakit hati (terutama syirik). Mereka menganggap syirik, ujub, riya’ dan penyakit hati lainnya merupakan hal yang lumrah dan biasa. Hal ini disebabkan oleh fikiran dan hati yang sudah terbakar oleh nafsu, hati yang buta, dan hati yang hampir mati. Lain itu pula, hati yang telah mati akan menyebabkan lahirnya pemahaman terbalik. Artinya, syirik dianggap sebagai tauhid, dan tauhid dianggap sebagai syirik. Dan memang hanya orang-orang yang hatinya hidup dan mendapat hidayah-Nya saja, yang dapat memahami dan membedakan antara tauhid dan syirik.

Sadar BILLAH dalam setiap saat, waktu dan kondisi itulah tauhid, me-Maha Esa-kan dan me-Maha Besar-kan Allah Swt. Dan tidak sadar BILLAH (LINAFSIH dalam istilah Wahidiyah), tergantung dan berhenti pada makhluk itulah kemusyrikan. Membebaskan jiwa manusia dari belenggu kemusyrikan merupakan inti dan pokok dalam perjuangan Wahidiyah, perjuangan FAFIRRU ILALLAH WA RASULIHI SAW.

2.                      Arti Wahidiyah.
Wahidiyah bukanlah sebuah golongan atau aliran baru dalam Islam,[2] sebagaimana anggapan atau asumsi dari orang-orang yang belum memahaminya. Ia merupakan kondisi iman seserorang yang telah terbebas dari kemusyrikan. WAHIDIYAH merupakan kesadaran mukmin dalam berke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
WAHIDIYAH merupakan kata dalam bahasa arab yang diambil dari kata WAAHID yang memiliki arti “satu/ esa/ tunggal”. Kemudian kata ini dalam asmaul husna (asma Allah Swt yang sangat baik) dikhususkan hanya kepada-Nya, yang berarti Dzat Yang Maha Esa. Kata وَاحِد ini jika ditambah dengan “ya’ nisbah/ يَة ” pada akhir kalimah, menjadi وَاحِدِيَة / WAHIDIYAH yang memiliki arti : pemahaman yang berkaitan atau berhubungan dengan ke-Esa-an Allah Swt. Dengan pengertian semacam ini, para ulama sufi sering mengartikannya dengan MENG-ESA-KAN atau me-MAHA ESA-kan Allah Swt.

Jadi, WAHIDIYAH dapat dipahami sebagai lawan kata dari Syirik.
Bertauhid bukan sekedar pengetahuan tentang ke-ESA-an Allah Swt, bukan sekedar dapat mengapal asma dan sifat-sifat-nya. Akan tetapi, ia lebih murapakan perbuatan hati/ tindakan jiwa/ prilaku batin yang telah dapat memahami keberadaan dan kekuasaan-Nya dalam semesta alam. Dapat memandang kebesaran Allah Swt, dalam segala makhluk.
Dengan demikian, dalam membebaskan hati dari musyrik, tidak dapat dengan cara meniadakan makhluk dalam alam fikiran. Karena hal ini tidak mungkin dapat dilakukan. Maka, seseorang dikatakan : tidak menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (bertauhid/ berwahidiyah), ketika berhubungan dengan makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra), selama memahami bahwa keberadaan makhluk dengan segala yang melekatinya semata-semata sebagai pancaran dari Allah Swt.

Meng-ESA-kan Allah Swt, tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan cara meniadakan makhluk dari alam fikiran atau dari hati. Dalam meng-ESA-kan-Nya secara sempurna tidak bisa tanpa melalui makhluk dengan memahami kebesaran Allah Swt. Sebab selama kita wujud baik dalam alam fana atau alam baqa, tidak mungkin bisa terbebas dari wujudnya makhluk. Diri kita, gerak-gerik lahir batin kita, lingkungan kita, alam fikiran, batin kita, dan bahkan perbuatan kita meng-ESA-kan-Nya juga termasuk makhluk. Dengan demikian, agar dapat meng-ESA-kan Allah Swt (tidak usyrik), sarananya adalah :
1.       Melalui makhluk (termasuk diri sendiri).
2.       Mengetrapkan ajaran atau prinsip LILLAH dan BILLAH secara dzauqiyah.
3.       Memahami dan menyadari bahwa makhluk tidak dapat memberi manfaat atau madlaraat kepada diri sendiri atau kepada lainnya, kecuali atas izin dan kuasa Allah Swt semata. Makhluk hanya sebagai pancaran dan sarana Allah Swt dalam mengatur makhluk lainnya. Demikian pula Rasulullah Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra, juga hanya sebagai pintu atau sarana-Nya.[3]

Makna wahidiyah dalam pandangan para waliyullah dan al-Ghauts Ra :
1.                 Al-Ghauts fi Zamanihi Syekh Abdul Wahhab Sya’rani  Ra dalam menerangkan : [4].

الوَاحِدُ يَتَعَدَّدُ بِالمَظَاهِرِ وَالآحَدُ لاَيَتَعَدَّدُ لأَنَّهُ خُلاَصَة الوَاحِدُ فَإِذَا تَعَدَّدَ الوَاحِدُ تَنْزِيْلٌ لِكَمَالِ الدَائرَةِ وَإِذَا تَكَمَّلَتْ صَارَتْ حَقِيْقَةَ وَاحِدِيَةً أَحَدِيَةً لِجَمِيْعِ الدَوَائِرِ فَهَذِهِ خَلاَصَةُ الحَقَائِقِ. فَمَنْ صَدَقَ اللهَ وَوَحَّدَهُ اللهُ فَصَارَ وَاحِدًاعَارِفا بِاللهِ وَللهِ.

Al-Wahid, dalam penampakannya pada makhluk menunjukkan jumlah bilangan. Sedangkan al-Ahad tidak menunjukkan jumlah bilangan, karena ia merupakan ringkasan dari al-Wahid. Ketika al-Wahid tampak dalam jumlah bilangan, bertujuan untuk kesempurnaan seluruh wujud. Dan ketika keberadaan wujud telah sempurna, maka wujud alam ini sebagai hakikat Wahidiyah dan Ahadiyah, yang mana ia merupakan ringkasan seluruh hakikat wujud. Barang siapa yang dibenarkan (agamanya) oleh Allah, maka Allah memberinya (ilmu) tauhid, serta Allah menjadikannya sebagai satu-satunya hamba yang sadar Billah dan Lillah.
2.                 Dan al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Gazali Ra, ketika memberi penjelasan makna surat ikhlas, mengatakan  : [5] 

فَالوَاحِدُ نَفْيُ الشَرِيْكِ فَالأحَدُ نَفْيُ الكَثْرَةِ فِي ذَاتِهِ الصَمَدُ المُحْتَاجُ إِلَيْهِ غَيْرُهُ. والصَمَدِيَهُ دَلِيْلٌ عَلَى الوَاحِدِيَةِ وَالآحَدِيَةِ.

Makna al-Wahid, adalah ketiadaan sekutu (bagi-Nya), sedangkan makna al-Ahad, adalah ketiadaan jumlah (susunan) didalam Dzat-Nya,(yang menjadi) tempat bergantungnya makhluk, dan yang selain diri-Nya berhajat kepada-Nya. Shamadiyah (ketergantungan hamba kepada Allah meskipun berinteraksi makhluk), merupakan bukti kepada tauhid Wahidiyah dan Ahadiyah.
3.                 Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Dliyauddin Kamasykhanawi Ra mengatakan: [6]

عَبْدُ الوَاحِدُ : هُوَ الذِي بَلَغَهُ اللهُ الحَضْرَةَ الوَاحِدِيَةَ وَكَشَفَ لَهُ عَنْ أَحَدِيَةِ جَمِيْعِ أَسمَائِهِ, فَيَدْرِكُ مَا يُدْرَكُ وَيَفْعَلُ مَا يُفْعَلُ بِأَسْمَائِهِ وَيُشَاهِدُ وُجُودَهُ بِأَسْمَائِهِ الحُسْنَى. وَهُوَ وَحِيْدُ الوَقتِ صَاحِبُ الزَمَانِ الَذِي لَهُ القُطْبِيَةُ الكُبْرَى بِالأَحَدِيَةِ

Abdul Wahid : adalah orang yang Allah telah menghendakinya sampai ke derajat hadlrah Wahidiyah. Dan Allah telah membukakan tabir baginya dari sinar Ahadiyah seluruh asma-Nya. Hamba ini dapat menemukan sesuatu (atas izin Allah semata) yang Dia temukan, dan melakukan sesuatu yang Dia lakukan. Dan dapat musyahadah tentang wujud-Nya dengan asma-Nya yang baik. Dialah satu-satunya hamba Allah (yang sempurna) pada waktu itu. Dialah orang yang memahami (baik buruknya) zaman. Dan yang baginya (derajat) wali quthub yang besar dengan pemahaman iman Ahadiyah.
4.                 Al-Ghauts fi Zamanihi Syekh Abdul Karim al-Jilliy Ra (w. 826 H) menjelaskan tentang makna iman Wahidiyah  : [7] 

  والنَاظِرُ فِي مِرأَة هَذَا الاِسْمِ ذَوْقًا يَكُونُ عِنْدَهُ مِنْ عُلُومِ التَوْحِيْدِ عِلْمُ الوَاحِدِيَّةِ  

Dan  orang  yang hatinya dapat memandang (kepada Allah Swt) dalam cermin makhluk  ini dengan dzauqiyah (rasa hati), maka orang tersebut memiliki beberapa ilmu tauhid, yaitu ilmu Wahidiyah.
5.                 Al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Kamskhanawi Ra dalam kitab Jami’ al-Ushul, bagian mutammimat  pada bab “shad dan dha”, menjelaskan :  

صُوَرُ الحَقِّ هُوَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِتَحَقُّقِهِ بِالحَقِيْقَةِ الأَحَدِيَةِ وَالوَاحِدِيَةِ

Yang dinamakan Citra al-Haq: adalah Nabi Muhammad Saw, yang telah membuktikan dengan semestinya tentang hakikat maqam Ahadiyah dan Wahidiyah.

ظِلُّ الإلَهِ هُوَ الإِنْسَانُ الكَامِلُ المُتَحَقِّقُ بِالْحَضْرَةِ َالْوَاحِدِيَة

Payung Tuhan (untuk makhluk/ dalam bumi) adalah manusia sempurna  yang telah dapat menyatakan maqam hadhrah Wahidiyah.
Dikatakan syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika seseorang mengambil makhluk sebagai penolong, dengan anggapan pertolongan tersebut datangnya dari makhluk tersebut, dan bukan dari Allah Swt. Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44  :

أَمِ اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لاَ يَمْلِكُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَمَوَاتِ وَالاَرْضِ ثُمَّ اِلَيهِ تُرْجَعُونَ

Apakah  mereka  mengambil  penolong-penolong selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu mengambil syafaatnya juga), padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan tidak memiliki akal?.
Katakanlah : hanya kepunyaan Allah semua syafa’at [8] (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.

B.              Pengetrapan Ajaran Wahidiyah .....................Bersambung  .........




[1].    HR. Thabrani dari Abi Umaamah.
[2].    Dalam Islam terdapat (dibolehkannya lahir) beberapa aliran yang positif. Misalnya, dalam ilmu fiqh, terdapat  aliran Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, as-Tsauri atau ad-Dzahiri, dan dalam lingkungan ilmu bahasa arab terdapat aliran Bashrah dan aliran Kufah, dan dalam system pembacaan al-Qur’an terdapat  7 aliran (Ashim, Kisai, Hamzah, Hafash), 10 atau 15 aliran yang dikenal dengan qira’ah sab’ah, asyarah atau khamsyah ‘asyar. Demikian pula dalam ilmu tasawuf terdapat aliran Kufi, Bashri, Mishri, Hijazi. Semua aliran positif diatas tidak bertentangan, bahkan mendukung pemahaman dan pendalaman pokok-pokok dasar ajaran Islam.
[3].     Al-Ghauts fii Zamanihi, Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra (w. 658 H) menjelaskan :

 وَمِنَ الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يَتَّخِذَ الأَولِيَاءَ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ :

Termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah dengan mahluk), sekiranya mengambil auliya’ tanpa Allah. Lihat kitab Thabaqatul Kubra karya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra juz II dalam bab “kisah Imam Syadzili”.
Keterangan yang sama juga berikan a al-Ghauts fii Zamanihi Imam Kamasykhanawi Ra dalam kitabnya Jami’ al-Ushuul pada bab syafaat :  

 الشِرْكُ بِاللهِ اِتِّخَاذُ الأَوْلِيَاءِ وَالشُفَعَاءِ دُوْنَ اللهِ: 

Syirik dengan Allah adalah mengambil (menjadikan) para waliyullah atau para penolong tanpa Allah.
[4].     Kitab Thabaqat al-Kubro, juz II, dalam manaqib ke : 315.
[5].    Kitab al-Madlnun Bih ‘alaa Ghairi Ahlih, Imam al-Ghazali Ra dalam pasal IV pada bab perbedaan makna Wahid dan Ahad
[6].    Kitab Jami’al-Ushul dalam “Bayan Madlahir al-Auliya’ wa Maraatibihim fii al-Asma”.
[7].    Kitab al-Insan al-Kamil fii Ma’rifah al-Awail wal Awakhir, juz I dalam bab “pendahuluan”.
[8]     HR. Thabrani (Ibnu Umar) dan riwayat Abu Nuaim serta Baihaqi (Abu Hurairah)Rasulullah Saw bersabda :   المَقَامُ المَحْمُودُ الشَفَاعَةُ : Kedudukan yang terpuji (bagi Rasulullah) adalah syafaat. Dalam kitab Jami’ as-Shagir, juz II, pada bab “miim”. Hadis ini hasan dan shahih.
Tentang arti syafa’at Rasulullah Saw, dalam kitab Dalil al-Falihin-nya Syeh Muhammad Ibn ‘Alan al-Makkiy (w. 1058 H), juz II, dalam bab “as-Syafa’ah”, Imam ar-Raziy berkata  :

وَأَصْلُهَا الشَفْعُ ضِدُّ الوِتْرِ كَأَنَّ صَاحِبَ الحَاجَةِ كَانَ فَرْدًا فَصَارَ صَاحِبُ الشَفْعِ لَهُ شَفْعًا أَيْ صَارَ زَوْجًا

Dan asalnya makna syafa’at itu “genap” kebalikan “ganjil”. Sehingga, sesungguhnya, orang yang menghajatkan syafa’at itu, seakan-akan seorang diri, maka pemilik syafa’at akan menjadi penggenap bagi orang itu. Yakni, menjadi pendamping hidup.
Dan dalam kitab Sa’adah ad-Daraini nya Syeh An-Nabhani, dalam bab 5, tentang syafaat Rasulullah Saw, yang menukil dari fatwa Imam Ghazali   :

    أنَّهَا نُورٌ يُشْرَقُ مِنَ الحَضْرَةِ الاِلَهِيَةِ عَلَى جوهَرِ النُبُوَّةِ وَيُنْشَرُ مِنْهُ عَلَى كُلِّ جَوُهرٍ

Sesungguhnya, syafa’at itu merupakan NUR dari keharibaan Tuhan kepada diri Nabi. Kemudian dari Nabi, NUR itu dipancarkan kepada seluruh mahluk.
Penjelasan yang sama, juga dijelaskan dalam kitab Jami al-Ushul-nya Syeh Kamsykhanawi Ra dalam “Bayan as-Syafaah”


KETERANGAN :     MATERI UP GRADING DA'I WAHIDIYAH OLEH YPW PUSAT KEDUNGLO KEDIRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar