Sabtu, 31 Mei 2014

Catatan Kecil 54 : "Periode Pergolakan Dlm Perjuangan Wahidiyah".

YAA SAYYIFDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
KISAH DAN PETUAH
Catatan Kecil 54 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KETAHUI, RASAKAN DAN ALAMI DALAM PERJUANGAN WAHIDIYAH TTG "Periode Pergolakan Dlm Perjuangan Wahidiyah".
Dalam masa ini Perjuangan Wahidiyah menghadapi satu konflik atau tantangan yang berarti, baik tantangan dari internal Wahidiyah ataupun dari luar Wahidiyah.
………………….
………………….
BERISI AYAT DAN HADIS YANG COCOK
a. Gangguan Internal
1) Kholwah Bening Lodoyo
Perjuangan tanpa adanya hambatan adalah impossible. Demikian juga Perjuangan Wahidiyah mengalami gangguan-gangguan yang ditimbulkan oleh pengamal Wahidiyah itu sendiri. Di berbagai daerah muncul kelompok atau jamaah yang mengaku sebagai pengamal Wahidiyah, tetapi dalam mengamalkan Sholawat Wahidiyah tidak sesuai dengan bimbingan Mu’allif Sholawat Wahidiyah QS RA.
Di daerah Blitar, tepatnya di desa Bening, Kecamatan Lodoyo muncul sebuah kelompok yang dinamai “Kholwah Bening Lodoyo”. Kelompok ini dipimpin Fadlan dan Basthomi, pengamal Wahidiyah yang sangat berpengaruh di daerahnya. Bentuk penyimpangan yang dilakukan antara lain, Mujahadah yang dilaksanakan bersama pengikutnya dia namakan “Kholwah” dengan tata aturan sendiri yang menyimpang dari bimbingan Mu’allif Sholawat Wahidiyah. Membagi-bagikan foto dirinya yang berdampingan dengan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA dengan kesan bahwa dia berkedudukan seimbang dengan Mu’allif Sholawat Wahidiyah.[23] Bahkan pimpinan Kholwah Bening Lodoyo berencana akan memindahkan pelaksanaan Mujahadah Kubro dari Kedunglo ke Bening Lodoyo.[24]
Sebelum kelompok ini berkembang lebih jauh Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA mengutus dua orang, K.H. Zaenal Fanani dan H. Muhtar Abdoel Hamid, untuk menyampaikan pesan Mu’allif Sholawat Wahidiyah QS RA agar kelompok Kholwah Bening Lodoyo segera kembali dan menjadi satu dengan Kedunglo. Akan tetapi pimpinan Kholwah Bening Lodoyo dan pengikutnya tidak bisa memenuhinya. Mereka menjawab, “Tidak bisa ! Kholwah Bening Lodoyo dengan Kedunglo sigar semongko (Semangka dibelah dua). Kalau ingin mendalami ilmu-ilmu Wahidiyah di Kedunglo dan kalau ingin mendalami Wahdiyahnya di sini (Bening)”. Setelah hasil jawaban dari pimpinan Kholwah Bening Lodoyo disampaikan kepada M’allif Sholawat Wahidiyah QS RA, beliau dawuh “Menawi mboten saged inggih piyambak-piyambak kemawon lan mboten sisah ndamel Sholawat Wahidiyah” ( apabila tidak bisa, ya sendiri-sendiri saja dan tidak usah memakai Sholawat Wahidiyah).[25]
Tidak tahu persis, berapa lama Kholwah Bening Lodoyo terus eksis dengan kegiatannya. Namun pada suatu acara di Kedunglo yang juga di hadiri oleh pimpinan Kholwah Bening Lodoyo dan pengikutnya, K.H. Hamim Djazuli di hadapan hadirin memberi peringatan keras kepada mereka ysng intinya agar kelompoknya segera mohon maaf kepada Mu’allif Sholawat Wahidiyah dan membubarkan kelompoknya serta segera kembali kepada bimbingan Mu’allif Sholawat Wahidiyah SQ RA. Sejak itulah Kholwah Bening Lodoyo dibubarkan.[26]
2) Disharmonisasi antara Pimpinan PSW Pusat
Awal munculnya benih-benih pertentangan antara pimpinan Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW) Pusat berawal dari setelah pelaksanaan Musyawarah Kubro Wahidiyah I yang dilaksanakan tanggal 12-14 Desember 1985 di Kedunglo. Musyawarah Kubro Wahidiyah I didikuti oleh seluruh fungsionaris PSW Pusat, PSW Propinsi, PSW Kabupaten dan Kota se Indonesia dan undangan tokoh-tokoh pengamal Wahidiyah dari berbagai daerah.
Musyawarah Kubro Wahidiyah I menghasilkan beberapa keputusan, di antaranya :
a. Menetapkan Garis-garis Pokok Arah Perjuangan Wahidiyah.
b. Memilih dan menetapkan Dewan Pertimbangan Perjuangan Wahidiyah disingkat DPPW beranggotakan 17 orang, diketuai oleh Agus Abdoel Latif Madjid. Tugas DPPW memberikan nasihat, saran, pertimbangan kepada PSW Pusat. Pada perkembangannya Dewan Pertimbangan Perjuangan Wahidiyah diubah menjadi Majelis Pertimbangan Wahidiyah disingkat MPW, disesuaikan dengan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PD & PRT) PSW 1987.
c. Memilih dan mengangkat personil PSW Pusat, dengan personil sebagai berikut :
Ketua : Muhammad Ruhan Sanusi
Wakil Ketua : K. Muhammad Djazuli Yusuf
Sekretaris I : Agus Imam Yahya Malik
Sekretaris II : Drs. Imam Mahrus Afandi
Dalam perjalanannya, antara PSW Pusat dan MPW tidak dapat bekerjasama sesuai yang ditetapkan dalam Garis-garis Pokok Arah Perjuangan Wahidiyah, sehingga terkesan jalan sendiri-sendiri dalam menjalankan tugasnya. Akhirnya Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA dengan arif dan bijaksana membentuk suatu team yang disebut dengan “Team-3” yang beranggotakan, K.H. Ihsan Mahin, K. Mohammad Djazuli Yusuf dan H. Mohammad Syifa’. Jabatan K. Muhammad Djazuli Yusuf sebagai wakil ketua PSW Pusat digantikan oleh Drs. Syamsul Hadi yang pada waktu itu sebagai anggota MPW. Team-3 bertugas mencari penyelesaian berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan PSW Pusat dan MPW.[27]
Team-3 segera bertindak dengan sigap untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara PSW Pusat dan MPW. Pada tanggal 7 Mei 1989 Team-3 showan kepada Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA melaporkan persiapan akan mengumpulkan pihak-pihak yang terlibat dalam berbagai permasalahan dan memohon do’a restu dan petunjuk. Tanggal 9 Mei 1986 Team-3 mengadakan pertemuan yang dihadiri lebih kurang 115 orang terdiri dari fungsionaris PSW Pusat, para anggota MPW, PSW Propinsi Jawa Timur, PSW Kabupaten/Kota Kediri, PSW Malang, PSW Tulungagung, dan para pengamal Wahidiyah yang diundang oleh Team-3. [28]
Pada pertemuan itu Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA memberikan fatwa amanat, yang selanjutnya dikenal dengan “Wasiat 9 Mei 1986”. Inilah transkip rekaman Wasiat 9 Mei 1986 :
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
…………………..
…………………..
………………
Almukarromin wal mukarromat beliau Bapak Kiai Ihsan Mahin, Bapak kiai Djayuli Yusuf, Bapak H. Syifa’ sebagai Team, dan para hadirin hadirot yang kami hormati sebagai undangan dari Team, undangan untuk musyawarah yang kita maklumi dan kita laksanankan.
Pertama-tama kami memanjatkan puja dan puji tasyakur kepada Allah SWT biqauli Alhamdulillai robbil ‘alamin, yang mana dari kita bersama mengadakan musyawarah ada berhasil dengan baik, ya sekalipun ada …. Ini dan itu, tapi toh akhirnya dengan baik. Yah mudah-mudahan musyawarah yang kita laksanakan ini benar-benar diridhoi Alloh wa Rasulihi SAW. Amin.
Terima kasih atas kepercayaan, ya maaf, beliau Bapak Tiga Team dan para bapak dan ibu pada saya untuk mengisi acara yang telah ditugaskan kepada saya ini.
Para hadirin hadirot yang kami muliakan.
Sebelum saya melanjutkan acara, saya harap dengan sangat, satu kali saja; Al- Fatihah. Ya, harap diijinkan, saya mendahului yaitu soal anu, soal yang tadi insya Allah tidak ada hubungannya dengan acara ini. Tapi sekalipun begitu, saya minta diperkenankan untuk bicara di sini. Dan saya mohon restu pada para hadirin hadirot, apa-apa yang saya bicarakan ini nanti benar-benar diridhoi Allah SWT.
Dan …. Ya, maaf…. dan terutama kalau terpaksa kami meninggalkan dunia yang fana ini nanti, yaitu;
Satu, Pondok Kedunglo. Ini adalah peninggalan orang tua saya, tapi ya sayangnya pada waktu itu saya sendirian. Dan insya Allah tidak satu kali saja. Yaitu saya dikatakan, yaitu maksudnya, Anu Djid. kowe karo Malik tak wehi iki. Kowe kidul, Malik lor. Kuwi maksude kanggo ngurip-ngurip pondok lan mesjid” (Itu Djid. Kamu sama Malik tak kasih ini. Kamu selatan Malik utara. Itu maksudnya untuk menghidupkan pondok dan masjid. Penulis.).
Jadi ini berarti bidang puniko dipikulkan pada saya dan saudara, adik saya yaitu Malik, bapaknya Yahya. Dan otomatis bukan materiilnya saja, tapi moril dan materiil. Saya dan Abdul Malik ketika itu. Tapi ya sayang, bapaknya Yahya itu meninggal lebih dulu dari pada ayah saya. Jadi setelah ayah meninggal, saya, hanya saya. Dan ini otomatis saya harus memikul atau bertanggung jawab soal moril dan materiil yang hubungan dengan pondok dan masjid. Dan ini mestinya kalau adik saya, Malik, itu sudah meninggal, mestinya anaknya, yaitu Yahya apabila dia sudah dewasa, mestinya. Jadi dua orang ini, saya dan Yahya. Ini fifty-fifty mestinya. Tapi ya maaf pada Yahya, karena selama ini, semenjak Yahya dewasa saya belum pernah mengutarakan soal ini. Jadi saya terus yang anu, yang mengemudikan masjid dan pondok ini.
Mestinya kalau sepeninggal saya, nanti keluarga saya disamping Yahya. Setengah-setengah atau separo-separo. Kalau Yahya hanya satu dan anak saya dan istri saya dua, ya maaf ya, anak saya berapa. Ini mestinya cara pembagian seperti itu, muwaris mestinya. Tanggung jawab, hak dan kewajibannya mestinya sama. Jadi kalau Yahya umpamanya, saya anu …., Pak Ruhan pernah saya …. anu, ya dengan berguarau … saya katakan …… ini begitu memang. Ini cara adilnya. Lain kalau kompromi. Nanti kalau kompromi lain lagi. Kalau adilnya….. dan mestinya ya. Ya mudah-mudahan senantiasa dapat kompromi. Nanti kalau tidak dapat, terpaksa tidak dapat kompromi, yaitu tadi harus dibagi dua. Yang satu yang 50 persen Yahya, yang 50 persen saya atau sepeninggal saya, ….. anak-anak saya semua, putra dan putri dan istri saya. Ini juga mempunyai hak dan kewajiban. Ini soal pondok dan masjid. Tapi dulu itu, ketika itu masih masjid yang lama dan pondok yang lama itu. Barang kali semua atau sebagian besar sudah tahu.
Lantas soal SMA dan SMP sekarang.
Itu ketika anu, ketika baru didirikan itu, Yahya dan Pak Mahrus datang, kalau tidak salah ini, datang menemui saya. Saya disodori blanko yang supaya neken. Yaitu diadakannya SMP dan SMA, asal tidak yaitu bertentangan dengan hukum agama dan hukum negara, begitu kalau tidak salah. Atau dengan kata lain insya Allah, asal tidak merugikan kedudukan masjid dan pondok, saya ijinkan. Waktu kalau tidak salah yaitu Pak Mahrus dan Yahya. Jadi nanti, ya mudah-mudahan semuanya ini senantiasa dapat kompromi dengan maslahat dan baik, tapi kalau terpaksa ya itu tadi, caranya yang adil, begitu tadi.
Soal Wahidiyah
Seperti kita maklumi bersama atau sebagian besar, yaitu di buku Wahidiyah dan barang kali. Pertama, saya mendapat alamat satu, dua dan tiga. Lantas pada waktu itu saya usaha bermacam-macam. Tapi yang terakhir saya menyusun sholawat. Jadi tegasnya, saya ditugaskan. Ya maaf, ini untuk anu, ya … apa adanya. Untuk ditugaskan seperti yang …. Itu.
Jadi, ya maaf para hadirin dan hadirot dan para penyiar semua ini boleh dikatakan wakil saya. Al wakil atsirul muwakkil. Di ….. ada atau tidak ada atau terutama ada persoalan, muwakkil kuasa penuh. Yaa….. maaf ya, ini. Ya mudah-mudahan saya ini tidak diliputi oleh linnafsi binnafsi. Sekarang ya maaf, secara ringkas.
Ya maaf para bapak para ibu, hadirin hadirot. Ini ya maaf, saya…. Saya akan anu ……. akan menawarkan. Masih sanggup menjadi wakil sayakah atau tidak? Sangguuup (jawab hadirin dengan serempak disertai tangis gemuruh). Ya, maaf ini tidak paksaan. Kalau sudah tidak sanggup, ya silakan. Insya Allah makhluk lain banyak yang mendaftarkan diri, insya Allah. Boleh dicoba, kalau. Tapi awas. Ya maaf, sekali lagi. Masih sanggupkah menjadi wakil saya ? Sangguuup ! (jawab hadirin). Al-Fatihah !
Adapun selama ini, ya maaf para bapak para ibu dengan mati-matian berjuang untuk melaksanakan sebagai muwakkil atau wakil, kami bungkem seribu satu bahasa….Dua patah kata permohonan pada Allah SWT untuk para hadirin hadirot, Jazaakumullohu khoirati wasa’adatiddunya wal akhirah. Amin.
Sekali lagi, ya maaf. Masih sanggupkah para hadirin hadirot ? Sangguuup ! (jawab hadirin). Yah para hadirin hadirot, ya maklum, apabila para hadirin hadirot rela menjadi wakil saya, iyalah tidak apa-apanya. Kecuali hanya, ya keberatan-keberatan dan pengorbanan-pengorbanan. Tidak ada imbal baliknya sama sekali para hadirin hadirot. Sebelumnya saya utarakan, sama sekali saya tidak punya apa-apa untuk, untuk memberi imbal balik kepada hadirin hadirot.
Para hadirin hadirot yang kami muliakan.
Tapi maaf, saya untuk ya para hadirin hadirot menerima dengan rela hati dengan gembira menjadi wakil saya, tapi ya maaf, saya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Yaitu, segala sesuatu yang negatif yang telah terjadi ini, supaya dibuang sama sekali. Sekali lagi perbuatan-perbuatan yang manapun, ucapan-ucapan yang tidak… yang bertentangan dengan Ajaran Wahidiyah, ini supaya di….dihilangkan sama sekali. Terutama yang hubungan dengan perjuangan. Sanggupkah para hadirin hadirot ? Sangguuup ! (jawab hadirin).
Tuhan sebagai saksi yang agung. Dan, dan dilain itu kalau ya maaf para hadirin hadirot rela dan gembira menjadi wakil saya, saya suruh apa saja apakah mau para hadirin hadirot ? Mau !
Saya tidak maksa pada para hadirin hadirot. Kalau tidak sanggup ya silakan. Kalau sanggup, ya terima kasih sekali. Sekali lagi yaitu kalau sanggup menjadi wakil saya, supaya segala perbuatan dan perkataan maupun apa saja yang merugikan perjuangan terutama yang menjadikan fitnah, terutama ini supaya dibuang sama sekali. Maukah para hadirin hadirot dan bersedia ? Mau !
Dan anjuran supaya senantiasa saling memepringatkan dengan bijaksana. Ya sekali lagi maaf, supaya saling memperingatkan dengan bijaksana. Karena ya seperti kita maklumi, tidak mau memperingatkan sedang situasi membutuhkan, ini berarti merugikan pada pribadi yang tidak mau dan orang yang tidak diperingatkan. Atau dengan kata lain, ini bertentangan dengan Ajaran Wahidiyah.
Ya maaf pada yang bersangkutan. Kami minta dengan hormat dan sangat terutama secara umum, ya bapak dan para hadirin dan para ibu semua yang kami hormati. Ini menyanggupkan diri untuk menjadi wakil saya. Dan pada bapak atau ibu yang bersangkutan sekarang kami mau menunjuk. Kiranya apa ada yang keberatan umpama ada salah satu yang saya tunjuk supaya begini begitu umpamanya ? Sedia ! (jawab hadirin).
Yaitu satu, pada beliau Bapak Baderi. Saya minta supaya duduk di wakil pusat. Karena yaitu, asalnya pimpinan Pusat hanya dua, yaitu beliau Bapak Ruhan Sanusi dan beliau Bapak Kiai Djayuli. Dan saya mohon supaya dengan rela hati suka duduk di situ. Jadi 3 (tiga) orang. Ya mudah-mudahan menjadi manfaat dan barokah.
Dan buat sekretaris, kami mohon yang bersangkutan, yaitu Bapak Mahrus supaya menjadi Sekretaris I dan Yahya menjadi Sekretaris II. Jadi dibalik. Sanggupkah para bapak yang bersangkutan ? Sanggup ! Ya, Alhamdulillah, matur kasuwun. Al-Fatihah !
Selanjutnya saya mohon pada Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat, terutama Dewan supaya lebih, lebih banyak, jauh lebih maju daripada ysng sudah-sudah dalam segala bidang. Sekali lagi Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat terutama dari Dewan. Kami harap dengan sangat dan sungguh-sungguh supaya jauh labih meningkat daripada yang sudah-sudah dalam segala bidang.
Ya maaf. dalam beberapa minggu atau beberapa bulan, apabila perlu kami berhak untuk, anu para hadirin hadirot. Lebih-lebih kalau keadaannya hanya begini-begini saja, bahkan lebih glonjom, bahkan lebih parah. Kami berhak secara mutlak. Lebih-lebih ada persoalannya. Yaa maaf, ini bukan sombong. Ini saya menyatakan sesungguhnya apa yang ada. Ya maaf. Adapun keputusan-keputusan yang yang telah dibicarakan selama ini tadi, kiranya kalau tidak dapat diumumkan sekarang, mungkin lain waktu, mungkin ya lihat situasi. Barang kali begitu, barang kali.
Dan kiranya mari kita tutup yaitu dengan permohonan-permohonan kepada Allah SWT. Dan mari membulatkan tekad, taubat min yaumina hadza ila yaumil qiyamah, tidak akan mengulangi kembali soal-soal yang, yang tidak diridhoi oleh Allah SWT. Soal apa saja, perbuatan apa saja. Dan mari para hadirin hadirot kita mohon pada Allah SWT wa Rasulihi SAW.
Al-Fatihah …………… 1 X
Yaa syafi’al kholqis shoaltu wassalam ………….. 3 X
Yaa Sayyidii Yaa Rasulalloh 7 X
Yaa Ayyuhal Ghoutsu salamullah ……. 3 X
Yaa Syafi’al kholqi habiballahi ………. 3 X
Yaa Sayyidii Yaa Rasulalloh 7 X
Yaa robbanallahumma …….. 3 X
Al-Fatihah ………… 1 X
Ya maaf. termasuk kata-kata saya tadi dan saya ulangi kembali sebagian yaitu setelah bubarnya musyawarah ini, dari kita jangan ada yang membicarakan soal-soal seperti biasa. Biasanya habis musyawarah itu ada saja yang tidak setuju ya begini, yang setuju begitu. Ini semua supaya tutup mulut. Yang tidak setuju terutama, tapi saya yakin, semua setuju menerima. Semua menerima permintaan saya.
Dan masih satu lagi. Yaitu sekarang dan sekalipun saya sudah tidak ada, hendaknya Perjuangan Fafirruu Ilalloh wa Rasulihi SAW ini senantiasa menjadi satu. Dan sini karena tempat lahirnya perjuangan, saya harap supaya tempat seperti yang, untuk acara yang seperti Mujahadah Kubro dan lain-lainnya supaya hendaknya bertempat di sini. Kalau tidak ada udzur yang tidak dapat dielakkan. Dan kemudian kami atas, yaa terima kasih sekali pada hadirin hadirot dan pihak Team dan untuk menghemat wekdal kami hanya dapat yah, ya selamat jalan dan salam-salam. Ya mari saling doa mendoakan, saling memaafkan, ya mudah-mudahan seperti sekarang ini terutama di akhirat nanti bisa menjadi satu di belakang Rasulullah SAW di belakang Ghoutsu hadzazzaman RA, showan di hadapan Allah SWT. Sekian
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Isi dari Wasiat 9 Mei 1986 adalah mengenai tiga hal. Pertama, tentang suksesi Pondok Kedunglo adalah hak waris. Kedua, tentang SMP dan SMA Wahidiyah. Ketiga, tentang Wahidiyah. Mengenai Wahidiyah beliau Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA menyatakan bahwa para pengamal Wahidiyah adalah “Wakil saya” (Wakil Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA). Kemudian beliau bertanya kepada semua yang hadir dengan nada suara yang tinggi “Masih sanggupkah menjadi wakil saya ? (diulang sampai tiga kali). Insya Allah makhluk lain banyak yang mendaftarkan diri. Kemudian semua yang hadir menjawab, “Sanggup !” disertai dengan tangisan yang melengking.[29]
Selanjutnya dawuh beliau syarat-syarat menjadi wakil, “dan perkataan Segala perbuatan maupun apa saja yang merugikan perjuangan, terutama yang menjadikan fitnah terutama ini supaya dibuang sama sekali”.[30]
Pada bagian akhir Wasiat 9 Mei 1986, Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA meminta agar acara-acara besar Wahidiyah, seperti Mujahadah Kubro dan lain-lain supaya dilaksanakan di Kedunglo, kecuali jika ada udzur yang tidak bisa dielakkan.[31]
Meskipun Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA menyatakan dengan tegas dalam Wasiat 9 Mei 1986, namun ketidakharmonisan antara PSW Pusat dan MPW terus berlanjut. Puncaknya perbedaan pendapat tentang apakah PSW didaftarkan ke pemerintah atau tidak. Pihak PSW Pusat bersikukuh bahwa PSW harus didaftarkan ke pemerintah untuk memenuhi Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sedangkan pihak MPW berpendapat, PSW tidak perlu didaftarkan ke pemerintah dengan alasan bahwa PSW bukan organisasi kemasyarakatan melainkan organisasi kerja seperti halnya pengurus ta’mir masjid.[32]
Tidak ada kata sepakat antara PSW Pusat dan MPW mengenai pendaftaran PSW ke pemerintah. Sehingga masalah itu dishowankan kepada Mu’allif Sholawat Wahidiyah untuk mohon petunjuk. Akhirnya Mu’allif Sholawat Wahidiyah memberi amanat supaya diadakan istikharah mohon petunjuk kepada Allah SWT di antara dua alternatif, PSW didaftarkan atau PSW tidak didaftarakan ke pemerintah. Akhirnya setelah melalui istikharah dan proses yang panjang PSW jadi didaftarkan ke pemerintah.
Meski PSW telah resmi didaftarakan pada pemerintah tidak lantas hubungan kinerja PSW Pusat dengan MPW menjadi harmonis. Setelah berbagai cara dan jalan ditempuh guna kelancaran dan keharmonisan antara PSW Pusat dan MPW berjalan sebagaimana mestinya tidak berhasil, maka dengan arif dan bijaksana, pada tanggal 27 September 1987 Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA mengluarkan Surat Keputusan dengan Nomor : MSW/003/1987 tentang pembubaran atau peleburan MPW dan PSW pusat. Dalam SK tersebut dicantumkan juga amar putusan supaya para mantan pimpinan MPW dan pimpinan PSW Pusat mengadakan musyawarah bersama untuk menyusun personil PSW Pusat yang baru.[33]
b. Gangguan Eksternal
Pada mula pertama Sholawat Wahidiyah disiarkan tidak ada satu pun orang yang mempermasalahkannya termasuk ulama. Terbukti, beberapa ulama terkenal Kediri dan sekitarnya yang dikirimi lembaran Sholawat Wahidiyah ---yang masih ditulis tangan oleh santri Pondok Kedunglo--- dengan disertai kata pengantar yang ditandatangani langsung oleh Mu’allif Sholawat Wahidiyah QS RA. Waktu itu tidak ada satu pun dari mereka yang mempersoalkan Sholawat Wahidiyah. “Kabeh dungo Sholawat iku apik” (semua do’a sholawat itu baik) kata seorang ulama NU waktu itu. Bahkan K.H. Abdoel Wahab Hasbullah yang menjadi Rois Am PBNU (1946-1971) pernah memberikn sambutan di dalam acara Hari Ulang Tahun Sholawat Wahidiyah yang pertama dengan mengatakan antara lain, “Ya betul ! Sholawat Wahidiyah memang baik. Saya sudah kenting (mencoba mengamalkan) itu”. Selanjutnya beliau ikrar qabul ijazah do’a : QOBILTU IJAZATUKA FII HADZIHIS SHOLAWATIL WAHIDIYAH (Saya terima ijazah Sholawat Wahidiyah ini ).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada awal mula Sholawat Wahidiyah disiarkan banyak ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Baru ketika mulai banyak masyarakat dari berbagai lapisan dan tingkatan ikut mengamalkannya, dan di desa-desa mulai diamalkan dengan berjama’ah, saat itulah mulai timbul suara-suara yang menentang (mengontras) terhadap Sholawat Wahidiyah. Tidak ketinggalan K.H. Mahrus Ali pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri ikut memberi tanggapan terhadap Sholawat Wahidiyah.[34] Selanjutnya akan dipaparkan beberapa tanggapan yang mempermasalahkan Sholawat Wahidiyah dari beberapa ulama.
1) Piagam Ngadiluwih[35]
Pada tahun 1979 terjadi perdebatan antara seorang ulama Nahdhatul Ulama di Kediri dengan seorang ulama Wahidiyah mengenai beberapa masalah diniyah (keagamaan). Untuk memperoleh kebenaran hakiki dan dilandasi semangat ukhuwah Islamiyah, kedua belah pihak bersepakat untuk melakukan musyawarah. Musyawarah dilaksanakan dua kali. Musyawarah pertama dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 1979 M/29 Dzulqo’dah 1399 H, bertempat di rumah K.H. Abu Syujak, Ngadiluwih, Kediri. Musyawarah kedua dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1979 M/25 Muharram 1400 H, bertempat di rumah HBM Muchsin S.M., Badal, Ngadiluwih, Kediri.
Pihak-pihak yang ikut dalam musyawarah adalah :
Pihak I : K.H. Abu Syujak, Ngadiluwih Kediri, bersama-sama dan didampingi oleh:
1. K. Abdoel Mukhith
2. K.H. Akhmadi
3. K. Abdoel Khalim Syafi’
Pihak II : K. Mohammad Ihsan Mahin, PA Rejoagung, Ngoro, Jombang bersama-sama dan didampingi oleh:
1. K. Mohammad Djayuli Yusuf
2. K.A. Ahmad Baidhowi [36]
Dalam dua kali musyawarah yang dipimpin oleh H. Mohammad Syifa’ sebagai ketua dan Drs. Mansur Adnan sebagai sekretaris telah menghasilkan keputusan sebanyak 11 (sebelas) pokok permasalahan, yaitu:
1. Perihal Murobbun fii akhirizzaman
2. Perihal mengapa Sholawat Wahidiyah tidak memilih sholawat yang waridah
3. Perihal Mujaddid
4. Perihal isu bahwa yang tidak mengamalkan Sholawat Wahidiyah kufur
5. Perihal menangis pada waktu orang bermujahadah Sholawat Wahidiyah
6. Perihal membayangkan bentuk Rasulullah SAW dengan menyebut nama Rasulullah SAW
7. Perihal menalqin muhtadhor dengan tuntunan bacaan Yaa Sayyidii Yaa Rosulallah
8. Perihal anak (kanak-kanak) yang tidak masuk sekolah lantaran ikut bermujahadah
9. Perihal makna thoriqoh mu’tabaroh
10. Perihal pengangkatan seorang Mursyid
11. Perihal sebutan (dalam pujian) nama bakdu al- sholihin dari para auliya’ yang digandeng dengan kalimah thoyyibah.[37]
Kesebelas permasalahan di atas dibahas dengan jelas dan tuntas. Disini penulis hanya menyajikan beberapa pokok permasalahan yang dibahas.
Perihal, mengapa Sholawat Wahidiyah tidak memilih Sholawat yang waridah ? Jawaban yang dikemukakan adalah bahwa membaca sholawat kepada Rasulullah SAW dengan doa sholawat yang mana saja mutlak diterima. Baik sholawat yang waridah dari Nabi SAW sendiri (Sholawat Ma’tsurah) maupun dengan sholawat-sholawat yang susunan redaksionalnya disusun oleh para ulama atau yang disebut sholawat ghairu ma’tsuroh. Misalnya, Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat, Sholawat Badar dan termasuk pula Sholawat Wahidiyah.[38] Sebab perintah membaca sholawat dan salam terdapat dalam Al-Quran dan Hadis Nabi SAW.
QS. AL AHZAB : 56
………
Artunya : Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. ( QS. Al-Ahzab [33] : 56 )[39]
Artinya : Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa membaca sholawat kepadaku (nabi) satu kali, Allah memberi balasan sholawat (rahmat dan maghfiroh) kepadanya sepuluh kali” (H.R. Muslim)
Kemudian tanggapan mengenai isu bahwa yang tidak mengamalkan Sholawat Wahidiyah itu kufur adalah tidak benar. Akan tetapi siapapun yang tidak berwahidiyah, otomatis masih termasuk musyrikiyah, karena tidak Billah, jadi Binnafsi, meskipun sudah mengamalkan berbagai amalan apa saja termasuk apabila sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah sekalipun.
Mengenai orang yang menangis ketika bertaubat, ketika mendengar Al-Quran atau mendengarkan pengajian atau ketika bermujahadah Sholawat Wahidiyah, dengan tidak pandang tempat dan waktu dengan suara keras sekalipun, adalah perintah agama.[40] Hal ini berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis :
Artinya : Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. ( QS. Al-Ahzab [33] : 56 ) [41]
Artinya : Wahai Manusia, menangislah kamu sekalian, jika tidak bisa menangis, usahakanlah agar bisa menangis. ( HR. Abu Dawud )
Selanjutnya mengenai menalqin seorang muhtadhor (orang yang sedang dalam sakaratul maut) dengan tuntunan bacaan Yaa Sayyidii Yaa Rosulalloh tidak bertentangan dengan maksud hadis :
(Tuntunlah orang yang sedang dalam sakaratul maut dengan bacaan “Laa Ilaha Illalloh”).
Karena tuntunan dengan bacaan Yaa Sayyidii Yaa Rosulalloh sama halnya dengan menuntun dengan bacaan “Allah, Allah, Allah.
Dengan talqin Allah, Allah, Allah kita menuntun muhtadhor secara langsung kepada Allah. Sedangkan menalqin dengan Yaa Sayyidii Yaa Rosulalloh kita menalqin dengan bertawasul kepada Rasulullah SAW. Baik secara langsung maupun secara bertawasul, menurut hadis berikut ini hukumnya adalah sama. Rasalullah SAW bersabda, “Barang siapa dzikir kepadaku, maka sungguh ia dzikir kepada Allah. Barang siapa cinta kepadaku, maka sungguh ia cinta kepada Allah, dan orang yang membaca sholawat kepadaku, ia mengucapkan dengan dzikir Allah”.[42]
2) Tanggapan K.H. Mahrus Ali
Sejak awal lahirnya Sholawat Wahidiyah, sebenarnya K.H. Mahrus Ali, pengasuh Pondok Pesantren Liroyo Kediri, sudah mempermasalahkan Sholawat Wahidiyah. Hal ini terbukti ketika K.H. Mahrus Ali memberikan sambutan pada acara Walimatul Khitan Agus Abdoel Hamid Madjid.yang dilaksanakan pada pertengahan tahun 1964 di Kedunglo. Entah mengapa K.H. Mahrus Ali baru menanggapi Sholawat Wahidiyah dengan lebih “serius” dengan membuat selebaran pada tahun 1984 ---21 tahun setelah lahirnya Sholawat Wahidiyah--- yang pada waktu itu Sholawat Wahidiyah sudah diamalkan oleh puluhan ribu masyarakat umum dan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia.
Selebaran yang dibuat pada tanggal 28 Desember 1984 itu digandakan dan disebarluaskan ke berbagai daerah di Indonesia, di antaranya daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan luar Jawa, antara lain Kalimantan dan mungkin daerah-daerah lain juga dikirimi.[43]
Isi dari selebaran itu berisi tanggapan negatif terhadap Sholawat Wahidiyah, di antara isi pokok selebaran itu antara lain, Sholawat Wahidiyah tidak mempunyai isnad minal adillah, Ajaran Wahidiyah banyak yang bertentangan dengan syari’at Islam, santri-santri Lirboyo diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah.[44] Berikut secara lengkap transkip selebaran yang dibuat oleh K.H. Mahrus Ali.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
jhglhgj……………..Alhamdulillah, kulo sampun nampi serat. Perkawis Sholawat Wahidiyah puniko damelan/gawe-gawe K.H. Abdoel Madjid Ma’roef piyambak. Mboten anggadahi isnad minal adillah. Milo ulama’-ulama’ Kediri khususipun ugi ulama’-ulama’ Nahdhatul Ulama’ mboten wonten ingkang ngamalaken Sholawat Wahidiyah. Malah santri-santri Lirboyo kaliyan panjenenganipun Kiai Marzuqi Dahlan lan Mahrus Ali dipun haromaken ngamalaken Sholawat Wahidiyah, jalaran ajaranipun katah bertentangan kaliyan syari’at. Matsalan pelajaranipun: Sopo-sopo wonge wis ngamalaken Sholawat Wahidiyah zaman 41 dino ditanggung ing yaumil qiyamah slamet tur mlebu suargo sak anak turune. Puniko naminipun ‘ujub bil a’mal wal ‘ujub bil a’mali minal kabaairi. Wafilhadis :
…………………..
………………..
………….
Puniko hadis awih weruh kaliyan terang bilih Rasulullah kemawon kaliyan keluargo mboten wani tanggung jawab/mboten tanggung jawab benjing yaumil qiyamah. …………..lan dawuhipun Imam Junaid shulthonul ‘arifin ………..
Dalah dateng Allah SWT katah mboten wushul/…..kejawi tiyang-tiyang ingkang anut syari’atipun. Ugi dawuh………….
Wafi riwayat…………………….. tiyang puniko kebujuk howo nafsu ….naudzubillah mindzalik. ……………moco sholawat …….sebab sholawatipun wonten ………..
Itulah selebaran secara lengkap yang dibuat oleh K.H. Mahrus Ali yang menanggapi Sholawat Wahidiyah dengan menggunakan bahasa Jawa, dan apabila dibahasa Indonesiakan akan berbunyi demikian :
“…………..Alhamdulillah, saya sudah menerima surat……… Perkara Sholawat Wahidiyah itu buatan K.H. Abdoel Madjid Ma’roef sendiri. Tidak mempunyai isnad minal adillah. Maka ulama-ulama Kediri khususnya dan ulama-ulama Nahdhatul Ulama’ tidak ada yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Bahkan santri-santri Lirboyo oleh beliau Kiai Marzuqi Dahlan lan Mahrus Ali diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah, sebab ajarannya banyak yang bertentangan dengan syari’at. Misal pelajarannya: Siapa-siapa orangnya sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah selama 41 hari ditanggung di yaumul qiyamah (hari kiamat) slamet dan masuk syurga beserta anak turunnya. Ini namanya ujub bil a’mal wal ‘ujub bil a’mali minal kabaairi. Wafilhadis :
…………………..
………………..
………….
Hadis ini mengandung pengertian dengan jelas bahwa Rasulullah SAW saja dengan keluarga tidak berani tanggung jawab/tidak tanggung jawab besok yaumil qiyamah.
Dampak selebaran yang ditulis K.H. Mahrus Ali itu sangat meresahkan dan membahayakan terhadap persatuan dan kesatuan umat serta ukuwah Islamiyah khususnya di kalangan warga nahdhiyin. Karena di antara warga NU banyak yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Bahkan saat itu, sebagian tokoh-tokoh NU bereaksi dengan ikut-ikutan ---tanpa lebih dahulu melakukan tabayyun--- memberi penilaian (cap) bahwa Wahidiyah itu bertentangan dengan syari’at Islam dan melarang para jama’ahnya (pengikutnya) untuk mengamalkan Sholawat Wahidiyah.
Untuk menjaga ukhuwah Islamiyah dan dalam rangka menemukan titik cair yang jernih dan penuh berisi kebenaran dan keadilan, maka pada tanggal 10 Sya’ban 1405 H/30 April 1985 M Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat mengirim surat kepada Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) dengan harapan, agar permasalahan yang timbul di masyarakat akibat selebaran dari K.H. Mahrus Ali tentang Sholawat Wahidiyah dapat diselesaikan dengan arif dan bijaksanana. Dalam suratnya yang bernomor 61/SW-XXIII/C/V/1985 tersebut, PSW Pusat dengan jelas menyampaikan tanggapan negatif K.H. Mahrus Ali mengenai Sholawat Wahidiyah. Disamping itu PSW Pusat juga menyertakan Lembaran Sholawat Wahidiyah dan buku-buku Wahidiyah yang berisi penjelasan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah.[45]
PBNU melalui suratnya nomor: 409/A-II/01/VI/85 tertanggal 22 Ramadhan 1405 H/11 Juni 1985 M memberikan jawaban atas surat dari PSW Pusat yang telah dikirim beberapa hari yang lalu. Isi pokok surat dari PBNU itu antara lain berisi, bahwa PBNU belum pernah membicarakan masalah Sholawat Wahidiyah dalam forum-forum resmi seperti, Konferensi, Musyawarah atau Muktamar. Karena itu PBNU bersikap tidak melarang ataupun tidak menganjurkan kepada jamaah NU untuk mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Sekiranya ada jamaah NU yang mengamalkannya, hal tersebut adalah hak mereka sepanjang amalan itu berada di dalam qoidah-qoidah syuriyah.[46]
Disamping menulis surat secara resmi kepada PBNU dan pihak-pihak yang berkompeten, secara pribadi K. Mohammad Djayuli Yusuf memberikan tanggapan langsung kepada K.H. Mahrus Ali dengan mengirim surat jawaban tertanggal 12 Mei 1985. Berikut jawaban K. Mohammad Djayuli Yusuf terhadap selebaran yang ditulis oleh K.H. Mahrus Ali.
Dalam foto copy selebaran tersebut di antaranya tertulis, Sholawat Wahidiyah itu buatan K.H. Abdoel Madjid Ma’roef sendiri. Tidak mempunyai isnad minal adillah. Maka ulama-ulama Kediri khususnya dan ulama-ulama Nahdhatul Ulama’ tidak ada yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah.
Tanggapan K. Mohammad Djayuli Yusuf adalah bahwa Sholawat Wahidiyah memang benar ditaklif (disusun) oleh beliau K.H. Abdoel Madjid MA’roef sendiri. Dan apabila yang dikehendaki oleh Bapak (K.H. Mahrus Ali) kata dibuat-buat itu dengan maksud lain sebagai meremehkan hasil karya seseorang, itu adalah hal yang tidak terpuji untuk dilakukan/diucapkan oleh seorang ulama besar seperti Bapak. Hal ini sama sekali tidak mendidik, bahkan menunjukkan berkecamuknya beberapa perasaan yang bertentangan dalam diri Bapak (hasuda).
Kemudian pada kalimat tidak ada isnad minal adillah, apabila yang Bapak maksudkan dengan isnad minal adillah itu silsilah yang muttasil (bersambung/tidak putus) kepada Rasulullah SAW, maka saya perlu memberikan penjelasan kepada Bapak, agar Bapak lebih memahami masalah tersebut. Bahwa sholawat itu tidak diperlukan dan tidak disyaratkan adanya isnad minal adillah, karena sanadnya langsung kepada Rasulullah SAW. Hal itu sebagaimana tersebut dalam kitab Hasyiyah Showi “alal Jalalain Juz III.
Kemudian apabila yang Bapak maksudkan isnad minal adillah itu dasar dan qoidah syar’iyyah itupun perlu saya berikan penjelasan, sebab semua sholawat, baik yang ma’tsuroh (sholawat yang langsung diajarkan langsung dari Rasululloh SAW) seperti yang disusun oleh para ulama as-sholihin seperti, seperti Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat, Sholawat Badar, Sholawat Wahidiyah dan sebagainya, isnad minal adillahnya langsung dari Al-Quran dan Al-Hadis. Seperti firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW berikut ini:
………………..
…………….
Artunya : Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. ( QS. Al-Ahzab [33] : 56 )[47]
…………
………… HADIST
Artinya : Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa membaca sholawat kepadaku (nabi) satu kali, Allah memberi balasan sholawat (rahmat dan maghfiroh) kepadanya sepuluh kali” (H.R. Muslim)
Atas dasr ayat Al-Quran dan Hadis Nabi SAW di atas, semua jenis sholawat dengan tidak terkecuali mempunyai kedudukan yang sama, sekalipun maziyah dan kegunaannya berlainan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Sa’adatud Daraini halaman 373.[48]
Selanjutnya mengenai kalimat “Bahwa santri-santri Lirboyo diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah sebab ajarannya banyak bertentangan dengan syari’at. Dengan alasan karena K.H. Abdoel Madjid Ma’roef telah menanggung, barang siapa yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah selama 41 hari ditanggung besuk hari kiamat masuk syurga sampai anak keturunannya. Ini namanya ujub bil amal dan itu termasuk minal kabaair.
Tanggapan yang disampaikan K. Mohammad Djayuli Yusuf adalah sebagai berikut: Mengenai kalimat ajarannya banyak bertentangan dengan syari’at, di sini Bapak menuduh seseorang dengan tanpa menunjukkan bukti. Dari mana Bapak dapatkan, sehingga Bapak berani berfatwa seperti itu ? tuduhan kepada seseorang tanpa menunjukkan bukti adalah fitnah: “Walfitnatu asyaddu minal qathli” (Memfitnah lebih kejam dari pembunuhan). Sedangkan Ajaran Wahidiyah pada intinya adalah Lillah dan Billah yang dimaksdkan adalah Syari’at dan Hakikat. Dan masalah ini bukan masalah baru dalam Islam, sebab dalam kitab-kitab salaf banyak menyebutkan, antara lain dalam kitab Kifayatul Atqiyak halaman 9.
Selanjutnya bapak menyebutkan dengan kalimat: ”Siapa-siapa orangnya sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah selama 41 hari ditanggung di yaumul qiyamah (hari kimat) slamet dan masuk syurga beserta anak turunnya. Dari sini mennjukkan bahwa Bapak belum pernah tahu Sholawat. Sebab sepanjang yang saya ketahui selama 21 tahun saya ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah, belum pernah saya menemui bilangan hari pengamalan 41 hari seperti yang Bapak sebut itu. Yang ada adalah 40 hari. Padahal di dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah yang beredar di masyarakat luas, bilangan itu tetap dicantumkan. Berarti Bapak hanya menerima berita kata orang Qila waqila.
Dalam selebaran itu Bapak juga menulis dua hadis untuk dasar bahwa Rasulullah SAW tidak bertanggung jawab keada keluarganya lebih-lebih selain Rasulullah SAW. Pengertian Bapak terhadap hadis tersebut perlu saya berikan tanggapan yaitu pada hadis yang pertama dan kedua adalah dasar untuk haqiqotul amri. Bukan berarti ro’yu Bapak tersebut di atas. Adapun masalah syari’at atau lahiriyah seseorang tetap akan menerima balasan amalnya. Hal ini banyak disebutkan dalam ayat Al-Quran dan hadis-hadis shohih, antara lain sebagai berikut :
………….HAL. 44….]
Kemudian pada hadis kedua yang Bapak kemukakan, apabila kita memahaminya secara tekstual seperti pemahaman Bapak itulah jadinya. Untuk itu marilah kita telaah kembali beberapa kitab yang mengupas makna hadis tersebut. Seperti di dalam kitab Syawahidul Haq oleh Syeh Yusuf bin Ismail an Nabhani pada halaman 496, juga dalam Tafsir Showi. Dari penjelasan di kitab tersebut dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya Rasulullah SAW tetap bertanggung jawab dan mensyafa’ati kepada umatnya. Lebih-lebih kepada keluarganya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis :
…………..HAL ………. 45 (HR. Ahmad wan Nasai wa ibn Hibban fii Shohihihi wal Hakim ‘an Jabir)
Sedang selain Rasulullah SAW dapat mensyafa’ati kepada selainnya. Lebih-lebih Rasulullah SAW sebagai sayyidul anbiya’ wal mursalin wa sayyidul kholki ajma’in, apakah masih perlu diragukan syafa’at beliau ? Na’udzubillah min dzalik ! Itulah hasil ketidaktelitian Bapak dalam menganalisis sesuatu permasalahan dan kurang cermatnya Bapak dalam menerapkan dalil terjadilah kesimpulan yang tidak tepat/benar itu.
Akhirnya saya mengharapkan kepada Bapak hendaknya hal-hal seperti itu semua supaya dapat dihindarkan karena sama sekali tidak sepadan dengan predikat dan tugas Bapak sebagai sesepuh tinggi dari jam’iyyah Nahdhatul Ulama’. Saya yakin bahwa masih banyak hal-hal yang jauh lebih penting untuk dipikirkan seorang pimpinan tinggi Nahdhatul Ulama’ seperti Bapak, daripada membahas masalah-masalah yang justru mengakibatkan resahnya umat dan membahayakan terhadap persatuan dan kesatuan umat serta ukhuwah Islamiyah khususnya di kalangan keluarga besar Nahdhatul Ulama’.
Sekian, semoga penjelasan ini dapat menjadi perintis tegak teguhnya persatuan dan kesatuan umat Islam khususnya dalam wadah jam’iyyah Nahdhatatul Ulama’ yang kita dambakan. [49]
3) Tanggapan K.H. Abdoel Hamid
Tanggapan K.H. Abdoel Hamid, pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Nuruddin, Dampit Malang, tentang Sholawat Wahidiyah disampaikan melalui selebaran yang dibuat pada bulan Nopember 1987. Judul dalam selebaran itu berbunyi “Beberapa Catatan Tentang Buku Pedoman Pokok-pokok Ajaran Wahidiyah”.[50]
Setelah mengadakan konfirmasi, akhirnya disepakati untuk mengadakan pertemuan antara K.H. Abdoel Hamid sebagai penulis selebaran dan pihak Wahidiyah diwakili oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf, K.H. Ihsan Mahin dan M. Ruhan Sanusi. Pertemuan dilaksanakan pada tanggal 26 Nopember 1987 di rumah H. Abdul Malik, Dampit Malang. Karena tidak mendapat ijin dari Muspika Dampit, acara yang semestinya digunanakan untuk memberikan penjelasan/tanggapan terhadap selebaran yang dibuat K.H. Abdoel Hamid, acara dialihkan untuk “haul” dengan pembacaan Tahlil bersama dan sekedar santapan ruhani. Santapan ruhani disampaikan oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf dari Wahidiyah. Dalam pengajiaannya, K. Mohammad Djayuli Yusuf menjelaskan tentang Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah secara singkat. Kemudian acara diteruskan dengan Tanya jawab atas kesepakatan semua yang hadir.
Dalam acara Tanya jawab itu, K.H. Abdoel Hamid mengajukan beberapa pertanyaan terhadap apa yang disampaikan oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf. Pertanyaan yang diajukan antara lain ditekankan pada banyaknya kesalahan dalam bait-bait Sholawat Wahidiyah, sehingga menyalahi kaidah-kaidah ilmu ‘arudh dan balaghoh. Disamping itu K.H. Abdoel hamid juga mengkritisi mengenai Ajaran Lillah Billah, mempermasalahkan nida’ Fafirruu Ilalloh empat penjuru (arah) adalah ibadah baru dan merupakan bid’ah dhalalah yang sesat dan harus dilarang.
Baru beberapa pertanyaan diberikan jawaban oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf, pihak Muspika Dampit memberi saran agar pertanyaan-pertanyaan ditulis dan jawaban juga ditulis. Saran tersebut diterima oleh semua yang hadir. Pertemuan lanjutan akan dilaksanakan atas persetujuan kedua belah pihak.[51]
Sesuai dengan saran dari Muspika Dampit pihak K. Mohammad Djayuli Yusuf kemudian mempersiapkan jawaban tertulis atas pertanyaan yang sudah disampaikan oleh K.H. Abdoel Hamid tersebut sambil menunggu pertanyaan yang tertulis kalau-kalau ada perubahan pertanyaan. Ternyata kemudian dari pihak Wahidiyah belum menerima pertanyaan tertulis yang dimaksud, tahu-tahu ada selebaran gelap yang difoto copy dalam jumlah banyak dengan kop Yayasan Pondok Pesantren Nuruddin, Dampit Malang.[52]
Dengan berprinsip wajaadilhum billati hiya ahsan (debatlah/bantahlah mereka dengan cara yang baik) pihak Wahidiyah yang diwakili oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf, K.H. Ihsan Mahin dan M. Ruhan Sanusi memberi jawaban dengan argumentative yang pas dan tepat, sehingga segala permasalahan yang disampaikan K.H. Abdoel Hamid tentang Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah tida terbukti sama sekali.
4) Masailil waa qi’ati min hadroti al-Syekh K.H. Abdoel Manan Djayuli al-Sumenefiyyil Maduriyyi
Tanggapan K.H. Abdoel Manan Djayuli, seorang ulama di Sumenep Madura, tentang Sholawat Wahidiyah ditulis dengan bahasa Arab. Di antara yang beliau permasalahkan mengenai Sholawat Wahidiyah adalah tentang bacaan WALAISALI YAA SAYYIDII SIWAAKA FAINDARUDDA KUNTU SYAKHSHON HAALIKA .. (ditulis arab)
(Tiada arti diriku tanpa engkau duhai Yaa Sayyidii. Jika engkau hindari aku akibat keterlaluan berlarut-larutku. Pastilah aku kan hancur binasa)
Menurut K.H. Abdoel Manan Djayuli bacaan tersebut mengkhawatirkan akan ternodanya iman kita sehingga menjadi musyrik.[53] Di samping itu K.H. Abdoel Manan Djayuli menanyakan tentang artinya nadhroh dan robbini (mohon nadhroh dan tarbiyah). Jawaban yang disampaikan oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf adalah bahwa nadhroh menurut bahasa berarti rahmah (kasih sayang). Dia memandang dengan pandangan nadhroh yakni dengan pandangan kasih sayang. Menurut istilah, nadhroh adalah pemberian dan bimbingan ruhaniyah atau pandangan hati (bimbingan bathiniyah). Dengan demikian, yang lebih tepat bagi kita adalah selalu memohon nadhroh kepada Ghoutsu hadzazzaman RA, meskipun kita belum mengetahui siapa pribadi Ghouts tersebut, namun beliau selalu mengetahui kita dengan jelas, sebab dibukanya hijab dalam hatinya. Sedangkan tarbiyah adalah limpahan ruhaniyah seorang Kamil yang memberikan tarbiyah kepada yang diberi tarbiyah (Murobba). [54]
Pertanyaan lainnya adalah mengenai bacaan Fafirruu Ilalloh dan Waqulja al Haqqu Wazahaqol baathil Innal baathila kaana zahuuqo. Mengapa pengamal Wahidiyah membaca dan mengulang-ulangnya dengan nada doa, padahal kedua ayat itu menunjukkan arti amar (perintah). Bukankah hal itu termasuk meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya (dholim) ?
Jawaban K. Mohammad Djayuli Yusuf terkait masalh ini adalah bahwa Fafirruu Ilalloh artinya Kembalilah dan bersandarlah segala urusanmu kepada Allah SWT. Adapun mengulang-ulang bacaan ini untuk memperdalam dalam memberikan bekas (atsar), supaya umat jami’al ‘alamin segera kembali kepada Allah. Coba lihat doa sebelumnya :
BALLIGH JAMI’AL…………… BALIGHO
“ Sampaikanlah seruan kami ini kepada jami’al ‘alamin dan berikanlah kesan yang mendalam di dalamnya “.
Jadi yang menyampaikan kepada jami’al ‘alamin adalah Allah SWT sendiri.[55] Kemudian tentang bacaan Waqulja al-Haqqu wazahaqol Baathil innal baathila kaana zahuuqo K. Mohammad Djayuli Yusuf menukil sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ibn Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda: “ Pada waktu terbukanya negara Makkah, Rasulullah SAW masuk ke dalam masjid dan di sekitar Ka’bah terdapat 360 berhala. Kemudian berhala-berhala itu digulingkan oleh Rasulullah SAW dengan menggunakan kayu yang dibawanya dengan mengucapkan ayat: Jaa al haqqu wazahaqol Baathil innal baathila kaana zahuuqo”. Menurut Syekh Nawawi al Dinsyiqi dalam Syarah Muslimnya menerangkan, pada waktu menghilangkan kemungkaran disunnahkan membaca ayat Waqulja al-Haqqu wazahaqol Baathil innal baathila kaana zahuuqo.[56]
5) Selebaran Gelap Aunur Rofiq Ghufron
Pada tanggal 3 Januari 1988 K. Ihsan Mahin, pengasuh Pondok Pesantren At-Tahdzib Ngoro Jombang yang juga sebagai ketua V PSW Pusat, menerima selebaran gelap dari Umar ---salah seorang pengamal Wahidiyah tinggal di Pare Kediri--- terdiri dari tiga lembar yang ditulis oleh Sdr. Aunur Rofiq Ghufron yang mempermasalahkan Sholawat Wahidiyah. [57]
Tanggapan Aunur Rofiq Ghufron ini berbeda dengan tanggapan-tanggapan yang disampaikan oleh beberapa ulama sebelumnya. Jika para pengirim selebaran maupun surat sebelumnya mencamtumkan nama dan alamat penulis, maka Aunur Rofiq Ghufron hanya mencantumkan namanya saja. Sehingga pihak Wahidiyah dalam menanggapi selebaran gelap tersebut tidak dapat memberikan klarifikasi secara langsung kepada pihak yang bersangkutan karena alamatnya tidak diketahui dengan pasti. Akhirnya tanggapan PSW Pusat hanya disampaikan kepada Komandan Distrik Militer 0809 Kediri, Kepala Departemen Agama Kabupaten dan Kota Kediri.
Permasalahan yang diungkapkan oleh Aunur Rofiq Ghufron dalam selebaran gelapnya yang diberi judul “Kesalahan Ajaran Wahidiyah” ternyata hanya masalah khilafiyah dalam Islam, seperti berdoa dengan bertawashul, sampainya hadiah pahala amal kepada orang lain, masalah sebutan sayyidina atau yaa sayyidii kepada Rasulullah SAW.[58] Sebenarnya masalah khilafiyah sampai kapanpun tidak akan ada selesainya, karena masalah khilafiyah (perbedaan pendapat ulama) itu sudah sejak dulu ada. Oleh karena itu sikap yang paling bijak adalah bersikap tasammuh (menghormati) dan menghargai pendapat orang lain berdasarkan argumentasi atau dalil-dalil menurut kaidah-kaidah disiplin ilmu yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pemikiran yang lebih ekstrim Aunur Rofiq Ghufron mengenai Sholawat Wahidiyah adalah bahwa Sholawat Wahidiyah bukan ajaran Islam, karena sebagian isi Sholawat Wahidiyah mengajak musyrik. Bahkan dengan beraninya Aunur Rofiq Ghufron menyatakan bahwa pengamal Wahidiyah itu menuhankan Nabi SAW, perbuatan itu sama halnya kaum Yahudi yang menuhankan Uzair, sama dengan umat Nasrani yang menuhankan Isa. Orang musyrik menuhankan Malaikat. [59]
Sikap PSW Pusat dalam menanggapi tuduhan, hasutan dan penghinaan yang disampaikan Aunur Rofiq Ghufron itu berkesimpulan bahwa perbuatan itu merupakan pelanggaran norma-norma keagamaan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan sikap tegas PSW Pusat mohon kepada pihak yang berwajib agar Aunur Rofiq Ghufron mendapatkan peringatan-peringatan keras yang sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku.[60]
Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA dalam menanggapi para pengontras atau penentang Wahidiyah senantiasa memberikan nasihat kepada para pengamal Wahidiyah supaya jangan memandang pengontras Wahidiyah itu sebagai lawan. Akan tetapi justru sebaliknya, mereka adalah kawan setia perjuangan. Sebab dengan adanya para pengontras itu; pertama, mendorong kita agar lebih giat dan bersungguh-sungguh dalam munajat, memohon kepada Allah SWT mengakui kelemahan dan kedholiman kita. Kedua, sesungguhnya para pengontras Wahidiyah itu secara tidak langsung ikut menyiarkan Sholawat Wahidiyah dengan cara dan gayanya sendiri. Sebab dengan adanya pengontras itu, orang yang asalnya tidak tahu apa itu Sholawat Wahidiyah menjadi tahu apa itu Sholawat Wahidiyah. Mereka ikut mempunyai andil dalam Perjuangan Wahidiyah, Perjuangan Fafirruu Ilallah wa Rasulii SAW. [61]
Pada kesempatan lain Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA pernah dawuh “Kelihatannya kita ini pejuang Wahidiyah, tetapi kenyataannya kita sebagai penghambat perjuangan Wahidiyah”.[62] Timbul suatu pertanyaan setelah kita membaca dawuh tersebut, mengapa pengamal Wahidiyah bisa dikatakan sebagai penghambat Perjuangan Wahidiyah ? Hal ini bisa terjadi karena kita tidak konsekuen dalam menerapkan Ajaran Wahidiyah, dengan kata lain kurang atau tidak tepatnya penerapan Ajaran Wahidiyah dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin dalam hal ahwal (perbuatan) maupun aqwal (perkataan) kita belum sesuai dengan Ajaran Wahidiyah, sehingga dengan tidak kita sadari banyak anggota masyarakat yang mencibir, sehingga banyak orang yang tidak simpatik dan tertarik terhadap Sholawat Wahidiyah yang kita siarkan. Intinya, totalitas kita terhadap penerapan Ajaran Wahidiyah belum seratus persen. Sehingga, misalnya, ketika kita menyiarkan Sholawat Wahidiyah masih dibarengi dengan niat pamrih atau tidak ihklas (tidak Lillah), dan masih banyak perbuatan (aktifitas) kita yang senantiasa dihinggapi oleh linnafsi binnafsi.
3. Periode Kebangkitan
Periode ini diawali dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Muallif Sholawat Wahidiyah. Surat Keputusan ini bertujuan untuk meredam konflik yang terjadi antara PSW Pusat dan Majelis Pertimbangan Wahidiyah (MPW) yang telah lama terjadi akibat miss komunication antara keduanya.
SK Muallif Sholawat Wahidiyah pertama dikeluarkan pada tanggal 24 Oktober 1987 dengan Nomor : MSW/004/1987 tentang Pengesahan PSW Pusat masa khidmah 1987-1992 dengan susunan sebagai berikut:
Ketua I : A.F. Baderi
Ketua II : Drs. Syamsul Huda
Ketua III : Agus Abdoel Hamid Madjid
Ketua IV : Agus Abdoel Latif Madjid
Ketua V : K. Ihsan Mahin
Ketua VI : K.H. Mahfudh Shidik
Sedangkan Surat Keputusan Muallif Sholawat Wahidiyah yang kedua dikeluarkan pada tanggal 21 Juli 1988 dengan Nomor: MSW/006/1988 tentang Penyempurnaan Pimpinan PSW Pusat. Sehingga mulai saat itu unsur Pimpinan PSW Pusat berjumlah 9 (sembilan) orang yaitu:
Ketua I : A.F. Baderi
Ketua II : Drs. Syamsul Huda
Ketua III : Agus Abdoel Hamid Madjid
Ketua IV : Agus Abdoel Latif Madjid
Ketua V : M. Ruhan Sanusi
Ketua VI : K.H. Mahfudh Shidik
Ketua Bidang Khusus : K.H. Zainal Fanani
Ketua Bidang Khusus : K. Ihsan Mahin
Ketua Bidang Khusus : K. M. Djayuli Yusuf
Dengan dikeluarkannya dua SK Muallif Sholawat Wahidiyah ini telah melahirkan suasana baru, gairah baru dan semangat baru bagi PSW Pusat untuk berjuang Fafirruu Ilalloh wa Rasulihi SAW dengan semangat gotong royong dan senantiasa menjaga kebersamaan dan persatuan. Seolah-olah ada kebangkitan tersendiri bagi PSW Pusat. Dan inilah makna periode kebangkitan dalam perjalanan Perjuangan Wahidiyah.
[1] Wawancara dengan Kiai Kholil, tanggal 30 Agustus 2004
[2] Bahan Up Grading Da’i Wahidiyah Bagian ……. H. ………
[3] Qomari Mukhtar, Sejarah Dari Awal Perjuangan Wahidiyah, Cet. III, 2003, h. 28
[5] Qomari Mukhtar, Sejarah, h. 29
[6] ibid, h. 31
[7] Penjelasan Mengenai AD dan ART Penyiar Sholawat Wahidiyah, DPP PSW, Jombang, h. 7
[8] ibid., h. 8
[9] ibid.
[10] ibid., h. 9
[11] ibid., h.10
[12] ibid., h. 12
[13] Kuliah Wahidiyah, PSW Pusat, Kedunglo, h. 87
[14] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 628
[15] Wawancara dengan Ni’amah (abdi ndalem)
[16] Bulletin Kembali, Edisi 7, h. 18
[17] Vety Arofah, 50 Kisah dan Petuah, Pustaka Aham, Edisi 3, Kedunglo, h. 75
[18] Qomari Mukhtar, Sejarah, h. 49
[19] ibid. h. 50
[20] Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat Badan Penyiaran dan Pembinaan Wahidiyah, Tanya Jawab Masalah Wahidiyah yang Timbul di Daerah, Edisi 1, h. 48
[21] Qomari Mukhtar, Sejarah, h. 42
[22] Dewan Pengurus Pusat Penyiar Sholawat Wahidiyah, Penjelasan Mengenai AD & ART Penyiar Sholawat Wahidiyah, Jombang, h. 9
[23] Qomari Mukhtar, Sejarah, h. 55
[24] Wawancara dengan Kiai Ahmad Kholil, tanggal 30 Agustus 2004
[25] Qomari Mukhtar, Sejarah, h. 56
[26] ibid. h. 55
[27] Dewan Pengurus Pusat Penyiar Sholawat Wahidiyah, Penjelasan Mengenai AD & ART Penyiar Sholawat Wahidiyah, Jombang, h. 15
[28] Dewan Pengurus Pusat Penyiar Sholawat Wahidiyah, Materi Up Grading Pembinaan Wahidiyah, Jombang, Cet. I, h. 9
[29] ibid., h. 10
[30] DPP PSW, Penjelasan Mengenai AD & ART Penyiar Sholawat Wahidiyah , Jombang, h. 17
[31] DPP PSW, Materi Up Grading, Jombang, Cet. I, h.10
[32] ibid., h. 11
[33] ibid., h. 16
[34] Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat Badan penyiaran dan Pembinaan Wahidiyah, Tanya Jawab Masalah Wahidiyah yang Timbul dii Daerah, Edisi 1, Kedunglo, h. 23
[35] Dinamakan Piagam Ngadiluwih karena lahirnya atau tercetusnya piagam itu di Ngadiluwihi, Kediri.
[36] PSW Badan Penyiaran dan Pembinaan Wahidiyah, Tanya, h. 2
[37] ibid., h. 3
[38] ibid., h. 14
[39] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, h. 469
[40] PSW Badan Penyiaran dan Pembinaan Wahidiyah, Tanya Jawab, h. 14
[41] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran, h. 678
[42] PSW Badan Penyiaran dan Pembinaan Wahidiyah, Tanya Jawab, h. 18
[43] ibid., h. 28
[44] ibid., h. 38
[45] ibid., h. 26
[46] ibid., h. 35
[47] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, h. 469
[48] ibid., h. 40
[49] ibid., h. 42-46
[50] Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat Badan penyiaran dan Pembinaan Wahidiyah, Tanya Jawab Masalah Wahidiyah yang Timbul dii Daerah, Edisi 2, Kedunglo, h. 1
[51] ibid., h. 39
[52] ibid., h. 2
[53] ibid,. h. 69
[54] ibid., h. 76
[55] ibid., h. 80
[56] ibid,. h. 81
[57] ibid., h. 52
[58] ibid., h. 56
[59] ibdi,. h. 84
[60] ibid,. h. 82
[61] ibid,. h. 25
[62] Qomari Mukhtar, Sejarah, h. 79
Suka · · Promosikan · Bagikan
Guntur Arsy, Swiit Pripiit, Listia Anee dan 33 lainnya menyukai ini.
Muhammad Khoirudin Maaf pak dimyati tentang murobbi akhir zaman..dan mujadid..sekalian disampaikan..
25 Mei pukul 9:24 · Suka
Ahmad Dimyathi S Ag MKSIH JAZAA KUMULLOH...AMIIN... ! TOLONG BACA "PIAGAM NGADILUWIH KEDIRI" DAN BACA DI SINI...../ Klik disini :http://nurnadhroh.blogspot.com/ DAN ATAUhttp://shalawatwahidiyah.blogspot.com/
Blog A - Forum Diskusi Bersama Pengamal Sholawat Wahidiyah
nurnadhroh.blogspot.com
Forum Diskusi Bersama Pengamal Sholawat Wahidiyah ini di bangun untuk saling ber... Lihat Selengkapnya
25 Mei pukul 9:42 · Suka · Hapus Pratinjau
Ahmad Dimyathi S Ag http://mashabiw-94.blogspot.com/.../peranan-al-ghoustguru...
MASHABI REMAJA WAHIDIYAH
mashabiw-94.blogspot.com
Copyright 2010 - MASHABI REMAJA WAHIDIYAH. Powered by Blogger. Free Blogger template by Freebtemplates.net. Original Design by Site5.
25 Mei pukul 9:47 · Suka · Hapus Pratinjau
Suka ·  · 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar