Senin, 17 Februari 2014

018.01.317 - Al-Ghauts Dalam Al-Qur’an & Al-Hadits

I. 01. 317 "BAHASAN UTAMA - Kuliah wahidiyah"


Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk mengimani atau mengkafiri keberadaan khalifah Allah Swt, sebab kerugian dan keuntungan adanya khalifah, bukan klembali kepada Allah Swt, melainkan kepada manusia sendiri. Sebagaimana yang tercermin dalam firman-Nya Qs. Fathir : 39 
  هُوَالذِي جَعَلكُمْ خَلاَئِفَ فِي الاَرْضِ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ
      
Dan Dia (Allah)-lah yang menjdikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir, maka dialah yang menanggung resikokekafiranya.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelasan, dengan menukil perkataan sahabat Abu Bakar Ra, yang mengatakan, bahwa khalifah ini adalah خَلِيْفَةُ الرسُوْلِ : Khalifahnya Rasulullah Saw.
Demi stabilnya ekosistem alam, Allah Swt menjadikan ummat Rasulullah Saw untuk menjadi pimpinan diatas bumi. Firman Allah Swt, Qs. an-Nur : 55
وَعَدَ اللهُ الذِيْنَ امَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ يِي الاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنّنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمْ الَذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِخَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي وَلاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal yang sholeh, bahwa sungguh-sungguh (Allah) akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana (Alah) menjadikan orang-orang yang sebelum mereka. Dan sungguh (Allah) akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka. Dan (Allah) benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.  
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menjelasakan bahwa ayat ini merupakan berita tentang mukjizat Nabi Muhammad Saw yang telahmengetahui sebelumnya akan yang adanya khalifah dari ummatnya, dan sekaligus dan sebagai pemberitaan Allah swt kepada ummat Rasulullah Saw  :
 هَذَا وَعْدٌ مِنَ اللهِ لِرَسُولِهِ بِأَنَّهُ سَيَجْعَلُ أُمَّتَهُ خُلَفَاْ الآَرْضِ
 Ini adalah janji dari Allah kepada rasul-Nya, bahwa sesungguhnya (Allah) akan menjadikan ummat-Nya sebagai kholifah dibumi.
Dalam memberi penjelasan ayat ini, Imam Ibnu Katsir – memperkuatnya dengan  hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim    :
لاَيَزَالُ طَائِفَةُ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلّهُمْ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ – وفِي رِوَايَةٍ – حَتَّى يُقَاتِلُونَ الدَجَّالَ – وَفِي رِوَايَةٍ – حَتّى يَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ.  وكُلُّ هَذِهِ الرِوَايَةِ صَحِيْحَةٌ وَلاَ تُعَارِضُ بَيْنَهَا
Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok manusia yang memperjuangkan kebenaran, yang mana tidak dapat memberi madlarrat kepada mereka orang-orang yang menghinakannya, sampai hari kiamat.  
Dan dalam riwayat lain : sampai mereka dapat membunuh dajjal dan  dalam riwayat lain  : sampai turunnya Nabi Isa Ibn Maryam.
Setiap riwayat hadis ini adalah shahih, tanpa adanya pertentangan antara hadis satu dengan hadis lainnya.
Imam Qurthubi, memberikan penjelasan ayat ini dengan menyertakan sabda Rasulullah Saw :
 زَوِيتْ لِي الاَرْضَ فَرأَيْتُ مَشَارِقَهَاوَمغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ ملَِكَ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
Sesungguhnya Allah telah melipat bumi untuk-Ku, sehingga Aku dapat melihat bagian timurnya dan bagian baratnya.  Dan juga akan sampai kepadaraja ummat-Ku sesuatu yang seperti bumi dilipat untuk aku.
Dari kedua tafsir ini, dapat dipahami bahwa keberadaan khalifah Allah Swt itu sampai hari kiamat, sampai terkalahkannya Dajjal dan atau sampai turunnya nabi Isa As dalam bumi ini. Dan para kholifah itu atau pimpinan rohani ummat Rasulullah Saw ini diberi anugrah oleh Allah sebagimana anugrah yang diberikan kepada Rasulullah Saw.
Kata al-Ghatsu adalah istilah yang sangat terkenal dalam kalangan kaum sufi dan para waliyullah. Beliau Ra merupakan figur sentral dan sekaligus sebagai tauladan dalam menjalankan tuntunan Islam secara syari’ah dan  hakikah serta  lahiriyah  dan batiniyah. Dari sisi ketaqwaan, Beliau ra adalah hamba Allah Swt yang  paling taqwa pada zamannya. Al-Ghauts Ra sering disebut Quthb al-Wujud, karena Beliau sebagai pusat segala wujud secara ruhaniyah. Al-Ghauts Ra merupakan satu-satunya wakilRasulullah Saw dalam mengemban tugas khalifah dalam alam fana ini, serta sebagai tempat tajalli-Nya yang sempurna (lihat HR. Muslim yang diulas dalam bahasan kelemahan Waliyullah).
Secara bahasa, al-Qur'an dan hadis diturunkan secara mujmal (ringkas). Namun kandungannya menjelaskan keberadaan Allah Swt dan seluruh maujud. Tak satupun dari inti maujudat yang tidak diulas dalam al-qur’an maupun al-hadis. Oleh karenanya, mengkaji kandungan al-Qur'an dan hadis (beristinbath), untuk mengeluarkan mutiara hikmah yang tersimpan didalamnya merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Islam (HR. Muslim yang telah diulas sebelumnya). Para ulama, sesuai bidang keilmuan masing-masing, berusaha menggali kandungan hadis dan al-Qur’an. Misalnya penemunan ilmu tajwid, nahwu/ sharaf, fiqih/ ushul fiqh, tasawuf/ tarekat, mushthalahul hadis, tafsir, faraidl, ilmu da’wah, manthiq, balaghah, hisab, perbintangan, dan ilmu-ilmu lain.
Kata al-Ghauts, secara redaksional (tersurat) tidak terdapat dalam teks al-Qur’an dan al-hadits. Sebagaimana istilah-istilah dalam ilmu (baik secara global maupun rinci), yang secara redaksional kata-kata tersebut tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-hadis.. Misalnya; manthiq (tashawwur, tashdiq, hujjah, dan lainnya), ilmu ushul fiqh (mafhum muwafaqah, qiyas, ijma’ dan lainnya), ilmu nahwu/ sharaf (mubtada’ khabar, maf’ul, badal, dan lainnya), balaghah (hakikat, majaz, tasybih, kinayah,  dan lainnya), musthalah al-hadits (shahih, hasan, dla’if, maudlu’, marfu’ mauquf, dan lainnya), biologi (kromoson, genetika, amuba, sel, DNA, dan lainnya),  ilmu fisika (atmosfir, senyawa kimia, karbohidrat dan lainnya), ilmu ekonomi (sosialis, kapitalis, surplus perdangangan, dan alinnya),  perbankan (valuta, deposito, debet, dan lainnya), dan ilmu-ilmu lain baik yang sudah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Namun, keberadaan ilmu tersebut, menurut para ahlinya, telah tersirat didalam al-Qur‘an dan al-hadits.
Dan kesimpulan para ulama kaum sufi dan para waliyullah, al-Qur’an dan hadits telah menunjukkan keberadaan al-Ghauts Ra, dimana setiap Beliau Ra almarhum, Allah Swt mengangkat salah satu waliyullah lain untuk menggantikan kedudukannya.
Al-Qur’an, [1] menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra dengan kata ;khalifah / الخليفة (wakil Tuhan),  Imam/ الامام (pimpinan manusia), Ulil amri/ اُولِىالاَمْر (ulama yang menguasai perkara ummat secara batiniyah).
Sedangkan dalam hadis [2] menjelaskannya dengan kata :  khair /خَيْر(yang terbaik), al-Wahid الوَاحِد(hamba yang satu dalam setiap waktu),malik / مَلِكُ (raja), aimmahأئمة  (pemimpin), shurah/ صُورَة (citra/ salinan. Kalimat ini hanya merupakan gambaran saja), dan مَقَامْmaqam (berasal dari kata aqaamaأقَامَ : menduduku siri kerasulan/  dalam istilah thariqah Qadiriyah, disebut dengan naaibur rasul = wakil rasul).


H.     Makna Waliyullah

1.                Apa  Dan Siapa  Waliyullah Itu ?
Kalimat Wali (walinya Allah) atau auliya’ berasal dari kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun sering diartikan secara sempit saja. Bahkan  sering diberi arti yang sangat jauh dari konsep al-Qur’an dan al-Hadits. Misalnya bila ada orang yang dapat berjalan diatas air atau angkasa, atau dapat mengetahui sebagian dari hal-hal yang akan terjadi (ghaib), segera saja kita simpulkan bahwa orang tersebut adalah waliyullah. Memang, kebanyakan dari para auliyaa’illah memiliki kemampuan seperti tersebut. Namun, belum tentu orang tersebut adalah waliyyullah. Agar kita berhati-hati dalam menyimpulkan sesuatu, perlu mengingat firman Allah Swt, Qs. al-Ma’idah : 45 :
 وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاوُلَئِكَ هُمُ الظَالِمُون
Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum dengan memakai ketentuan (pedoman) yang diturunkan oleh Allah, maka ia adalah golongan orang-orang dlalim.
Dalam memandang dan memahami waliyyullah tidak boleh hanya sekedar, bahkan berdasar kondisi luarnya saja. Dalam memahaminya, haruslah merujuk kepada al-Qur’an dan hadis. Sedangkan hal yang luar biasa yang dimiliki oleh waliyyullah hanya dijadikan sebagai pendukung belaka bukan sebagai penentu kewalian. Secara umum, kalangan awam melihat waliyullah dari sisi karomah hissi (lahiriyah) saja. Padahal mungkin juga terjadi seorang waliyullah tidak memiliki karomah hissi, serta dimusuhi dan dihina oleh ulama lain dan masyarakat. Dan mungkin juga, seorang ulama, disanjung dan dipuja-puja oleh masarakat , namun bukanlah waliyullah.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh An-Nabhani Ra, dalam kitabnyaJami’ Karamah al-Auliya, menerangkan : bahwa karamah itu terbagi dalam dua bagian : karamah hissiy (lahiriyah) dan karomah maknawi(batiniyah). Dan orang awam tidak dapat mengetahuinya, kecuali karamah hissiy. Misalnya, jika ada orang dapat terbang tanpa alat, dapat mengetahui perkara samar yang akan terjadi atau yang telah berlalu, atau mampu melihat sesuatu yang berada dalam jarak ratusan kilometer. Sedangkan karamah maknawi tidak dapat diketahui kecuali dari golongan mukmin kelompok atas. [3] 
 اِعْلَمْ مَنْ أَرَادَ شَيْئًا فَأْعْطَاهُ اللهُ  مُرَادَهُ لَمْ يَدُلْ ذَالِكَ عَلَى كَوْنِ ذاَلِكَ العَبْدِ وَجِيْهًا لَهُ عِنْدَالله تعالى. قَدْ يَكُوْنُ اِكْرَامًا لِلْعَبْدِ و َقَدْ يَكُونُ اِسْتِدْ رَاجًا
Ketahuilah, orang yang menginginkan sesuatu, dan Allah memberikannya. Pemberian itu belum tentu menunjukkan bahwa ia berkedudukan tinggi dihadapan Allah Swt. Kadang pemberian tersebut, sebagai karomah, dan kadang sebagai istidraj. [4]

2.                Arti Kata Wali
Kata Waliy  merupakan kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis, yang  memiliki arti ganda (musytarak) :
1.       Sebagai subyek (الفاعل) : yang mengasihi, yang menguasai, yang menolong dan yang melindungiDalam artian ini, kata Waliy menjadi salah satu asma Allah Swt yang baik (asmaul husna). Pemiliki asma ini hanyalah Allah Swt sendiri.
2.       Sebagai obyek (المفعول) : yang dikasihi, yang dikuasai, yang ditolong dan yang dilindungi Dalam artian ini , kata wali ditujukan kepada manusia.
Jadi, pemilik asma atau pangkat waliyullah adalah orang yang sadar bahwa hanya Allah Swt yang mengausai, menolong serta melindunginya. Dan karenanya, meskipun ia bersama makhluk (terutama Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra), hatinya tetap dan senantiasa bersama Allah Swt, Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Dengan kata lain, waliyullah Ra, adalah orang yang telah dapat menghayati dan menerapkan makna :
 حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْلِ, نِعْمَ المَوْلَى وَنِعْمَ النَصِيرِْ
Telah cukup bagi kami bergantung kepada Allah. Dia adalah paling nikmatnya tempat berserah diri, senikmat-nikmatnya tempat berlindung serta senikmta-nikmatnya tempat mencari pertolongan.
Terdapat sebuah prinsip لاَيِعْرِفُ الوَالِيُّ اِلاَّ الوَالِيّ = Tidak dapat mengetahui wali kecuali wali juga, merupakan fatwa dari Syeh ...... Ppemahaman yang sangat masyhur ini dalam masyarakat ahlussunnah waljama’ah Indonesia.  Hanya saja, pada umumnya hanya diberi arti dengan : tidak dapat mengetahui seorang wali (kekasih Tuhan) kecuali wali(kekasih Tuhan) yang lain. Padahal semestinya harus dijelaskan dengan arti yang lain juga, yakni : Tidak ada yang mengetahui wali (manusia), kecuali Wali (Allah Swt) Sendiri. Dan memang, kebanyakan para waliyullah, sangat dirahasiakan oleh Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt dalam hadis qudsi : [5]
 اِنّ اَوْلِيَائي عَلَى قَبْضِي لا َيَعْرِفُهُ غَيْرِي
Sungguh wali–Ku itu dalam genggaman-Ku, tidak ada yang mengetahuinya selain Aku.
Secara hakiki hanya Allah Swt saja yang mengetahui keberadaan waliyullah. Namun atas kasih-sayang-Nya, terkadang kewaliyan itu dapat diketahui. Terdapat beberapa pendapat tentang dapat diketahuinya pangkat kewalian oleh dirinya sendiri atau orang lain,antara lain : [6]
a.     Para waliyullah tidak dapat mengetahui kalau dirinya sebagai waliyullah.
          Syeh Abu Bakar Ibnu Faurak berkata  :
        إِنَّ  الوَلِيَّ لاَيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا. إِنَّ الوَالِيَّ إِنَّمَا يَصِيْرُ وَلِيًّا لآَجْلِ أَنَّ الحَقَّ يُحِبُّهُ لاَ لآَجْلِ أَنَّهُ يُحِبُّ الحَقَّ . ثُمَّ إِنَّ مَحَبَّةِ الحَقِّ وَعَدَاوَتَهُ سِرٌّ أَنْ لاَ يَطْلَعُ عَلَيْهِمَا أَحَدٌز فَطَاعَةُ العِبَادِ وَمَعَاصِيْهِمْ لاَ تُؤْثِرُ مَحَبَّةَ الحَقِّ وَعدَاوَتَهُ, لآَنَّ الطَاعَةَ مُحْدَ ثَةٌ وَصِفَاتُ الحَقِّ  قَدِيمَةٌ غَيْرُ مُتَنَاهِيَةٌ
Sesungguhnya wali itu, tidak dapat mengetahui kalau dirinya sebagai wali (Allah). Sungguhn seorang wali, ketika menjadi wali, dikarenakan Al-Haq (Allah) mencintainya dan bukan karena ia mencintai Allah. Kemudian, cinta atau murkanya Allah, tidak tampak kepada seseorangpun. Keatatan atau kedurhakaan hamba, tidak akan mempengaruhi cinta dan murka-Nya, karena taat itu baru (mahluk), sedangkan sifat Allah itu qadim yang tanpa batas.
b.     Syeh Abul Qasim al-Qusyari dan Guruynya (Syah Abu Ali ad-Daqaq) Qs wa Ra, berkata  :
 إِنَّ الوَلِيَّ قَدْ َيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا, إِنَّ  الوَلِيَّ لَهَا رُكْنَانِ أَحَدُهُمَا كَوْنُهُ في الظَاهِرِ مُنْقَادًا لِلشرِيْعَةِ الثَانِي كَونُهُ مُسْتَغْرِقًا فِي نُور الحَقِيْقَةِ
Sesungguhnya wali (Allah) terkadang dapat mengetahui kalau dirinya, sebagai wali (Allah). Sesungguhnya untuk wali terdapat dua pondasi : pertama,secara lahiriyah keberadaan amalnya, sesuai dengan syariah (Islam), kedua,secara batiniyah, senantiasa tenggelam dalam nur hakikat.
c.      al-Ghauts fii Zamaanihi Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra (w. 656 H)  : [7]
مَعْرِفَةُ الوَالِيِّ أَصْعَبُ مِنْ مَعْرِفَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللهَ مَعْرُوفٌ بِكَمَالِهِ وَجَمَالِهِ وَحَتَّى تَعْرِفَ مَخْلُوقًا مِثْلَكَ يَأْكُلُ كَمَا تَأْكُلُ وَتَشْرَبُ كَمَا تَشْرَبُ.
  Mengetahui wali (Allah), lebih sukar daripada mengetahui Allah ‘Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allah itu dapat diketahui dengan Jamal-Nya dan Kamal-Nya. Bagaimana engkau dapat mengetahui wali, sedangkan ia makan sebagaimana engkau makan, dan ia minum sebagaimana engkau minum.
d.     Syeh Jalaluddin as-Suyuthi,  dalam  kitabnya  al-Hawi lil Fatawi juz II  pada  bab
“haditsul quthbi” menjelaskan : [8]
 وَقَدْ سَتَرَتْ أَحْوَالُ القُطْبِ وَهُوَ الغَوْثِ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَسَتَرَ النُجَبَاءُ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ  وَكَشَفَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
Keberadaan al-Quthbu (al-Ghauts) tertutup dari kalangan awam dan kalangan khusus, demikian juga nujaba’. Dan terbuka bagi kalangan mereka sendiri.
Dengan pemaknaan kata waliyullah Ra seperti ini, maka siapapun orangnya (termasuk orang awam), dapat mengetahui pribadi waliyullah, selama Allah Swt wa Rasulihi Saw berkehendak untuk memberitahukannya. Dan untuk mengetahuinya tidak harus menjadi waliyullah terlebih dulu. Dan pada umumnya, pemberitahuannya melalui pengalaman ruhani (rukyah shalihah).

3.                     Pengalaman Ruhani (rukyah shalihah).
Sebagai agama, Islam bukanlah berdasar mimpi. Begitu pula Wahidiyah dan perjuangannya. Sebagai jalan menuju wushul atau makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, dasar pengamalan Shalawat Wahidiyah, bukan berdasar mimpi. Sebagai pedoman hidup bagi manusia, perjuangan wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah berdasarkan  al-Kitab dan as-Sunnah. Bahkan dalam salah satu fatwa amanatnya, Mbah KH. Abdul Madjid Makruf Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, menjelaskan : wahidiyah itu sesuai dengan al-Qur’an dan al-hadis serta sesuai dengan kaidah sain dan tehnologi.
Prinsip, ajaran atau idiologi apapun, jika bertentangan dengan hukum alam (sain dan tehnologi), pasti akan punah dengan sendirinya serta akan ditelan zaman. Demikian pula al-Qur’an dan al-Hadis, karena tidak pernah dan tidak akan bertentangan dengan hukum alam, kemukjizatannya akan semakin tampak. Perkembangan tehnologi pada era dewasa ini dan era selanjutnya, semakin menampakkan kebenaran al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Dan jika ada orang yang mengatakan; bahwa al-Qur’an dan al-Hadis tidak sesuai dengan hukum alam, hanyalah kedustaan akal yang dibungkus dengan baju ilmiyah. Akal, secara esensial, masih diperbudak oleh nafsu,[9] dan dengan sendirinya kesimpulannya masih dipimpin oleh kepentingan individu atau kelompok, maka mayoritas kesimpulan ilmiyah kurang obyektif. Akal yang masih gelandangan, jika dijadikan landasan berpijak, akan membawa manusia dalam penderitaan dan kesesatan. Dan juga, puncak kesimpulan akal, betapapun hebatnya, hanyalah berupa prasangka yang tidak  pasti apalagi permanen, dan karenanya ia tidak dapat menggantikan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana yang tercermin dalam Qs. an-Najm : 28 :
وَمَالَهُمْ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الحَقِّ شَيْئًا
Tidak ada ilmu (yang semestinya) bagi mereka. Tidak ada yang mereka ikuti kecuali hanya prasangka. Dan sesungguhnya prasangka itu tidak dapat menyentuh kebenaran sedikitpun.
Ilmu, betapapun tingginya, hanyalah sebuah informasi tentang sesuatu. Dikatakan ilmu yang benar, jika sesuai dengan kenyataannya, dan jika tidak, dikatakan ilmu yang batal/ salah. Ilmu dapat mencapai kebenaran hakiki, apabila dituntun oleh cahaya Tuhan. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah Swt dan sabda Rasulullah Saw  :
وَلاَ يَنْطِقُ عَنِِ الهَوَى إِنْ هِيَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
Dan, dia (Muhammad) tidak berbicara dari (kesimpulan yang dipimpin oleh) nafsu. Tidaklah ada ucapan Muhammad
إِتَّقُوْا فِرَاسَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ.
Hati-hatilah kamu semua terhadap firasat orang mukmin. Sesungguhnya orang mukmin melihat dengan cahaya Alla(HR. Ahmad)
Kebenaran hakiki, bukan sesuatu yang hanya dapat ditangkap oleh akal saja. Akan tetapi, meliputi demensi lahiriyah dan batiniyah. Kebenaran batiniyah hanya dapat ditangkap melalui ketersingkapan batin (kassyaf/ terbukannya mata hati) juga. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw : [10]
إِنَّ مِنَ العِلْمِ كَهَيْئَةِ المَكْنُوْنِ لاَيَعْلَمُهُ إِلاَّ العُلَمَاءُ بِاللهِ. وَإِذَا نَطَقُوْا بِهِ لَمْ يُنْكْرْهُ إِلاَّ اَهْلُ الأِغْتِرَارُ بِاللهِ
Sesungguhnya dari sebagian ilmu itu bagaikan permata yang terpendam. Tidak dapat mengetahuinya kecuali ulama yang alim billah. Ketika mereka mengatakan ilmu tersebut, tidak seorangpun yangmengingkarinya, kecuali orang yang tidak paham Billah.  
Sebagaimana diketahui, iblis adalah musuh utama bagi setiap mukmin. Ia tidak berputus asa dalam membelokkan iman dan ilmu manusia. Berbagai macam cara yang dilakukan untuk membelokkan manusia. Iblis, sering mengacaukan kebenaran hakiki yang mengatasi kesimpulan akal  (pasca rasio). Ia mengajak manusia untuk menerima sesuatu yang sesuai tidak sesuai dengan akal. Padahal, kemampuan akal setiap orang tidak sama, atau akal setiap individu mengalami perekmbangan dan perobahan sesuai perkembangan dan perangkat ilmu yang dikuasai.
Lain itu pula, untuk mengacaukan indra keenam manusia, iblis juga membisikkan pengalaman ruhani kepada orang-orang yang jauh dari Allah Swt wa Rasulihi Saw. Atau membisikkan kalimat-kalimat atau kesimpulan, agar orang-orang munafiq mendustakan pengamalan ruhani yang didapatkan oleh orang mukmin, dengan dalih tidak masuk akal, padahal, sebab utamanya bertentangan dengan kepentingannya. Sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah Swt, Qs. al-An’am : 33 – 34 :
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الذِي يَقُوْلُوْنَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُوْنَ. وَلَكِنَّ الظَّالِمِيْنَ بِآيَاتِ اللهِ يَجْحَدُوْنَ.
Sungguh Kami (Allah) mengetahui. Sesungguhnya mereka (hanya) membuatmu susah disebabkan oleh ucapan mereka. (Namun), sesungguhnya mereka tidak mendustakan kepadamu (Muhammad). Hanya saja, orang-orang yang dlalim terhadap ayat-ayat Allah itu, berjiwa angkuh
Datangnya pengalaman ruhani kadang dari Allah Swt, dan kadang dari bisikan setan. Dan yang datang dari Allah Swt, tidak boleh didustakan. Rasulullah Saw bersabda :
الرُؤْيَةُ الحَسَنَةُ مِنَ اللهِ وَرُؤْيَةُ السَيِّئَةُ مِنَ الشَيْطَانِ
Mimpi yang baik dari Allah dan mimpi yang buruk dari setan. [11]
فِي اَخِرِ الزَمَانِ لاَتَكَدْ رُؤْيَةَ المُؤْمِنِ. اِتَّقُوْا فِرَاشَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرٌ بِنُوْرِ اللهِ.
Diakhir zaman, jangan tergesa-gesa mendustakan mimpinya orang mukmin.Takutlah (hati-hatilah) kamu semua kepada firasatnya orang mukmin. Karena sesungguhnya mukmin melihat (firasat tersebut) dengan cahayat Allah. [12]
Dikatakan mimpi yang baik dan benar (datang dari Allah Swt), bila sesuai dengan ketentuan fakta dan kenyataan alam ghaib (metafisika) yang telah diberitakan oleh al-Qur’an dan hadis. Sedangkan mimpi yang buruk, adalah yang mimpi yang dibisikkan oleh setan. Ia merupakan pengalaman ruhani yang tidak sesuai dengan fakta dunia ghaib.
Untuk menghindari mimpi dari bisikan iblis, Rasulullah Saw dalam hadisnya yang shahih telah menjelaskan bagimana cara memperoleh pengalaman ruhani yang baik dan benar. Yakni melalui bersahalawat dan bertawassul kepada Rasulullah Saw. Dengan bershalawat seseorang mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah Saw. Dan juga bermanfaat sebagai pencuci dan pembersih hati dari kotoran dan godaan iblis. Oleh Allah Swt, iblis  tidak mamu menjelma atau menyerupai Rasulullah Saw.
Sebagaimana yang tercermin dalam hadis riwayat Abdullah Ibn Amr, Rasulullah Saw bersabda : [13]
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشَرًا, ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِيَ الوَسيْلَةَ, فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ,  وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ, فَمَنَ سَأَلَ اللهَ لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku satu shalawat, maka Allah Swt akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Juga berwasilahlah kepadaku. Sebab sengguhnya wasilah itu tempat dalam surga. Yang tidak dapat memperolehnya kecuali hanya seorang saja dari hamba-hamba Allah. Dan aku berharap menjadi seperti dia. Barang siapa meminta kepada Allah dengan wasilah tersebut, maka syafaatku halal (wajib) baginya.
Makna Allah Swt bershalawat kepada mukmin, adalah memberikan hidayah, melindunginya dari bisikan iblis.
Sedangkan perintah menjadikan Rasulullah Saw sebagai perantara (wasilah) kepada Allah Sw dalam hadis diatas, dipertegas lagi dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari jalur Hasan Ibn Ali Ibn Abu Thalib Ra, Rasulullah Saw bersabda : [14]
أَكْثِرُوا الصَلاَةَ عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ عَلَيَّ مَغْفِرَةٌ لِذُنُوبِكُمْ. وَاطْلُبُوا لِي الدَرَجَةَ وَالوَسِيْلَةَ. فَإِنَّ وَسِيْلَتِي عِنْدَ رَبِّي شَفَاعَتِي لَكُمْ.
 Perbanyaklah kamu semua bershalawat kepada-ku. Sesungguhnya shalawatmu kepada-ku, merupakan (menyebabkan) ampunan bagi disa-dosamu. Dan carilah kamu semua untk-ku darajah yang tinggi dan wasilah. Sesungguhnya wasilah dengan aku disisi Tuhan-ku merupakan pertolongan (syafaat) untuk kamu semua.
Makna sebagai ampunan terhadap dosa dalam hadis Ibnu Asakir ini, menunjukkan bahwa orang yang bershalawat kepada Rasulullah Saw secara sungguh-sungguh, akan terhindar dari kemurkaan Allah Swt, dan berarti  pengalaman ruhani yang didapatkan datang dari Allah Swt. Setelah bershalawat, mukmin diperintahkan mendekat kepada Allah Swt dengan berwasilah melalui Beliau Saw. Dan pula tujuan berwasilah ini, agar mukmin mendapat bimbingan dari Rasulullah Saw hingga terhindar dari bisikan iblis.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa bershalawat Nabi merupakan cara yang paling tepat untuk menempatkan kedudukan Rasulullah Saw serta menjadikannya sebagai perantara antara Allah Swt dan hamba-Nya. Serta sebagai wahana pengungsian ummat kepada rasul, agar selamat dari godaan dan bisikan iblis.
إنَّ الصَلاةَ وَالسَّلامَ عَلَى سَيِّدِ الأَنَامِ أَفْضَلُ العِبَادَاتِ وأحْسَنُ الحَالاَتِ وَأعْظَمُ القُرُوبَاتِ وأَشْرَفُ المَقَامَاتِ وَاِنَّ الصَلاَةَ التَوَسُّلُ بِذَاتِهِ المُحَمّدِيَةِ اِلَى اللهِ
Sesungguhya shalawat dan salam kepada Pimpinan seluruh manusia merupakan ibadah sunnah yang paling utama, kondisi yang paling bagus, pendekatan (kepada Allah) yang paling agung dan kedudukan yang paling mulya. Sesungguhnya bershalawat, berarti berperantara kepada Allah dengan zatnya Nabi yang terpuji. [15]
Dalam hadis lain diterangkan, bahwa shalawat dapat menajdi penangkal bisikan iblis dan sekaligus sebagai pembersih bagi hati mukmin. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw :
  صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَّارَةٌ لَكُمْ فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
 Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku sebegai penebus dan pembersih (dosa/ kotoran hati) bagi kalian. Barang siapa bershalawat kepadaku, maka Allah bershalawat kepadanya.[16]  
                مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِيْ يَوْمٍ أَلْفَ مَرَّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الجَنَّةِ
Barang siapa bershalawat kepadaku dalam sehari 1000 kali, maka ia tidak akan mati kecuali melihat tempat duduknya dari surga.
فَإِنَّ الشَيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِيْ - لاَ يَتَصَوَّرُ بِيْ - لاَيَتَخَيَّلُ بِي - لاَ يَتَكّوَّنُ بِيْ.
Sesungguhnya setan tidak dapat menyerupai aku (Rasulullah), - dalam riwayat lain tidak dapat membentuk diri sebagai aku, - dalam riwayat lain :tidak dapat mengkhayalkan dirinya sebagai aku- dan dalam riwayat lain tidak dapat membentuk diri sebagai aku[17]
Kesimpulan makna dari beberapa hadis shalawat diatas, dan hadis yang menjelaskan ketidak mampuan setan menjelma sebagai Rasulullah Saw, para ulama telah menjelaskan :
أِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْبُولَةٌ قَطْعًا مِنْ كُلِّ أَحَدٍ
Sesunggunya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw pasti diterima (oleh Allah) dari setiap orang (fatwa al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra).[18]
فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْبُولَةٌ. 
Sesungguhnya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw diterima (oleh Allah) (fatwa Ibnul Qayyim al-Jauziyah {pendukung kuat madzhab Hambali dan salah satu ulama yang sangat dihormati oleh kaum wahabi} dalam kitabnya Jala’ al-Afham pada bahasan ke 7).
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf an-Nabhani Ra menjelaskan :[19]
وَبِالْجُمْلَةِ أَنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْصِلُ إِلَى عَلاَّمِ الغُيُوْبِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ وَسَنَدٍ لأَِنَّ الشَيْخَ وَالسَنَدَ صَاحِبُهَا. بِخِلاَفِ غَيْرِهَا مِنَ الأَذْكَارِ التِي يَحْتَاجُ مِنَ الشَيْخْ العَارِفِ الكَامِلِ, وَإِلاَّ دَخَلَهَا الشَيْطَانُ.
Dengan kesepakatan para ulama (ahli kassyaf), bahwa shalawat kepada Nabi Muhammad Saw dapat mengantarkan kepada alam ghaib tanpa guru dan sanad. Karena guru dan sanad dalam shalawat, adalah pemilik shalawat (Rasulullah Saw). Berlainan dengan wirid selain shalawat, misalnya dari macam-macam dzikir lafadz  jalalah, yang membutuhkan guru yang benar-benar sempurna makrifatnya. Jika tidak ada guru yang membimbing, maka sudah tentu setan masuk dalam wirid tersebut.

Sebagian pengalaman ruhani mukmin tentang keagungan Rasulullah Saw, keistemawaan shalawat kepadanya dan keberadaan pribadi al-Ghauts Ra :
1.                 Adalah Abu Jahal.
          Suatu hari Abu Jahal [20] berkata : Sekiranya aku bertemu dengan Muhammad pasti aku akan menghasut dan mencacinya.Kemudian datanglah Rasulullah Saw, namun Abu Jahal tidak dapat melihat Rasulullah Saw. Sedangkan orang-orang yang disekitarnya memberitahu kepada Abu Jahal bahwa Nabi Muhammad ada disisinya. Akan tetapi Abu Jahal tetap tidak melihatnya dan bertanya : Mana Muhammad… mana Muhammad ?.
2.                 Adalah Rasulullah Saw.
Sayyidina Ali Karramallahu wajhahu pergi bersama Rasulullah Saw yang diikuti oleh beberapa sahabat lainnya.  Ketika sampai disuatu lembah, terdengar suara orang yang mengucapakan : السَلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ Salam sejahtera kepada Paduka, wahai Rasulullah. Suara ini terulang-ulang beberapa kali. Dan setelah para sahabat mengamati sekelilingnya, ternyata suara tersebut keluar dari bebatuan dan tumbuh-tumbuhan yang  ada disekeliling mereka. [21]
3.                 Adalah Rasulullah Saw.
          Ketika Rasulullah membaca surat as-Sajdah, para kafir Quraisy merasa terganggu perasaannya dan berniat menyiksa Rasulullah Saw. Tapi tiba-tiba tangan mereka kaku serta tidak dapat melihat. Mereka berkata : “Wahai Muhammad, atas nama Allah dan atas nama keluarga, kami sangat mengharap bantuanmu”. Dan, Rasulullah Saw-pun berdoa, dan sembuhlah mereka. [22]
4.                 Dr. Ibrahim Uthwah ‘Audl.
Beliau salah satu dosen di universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, pada tahun 1962 M). Dia berkata : Kawan saya (Dr. dr. Ibrahim Hasan – direktur rumah sakit  “Ain Syams” Kairo Mesir),  berkata kepada saya : aku  berkali kali mimpi bertemu Rasulullah Saw. Namun suatu saat, lama sekali aku tidak bermimpi melihat Rasulullah Saw. Aku sangat susah sekali. Dan akhirnya, saya mimpi bertemu Beliau Saw kembali. Kepada Beliau Saw aku bertanya :“Wahai Rasulullah, apa sebab dalam waktu yang lama Paduka tidak bersedia menemui hamba ?.
Jawab Rasulullah saw : Bagaimana Aku menemui kamu, sedangkan ditanganmu  ada  kitab ini. Kitab yang dimaksud Rasulullah SAW, adalah kitab  في الرد على النبهاني  نيل الاما ني  (Nailul Amani Firraddi ala Nabhani). Kitab ini kontra dengan isi kitab “Jami’ Karamah Al-uliya’-nya Syeh Yusuf An-Nabhani Ra, serta kontra dengan prinsip kaum sufi.
Dan setelah aku bangun, pagi hari aku membakar kitab Nailul Amani tersebutDan setelah aku membakarnya, malam harinya akubermimpi bertemu Beliau Rasulullah SAW yang tersenyum gembira kepada saya. [23]
5.                Saudara Jumadi (mantan persunil DPRW ) kec. Gebok, Kudus Jawa tengah.
          Kawan kita ini mimpi bertemu seseorang yang belum dikenalnya. Dari atas ada suara yang mengatakan, beliau adalah Rasulullah Saw.
Kepada Rasulullah Saw, Jumadi bertanya : Ya Rasulullah, mana Romo Yahi ?. Rasulullah Saw menjawab: Itu didekatmu yang menunggui kamu. Jumadi menghadap kepada Kanjeng Romo Yahi Ra, sambil berkata  :  Kanjeng Romo Yahi,  doakan kami.  Kanjeng Romo Yahi RA-pun berdoa. Dan setelah berdoa, dada Beliau Ra mengeluarkan sinar yang masuk kedalam dada Jumadi, dan keluarlah kotoran-kotoran yang menjijikkan dari dada Jumadi, dan  ia melihat cahaya yang sangat terang yang terpancar dari Rasulullah Saw dan masuk kedalam dada Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra. Dan dari pribadi Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid RA, cahaya tersebut memancar ke seluruh penjuru yang ia tidak mampu melihatnya seberapa jauhnya.
6.                 Abdullah bin al-Hakam (diantara pembesar ulama madzhab Syafi’i).
Beliau mimpi bertemu Imam Syafi’i, yang mengalami kebahagian dalam alam barzah. Kepada Imam Syafi’i Ibnul Hakam bertanya : Wahai Imam, mengapa Tuan mendapatkan hal yang demikian ?. Imam Syafi’i menjawab : Seluruh amal kebaikanku diterima oleh Allah Swt, dan kesalahanku diampuni-Nya”. Sebab apa Allah berbuat demikian kepada Tuan ?, tanya Ibnul Hakam. Jawab Imam Syai’i : “Karena aku menuliskan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, setiap aku menulis namanya dalam kitab-kitab yang aku tulis”.[24]
7.                 Al-Hafidz Imam Ibnu Asakir.
Beliau merupakan ulama yang ahli dalam bidang sastra arab, sejarah dam seleksi
 hadis. Dia mimpi bertemu dengan para ahli hadis yang mengalami kebahagian dalam alam barzah.  Imam Ibnu Asakair bertanya : “Sebab apa tuan-tuan dapat mendapatkan kenikamatan seperti ini” ?. Jawab mereka : “karena aku menulis hadis tentang keutamaan shalawat kepada Rasulullah Saw, dan akupun mempraktekkannya”.[25]
8.                 Syeh Abul Qasim al-Qari. [26]
Beliau bermimpi melihat sebuah pesta yang sangat meriah dalam sebuah gedung yang sangat indah. Sebelum acara dimulai, trdengar lantunan ayat  al-Qrur’an dan dzikir. Syeh bertanya kepada petugas penerima tamu. Saudaraku, acara apa ini ?Pelantikan Imam Nawawi sebagai waliyullah yang menduduki jabatan Wali Quthub jawab petugas.
9.                 Para murid Syeh Yusuf an-Nabhani Ra.
Banyak dari mereka yang bermimpi bertemu Rasulullah Saw, yang bersabda : Ismail Yusuf an-Nabhani adalah Aqrabul Muqarrabin (paling dekat- dekatnya orang kepada Allah dari beberapa orang yang dekat kepada-Nya).[27]
10.            Syeh Bilal al-Khawas Ra.
Beliau Ra bertemu Nabiyullah Khadlir As secara jaga. Kepada Nabiyullah As, Syeh bertanya : Dimana kedudukan Imam Syafi’i. Jawab Nabiyullah : diantara wali autad.[28]
11.            Mbah KH. Mundzir (Pengasuh ponpes “Ma’unah Sari” Bandar Kidul kota Kediri).
Ketika Beliau melaksanakan shalat istikharah untuk meminta petunjuk tentang pribadi Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra. Setelah salam shalat terakhir, Beliau Mbah Mundzir mendengar suara (al-Ghauts..al-Ghauts al-Ghauts) dari arah langit yang diulang-ulang beberapa kali.
12.            Bapak Abdul Jamil Ridwan (salah satu personil PW Pasuruan).
Pak Jamil bermimpi melihat Rasulullah Saw yang menyerahkan mandat kepimpinan ummat kepada Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
13.            Syeh Abdul Karim al-Jilly (al-Ghauts fi Zamanihi Ra, w. 826 H).
Beliau Ra bertemu Rasulullah Saw secara jaga, yang memberitahuka kepadanya, bahwa gurunya (Syeh Ibrahim al-Jabarti al-Yamani Ra) adalah al-Ghauts pada masa itu.[29]
14.            Syeh Abdus Shamad al-Palimbani.
Berdasar rukyah shalihah yang diterimanya, Syeh menerangkan dalam kitabnya “siyarus saalikin”, bahwa gurunya Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra adalah al-Ghauts Ra (w. 1758 M) pada saat itu.
15.            Imam al-Juwaini Ra.
Beliau Ra, awalnya seorang ulama yang kontra terhadap keberadaan waliyullah al-Ghauts Ra. Suatu saat, beliau diajak oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami untuk menanyakan hal waliyullah dan Ghauts Ra kepada Imam Zakariya al-Anshari Ra (al-Ghauts Ra pada waktu itu, w. 847 H) . Ketika mereka berdsua telah berada dihadapan Syeh Zakaria Ra, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, bertanya : Bagimana, pendapat guru jika ada ulama yang mengingkari keberadaan waliyullah dan al-Ghauts Ra ?. Syeh Zakaria Ra bertanya : Siapa dia ?. Al-Haitami menjawab :Ini orangnya (sambil menunjuk kepada al-Juaini). Syeh Zakaria berkata : O, tuan yang mengingkari waliyullah dan al-Ghauts ! (sambil menatapkan pandangannya kepada kepada al-Juwaini). Dan tiba-tiba tubuh Imam al-Juwaini  gemetar, dan kemudian lari sambil ketakutan, seraya berkata : “Wahai Syeh Zakaria, saat ini aku bersaksi bahwa Engkau adalah al-Ghauts Ra pada zaman ini”.
16.            Syeh Ahmad bin al-Mubaarak Ra.
Berdasar dari rukyah shalihah yang diterimanya, Syeh, dalam kitabnya al-Ibriiz, menerangkan bahwa gurunnya (Sayyid Abdul Aziiz ad-Dabbaag Ra) adalah al-Ghauts Ra pada saat itu.
17.            Nur Jazilah (kanak kanak Wahidiyah/ Sumenep Madura).
Nur Jazilah berserta ibunya naik perahu untuk pulang menuju kampung halaman (Pulau Sepudi). Waktu itu jam 10 malam. Ketika perahu telah berada dilautan, datanglah angin besar. Seluruh penumpang perahu bingung ketakutan. Nur Jazilah yang sudah hapal shalawat wahidiyah, juga menangis ketakutan sambil membaca kalimah nida’ Yaa Sayyidii Yaa Rasulullah berulang-ulang. Demikian pula Mursidah (ibu Nur Jazilah), ketika bermujahadah tiba-tiba melihat ada seseorang berjalan diatas laut menuju kearah perahu. Dan, kemudian memegangi perahu yang hamper oling. Anginpun menjadi reda, ombak serta perahu menjadi tenang kembali. Ibu Mursidah memandang orang tersebut, yang ternyata adalah Beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra.
18.            Bapak Dr. Ocin Kusnadi SH.
Pak Ocin, pernah menjabat sebagai ketua PW DKI Jakarta dan  Pramu Pendidikan Wahidiyah. Kawan kita ini, ketika sedang naik pesawat dari Jakarta ke Surabaya untuk menghadiri pemakaman Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, tempat duduknya berdekatan dengan jendela pesawat. Dan dari jendela pesawat, dia melihat diangkasa ada ratusan gumpalan awan dan burung-burung yang berbaris dibelakang seseorang yang berpakaian layaknya seorang raja. Dari arah rombongan barisan tersebut, terdengar suara yang diucapkan berulang-ulang serta bersama-sama: "Selamat Datang Ghauts Hadzaz Zaman, Selamat Datang Ghauts Hadzaz Zaman ….. ”. Rombongan tersebut mendekati pesawat. Dan, tekejutlah Pak Ocin. Karena yang diiring oleh rombongan serta berpakaian layaknya seorang raja, adalah “Hadlratul al-Mukarram Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadldlarah”.
19.            Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari Ra (w. 709 H).
Pengalaman ini dialami oleh Beliau Ra ketika gurunya (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abul Abbas al-Mursi Ra, w. 686 H). Beliau Ra melaksanakan ibadah haji, ketika berada diarafah, ketika melaksanakan thawaf, Beliau Ra dibimbing oleh gurunya (Syeh al-Mursy Ra). Namun ketika akan berjabat tangan (sungkem-jawa), tiba-tiba Syeh al-Mursy menghilang. Pengalaman ruhani seperti ini, dialami oleh Beliau Ra ketika malaksanakan rukun haji lainnya. [30]

4.                Pembagian al-Wali
Sebagaimana keterangan diatas, kata Waliy berasal dari al-qur’an dan al-hadits. Dan mulanya kata ini diperuntukkan kepada orang-orang yang dekat kepada Allah Swt. Namun, dalam pengembangan bahasa, kata ini dipakai dalam kehidupan sehari-hari dengan artian yang umum. Misalnya, walimurid, walikota, walikelas, walipengantin atau wali yang lain.
Diantara manusia, terdapat mereka yang memilih jalan lurus, sehingga menjadi WaliyyullahDan ada pula yang memilih jalan hidup yang menyimpang, dan kemudian mereka menjadi  Waliyyusy  syaithan. Memang, manusia hanya ada dalam dua posisi. Kalau tidak sebagai waliyullah, berarti sebagai waliyussyaithan, atau sebaliknya.

a.        Waliyyus  Syaithan
Banyak orang yang gemar membahas keberadaan waliyullah. Namun jarang sekali yang memperhatikan kriteria waliyullah danwaliyus syaithan. Padahal, menurut sunnah Rasulullah Saw, jika seseorang tidak menjadi waliyullah, pasti menjadi waliyus syathan. Tidak ada manusia setengah waliyullah dan setengah waliyus syaithan. Yang ada hanya waliyullah atau waliyus syaithan. Perjuangan Wahidiyah bertujuan mengentaskan manusia dari belenggu setan, agar tidak menjadi waliyus syaithan.
Dalam al-Qur’an, Allah Swt  menjelaskankan  bahwa  waliyus  syaithan adalah orang yang hatinya tertutup dari Allah Swt (tidak sadar billah), dan tidak mau menjadikan Allah Swt sebagai kekasih, penolong, penguasa dan pelindung bagi dirinya. Mahluk - menurut mereka -, meskipun tanpa izin Allah Swt juga dapat memberi pertolongan baik kepada dirinya atau kepada yang lain.
اِنَّاجَعَلْنَاالشَيَاطِيْنَ اَوْلِيَاءً لِلَّذِ يْنَ لاَيُؤْمِنُوْنَ .
 Sesungguhnya Kami menjadikan setan sebagai wali (penguasa, pelindung, kekasih  dan penolong) bagi orang-orang yang tidak beriman. (Qs. al-A’raf : 28). 
 وَمَنْ يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُ وْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا 
Barang siapa yang menjadikan setan sebagai wali (pelindung, penolong, kekasih) selain Allah, maka sungguh rugi dengan kerugian yang nyata.(Qs, an-Nisa’ 119).

b.       Waliyyullah [31]
Ciri-ciri Waliyullah antara lain:
1).               Jiwanya senantiasa  tidak memiliki rasa kawatir dan  susah hati. Firman Allah Swt, QS. Yunus,  62 – 63  : اَلاَ اِنَّ اَوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ, الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُوْن
Ketahuilah bahwa Sesungguhnya para auliyaillah itu  tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih hati. Yaitu orang orang yang senantiasa beriman dan mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah)          
        Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, memberi penjelasan maknaauliyaillah dalam ayat ini :  مَنْ تَوَلاَّهُ اللهُ تعالَى وَتَوَلَّى حِفْظَهُ وَحِيَاطَاتُهُ وَرَضِيَ اللهُ عَنْهُ: Waliyullah adalah hamba yang Allah Swt telah menguasainya, menjaga kehormatannya, membimbing kewaspadaannya dan meridlainya.
            Kebanyakan para ulama, segabai penghormatan, setelah menuliskan atau menyebutkan nama para waliyullah Ra, menulis atau mengucapkan doa RADLIYALLAHU ANH.
2).              Memahami dan menerapkan prinsip Lillah – Billah. HR. Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda : [32] Allah Swt bersabda  :

قَال الله تَعالَى : فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الذِي يُبْصِرُبِهِ وَيَدَهُ الذِي يُبْطِشُ بِهِ وَرِجْلَهُ الذِي يَمْشِي بِهَا اِنْ سَاَلَنِي اَعْطَيْتُهُ وَاِنْ اسْتَعَاذَ نِي اعَذْ تُهُ.   

Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang digunakan untuk mendengarkan, menjadi penglihatannya yang digunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang digunakan untuk menggenggam, menjadi kakinya yang digunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-KU niscaya Aku memberinya, dan jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku melindunginya.

3).              Menerapkan prinsip syariah dan hakikah secara seimbang dalam segala prilakunya.[33]
4).              Memiliki kesadaran makrifat kepada Rasulullah Saw (istilah Wahidiyah, Lirrasul - Birrasul). Sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an, hadis dan qaulul ulama, antara lain :
a.   Qs. al-Maidah : 55 :   إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُSesungguhnya pelindungmu adalah Allah dan rasul-Nya.
b.  Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَنْ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَحْمَعِيْنَ
Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu semua, hingga aku lebih dicintai dari pada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia. (HR. Bukhari dan Muslim).
c.   Beberapa fatwa para Ulama Arif Billah Ra :
·          Dalam kitab Sa’adatud Daraini, Syeh Yusuf Ismail  An Nabhaniy halaman 431 [34] menerangkan bahwa, waliyyullah itu seseorang yang telah memiliki kesadaran ma’rifat Birrasul Saw.
لَمْ تَكُن الاَقْطَابُ اَقْطَابًا وَالاَوْتَادُ اَوْتَادًا وَالاَوْلِيَاَءُ اَوْلِيَاءً الاّ بِمَعْرِفَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم
Tidak dapat dinamakan wali quthub, wali autad dan   waliyuulah, kecuali  telah ma’rifat kepada Rasulullah Saw (Birrasul).
Dan pada bab 3 dalam bahasan “lathifah ke 110”, Syeh Nabhani Ra menuliskan fatwa dari
لايَحِقُّ لأَحَدٍ قَدَمُ الوِلاَيَةِ المُحَمَّدِيَةِ حَتَّى يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Tidak benar bagi seseorang memasuki pangkat kewaliyan dalam tuntunan Nabi Muhammad , hingga (jiwanya) dapat bersama dengan Rasulullah Saw.(al-Khawash Ra).
Dan pada bab IX (tentang “ru’yatun nabi”) halaman 435 diterangkan, bahwa seseorang belum dapat dikatakan sempurna makrifatnya, sebelum jiwanya dapat bersama dan bertemu dengan Rasulullah Saw
          لاَ يَكْمَلُ مَقَامُ فَقِيْرٍ إِلاَّ أَنْ صَارَ أَنْ يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلَّمَ وَيُرَاجِعُهُ فِي أُمُورِهِ كَمَايُرَاجِعُ التِلْمِيْذُ شَيْخَهُ
Tidak sempurna maqam seseorang, kecuali ia dapat bersama Rasulullah Saw serta mengembalikan perkaranya kepada Nabi Saw sebagaimana murid mengembalikan kepada guru.
·          Al-Ghaus fii Zamanihi Syeh Abul Abbas al-Mursi Ra (w. 686 H) :
لَوْ حُجِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَحْظَةً فِي سَاعَةٍ  مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ مَا أَعْدَدْتُ نَفْسِي مِنَ المُسْلِمِيْنَ
Jika aku terhijab dari Rasulullah Saw sedetik saja dalam setiap satu jam baik dalam waktu siang malan atau malam hari, maka tidak berani menghitung diriku bagian dari golongan orang Islam.
·          Al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Al-Qasthalani (w.758 H) dalam menjelaskan hadits riwayat Bukhari (tentang cinta kepada Rasulullah Saw) mengatakan :
حَقِيْقَةُ الاِيْمَانِ لا تَتِمُّ وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ بِتَحْقيْقِ أَعْلإَ قَدْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ عَلَى كُلِّ وَالِدٍ وَوَلَدٍ ومُحْسِنٍ فَمَنْ لَمْ يَعْتَقِدْهَذَا فَلَيْسَ بِمُؤْمِنٍ يُبَيِّنُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِعَلَى حَسَبِ مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hakikinya iman tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat disempurnakan kecuali dapat memahami kedudukan Rasulullah Saw dengan nyata (musyahadah qalbu) diatas setiap orang tua, anak dan para pelaku kebaikan.  Barang siapa yang tidak memiliki i’tiqad (kepercayaan) seperti ini, maka ia tidak disebut mukmin. Hadits ini, artinya Rasulullah Saw menjelaskan tentang ukuran derajat iman mukmin,  tergantung dari seberapa rasa cintanya kepada Rasulullah Saw. [35]
·          Syeh Abul Fadlol ‘Iyadl, dalam kitabnya As-Syifa’, saat memberi penjelasan tentang makna hadits yang membahas mahabbah kepada Rasulullah Saw, yangmenukil fatwa (al-Ghauts fi Zamanihi, w. 284 H, Syeh Sahal at-Tustari),  menjelaskan  :
مَنْ لَمْ يرَوِلا َيَةَ الرَسُول عَلَيْهِ فِي جميْعِ الاَحْوالِ ولاَ َيرَى نَفْسَهُ فِي مُلْكِهِ صَلى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ لاَيَذُوقُ حَلاَوَةَ سُنَّتِهِ لآنَّ النَبِيَ صَلى الله  عَلَيْه وَسَلَّمَ قَالَ : لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكمْ حَتَّى أنْ أَكُونَ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِه
Barang siapa tidak mengetahui, bahwa Rasulullah menguasai dirinya dalam segala hal, dan tidak mengetahui dirinya dalam kepemilikan Rasulullah, maka ia tidak akan merasakan manisnya sunnah Rasulullah Saw. Karena Nabi Saw. bersabda : Tidak iman kalian sehingga Aku (Rasulullah) lebih dicintainya dari pada dirinya sendiri.
·          Fatwa Imam al-Ghazali (w. 501 H) Qs. wa Ra. :
قَدْ مَنعَ كَمَالُ الاِيْمَانِ بِشَهَادَةِ التَوحيْد لاَاِلَهَ اِلاَ الله مَا لَمْ تَقْتَرِن بِشَهَادة الرَسُولِ مُحَمَّد رَسُولُ الله
Sangat terlarang menyempurnaan iman hanya dengan kesaksian kepada Allah saja, (tiada Tuhan selain Allah), tanpa disertai kesaksian kepada Rasulullah (Muhammad utusan Allah).[36]
5).              Dapat memahami semua karomah dan sirri yang dimiliki oleh para nabi As serta para auliyaillah Ra memancar dari Rasulullah Saw.[37]
وَكُلُّ نَبِيٍّ وَرَسُولٍ مَادَتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
Setiap nabi dan rasul, kehebatannya berasal dari Rasulullah Saw.

c.   Tugas Waliyullah
Disamping tugas dalam urusan lahiriyah (seperti membimbing dan menuntun ummat menuju kesadaran kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw), al-Ghauts Ra memiliki tugas lain yang bersifat batiniyah.
Tugas-tugas batiniyah para Waliyullah Ra, antara lain:
a.                 Penjaga dan penegak kebenaran Islam (syariah dan hakikat), baik secara lahir maupun secara berdoa. HR. Muslim (Shahih Muslim "Kitab Imarah", bab "laa tazaalu"). Rasulullah Saw bersabda :
لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللهِ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُنَ عَلَى النَاسِ
Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok orang yang menegakkan agamaAllah. Mereka tidak dapat dirugikan oleh orang-orang yang menghinanya dan membelakanginya. (keberadaan mereka) hingga datangnya keputusan Allah. Mereka senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat.
b.                 Menjaga (dengan doa dan sirri  batiniyah) kelestarian alam semesta.
Telah banyak hadits shahih yang menjelaskan tugas ini. Antara lain hadits riwayat Imam Ahmad,  Thabrani  dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda :
 لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُون
Tidak sepi dalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, manusia diberi hujan, dan manusia tertolong. [38]
c.                  Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Muad ibnu Jabbal, Rasulullah Saw bersada :
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِمْ مِنَ الاَبْدَالِ بِهِمْ قِوَامُ الدُنْيَا وأَهْلِهَا
Tiga hamba. Barang siapa ada diantaranya, merekalah wali Abdal. Sebab (sirri radiasi batin dan doa) mereka dunia dan seisinya tetap tegak.
d.                 Sebagai penyalur (melaui doa) pemberian Allah Swt kepada mahluk-Nya.
Dalam kitab at-Ta’rifat-nya Syeh Ali al-Jurjani  pada  bab  “qaf”  dijelaskan,  tugas
rohani al-Ghauts Ra adalah penyalur pemberian Allah Swt kepada mahluk :
  وَمِنْ هَذَا القُطْبِ يَتَفَرَّعُ جَمِيْعُ الإمْدَادِ الإلَهِيَّةِ عَلى جمِيْعِ العالَمِ العُلْوِيِّ والسُفْلِيِّ 
Dari al-Quthbu, Allah memancarkan dan menyebarkan sinar pemeliharaan-Nya kepada alam semesta, baik alam atas maupun alam bawah.[39]
e.                  Mewarisi tugas Rasulullah Saw, sebagai pembersih jiwa manusia dari syirik, baik khafi (samar) atau jaly (jelas).
Rizki yang Allah Swt berikan kepada Rasulullah Saw akan diberikan kepada hamba-Nya yang diberi kedudukan sebagai pewaris nabi. Makna hadis diatas diperkuat lagi oleh hadis riwayat Imam Bukhari. Rasulullah Saw Bersabda :
زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.



d.                Kelemahan Para Waliyullah Ra
          Memahami pribadi al-Ghauts Ra merupakan jembatan emas untuk pembersihan jiwa dari nafsu yang senantiasa mengarah kepada kejahatan, serta untuk makrifat (mengenal) kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw secara tepat dan benar. Tanpa melalui Beliau Ra, jalan pengenalan kepada Allah Swt tidak lurus dan tidak sempurna. Dan tanpa bimbingan Beliau Ra, setan/ nafsu akan menjeromoskan manusia kedalam perbutan musyrik yang dianggap perbuatan tauhid, dan kebenaran dianggap kebatilan.
          Sebagaimana umumnya manusia lain, disamping memiliki kelebihan, para Ghauts Ra juga memiliki kelemahan. Beliau Ra juga mengalami lapar, haus, sakit, membutuhkan pertolongan orang lain dan sifat-sifat manusia lainnya. Demikian pula Rasulullah Saw, juga memiliki kelemahan sebagaimana umumnya manusia. Sebagaimana yang tercermin dalam keterangan dari :
d.1.  Firman Allah Swt, Qs. al-A’raaf : 108 :
        قُلْ لاَ أَمْلِكُ لنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرَّا إِلاَّ مَاشَاءَ اللهُ.
            Katakanlah (Muhammad) : Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatn dan menolak kemadlaratan untuk diriku, kecuali yang telah dikehendaki oleh Allah.
d.2.  Sabda Rasulullah Saw : [40] Allah Swt berfirman :
إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ لاِبْنِ أَدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ : يَا بْنَ أَدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي, قَالَ يَارَبِّ كَيْفَ عَدْتُ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ : أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا قَدْ مَرِضَ وَإِنْ عَدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِيْنِي قَالَ: يَارَبِّ سَقَيْتُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَسْقَاكَ وَإِنْ سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَطعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي, قَالَ : يَارَبِّ كَيْفَ اُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ, قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَطْعَمَكَ وَإِنْ اَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ.
Sesungguhnya Allah pada hari kiamat bersabda : Hai anak Adam, Aku sakit, mengapa kamu tidak membesuk-Ku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku membesuk-Mu, sedangkan Paduka adalah Penguasa alam?.Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama (fulan/ .....) sedang sakit. Jika kamu membesuknya, niscaya kamu akan menemukan AKU disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu, dan mengapa kamu tidak mau memberi minum Aku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi minum Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?.Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba bernama Fulan, saat itu sedang haus dan mengharapkan minuman dari kamu. Jika kamu memberinya minum, niscaya kamu menemukan Aku disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu,  mengapa kamu tidak memberi-Ku makan. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi makan Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama Fulan saat itu sedang meminta makan kamu. Jika kamu memberinya makan, niscaya kamu akan menemukan Aku disisinya.
Hadis riwayat Imam Muslim diatas, menerangkan bahwa :
a.       Hamba yang dimaksud, adalah hamba yang membawa sirri (nur Ilahiyah) yang membuktikan keberadaan Allah Swt.  Dan pintu hadrah Allah Swt akan terbuka bagi mereka yang mendekat kepadanya dengan pendekatan yang semestinya.
b.       Perintah membesuk hamba tersebut, sebagai isyarah dan anjuran dan sekaligus pemberitaan tentang pentingnya setiap mukmin mencari serta mengetahui “nama pribadi al-Ghauts Ra”.
c.        Mukmin yang tidak dapat mengetahui nama dan pribadinya, sudah tentu tidak dapat melaksanakan perintah Tuhan untuk membesuk dan memberi makanan atau minuman dan sekaligus tidak dapat bertemu dengan ayat-ayat Allah Swt tersebut secara musyahadah.
d.       Allah Swt menyandarkan rasa sakit, haus dan lapar dan yang diderita oleh al-Ghauts Ra, kepada Diri-Nya. Hal ini menunjukan bahwa rasa sakit dan haus serta lapar, bukan kekauatan al-Ghauts itu sendiri, tetapi pancaran dari kekuatan Allah Swt semata. Yang sekaligus sebagai pintu-pintu hadrahnya Allah Swt.
          Kelemahan yang ada pada Rasulullah Saw, inilah yang sering disalah artikan oleh orang-orang yang mengingkari kelebihannya sebagai tempat bertawassulnya mukmin kepadanya. Dengan dalih, bahwa Rasulullah Saw, dalam satu hal tidak dapat menolong dirinya, apalgi menolong orang lain. Padahal semestiya, kelemahan Rasulullah Saw, tidak menghilangkan kelebihan yang ada padanya. Kerana semua itu terjadi dan terlaksana atas kehendak Allah Swt semata.
          Diantara kelebihan Rasulullah Saw, sebagai pebersih jiwa dari kekafiran dan kemunafikan. Firman Allah swt, Qs. Ali imran : 164   : [41] 
          لَقَدْ مَنَّ اللهُ  الذِيْنَ أَمَنُوا اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِم وَيُعَلِّمُهُمُ الكِتَابَ وَالحِكْمَةَ
            Sesungguhnya Allah telah memberi nikmat kepada orang-orang mukmin ketika (Allah) mengutus didalam kelompok mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan mereka al-Quran dan hikmah.
Rasulullah Saw bersabda  : [42]
       أَنَاالمَاحِي الذِي يَمْحُواللهُ بِي الكُفْرَ أَنَاالحَاشِرالذِي يُحْشَر النَاسِعَلَى قَدَمِي
          Aku adalah pembasmi, yang mana Allah membasmi kekufuran dengan-ku, Aku adalah Pengumpul, yang manusia  dikumpulkan diatas tapak kaki-Ku.
Allah swt berfirman, Qs, an-Nisa’/ 49   :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلْ اللهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
Apakah tidak kamu memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah-lah membersihkan siapa  yang dikehendakinya. [43]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Ra,  Rasulullah Saw bersabda  :[44]
        أَتَانِي جِبْرِيْلُ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ يَقُولُ : لَوْلاَكَ مَا خَلَقْتُ الجَنَّةَ وَلَوْلاَكَ مَاخَلَقْتُ النَارَ
Datang kepada-Ku malaikat Jibril, lalu ia berkata : Wahai Muhammad, Allah telah berfirman: Kalau bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak menciptakan surga, dan kalau bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak mencipkan neraka.
d.2.  Hadis yang diriwayatkan dari Umar Ibn Khatthab, Rasulullah Saw bersabda  :[45]
 وَلَمَّا اقْتَرَفَ أدمُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: اللهُمَّ اِ نّيِ أَسْألُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ اِلاََّ غَفَرْتَ لِي قَالَ اللهُ يَأدَمُ كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدا وَلَمْ أَخْلُقُهُ ؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقْتَنِي وَنَفَخُْت فِي مِنْ رُوْحِكَ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَ يْتُ عَلىَ قَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُوبًا لاَالهَ الاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّ اسْمَكَ لَمْ تَضِفْ اِلاّ عَلَى أَحَبَّ الخَلْقِ اِلَيْكَ, قَالَ: صَدَقْتَ أَ نَّهُ لأحَبُّ الخَلْقِ وَاِ ذْ سَاَلْتَنِي بِحَقِّهِ فَأَجَبْتُ وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam terperosok kesalahan, Adam berkata : Ya Allah, aku memohon kepadamu dengan hak dan kenyataan Muhammad, ampunilah aku. Tuhan bersabda :  Wahai Adam darimana engkau mengetahui Muhammad sedang Aku (Allah) belum menciptanya. Jawab Adam : Ketika Engkau menciptaku, dan meniupkan kedalam jiwaku Ruh dari-Mu, kemudian aku mengangkat kepalaku, dan aku melihat pada penyangga arasy terdapat tulisan Lailaha Illallah Muhammad Rasulullah.  Oleh karenanya aku mengerti bahwa sesungguhnya Asma-Mu tidak mungkin Engkau sandarkan kecuali kepada mahluk yang paling Engkau cintai. Tuhan bersabda : Benar kamu (Adam). Ia (Muhammad) adalah mahluk yang paling Aku cintai. Dan jika kamu memohon kepada-Ku dengan melalui hak dan kenyataan Muhammad, maka Aku akan memberi ijabah. Dan sekiranya bukan karena Muhammad, Aku tidak menciptamu.

Setelah wafatnya Rasulullah Saw, tugas tersebut dilanjutkan oleh para ulama, kiyahi dan tokoh masarakat serta waliyullah Ra, yang secara kemanusiannya memiliki kelemahan.
Rasulullah Saw bersabda   :[46]
 إِنَّ للهِ تَعَالَى عِبَادًا يُعْرِفُونَ النَاسَ بِالمُوسِمِ
Sesungguhnya Allah memiliki  hamba yang mengetahui getaran hati manusia
Makna Ya,rifuuna = yang mengetahui dalam hadis diatas, para ulama tasawuf memberikan penjelasan  :
  يَطْلَعُونَ عَلَى مَا فِي ضَمَا ئِرِهمِ وَأَحْوالِهِمْ
Ditampakkan kepada mereka bisikan dan getaran hati manusia  serta haliyah manusia.  
Dan Kata   المُوسِمadalah   :  [47]
 أَيْ بِالنُفوسِ. قَالَ المُنَاوِي غَرِقُوُا فِي بَحْرِ شُهُودِهِ فَجَادَ عَلَيْهِمْ بِكَشْفِ الغِطَاءِ عَنْ بَصَائِرِهِمْ  فَاَبْصِرُوا بِهَا بَوَاطِنَ النَا سِ
Yakni: dengan jiwa. Al-Munawi berkata : mereka semua tenggelam (istighroq) didalam lautan musyahadah Tuhan, sehingga mereka terbuka penutup jiwanya dari beberapa bashirahnya, sehingga tampak bagi mereka (dapat melihat) batiniyah manusia  
Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Rabi’ah Rasulullah Sawbersabda   : [48]
    إِنَّ سِرَّكُمْ أَنْ تَقْبَلَ صَلاَتَكُمْ فَلْيَؤُمُكُمْ عُلَمَاءُكُمْ فَإِنَّهُمْ وَفْدُ كُمْ فِيْمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ اللهِِ
            Sesungguhnya rahasiamu, sekiranya diterima sholatmu, maka mengimami kepada kamu semua ulama’ kamu semua. Karena sesungguhnya ulama tersebut sebagai perantaramu antara kamu dan antara Allah.            
Tanpa sinar radiasi batin Rasulillah Saw wa Ghautsi Hadzaz Zaman Ra, manusia tidak dapat mengetahui jenis- jenis nafsu, alagai menghilangkannya.  Hanya dengan kontak batin (ta’alluq bihasabir ruhaniyah) kepada Beliau Ta secara terus menerus, manusia dapat mengetahui dan menghilangkan nafsu- nafsunya, dan makrifar kepada Allah secara sempurna. Syeh Muhammad Amin al-Kurdi menjelaskan :
تَزْكِيَةُ النَفْس لاَ تَتَيَّسَراِلاَ بِنَظْر نَبِيٍّ اَوْ وَلِّيٍ ذِي تجْربَةٍ فِي هَذَاالشَأْ نِ
Pembersihan jiwa tidak akan mudah, kecuali dengan nadzrah Nabi atau wali (al-Ghauts – pen) yang memiliki keahlian tersebut. [49]


e.       Laknat Allah Bagi Mereka Yang Memusuhi Waliyullah
Allah Swt tidak menghendaki kaum muslimin keluar dari barisan Sulthanul Auliya'. Dan Allah Swt sangat murka kepada orang yang membenci atau memusuhi waliyullah. Seseorang yang dalam hatinya terdapat rasa permusuhan atau kebencian terhadap waliyullah apalagi al-Ghauts Ra, dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah. Sebagaimana tercermin dalam hadis dibawah ini :
1.                 Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Ra , Rasulullah Saw bersabda   : 
اِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا, فَقَدْ اَذَ نْتُهُ بِالحَرْبِ  
Sesungguhnya Allah Swt berfirman : Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku  menyatakan perang kepadanya.
2.                 Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abi Bakrah Ra, Rasulullah Saw bersabda    :[50]
مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ  
Barangsiapa menghina Sultan, maka Allah  akan menghinakannya”
Yang dimaksud mengina sultan hadis ini, kitab “Dalil al-falihin”, juz III menjelaskan, hal-hal yang dapat dikatakan menghina antara lain,  menganggap ringan perintahnya. Dan yang dimaksud Allah akan menghinakanya, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
3.                 Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih Muslim Kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah"),  Rasulullah Saw bersabda :
 مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir)  jahiliyah. 
Kata “amir” dan “sultan” dalam hadis ini dapat diartikan umum (semua orang yang menjadi pimpinan), dan arti khusus (Amirul khalqi (pimpinan para waliyullah, dan semua makhluk, atau Guru ruhani yang berpangkat al-Ghauts Ra). Dan Para kaum sufi dan waliyullah, mengartikannya dengan arti khusus.
Pendapat ini didasarkan kepada : [51]
1.            Hadis riwayat Tirmidzi dan Nasai, Rasulullah Saw :
وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُلْطَانِ قُرْبًا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا
Tidaklah seseorang semakin bertambah dekat hubugannya dengan penguasa, melainkan dia semakin jauh dari Allah.
2.            Hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud, Rasulullah Saw :
مَنْ أَتَى أَبْوَابَ السَلاَطِيْنَ أُفْتُتِنَ
Barang siapa mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia akan mendapat ujian.
          Kedua hadis ini, menujukkan sultan, selain sulthanul auliya, bukan tempat tajalli Allah Swt.


E.      Kedudukan Al-Ghauts Ra
Paling tidak terdapat tiga alasan, mengapa manusia perlu memahami keberadaan, keagungan, kedudukan dan tugas al-Ghauts Ra. Pertama,secara batiniyah Beliau Ra memiliki sirri yang menembus keseluruh alam,kedua, untuk meneladani perikehidupannya, dan ketiga, untuk membebaskan jiwa salik dari kemusyrikan.
Dan -  dalam istilah Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra -, al-Ghauts Ra atau Sufi Yang Sempurna, bagaikan tempat untuk menyimpan ilmu dan hikmah Rasulullah Saw, kediaman yang aman dari gangguan setan, tempat kebahagiaan yang pasti dan gua bagi para arifin dan waliyullah. Karena dalam jiwa beliau terpancar takdir Tuhan untuk mahkuk-Nya. [52] Setiap waliyullah berada dalam gua naungannya, yang mana naungannya adalah terpancar dari Rasulullah Saw. Dan naungan Rasulullah Saw adalaha naungan Allah Swt.

f.                  Secara Jasmani dan Rihani.
Dapat dimaklumi pemahaman yang berkembang ditengah-tengah masyarakat muslim tentang keberadaan Ghauts Ra, masih sangat minim. Sehingga banyak yang mengatakan bahwa al-Ghauts itu hanya Syeh Abdul Qadir, Syeh Syadzili, Syeh Naqsyabandi, Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah (Qs wa Ra), dan tidak ada al-Ghauts lagi setelahnya. Padahal kesimpulan semacam ini tidak memiliki dasar dari kaidah yang benar, dan hanya sebuah persepsi atau bahkan hanya sebuah opini.
Diantara tujuan dita’lifnya Shalawat Wahidiyah oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra untuk memahami dan membuktikan – melalui pengalaman ruhani (rukyah shalihah) – kebaradaan al-Ghauts Ra secara kassyaf dan musyahadah. Dan alhamdullah – sebagai tahaddus binni’mah - banyak diantara pengamal Wahidiyah mendapat hidayah Allah Swt dan syafaat Rasulullah Saw dapat memahami kebaradaan al-Ghauts Ra.
Keberadaan al-Ghauts Ra – sebagaimana keterangan dalam hadis shahih -, secara jasmani dan ruhani. Dan tidak ada al-Ghauts ra menjalankan tugas sebagai khalifah Rasulullah Saw dari alam barzah atau alam kubur. Rasulullah Saw bersabda : [53]
          إِنَّ فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثُمِائَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ اَدَمَ.  وللهِ فِيِ الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مُوسَى.
 وللهِ سَبْعَةٌ فِيِ الخَلْقِ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ إِبْرَاهِيْمَ. وللهِ فِيِ الخَلْقِ خَمْسَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ جِبْرِيْلَ. ولله
فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مِيكَائِيْلَ. وَلله فِي الخَلْقِ وَاحِدٌ قَلْبُهُ عَلَى قَلْبِ اِسْرَا فِيْل. فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ. فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الخَمْسَة .َاذَا مَاتَ مِنَ الخَمْسَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ السَبْعَةِ .فَاذَا مَاتَ مِنَ السَبْعَةِ  اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الآرْبَعِيْنَ. فَاذَا مَاتَ مِنَ الآرْبَعِيْنَ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثَلاَثِمِائَةٍ.  فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثِمِائَةٍ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ العَامَّةِ.  فَبِهِمْ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَيُمْطِرُ وَيُنْبِتُ وَيُدْفَعُ البَلاَءِ.
             Sesungguhnya didalam makhluk (alam) terdapat 300 orang yang hatinya seperti hati Nabi Adam. Dan Allah memiliki 40 orang, yang hatinya seperti hati Nabi Musa. Dan Allah memiliki 7 orang, yang hatinya seperti hati Nabi Ibrahim. Dan Allah memiliki 5 orang, yang hatinya seperti hati Jibril. Dan Allah memiliki 3 orang, yang hatinya seperti hati Mikail. Dan Allah memiliki 1 orang, yang hatinya seperti hati Israfil.
            Ketika 1 orang ini mati, Allah menggantikannya dari salah satu 3 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 3 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 5 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 5 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 7 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 7 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 40 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 40 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 300 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 300 orang, Allah menggantikannya dari orang awam.
            Sebab mereka kehidupan atau kematian. Sebab mereka hujan turun dan tamanam tumbuh. Dan sebab mereka bala/ musibah tertolak.
          Kalimatمَاتَ / maata : mati, yang dirangkai dengan, اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ Allah menggantikan kedudukannya dari salah satu 3 orang, dalam hadis riwayat Abu Nuaim al-Isfahani dan Ibnu Asakir  dari Ibnu Mas’ud Ra diatas, dengan menjelaskan keberadaan al-Ghauts Ra, bukan secara ruhani dari alam barzah, akan tetapi secara jasmani dan ruhani.
Dalam kitab al-Yawakit juz II, hlm 80, diterangkan :
وَمِنْ شُرُوطِهِ اَنْ يَكُونَ ذَا جِسْمٍ طَبِيْعِيٍ وَرُوْحٍ , وَيَكُونُ مَوْجُودًا فِي هذِهِ الدَارِ بِجَسَدِهِ وَحَقِيْقَتِهِ  فَلاَبُدَّ اَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا فِي هَذِهِ الدَارِ بِجَسَدِهِ وَرُوحِهِ مِنْ عَهْدِ اَدَمَ اِلَى يَوْمِ القِيَا مَةِ
Dan diantara persyaratan (keberadaan) Al Ghauts Ra : Wujud dengan rohani dan  perwatakan  jasmani pula . Dan dalam kehidupan nyata (sejak zaman Nabi Adam sampai hari qiyamat.
          Telah banyak kitab tasawuf yang menerangkan, bahwa para al-Ghauts Ra  memohon kepada-Nya, jika sekiranya Beliau Ra wafat,  Allah Swt berkenan mengangkat putranya atau keluarga yang lain sebagai al-Ghauts untuk menggantikannya.        Dan sebagai calon pengganti, mereka berada dalam asuhan al-Ghauts sebelumnya.
Misalnya, al-Ghauts fi Zamnihi Syeh Muhammad Wafa, digantikan oleh  putranya (Syeh Ali Ibn Muhammad Wafa), al-Ghatus fi Zamnihi Syeh Ali al-Khirqani, digantikan oleh putranya (Syeh Ibrahim Ibn Ali al-Khirqani). Syeh Sari Saqti digantikan oleh keponakannya sendiri (Syeh Junaid al-Bagdadi), Syeh Baba Samasi digantikan oleh muridnya (Syeh Amir Kulal), Syeh Amir Kulal digantikan oleh murid dan kawan seperguruan, yakni Syeh Bahauddin Naqsyabandi. Syeh Abdul Qadir Jailani digantikan oleh  putranya (Syeh Abdur Razaq).  Syeh Daud Ibnu Makhla digantikan oleh Syeh Muhammad Wafa (muridnya), Syeh muhammad Wafa digantikan oleh murid putranya (Syeh Ali Ibn Wafa), Syeh Abun Najib Suhrawardi digantikan oleh keponakannya (Syeh Syihabudin Umar Suhrawardi Ra (pemilik kitab “Awarif al-Ma’arif).

g.                 Jumlah al-Ghauts Ra Pada Setiap Waktu.
Allah Swt adalah Maha Satu, Rasulullah Saw juga hanya satu, maka sudah tentu khalifah Allah-pun hanya satu. Banyak keterangan dari hadits Nabi Saw, bahwa dalam setiap waktu hanya ada satu orang yang menjadi tempat tajallinya Allah Swt. Dialah al-Ghauts Ra pada masanya.
Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra dalam kitabnya al-Yawaqit wal Jawahir juz II halaman 81. menjelasan :
 فِيْمَا بَيْنَ القَوْمِ لاَ يَكُونُ مِنْهُمْ فِي الزَماَنِ اِلاّ وَاحِدٌ وَهُوَ الغَوْثُ
Dan diantara mereka, dalam setiap waktu, kecuali adanya satu hamba Allah. Dialah al-Ghauts.

Dan dalam kitab yang sama pada halaman 80 dijelaskan :

فَلاَ يَخْلُوزَمَانٌ مِنْ رَسُولٍ  يَكُوْنُ فِيْهِ وَذَاِلِكَ هُوَالقُطْبُ الذِي هُوَ مَحَلُّ نَظْرِالحَقِّ تَعَالَى مِنَ العَالَمِ كَمَا يَلِيْقُ بِجَلاَلِهِ وَمِنْ هَذَاالقُطْبِ يَتَفَرَّعُ جَمِيْعُ الاِمْدَادِالالهية علَى جَمِيْعِ العَالَمِ العُلْوِي وَالسُفلِي           
Tidak akan sepi pada setiap zaman dari seorang rasul-nya Nabi Muhammad Saw (mujaddid). Dialah al-Quthbu (al-Ghuts Ra), yang menjadi tempat pancaran sinar pemeliharaan Allah kepada agama Islam dan alam. Dan kemudian dari Beliau Ra bercabang-cabanglah seluruh pemeliharaan tersebut kepada alam atas dan alam bawah. [54]

h.                 Gelar  Bagi Al-Ghauts  Ra
Berbagai macam gelar dan sebutan yang diberikan oleh para kaum sufi dan para auliyaillah kepada al Ghautsu Ra. Gelar dan sebutan tersebut disesuailan dengan tugas dan fungsi Beliau Ra. Sedangkan gelar al-Ghauts, diberikan kepada Beliau Ra karena fungsinya sebagai penolong bagi seluruh ummat tanpa pandang bulu.
Banyak sekali gelar dan panggilan yang sesuai dengan tugas batinyah dan yang diberikan kepada al-Ghauts Ra. Dan disini hanya diterangkan sebagian saja, antara lain  :
1.       Insan Kamil.  (Manusia Sempurna).[55]
Dalam kitab Misykat al-Anwar[56] pada bahasan “al-Quthbu” Imam al-Ghazali menyebut al-Ghauts Ra dengan al-Insan al-Kamil (manusia sempurna dalam iman, taqwa dan akhlaknya) :
 فَاِنَّ مَنْ يَجْمَعُ بَيْنَ الظَّاهِرُ والبَاطٍنُ جَمِيْعًا فَهَذَا هُوَ الكَامِلُ
 Barang siapa dapat mengumpulkan (pemahaman) alam lahir dan alam batin secara menyeluruh, dialah manusia sempurna.
Gelar ini diberikan kepada Beliau al-Ghauts, karena kesempurnaan ahlaknya seperti akhlak Rasulullah Saw (sebagai fotocopy pribadi Rasululllah Saw) .
Sebagaimana penjelasan Imam Sofyan Tsaury Ra (ulama sufi yang ahli hadis) – yang berdasar pendapat para tabi’in - membagi ulama kedalam 3 (tiga) bagian  : [57]
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ  بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ  يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ,  وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok;  Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah.Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. DanUlama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka.
2.           Al-Quthbu (wali quthub) atau  Quthbul Wujud (Poros Wujud).[58]
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena tanggung jawabnya dalam alam – sebagai penjaga dan pelestari alam semesta.

اِعْلَمْ حَفَظَكَ اللهُ اِنَّ الاِنْسَانَ الكَامِلَ وَهُوَالقُطْبُ الذِي تَدُوْرُ عَلَيْهِأَفْلاَكُ الوُجُودِ مِنْ اَوَّلِهِ اِلَى اَخِرِهِ وَهُوَ وَاحِدٌ مُنْذُ كَانَ الوُجُودُ اِلَى اَبَدِ الاَبَدِيْنَ ثُمَّ لَهُ تَنَوُّعٌ  فِي مَلاَبِس وَيَظْهَرُ فِي كَنَائِس وَاسْمُهُ الاَصْلِيُ الَذِي هُوَ لَهُ مُحَمَّدٌ وَلَه فِي كُلِّ زَمَاٍن اِسٌم مَايَلِيْقُ بِلِبَاسِهِ

Ketahuilah, semoga Allah menjagamu. Sesungguhnya manusia paripurna itu adalah al-Quthbu, yang mana seluruh wujud dari awal sampai akhir senantiasa mengitarinyaBeliau itu hanya satu selama wujud ini masih ada. Beliau menampakkan diri dengan berbagai macam baju dan sangkar. Sedangkan asalnya nama al-Quthbu adalah untuk  Nabi Muhammad Saw. Beliau Saw dalam setiap zaman bersama umat manusia dengan baju al-‘Arif  tersebut, dengan menyesuaikan keadaan zaman.

Dan didalam kitab al-Yawaqit wal-Jawahir, oleh Sayyid Abdul Wahhab As-Sya’rani,  halaman  82, menerangkan :
اِعْلَمْ اِنَّ بِالقُطْبِ يَحْفَظُ اللهُ دَائِرَةَ الوُجُودِ كُلَهُ فمَنْ عَلِمِ هَذاَ الامْرَ عَلِمَ كَيْفَ يَحْفَظُ اللهَ الوُجُودَ عَلَى عَالَمِ الدُ نْيَا
Ketahuilah, sesungguhnya melalui al-Quthbu (al-Ghauts),  Allah  menjaga  alam wujud ini secara keseluruhan. Barang siapa yang mengerti (rahasia) perkara ini, maka ia mengerti bagaimana Allah menjaga wujud alam.
Dalam Kitab at-Ta’rifaat-nya [59] Syeh Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, dan dalam kitab Jami’ al-Ushul Syeh Kamsykhanawi, bab “wawu” dan bab “qaf”,  dijelaskan  :
القُطْبُ وَقَدْ يُسَمَى غَوثًا وَهُوَ مَوضِعُ نَظْرِ اللهِ فِي كُلّ زَمَانٍ أَعْطَاه الطَلسم الآَعْظَمُ,  يُفِيْضُ رُوحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ الآَعْلَى وَالآَسْفَلَ
Wali Quthub, kadang dinamakan Ghauts. Beliau sebagai tempat memancarnya pandangan Allah. Beliau juga mengalirkan cahaya kehidupan kepada alam baik bawah maupun atas.
القَطْبِيَةُ الكُبْرَى: هِيَ مَرْتَبَةُ قُطْبِ الآَقْطَابِ وَهُوَ بَاطِنُ نُبُوَّةِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السلاَمُ, فَلاَ يَكُونُ إِلاَّ لَوَرَثَتِهِ لاحْتِصَاصِهِ عَلَيْهِ بِالآَكْمَلِيَةِ. فَلاَ يَكُونُ خَاتِمُ الوِلاَيَةِ وَقُطْبُ الآَقْطَابِ إِلاَّ عَلَى بَاطِنُ خَاتَمِ النُبُوَّةِ
Wali Quthub yang besar adalah martabat Qutubnya quthub. Beliau adalah sirri nubuwwah Muhammad Saw. Tidak ada wali quthub, kecuali kepada ulama pewaris Muhammad Saw. Hal ini memang khusus kepada mereka. Tidak ada penutup kewalian dan pusat para wali quthub, kecuali pada jiwa penutup para Nabi.
Dalam kitab Ghayatul Qashdi wal Murad juz I halaman 123, diterangkan tentang kaidah yang mashur dalam kalangan kaum sufi. Bahwa para ulama muhaqqiqin membagi kedudukan quthub kedalam 3 bagian. Pertama, quthbul ilmi, seperti Hujjatul Islam Imam al-Ghazali Ra. Kedua, quthbul ahwal, seperti Syeh Abu Yazid al-Bushthami Ra. Ketiga, quthbul maqaamat, seperti Syeh Abdul Qadir al-Jailani.[60]
Dan – sebagai tahaddus binni’mah -, diantara pengamal Wahidiyah mimpi bertemu Rasulullah Saw yang memberitahukan, bahwa Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah memiliki ketiga-tiganya. Beliau Qs wa Ra mendapat warisan ilmu dan makrifat dari seluruh Ghauts sebelumnya. Hingga Beliau Qs wa Ra mencapai derajat mujtahid dalam bidang tasawuf dan tarekat.
3       Wahiduz Zaman (satu-satunya  hamba Allah pada zaman itu).
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena hanya Beliaulah yang menguasai suluruh sari ilmu agama dan kitab Allah yang diturunkan kedunia. Dan dalam hadis, Rasulullah Saw, juga menggunakan al-Wahid, ketika memaksudkan al-Ghauts Ra.
Syeh Abdul Wahhab As-Sya’rani, dalam kitabnya Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar  jilid II, dalam bab “Muhammad Wafaa”, menukil fatwa Muhammad Wafa :[61]
لِكُلِّ زَمَانٍ وَاحِدٌ لاَمِثْلَ لَهُ فِي عِلْمِهِ وَحِكْمَتِهِ مِنْ أَهْلِ زَمَانِهِ وَلاَ مِمَّنْ هُوَ فِي زَمَانٍ سَابِقٍ وَلِسَانُ هَذَا الوَاحِدُ فِي زَمَانِهِ لِتَلاَمِيْذِهِ : كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَاسِ
Untuk setiap zaman terdapat satu hamba Allah yang tiada bandingannya dalam ilmunya dan hikmahnya, dan tiada yang membandinginya hamba-hamba (pewaris) masa lalu. Dan bahasa dari hamba satu ini dalam setiap zaman kepada muridnya :  Engkau adalah ummat manusia terbaik yang diturunkan kedunia.
Syeh Amin Al Kurdi Ra menjelakan : [62]
          لاَبَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ اَنْ يَقْنَعَ بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَا الوَاجِبُ عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ بِاَهْلِ الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك (كُدُورَاتِ الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ كَامِلٍ عَالِمٍ فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فِي بِلاَدِهِ اَوْاِقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
           Tidak patut bagi orang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya. Kecuali ia telah menjadi Wahiduz Zaman  pada waktu itu. Bahkan ia wajib bagi mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia ditunjukkan kearah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah kekuasaan dan bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan apabila didaerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia wajib pergi menuju daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.
4.       Sulthanul Auliya’ (Raja Waliyullah) dan Ru’usul ‘Arifin. Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts, disamping sebagai penolong ummat dari belenggu kemusyrikan,  juga sebagai pimpinan para waliyullah Ra dan para ulama Arif Billah wa Rasulihi Saw.
5.       Al-Mujaddid = Pembaharu / Reformer .
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena banyak diantara al-Ghauts yang sekaligus sebagai pembaharu dalam agama Islam, agar asas agama kembali seperti semula. Gelar Mujaddid ini diberikan kepada al-Ghauts dengan tambahan sebutan as-Shamadani/ atau al-Murabbi (Mujaddid al-Murabbi/ al-Mujaddid as-Shamadani). Dikandung maksud untuk membedakan dengan para mujaddid lain yang tidak berpangkat al-Ghaus Ra. Diantara al-Ghauts yang sekaligus seorang mujaddid :
1).  Syeh Abu Thalib al-Makky (w. 385 H).
          Beliau Ra adalah penulis kitab Quut al-Quluub. Kitab ini menjadi rujukan kaidah
tasawuf oleh para pembesar sufi pada masa berikutnya. Dan banyak ulama yang mengatakan, bahwa kitab inilah yang mengilhami Imam Qusyairi menulis kitab Risyalah al-Qusyiriyah, dan Imam Ghazali menulis kitab Ihya’ Ulumuddin.
2).  Hujjatul Islam  Imam al-Ghazaliy (w- 1111 M).[63]
Dalam kitab al-Munqid min al-Dlalal (jalan keluar dari kesesatan) -nya, Imam Ghazali menceritakan pengalaman batinnya. Ketika itu, Beliau mengoreksi kemurnian batinnya dalam beribadah dan berjuang. Ditemukannya, ketika berjuang dan mengajar, ternyata niatan hati tidak untuk mengabdi kepada Allah Swt, melainkan untuk kepentingan kehormatan dan ketenaran diri, dan ini berarti bukan menyembah Allah Swt, akan tetapi menyembah nafsunya, dan ini pula yang dinamakan syirik dosa yang paling dimurkai oleh Allah Swt. Akhirnya ditinggalkannya tugas sebagai dosen dan kepala perguruan tinggi “Nidlamiyah”. Beliau mengasingkan diri. Namun, ditengah-tengah pengasingannya itu, hatinya berbisik : kasihan ummat dididik oleh orang-orang yang tidak mengerti agama. Dan kembalilah Imam kebangku perkuliahan. Demikian pula ketika sudah berjuang dan mengajar, dikoreksinya niatan dalam hati, dan ditemukannya kembali, bahwa dirinya berjuang bukan karena Allah, akan tetapi tetap karena kehormatan dan ketenaran diri. Merasa usianya sudah tua yang tidak lama lagi pulang kerahmatullah, Imam mengasingkan diri kembali untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan sungguh-sungguh untuk memohon hidayah-Nya.
3).  Syeh Bahauddin an-Naqsyabandi (w. 896 H).
Ketika kurang 1 minngu dari hari kelahirannya, Syeh Baba as-Samasi Ra al-Ghauts pada waktu itu, berkata : sebentar lagi ada bayi yang akan lahir. Ketika sudah dewasa, nantinya dia menjadi waliyullah yang basar. Tepat 1 minggu, lahirlah bayi kecil yang diberi nama Bahauddin. Oleh bapaknya, bayi ini disowankan kepada Syeh Baba untuk dimohonkan doa restu. Kepada para murid yang juga ikut sowan, Syeh berfatwa : Ini adalah anakku juga, jika kamu hidup pada masa anak ini, ikutilah dia.
4).  Syeh Abdullah Umar al-Ahdali as-Sirhindi (w. 1035 H).
Dalam syarahnya kitab “Faraidul Bahyah”, yang sering disertakan oleh para penerbit, dalam kitab “al-Asybah wa an-Ndzair”-nya Syeh Jalaludin Suyuthi, sebagai catatan luar/hamisy, dalam bab “muqaddimah”, dijelaskan bahwa Syeh Umar al-Ahdali adalah waliyullah yang mencapai derajat al-Ghauts Ra.
5).  Syeh Abdullah Alwi al-Haddad (w. 1132 H). Pemilik “ratibul haddad” dan pendiri tarekat Haddadiyah.
Beliau Ra ini mengalami buta sejak usia 4 tahun gara-gara penyaki katarak. Sejak kecil dia tekun menuntu ilmu, riyadlah dan mujahadah. Jika ingin mengetahui isi salah satu kitab, ia memintan kawannya yntuk membacakannya. Karena memiliki pemikiran cerdas, pandangan yang jauh, banyak para ulama yang bersedia membacakan kitab disampingnya. Banyak kitab tasawuf yang telah ditulisnya, antara lain : ad-Da’wah at-Tammah wa at-Tadzkirah lil-“Ammah Risaalah al-Mu’awanah,Adab Sulukil Murid, Nashaih ad-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah dan an-Nafais al-Uluwiyah fi al-Masail as-Shufiyah. Dalam kitab yang pertama, Beliau menjelaskan bahwa tarekat terbagi kedalam ‘ammah (untuk mukmin dari kalangan bawah) dan khasshah (untuk para auliyaillah dan kaum arifin). Sedangkan kitab yang terakhir mengulas tentang derajat kewalian; abdal, autad, al-quthbu al-Ghauts, syaikhut thariqah. Banyak ulama pada masanya yang mengatakan bahwa Beliau adalah seseorang yang mampu mencapai derajat al-Quthbu al-Ghauts.
6).  Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra).
Mbah KH. Muhammad Ma’ruf Ra, Ramanda dari Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra, pernah mimpi mengitari dunia sambil kencing. Dan tanah yang dikencingi menjadi subur, padahal sebelumnya tampak gersang. Mimpi ini ditanyakan kepada Mbah KH. Khalil Bangkalan Madura. Sampeyan nanti akan memiliki keturunan yang ilmunya dapat menyadarkan ummat manusia jami’al alamin, jawab Mbah Khalil. Baliau Qs wa Ra tidak meninggalkan sebuah kitab. Dan yang ditinggalkan dan diwariskan hanyalah Shalawat Wahidiyah, yang jika mau memandang dengan hati yang jernih, bebas darirasa iri, dengki dan ambisi - didalamnya terdapat ajaran yang merupakan inti dari kesempurnaan keimanan, keislaman dan keihsanan. Lain itu pula didalam shalawat Wahidiyah mengajarkan tentang keberadaan al-Ghauts Ra, dan sekaligus memberikan jalan untuk pembuktiannya, yang mana hal ini belum dilakanakan oleh para al-Ghauts sebelumnya. Disamping memiliki karamah mudah menyelesaikan permasalahan keluarga, shalawat Wahidiyah juga dapat membawa pengamalnya mudah bertemu Rasulullah Saw baik dalam mimpi maupun jaga.

* *    Catatan Penting.
          Diantara al-Ghauts Ra ada juga yang berpangkat mujaddid, dan juga yang tidak. Begitu pula, belum tentu seorang mujaddid, berpangkat al-Ghauts. Misalnya, sebagaimana keterangan dalam kitab Yawaqit diterangkan, bahwa Imam Syafi’i (w. 204 H) adalah mujaddid dalam bidang ushulil fiqih dan Abul Hasan al Asy’ari (w. 324 H) adalah mujaddid dalam biang penyusunan pemahaman aqidah, namun dalam kewaliannya bukan al-Ghauts, melainkan wali Abdal. Dan dalam kitab Bugyah al Mustarsyidin bab “khatimah”, diterangkan bahwa Imam Syafi’i adalah mujaddid abad ke 2 H dan Imam Abul Hasan al-Asy’ari beliau adalah mujaddid pada abad ke 3 H. Dan pada masa Syaf’i’i ini yang menjabat al-Ghauts Ra, adalah Syeh Syaiban ar Ra’i. (kitab Risyalah al Qusyairiyah, Imam Qusyairi w. 465 H, bab “washiyah ‘alal murid”). Dan pada masa Imam Al Asy’ari, yamng menjabat al-Ghauts Ra adalah Syeh Abu Bakar Sibliy Dallaf w. 327 H. ( kitab  al-Insan al Kamiljuz II bab “insan kamil” Syeh Abdul Karim Jilly w. 826 H)). Sedangkan al-Ghauts Ra yang tidak berpangkat mujaddid banyak sekali, antara lain, Syeh Abal Khair Hammad Ad-Dibas, Syeh Abdul Qadir Jailani,  Imam Nawawi, Syeh Muhammad Wafa, Syeh Suhrawardi, Syeh Samsuddin al-Hanafi, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag, Imam badawiy, Syeh Abdullah as-Samani al-Madani.
7.                 Khatmul Auliya .
Al-Ghauts berkedudukan sebagai Khatmul Auliya’ sebagaimana Rasulullah Saw berkedudukan Khatmul Anbiya’. Dalam bahasa arab, kata al-Khatam dapat diartikan penutup dan setempel/ cap. Dalam kitab al-Insan al-Kamil nya Syeh al-Jilliy, bab “khatimatun”, juga diterangkan bahwa maqam makrifat tertinggi yang dapat dicapai oleh setiap salik disebut maqam al-Khitam,  yang hanya dapat diraih oleh satu hamba Allah Swt dalam setiap zaman.
8.       Murabby  al-Qudsi = Pembimbing jiwa yang Suci.
Imam al-Ghazali Ra dalam kitabnya Misykatul-Anwar,dalam pasal I pada pembahasan “Nurul-Muthlaq”, menjelaskan  :
  وَهَذِهِ الخَاصَّة تُوجَدُ لِلرُوْحِ القُدْسِي النَبَوِي أِذْ تُفِيْضُ بِوَاسِطَتِهِ أَ نْوَارُ المَعَارِفِ عَلَى الخَلْقِ وَبِهِ تُفْهَمُ تَسْمِيَةُ اللهِ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِرَاجًا مُنِيْرًا, وَالاَنْبِيَاءُ كُلُّهُمْ سِرَاجٌ, وَكذَالِك العُلَمَاءُ
Dan “Nur al-Mutlah” ini diwujudkan khusus untuk ruh Nabi yang qudus (suci). Sebab dari Ruh Qudus ini mengalirlah seluruh nur makrifat kepada seluruh mahluk. Dan sebab Ruh Qudus ini pula dapat dipahami pemberian nama oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dengan nama Sirajan Muniran(pelita yang menerangi alam semesta). Dan semua Nabi adalah pelita, demikian pula ulama (al-Ghauts).
9.       Al-Jami’ul Khalqi. Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts karena kedudukannya sebagai tempat sandaran mahluk secara batiniyah. [64]
 اِعْلَمْ اِنَّ القُطْبَ وَقَدْ يُسَمَّى غَوْثًا بِاعْتِبَارِ اِلْتِجَاءِ المَلْهُوفِ اِلَيْهِ هُوَعِبَارَةٌ عَنِ الفَرْدِ الجَامِع الوَاحِدِ الذِي هُوَ مَوْضِع نَظْرِاللهِ فِي كُلِّ زَمَانٍ.  وَمِنْ لَدُنْهُ يَسْرِي فِي الكَوْنِ وَالاَعْيَانِ البَاطِنَةِ وَالظَاهِرَةِ سِرْيَانُ الرُوْحِ فِي الجَسَدِ. بِيَدِهِ قِسْطَاسُ الفَيْضِ الاَعَمّ.  هُوَ يُفِيْضُ رُوْحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِالاَعْلَى وَالاَسْفلِ. فَهُوَ بَاطِنُ نُبُوّةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم
                        Ketahuilah sesungguhnya wali Quthub (Ghauts) itu, sebagai tempat pengungsian mahluk. Beliau adalah hamba yang satu dan sekaligus sebagai pengumpul mahluk. Beliau juga sebagai tempat pandangan Allah dalam setiap zaman.Dari diri Beliau mengalir rahasia-rahasia kehidupan batin dan lahir  sebagaimana mengalirnya ruh kedalam seluruh jasad.  Dari diri Beliau, Allah menumpahkan ruh kehidupan baik kepada mahluk alam atas maupun alam bawah. Beliau itu secara esensi batiniyahnya sebagai (fotocopy) Nabi Muhammad Saw.
10.      Abdul Warits (hamba dari Dzat Yang Mewariskan).[65]
Dalam kitabnya Jami’ al-Ussul fii al-Auliya’, al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Ahmad Kamasykhanawi, menjelaskan bahwa al-Ghauts Ra dapat dinamakan Abdul Warits. Karena kepada al-Ghauts Ra Allah Swt mewariskan sari makna kandungan al-Quran dan kitab-kitab yang diturunkan kebumi dan sirri Rasulullah Saw.
لآَنَّهُ إِذَا كَانَ بَقِيًا بِبَقَاَءِ الحَقِّ بَعْدَ فَنَائِهِ عَنْ نَفْسِهِ  لَزِمَ أَنْ يَرِثَ مَا يَرِثُهُ الحَقُّ مِنَ الكُلِّ وَهُوَ يَرِثُ الآَنْبِيَاءَ عُلُومَهُمْ وَمَعَارِفَهُمْ وَهِدَايَتَهُمْ لِدُخُولِهِمْ فِي الكُلِّ
          Karena al-Ghauts ketika sudah berada pada maqam baqa’ (billah) setelah keluar dari maqam fana’[66] dari dirinya, maka Allah mewariskan jiwa kulliyat/ universal. Dan Beliau mewarisi ilmu, makrifat, dan hidayah para Nabi. Semua itu diperolehnya setelah  memasuki maqam jiwa kulliyat.
Dalm kitab Syawahidul Haq-nya Syeh an-Nabhani Ra, halaman 414 diterangkan,  setelah Nabi Muhammad Saw dipanggil kerahmatullah, sirri Rasulullah Saw diwariskan kepada al-Ghauts Ra. Sebagaimana yang diterima al-Ghuats fii Zamanih Imam Abul Hasan As-Syadzali Ra (pendiri tarekatsyadzaliyah)
          وَارثٌ ِلأَ سرَاِر سَيَّدِالمرْسَلِيْنَ الأَ عْظمُ القُطبُ الغَوْثُ  
        Pewaris sirri pimpinan rasul yang paling agung adalah al-Qutub al-Ghauts.
11.      Mursyid Kamil Mikammil (Pemandu Ruhani Yang Sempurna Dan Menyempurnakan).
Dalam kitabnya Khulashah at-Tashanif fit Tashawuf dalam “khutbatul kitab”(Majmu’ah Rasail lil Ghazali, Darul Fikri, Bairut – Libanon, cet. I, hlm : 173),  Imam al-Ghazali menerangkan tentang keharusan setiap salik mencari guru mursyid yang kamil mukammil.
اِنَّهُ لآَ بُدَّ لِلسَّالِكِ مِنْ مُرْشِدٍ مُرَبٍّي أَلْبَتَةً, لاَنَّ اللهَ تَعَالَى أَرْسَلَ الرُّسُلَ عَلَيْهِمْ الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ للِخَلْقِ لَيَكُونُ دَليْلاً لَهُمْ وَيُرْشِدُهُمْ اِلَى الطَرِيْقِ المُسْتَقِيْمِ. وَقَبْلَ اِنْتِقَالِ المُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم اِلَى الدَارِ الاَخِرَةِ قَدْ جَعَل خُلَفَاء الرَشِدِيْنَ نَوَّابًا عَنْهُ لِيَدُلُّوا الخَلْقِ عَلَى طَرِيْقِ اللهِ. وَهَكَذَا اِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ فَالسَّالِكُ لاَ يَسْتَغْنَى عَنِ المُرْشِدِ
Sesungguhnya bagi setiap salik harus adanya mursyid yang membimbingnya. Kerena Allah Swt mengutus para rasul As kepada mahluk, sebagai bukti (keberadaan Tuhan) dan sebagai penunjuk kejalan yang lurus.Sebelum kepindahan Rasulullah Saw kealam akhirat, Rasulullah Saw telah mempersiapkan khalifah ar-Rasyidin sebagai penggantinya, agar mereka menunjukkan mahluk kejalan Allah.
Hal ini berlaku sampai hari kiamat. Maka, setiap salik wajib memilikiseorang mursyid.
Dan Imam Ghazali menjelaskan bahwa mursyid yang hakiki, mendapat limpahan cahaya dari Nabi Muhammad Saw secara langsung.
وَاقْتَبَسَ نُورًامِنْ أَنْواَر سَيِّدِنَا ٍمُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم  فَإِنْ تَحَصَّلَ أَحَدٌ  عَلَى  مِثْلِ هَذَاالمُرْشِدِ وَجَبَ عَلَيْهِ اِحْتِرَامُهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا
Dan (mursyid) menerima pancaran langsung dari Nur Nabi Muhammad Saw. Jika seseorang berhasil mendapatkan mursyid yang seperti ini, wajib baginya menghormatnya  secara lahir dan batin.
         
Orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Swt, masih diperintahkan senantiasa bersama dengan orang-orang yang benar (dalam lahiriyah maupun batiniyah, dalam iman, islam maupun ihsan). Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt :
   يَأَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
 Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan beradalah kalian bersama dengan orang-orang yang benar. (Qs. at-Taubah : 119).
Seseorang bila dapat bertemu ulama yang shadiq (guru ruhani yang benar) sebagaimana keterangan dalam ayat 119 surat at-taubah, dan kemudian ia terus bersamanya, maka ia akan diantar dekat kepada Allah Swt secara benar dan lurus. Sebagaiman tercermin dalam sabda Rasulullah Saw  : [67]
كُنْ مَعَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ.    
kamu semua dengan Allah. Jika tidak mampu, bersamalah dengan orang yang mampu bersama Allah. Sesungguhya orang itu akan mengantarmu kepada Allah, jika kamu bersamanya.
Rasa jenuh sering timbul, setelah seseorang berada dalam suatu keadaan secara terus menerus. Rasa jenuh ini merupakan sesuatu yang manusiawi. Demikikian pula, seseorang meskipun sudah bertemu dan bersama Guru Ruhani Yang Kamil, setan/ nafsu tetap menggoda melalui rasa junuh ini. Dibisikkan kejenuhan dalam hati murid, ketika dirinya atau keinginannya tidak segera mendapat perhatian atau doa restu guru. Dan kemudian malas melaksanakan rabithah (sowan secara ruhani) kepadanya. Dan bahkan, rela keluar dari barisan GURU RUHANI tersebut. Dalam hal ini Allah Swt wa Rasulihi Saw benar-benar mewanti-waNti mukmin agar tetap dan sabar bermakmum kepada Guru Kamil Mukammil. Firman Allah Swt, Qs. al-Kahfi : 28  :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدوآةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُوَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الحَيَاةِ الدُنْيَا, وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.
Sabarlah kamu semua (tetap) bersama orang-orang yang memanggil Tuhan mereka diwaktu pagi dan petang. Dan yang mengharapkan Dzat-Nya. Dan janganlah kamu memalingkan pandanganmu dari mereka, hanya karena engkau menginginkan keindahan dunia. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku, mereka mengikuti hawa nafsunya, dan memanglah melampaui batas.
Dan ayat diatas diperjelas lagi oleh hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas, yang menerangkan; wajib tetap bersabar bersama guru,  meskipun merasa kurang senang terhadap sikap gurunya (misalnya dirinya atau keinginanannya tidak segera mendapat perhatian atau doa restu). Rasulullah Saw bersabda : 
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْ,فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang kurang senang terhadap sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Amirnya sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
Bersabar dalam bermakmum dan mengikuti Guru Ruhani yang Kamil Mukammil merupakan hal pokok untuk meluruskan keimanan. Jika seseorang keluar dari barisan al-Ghauts Ra dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
Dalam mengulas makna hadis Bukhari dan Muslim diatas, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Daud Ibnu Makhala Ra (guru dari Syeh Muhammad Wafa Ra), mengatakan :
         مَنْ دَخَلَ الدُنْيَا وَلَمْ يُصَادِفْ رَجُلاً كَامِلاً يُرَبِّيْهِ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا مُتَلَوِّثًا بِالكَبَائِرِ وَلَوكَانَ لَهُ عِبَادَةُ الثَقَلَيْنِ
Barang siapa yang memasuki dunia sedangkan ia belum bertemu dengan lelaki sempurna yang membimbingnya, maka ia keluar dari dunia dengan berlumuran dosa besar (syirik), walaupun ia memiliki ibadah sebanyak ibadahnya seluruh mahluk dari kelompok  jin dan manusia.[68]
Para ulama yang Arif Billah, mengatakan : Qalbu tidak dapat bersih kecuali dengan nadzrah (radiasi batin) Nabi Muhammad Saw atau waliyullah yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut dan yang telah teruji.[69] 
لاَيُذْهَبُ كَدْرُ القَلْبِ إِلاَّ بِنَظْرِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ ذِي تَجْرِبَةٍ فِي هَذَا الشَأْنِ.
Kotoran hati tidak akan hilang kecuali, kecuali dengan nadzrah nabi atau wali yang memiliki keahlian yang teruji dalam bidang ini.
Dan jika hati belum terbebas dari belenggu kemusyrikan, persowanan seseorang kepada Allah Swt akan ditolak-Nya. Dan dipadang mahsyar ia akan dicampakkan dengan penderitaan yang sangat pedih. Seluruh hartanya (harta lahir maupun harta batin), anak-anak serta keluarganya tidak mampu menolongnya dari lembah kemusyrikan dan kemurkaan Allah Swt.
يَوْمَ لاَيَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنٌ. إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
Pada hari itu (kiamat) tidak dapat memberi manfaat, harta dan anak. Kecuali orang-orrang yang datang (menghadap) kepada Allah dengan hati yang selamat (bersih). 
Sebagai pengamal dan khadimul Wahidiyah, mari kita tingkatkan kesabaran dalam bermakmum kepada Beliau Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Majid Ra. Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, serta senantiasa memohon kepada Allah Swt agar dapat beristiqamah bersama Guru ruhani yang kamil mukammil.
Sirri dan kemampuan Mursyid Yang Kamil tersebut, sebagaimana tercermin dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,  Rasulullah Saw bersabda   : 
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا فَقَبَضَهُ رِزَقَهُ مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ   
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika memberi rizki kepada seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam baka, maka rizki tersebut akan diberikan kepada seseorang yamg menduduki jababatan sesudahnya.
Rizki yang Allah Swt berikan kepada Rasulullah Saw akan diberikan kepada hamba-Nya yang diberi kedudukan sebagai pewaris nabi. Makna hadis diatas diperkuat lagi oleh hadis riwayat Imam Bukhari. Rasulullah Saw Bersabda :
زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.
Hadits riwayat Imam Ahmad,  Thabrani  dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُونَ
Tidak sepi didalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, dan sebab mereka manusia diberi hujan, dan sebab mereka manusia tertolong.[70]
          Dengan demikian, mengetahui pribadi hamba yang dijadikan sebagai pintu menuju Hadratullah, merupakan sesuatu yang amat penting dalam meluruskan iman dan ihsan. Tanpa menjadikan Beliau Ra sebagai guru dan imam ruhani, maka setan/ nafsu yang akan mengantikannya sebagai guru dan imam ruhani. Dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya, kecuali hanya melalui ryadlah dan mujahadah untuk memohon hidayah dan rahmat-Nya. Dan alhamdullah, sebagai tahaddus binni’mah, atas karunia Allah Swt dan syafaat Rasulullah Saw, shalawat WAHIDIYAH terbukti dapat mengantarkan pengamlanya menuju kepada jalan tersebut.
1.     Sebagai manusia, Beliau Ra adalah manusia biasa seperti umumnya manusia. Namun Beliau Ra diberi kekuatan oleh Allah Swt sebagaimana keterangan tersebut diatas. Oleh karennaya, al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Ghazali Ra (w. 501 H), dalam kitabnya Kimya’as-Sa’adah, pasal “ajaib al-qalbi”, menjelaskan :
وَالطَلَبُ (طَلْبُ شَيْخٍ بَالِغٍ عَارِفٍ)  لاَيَحْصُلُ اِلاَّ بالمُجَاهَدةِ   
Pencarian Syeh Yang Sempurna dan lagi Arif tidak akan berhasil, kecuali dengan mujahadah.
Kesimpulan Imam al-Ghazali ra ini, dapat dipahami sebagai ulasan dari firman Allah Swt, Qs. al-Isra’ : 70 -71 :
رَبِّي أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَل لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا. وَقُلْ جَاءَ الحَقُّ وَزَهَقَ البَاطِلُ إِنَّ البَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا. 
 Ya Tuhan masukkanlan aku (dalam kebenaran) dengan cara yang benar. Dan keluarkan aku (dari kesalahan) dengan cara yang benar. Dan jadikan untuk kami pimpinan yang menolong. Katakanlah, telah datang kebenaran dan akan hancur kebatilan. Sesungguhnya kebatilan pasti hancur.
Dengan demikian, ayat 70 surat al-Isra’ ini dapat dipahami atau memberikan gambaran/ isyarah, bahwa melalui kekuatan doa yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh, seseorang akan mendapatkan anugrah serta fadlal dari Allah Swt yang membawanya dapat memahami dan sekaligus mengharapkan kehadiran dan pertemuan seseorang denganSultan (guru/ pimpinan) ruhani yang akan menolong manusia dalam urusan baik duniawi maupun ukhrawi.


D.               Sikap Dan Kawajiban Salik
          Agar berhasil dalam menuju sadar kepada Allah wa Rasulihi Saw, terdapat hal pokok yang harus diperhatikan oleh setiap salik :[71]
1.                  Secara batin tidak berpaling dari gurunya, dan secara lahiriyah meninggalkan hal-hal yang berseberangan dengan guru.[72]
2.                  Senantiasa berdo’a kepada Allah Swt agar kita mendapat barakah, karamah dan nadzrah dari Beliau Ra.
3.                  Senantiasa bersama (secara rohani) Beliau Ra, untuk memohon tarbiyah-Nya agar
terbebas dari kotoran  hati, sehingga dapat sadar  ma’rifat Billah wa  Rasulihi Saw.
4.                  Jika seorang mursyid wafat, wajib bagi murid mencari mursyid pengganti untuk membersihkan jiwanya.
المُرِيْدُ ِذَا مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ  
Murid, ketika Syeh (guru rohani)-nya mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh penganti untuk membimbingnya.
          Kitab al-Anwar al-Qudsiyah-nya al-Ghauts fi Zamanihi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya.rani, w. 973 H, dalam bab “adabul murid.
5.       Mendekat  kepada  Beliau Ra dengan  pendekatan yang semestinya. Sebab  pendekatan tersebut akan terbukalah pintu hadlratullah dalam diri mansia
قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ وَحَوَاسُهَا اَبْوَابُهَا فَمَنْ تَقَرَّبَ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
  Hati orang yang Arif Billah adalah hadlrahnya Allah Swt. Seluruh indranya merupakan pintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepadanya dengan pendekatan yang semestinya, maka akan terbuka baginya pintu hadlrah tersebut.
Cara pendekatan yang semestinya, dapat dilakukan, antara lain  :
1).          Merasa mendapat jasa dan berkah dari Syeh Yang Kamil Mukammil.
  Allah Swt berfirman, Qs. al-Baqarah : 251 :
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الآَرْضُ وَلَكِنَّ اللهَ ذُو فَضْلٍ عَظِيْمٍ
Sekiranya Allah tidak membela manusia (kaum yang benar) untuk mengalahkan (kaum yang aniaya)  dengan kelompok lain, niscaya rusak binasalah bumi.  Akan tetapi Allah mempunyai karunia yang agung. 
Syeh al-Khathib as-Syarbini dalam kitab Tafsirnya Siraj al-Munir, menjelaskan bahwa makna kata بِبَعْضٍ  dalam ayat  diatas, adalah sebagaimana yang dimaksud dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim al-Isfahani (kitab Hilyah al-Auliya’) dan Ibnu Asyakir yang menjelaskan tentang adanya al-Ghauts ra dalam setiap waktu, dan setiap Beliau ra wafat, Allah Swt mengangkat waliyullah dibawahnya, untuk menggantikan kedudukan ghautsiyah.
2).          Mengikuti tuntunan Beliau Ra secara lahir dan batin (ruhani dan jasmani).
3).                Memahami dan mendekat secara lahir dan batin kepada Beliau Ra dimanapun berada. (rabithah).
4).          Berakhlak kepada Beliau ra sebagaimana berakhlaq kepada Rasulullah SAW. [73]
 فَيَجِبُ عَلَيْكَ اَنْ تَتَاَدَّبَ مَعَ صَاحِبِ تِلْكَ الصُورَةِ كَتَاْدُّ بِكَ مَعَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم لَمَّا اَعْطَاكَ الكَشْفَ اَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى الله عليه وسلّم مُتَصَوِّرٌ بِتِلْكَ الصُورَةِ فَلاَ يَجُوْزُ لَكَ بَعْدَ شُهُوْدِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم فِيْهَا اَنْ تُعَامِلَهَا بِمَا كُنْتَ تُعَامِلَهَا بِهِ مِنْ قَبْلُ حَاشَ اللهُ وَحَاشَ رَسُولُ اللهِ... فَهُمْ خُلَفَاءُهُ فِي الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
    Wajib kepadamu beradab kepada pemilik Haqiqatil Muhammadiyah, sebagaimana engkau beradab kepada Nabi Muhammad Saw ketika Allah memberimu kasysyaf, bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Sawmembentuk jiwa al-Ghauts sebagai fotocopi  jiwa  Beliau Nabi SawTidak boleh bagi kamu setelah engkau syuhud kepadanya melakukan sesuatu sebagaimana yang engkau lakukan kepadanya sebelum Beliau Ra berpangkat itu. Hati-hatilah kepada Allah dan hati-hatilah kepada Rasulullah. Secara lahirnya Beliau Ra adalah wakil Rasulullah, tapi dalam hal batininyah, hakikinya Beliau adalah Jiwa Rasulullah sendiri.  
Tentang kewajiban bagi salik, dalam kitab Risalah Al-Qusyairiyah bab “adab murid kepada guru”, diterangkan; apabila murid ingin cepat berhasil dalam menuju dan mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, wajib baginya menjalankan hal berikut ini:
a)                 Murid wajib meninggalkan kemulyaan dirinya yang melebihi batas. Serta merendahkan diri dan mengagungkan Guru. Karena kemulyaan diri murid yang berlebihan, merupakan racun yang dapat membunuh hati dan makrifat.
b)                Murid tidak boleh menentang guru dalam hal jalan yang ditunjukkan kepadanya. Guru Mursyid Kamil Mukammil tidak mungkin memerintahkan kesalahan. [74]
Hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda : [75]
  مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ
 Barangsiapa menghina Sultan, maka Allah  akan menghinakannya
Yang dimaksud mengina “Sultan” disini, kitab Dalil al-falihin, juz III dijelaskan, bahwa hal-hal  yang dapat dikatakan menghina antara lain; menganggap ringan terhadap perintahnya. Dan yang dimaksud “Allah akan menghinakanya”, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
c)                 Tujuan murid harus satu, yaitu menuju Allah Swt, berguru kepada Mursyid kamil Mukammil bukan untuk memperoleh kekuatan  mistik atau lainnya yang bersifat duniawi, akan tetapi untuk mendekat dan makrifat kepada Allah Swt secara benar.
d)                Setelah bertemu dan berguru kepada Beliau Ra, jangan sekali-sekali keluar dari barisannya. Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas,  Rasulallah Saw bersabda :  [76]
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْ, فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang membenci sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Amirnya sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
e)                 Untuk menyempurnakan taqwa, seseorang diharuskan berkumpul dengan orang-orang yang pemahaman tauhidnya telah dibenarkan oleh Allah Swt. Allah Swt berfirman, Qs. at-Taubah : 119 :
   يَأَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
 Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan beradalah kalian bersama dengan orang-orang yang benar.
Tidak berguru kepada Syeh Kamil Mukammil menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah (memahami Tuhan secara terbelok, serta tidak dapat memahami keberadaan dan tugas Rasulullah Saw).
f)                  Wajib menjaga rahasia (sirri) yang nampak pada dirinya, kecuali kepada gurunya.
g)                 Tidak boleh menyukai dispensasi kemurahan dari guru. Dan tidak boleh bermalas-malasan.
h)                Senantiasa mohon doa restunya dalam segala urusan yang halal.
          Hadits riwayat Thabrani dan Abu Ya’la, Rasulullah Saw bersabda  : [77]
     إِذَا أَضَلَّ أَحَدُكُمْ شَيْئَا أَوْأَرَادَ عَوْنًا فِي الاَرْضِ لَيْسَ فِيْهِ أَنِيْسٌ فَلْيَقُلْ يَاعِبَادَ اللهِ أَعِيْنُوْنِي
Jika kamu semua tersesat tentang sesuatu atau menginginkan pertolongan diatas bumi, yang ditempat itu tidak ada penolong, maka berkatalah : “Wahai Kekasih Allah yang ahli beribadah, tolonglah kami ini.
إِنَّ للهِ خَلْقًا خَلَقَهُمْ اللهُ لِحَوَئِجِ النَاسِ وَيَفْزِعُ إِلَيْهِمْ النَاسُ فِي حَوَائِجِهِمْ
Sesungguhnya Allah memiliki hamba yang diciptakan untuk kebutuhan manusia. Dan manusia meminta tolong kepada mereka dalam segala hajatnya.
Hadis riwayat Abu Ya’la, Thabrani dan Ibnus Sunniy dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda : [78]
إِذَا انْفَلَتَتْ دَابَّةُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فُلاَةٍ فَلْيُنَادِ : يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا عَلَى دَابَّتِي, يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا. فَإِنَّ للهِ  عَزَّ وَجَلَّ فِي الاَرْضِ حَاضِرًا سَيَحْبَسُهُ لَكُمْ.
Ketika hewan piaraan salah satu dari kamu lepas didaerah yang sunyi, panggillah : “Wahai Hamba Allah, tolong dan ikatlah hewan piaraanku. Wahai Hamba  Allah,  tolonglah dan ikatlah hewanku”. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulya lagi Maha Agung memiliki seorang hamba (yang dapat) hadir (seketika), dan yang akan mengikat hewan tersebut untuk kamu semua.
 Dan dalam kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam Suyuthi, redaksi hadis tertulis :[79]
إِذَا انْفَلَتَتْ دَابَّةُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فُلاَةٍ فَليُنَادِ : يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا عَلَى دَابَّتِي. فَإِنَّ للهِ  فِي الاَرْضِ حَاضِرًا سَيَحْبَسُهُ عَلَيْكُمْ.
Ketika hewan piaraan kalian lepas didaerah yang sunyi, panggillah : “Wahai Hamba Allah,
 (tolong) ikatlah hewan piaraanku”. Sesungguhnya diatas bumi Allah memiliki hamba (yang dapat) hadir  yang akan mengikat hewan tersebut untuk kamu.
i)                   Memahami bahwa hal luar biasa yang dimiliki oleh para waliyullah atau lainnya, adalah pemberian Allah Swt yang terpancar dari Syeh Kamil Mukammil waktu itu.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Syamsuddin al-Hanafi Ra (w. 847 H) menjelaskan, bahwa karamah yang muncul dari para wali dimanapun mereka berada\ pada hakikinya memancar dari al-Ghauts Ra pada waktu itu.[80]
اِذَا ماتَ الوَالِيُّ اِنْقَطعَ تَصَرَّفُهُ فِي الكَوْنِ مِنَ الاِمْدَادِ وَاِنْ حَصَلَ مَدَدٌ لِلزَائِرِ بَعْدَ المَوْتِ اَوْ قَضَاءُ حَاجَةٍ فَهُوَ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى يَد القُطْب صَاحبِ الوَقْتِ يُعْطِي الزَائِرَ مِنَ المَدَدِ عَلَى قَدْرِ مَقَامِ المَزُوْر
Ketika wali mati, maka karomahnya dalam kehidupan ini telah berhenti apabila parapeziarah makam wali tersebut mendapatkan berkah, itu (bukan dari karomah wali itu), melainkan berkah itu dari Allah yang dipancarkan dari kekuatan wali Quthub (Al-Ghauts) penguasa waktu saat itu. Peziarah diberi berkah sesuai kadar ketinggian derajat wali yang diziarahi.
j)                   Meyakini bahwa Beliau Ra mendapat pancaran langsung dari Rasulullah Saw. Maka, menentang Guru Yang Kamil berarti menentang Rasulullah Saw.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda :[81]
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاع اللهَ وَمَنْ عَصانِي فَقَدْ عَصَى اللهُ وَمَنْ أَطَاع أَمِيْرِي فَقَدْ أطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْري فَقَدْ عَصَا نِي
Barang siapa yang taat kepada Amir –Ku berarti ia taat kepada-Ku (Rasulullah), dan barang siapa taat kepada-Ku, berarti ia taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada amir (Ghauts)-ku, berarti ia durhaka kepadaku.
          Dalam kitab al-Insan al-Kamil Syeh Abdul Karim al-Jiliy, para waliyullah dan ulama sufi memfatwakan  :
إِنَّهُ لاَيَزَالُ يَتَصَوَّرُ فِي كُلِّ زَمَانٍ بِأَكَابِرِهمْ لِيُعْلَى شَأْنُهُ فَهُمْ حُلَفَاءُهُ فِي الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
Sesungguhnya Rasulullah Saw senantiasa membentuk (jiwanya) pada setiap zaman dengan pembesarnya ummat manusia, agar terhormat derajatnya. Maka pembesar tersebut merupakan khalifahnya secara lahir, sedangkan Beliau Saw merupakan batiniyahnya pembesar itu.
Dalam meningkatkan iman, tidak boleh terjebak dalam kesesatan sebagaimana kesesatan kaum Nabi Isa As.  Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah, ayat 72  :
 لَقَدْ كَفَر الذِيْنَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ المَسِيْحُ بْنُ مَرْيَم
 Sungguh, niscaya kufur orang-orang yang mengatakan : Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putra Maryam.
Dalam menjelaskan ayat ini, Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra mengatakan  :
فَكُفْرُهُ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ جَعَلَ نَاسُوتَ عِيْسَى إِلَهًا  كَمَا أَنَّهُ يَكفُرُ أَيْضًا بِكُفْرِهِ بِالرَسُولِ أَوْ بِبَعْضِ كِتَابِهِ
Kekufuran (kaum Nabi Isa As) dikarenakan menjadikan kemanusiaan Nabi Isa sebagai Tuhan. Sebagaimana kekufurannya kepada Rasul atau kepada sebagian kitab Allah. (Kitab al-Yawaqiit wa al-Jawahir, juz I dalam bahasan pertama).

Hadis riwayat Imam G.  Al-Ghauts Dan Pembersihan Syirik
Nasai dari Khudzaifah ra. Dia berkata : Aku bermimpi melihat orang yahudi berkata : kalian mengira kami menyekutukan Allah, padahal kamu juga menyekutukan-Nya, ketika kamu berkata : “Allah telah menghendaki, dan Muhammad juga menghendaki”. Setelah aku bangun, aku melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Baliau Saw bersabda  :
 أَمَّاإِنِّي كُنْتُ أُكْرِهُهَا لَكُمْ, فَقُوْلُوْا : مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتُ 
Sedangkan aku, sesungguhnya kalimat itu bagi kamu semua. Maka, katakanlah : “Allah telah menghendaki, kemudian aku menghendaki. [82] 
Dan dalam hadis lain, Rasulullah Saw bersabda :[83]
لاَتَقُوْلُوْا : مَاشَاءَ اللهُ وَشَاءَ فَلاَنٌ, وَقُوْلُوْا : مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شَاءَ فُلاَنٌ.
Janganlah kamu semua mengatakan : “Allah telah menghendaki, dan fulan juga telah menghendaki”.  Dan katakanlah : “Allah telah menghendaki, kemudian fulan menghendaki”.
Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra meriwayatkan :[84] seseorang sedang berceramah : مَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ رَشَدَ. وَمَنْ يَعْصِهِمَا ....barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka ia telah mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang mendurhaki mereka berdua… .
Ketika khathib sampai kalimah : mendurhaki mereka berdua, tiba-tiba Rasulullah Saw memotong pembicaraan dan bersabda : بِئْسَ خَطِيْبُ القَوْمِ أَنْتَ, إِذْهَبْ. Sejelek-jelek pemberi ceramah kaum (ku) adalah kamu, pergilah.  
Para ulama menjelaskan; Rasulullah Saw tidak suka terhadap kalimatmereka berdua, menunjukan kalimat tersebut dapat dimaknai penyekutuan antara dirinya dengan Allah Swt. Padahal yang benar, kehendah Rasulullah Saw adalah kehendak Allah Swt semata. Sebagaimana keterangan ayat 17 surat al-Anfal :
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَي
Tidaklah engkau (Muhammad) yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.  
Al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra (w. 658 H) menjelaskan :
 وَمِنَ الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يُتَّخَذَ الأَولِيَاءُ وَالأَنْبِيَاءُ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ
Termasuk perbuatan syirik, menjadikan waliyullah dan para Nabi sebagai wasilah dengan tanpa Allah.[85] 
Al-Ghauts fii Zamanihi Ra, Syeh Sahal at-Tustari Qs. wa Ra menjelaskan : Orang mukmin adalah orang yang hatinya mampu memandang Allah Swt tanpa ada pembatas. [86]
Al-Ghauts fii Zamanihi Imam Ja’far Shadiq Qs. wa Ra (w. 148 H),menjelaskan :[87]
مَنْ زعَمَ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ فِي شَيْئٍ أَوْمِنْ شَيْئٍ أَوْعَلَى شَيْئٍ فَقَدْ أَشْرَكَ بِالله اِذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَيْئٍ لَكَانَ مَحْمُولاً وَلَوْ كَانَ فِيْ شَيْئٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوكَانَ مِنْ شَيْئٍ لَكَانَ مُحْدَثًا
Barang siapa mengira bahwa  sesungguhnya Allah Swt. itu di dalam sesuatu, atau dari sesuatu atau di atas sesuatu, maka dia telah berbuat syirik dengan Allah (syirik billah – istilah dalam wahidiyah “binafsih”).  Jika Dia di atas sesuatu berati Dia terpikul, jika Dia berada dalam sesuatu niscaya Dia terkurung, jika Dia dari sesuatu berati Dia baru (diciptakan).
Perjuangan Wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah, memperjuangkan terbebasnya jiwa manusia dari penyakit kemusyrikan. Jalan atau cara paling tepat dan cepat untuk pembersihan jiwa dari kamusyrikan,hanyalah melalui bimbingan Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra pada zamannya. Tanpa bimbingan belia-beliau tersebut, sesorang akan meninggal dunia (wafat) dalam keadaan membawa dosa besar (syirik) yang tak disadari.Dan pula, tanpa melalui bimbingan tersebut, seseorang akan memiliki pemahaman yang terbalik. Misalnya, syirik  dianggap bertauhid, danbertauhid dianggap sebagai perbuatan syirik. Bagi mereka yang tidak memahami kekuasaan Allah Swt, bertawassul kepada Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra dianggap sebagai perbuatan syirik, dan tidak meminta pertolongan kepada rasul atau al-ghauts dianggap sebagai perbuatan bertauhid. Padahal, menjauh dari pertolongan Rasulullah Saw atau barakah serta karamah al-Ghauts Ra, berarti menjauh dari rahmat Allah Swt yang terdapat pada beliau berdua.
Mengapa demikian ?. Jawabannya sangatlah mudah. Yakni syafaat Rasulullah Saw atau barakah karamah al-Ghauts Ra, hakikinya adalah rahmatAllah Swt untuk ummat manusia yang dipancarkan melalui kekasih-Nya tersebut. Dan, memang Allah Swt menurunkan rahmat untuk makhluk,dipancarkan melalui mahkhluk lainnya. Demikian pula, merupakan perbuatan syirik, ketika seseorang memohon pertongan kepada beliau-beliau tersebutatau tidak, selama tidak menyesadari bahwa pertolongan yang muncul dari beliau, bukan pertolongan dari Allah Swt.
Didalam Islam, makna kata kufur (kata jadian dari kafara), adalah mengingkari keberadaan Tuhan Pengatur semesta alam. Pengingkaran tersebut terjadi karena mata hati tidak dapat melihat Kebesaran-Nya karena tertutup makhluk ciptaan-Nya. Dengan lain kata; kufur dapat diartikan dengan “mata hati tidak dapat memandang Tuhan karena tertutup oleh mahluk”. Dan kemudian, orang yang tidak mempercayai adanya Allah Swt Tuhan Yang Mengatasi segala makhluk, disebut orang kafir. Bagi orang kafir, Tuhan tidak tampak dalam hati, dan hanyalah mahluk saja yang tampak dalam hati dan fikiran.
Oleh al-Qur’an, iblis [88] digolongkan dalam kelompok orang kafir,[89] bukan karena mengingkari keberadaan Tuhan. Tapi, lebih disebabkan tidak dapat memahami Nur Ilahiyah yang dipancarkan oleh Allah Swt kepada Nabi Adam As. Karena tertutup oleh keangkuhan dan keakuannya,  iblis menolak perintah Allah Swt untuk sujud (menghormat) kepada Nabi Adam As. Sedangkan berbagai alasan yang diajukannya kepada Tuhan dan para malaikat, hanyalah untuk menutupi keakuan serta keangkuhannya. Bagi iblis, tidak ada kebenaran kecuali membela dan menjunjung keakuan setinggi-tingginya. Untuk menutupi keakuannya dihadapan para malaikat, iblis menciptakan opini bahwa Adam As tidak lebih mulia serta tidak luas dalam penguasaan ilmu bila dibandingkan dengan kelompok malaikat.[90] Dan karenanya, tidak patut menjadi khalifah Allah Swt, sedangkan malaikat sebagai kelompok mahluk yang suci, lebih pantas menjadi khalifah.
Kuatnya dorongan untuk membela keakuan, menjadikan iblis lupa terhadap sifat ke-Maha Kuasa-an Allah Swt yang dapat menentukan serta menjadikan segala hal (termasuk menjadikan Adam As melebihi malaikat) dalam waktu sekejap. Karena tertutup oleh kecintaannya kepada ego dan kehormatan diri yang berlebihan, mata hati iblis tidak dapat melihat Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan. Kecintaan iblis kepada dirinya mengalahkan kecintaannya kepada Tuhan Yang menciptakannya. Hingga, meskipun para malaikat telah menerima kekhalifahan Nabi Adam As,[91] iblis tetap mempertahankan keakuan dan keangkuhannya dan tidak mau menerima kekhalifahan Nabi Adam As.
Dan oleh al-Qur’an, malaikat digolongkan kedalam hamba yang taat. Mereka dapat memahami posisi dirinya sebagai hamba Allah Swt yang lemah dan yang harus taat dengan segala perintah-Nya. Awalnya malaikat terpengaruh oleh tipu daya dan pandangan iblis. Namun, setelah kalah dalam diskusi serta adu kebolehan ilmu dengan Nabi Adam As, akhirnya mereka memahami keberadaan dirinya serta keunggulan ilmu Nabi Adam As. Dan - berkat hidayah-Nya semata -, malaikat dapat memahami kekhalifahan Nabi Adam As dan sekaligus sebagai Imam dan Guru Ruhani [92] bagi mereka. Malaikat dapat mengakui keunggulan Nabi Adam As dan menerimanya sebagai pimpinan, disebabkan awal penolakannya bukan karena pembelaan atas ego diri atau kelompoknya, tapi lebih disebabkan belum mengetahui tentang Nurul Khilafah al-Ilahiyah yang dipancarkan kepada Nabi Adam As. Sebagaimana keterangan dalam firman-Nya Qs. Shaad : 71 – 72 :
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوْا لَهُ سَاجِدِيْنَ.
Ketika Tuhanmu bersabda kepada malikat : Sesumgguhnya Aku menciptakan (jasmani) manusia (Adam) dari tanah.  Ketika Aku telah menyempurnakannya dan Aku tiupkan ruh (dari)-Ku kedalamnya, maka segara saja para malaikat bersujud kepadanya (Adam).
Berkaitan dengan sujudnya para malikat kepada Nabi Adam As ini, Syeh Sulaiman bin Umar al-‘Ajiiliy dalam kitab tafsirnya al-Futuuhaat al-Ilaahiyah pada ulasan Qs. al-Baqarah : 34, menjelaskan :
فَالْمَسْجُوْدُ لَهُ فِي الحَقِيْقَةِ هُوَ اللهُ تَعَالَى وَجَعَلَ آدَمَ قِبْلَةَ سُجُوْدِهِمْ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ, كَمَا جُعِلَتْ الكَعْبَةُ قِبْلَةً لِلصَلاَةِ, وَالصَلاَةُ للهِ.
Yang disujudi (oleh malaikat) pada hakikinya, hanyalah Allah Swt. Dan Adam dijadikan sebagai kiblat bagi sujudnya para malikat, untuk memulyakannya.  Sebagaimana  ka’bah  sebagai  kiblat  untuk shalat. Sedangkan sujudshalat  hanya untuk Allah. [93]
Demikian pula Imam Shawi Ra dalam kitab Tafsir Shawi, menjelaskan tentang makna sujudnya malaikat kepada Nabi Adam As :
 وَاَدَمُ قِبْلَةٌ كَالْكَعْبَةِ فَالسُجُودُ للهِ
 Nabi Adam Assebagai kiblat seperti ka’bah. Sedangkan sujud untuk Allah. Dan dalam memberikan ulasan terhadap kalimah ayat : أسْجُدُوْا لأَِدَمَ  =Sujudlah kalian kepada Adam, beliau menjelaskan dengan أسْجُدُوْا جِهَّةَ اَدَمَ فَاجْعَلُوْهُ قِبْلَتَكُمْ  Sujudlah kalian kepada arah Adam, jadikahlah ia sebagai kiblat kalian.
Keterangan yang sama, juga diulas dalam buku tafsir al-Mishbah-nya Prof. M. Quraisyi Syihab. Sebagaimana ulasannya : “Bahkan tidak mustahil sujud yang diperintahkan Allah itu dalam arti sujud kepada Allah Swt, dengan menjadikan posisi Adam As ketika itu sebagai arah bersujud sebagaimana  Ka’bah di Mekah dewasa ini menjadi arah kaum muslimin sujud kepada-Nya”.[94]
Makna ulasan seperti diatas sejalan dengan makna sujudnya saudara Nabi Yusuf As kepada Nabi Yusuf As. Qs. Yusuf : 100  :
   وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى العَرْشِ وَخَرُّوْا لَهُ سُجَّدًا
Dan naiklah kedua orang tuanya, dan kemudian mereka tersungkur dengan bersujud kepada Yusuf.
            Dan, ketika syariat Islam datang, perbuatan sujud ini dibatalkan dan diganti dengan bershalawat dan taslim yang semestinya kepada Rasulullah Saw. Firman Allah Swt, Qs. al-Ahzaab : 56 :  يَأَيُهَا الذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا : Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu semua kepadanya (Nabi) dan taslimlah kamu semua dengan taslim yang semestinya.


I.      Al-Ghauts Dan Jalan Kebenaran
3.                Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi terawal dan terakhir
Nabi Muhammad Saw sebagai nabi yang dicipta paling pertama dan yang diutus paling akhir. Allah Swt mengambil perjanjian kepada para nabi dan para rasul dengan Nabi Muhammad Saw, sebelum mereka diturunkan kedunia untuk memimpin ummatnya.
Hadid dari Irbadl bin Sariyah Ra, Rasulullah Saw bersabda : [95]
كُنْتُ أَوَّلُ النَبِيِّيْنَ فِي الخَلْقِ وَأخِرُهُمْ فِي البَعْثِ  
Aku adalah pertama-tamanya para nabi didalam makhluk, dan paling akhirnya mereka dalam pengutusan.
Pada masa azal, para nabi dan rasul As mengambil perjanjian kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana keterangan dalam Qs.  Ali Imran  : 81 : [96]
وَإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيْثَاقَ النَبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ ذَالِكَ إِصْرِي, قَالُوْا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُواوَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَاهِدِيْنَ
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian (pembaiatan-pen) dari para nabi. Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah. Kemudian datang kepadamu seorang rasul, yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman :”apakah kamu menerima perjanjian-Ku” ?. Mereka menjawab : “Kami mengakui”. Allah berfirman : (Kalau begitu) bersaksilah kamu semua (hai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.
Ayat diatas dijelaskan lagi dalam Qs. al-Ahzaab : 7 :
 وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبْيِّيْنَ مِيْثَاقَهُمْ
Dan, ketika Kami (Allah) mengambil perjanjian kepada para nabi.
Dalam memberikan ulasan kepada ayat ini,  al-Haafidz Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi (w. 544 H) dalam kitab as-Syifa’, dalam juz I bab I pada pasal 7, dengan menukil fatwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw : [97]
لَمْ يَبْعَثِ اللهُ نَبْيًّا مِنْ اَدَمَ وَمَنْ بَعْدَهُ إِلاَّ أَخَذَ عَلَيْهِ العَهْدَ فِي مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Allah tidak  mengutus seorang nabi, dari nabi Adam dan para nabi sesudahnya, kecuali Dia (Allah) mengambil perjanjian dengan Nabi Muhammad Saw.
Demikian pula, Syeh Yusuf an-Nabhani Ra juga menukil fatwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw dan sahabat Abdullah bin Abbas Ra, menjelaskan : [98]
لَمْ يَبْعَثِ اللهُ نَبِيًّا مِنْ آدَم وَمَنْ بَعْدَهُ إِلاَّ أَخَذَ عَلَيْهِ العَهْدَ فِي مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ
 بُعِثَ وَهُوَ حَيٌّ لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ وَلَيَنْصُرَنَّهُ.
Allah tidak mengutus para nabi dari Adam dan nabi sesudahnya, kecuali (Dia) mengambil perjanjian (baiat) kepada mereka dengan Nabi Muhammad Saw. Jika (Muhammad) diutus dan mereka hidup pada masanya (Muhammad), maka mereka akan iman dan menolongnya (Muhammad).
Dalam hadis lain dalam kitab al-Anwar al-Muhammadiyah-nya Syeh an-Nabhani Ra diterangkan :  Allah bersabda kepada para nabi-Nya : “Jika kamu semua iman kepada Muhammad, Aku akan menjadikanmu sebagai nabi”. Mereka menjawab : “Kami beriman kepada kenabiannya.  Allah bersabda : “Aku menyaksikan kepadamu semua”.
Hadis riwayat al-Haakim dari Abdullah bin Abbas Ra.  Ia berkata : [99]
أَوحَى اللهُ إِلَى عِيْسَى : آمِنْ بِمُحَمَّدٍ  وَمُرْ مَنْ أُدْرِكُهُ أَنْ يُؤْمِنُوا بِهِ  فَلَوْلاَ مُحَمَّدٌ مَاخَلَقْتُ آدَمُ وَلاَ النَارُ وَلاَ الجَنَّةُ.
Allah memberikan wahyu kepada Nabi Isa :Berimanlah kamu dengan Muhammad dan perintahkanlah kepada orang yang kamu temui agar mereka beriman kepadanya. Dan sekiranya tanpa Muhammad Aku tidak menciptakan Adam, neraka dan surga.
Karena pentingnya menemukan guru yang hatinya tidak pernah lupa kepada Allah Swt serta dapat menjelaskan tentang-Nya secara benar, Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah agar diberi petunjuk/ jalan untuk memperjuangkan ummat tentang pemahaman Guru Ruhani Yang Kamil, dengan doa rabiyhah (nida’ serta hubungan ruhani) kepada Syeh Kamil Mukammil, yang dapat mengantarkan untuk menemukannya.
يَأَيُّهَا الغَوْثُ سَـلاَمُ اللهِ   عَلَيْكَ رَبِّـنِي  بِإِذِنِ اللهِ
وَانْظُرْ إِلَيَّ سَيِّدِي بِنَظْرَةٍ    مُوصِلَةٍ لِلْحَـضْرَةِ العَيِيَّةِ
          Duhai Ghausuz Zaman, salam Allah (tercurahkan) kepadamu. Bimbinglah aku dengan izin Allah.            Pancarilah aku, duhai guruku, dengan sinar iman (mu) yang mengantarkan (aku) keharibaan Tuhan Yang Maha Tinggi.
Dan setelah doa ini diamalkan, beberapa orang mendapatkan pengalaman ruhani bertemu (melalui mimpi atau jaga) dengan Rasulullah Saw yang memberitahukan tangan nama dan pribadi seseorang yang Allah Swt menghendakinya sebagai al-Ghauts pada saat ini (baca, saat seseorang mengamalkan doa rabithah tersebut).

E.     Sallaab Jallaab

Ilmu nahwu/ sharaf, biologi, ushul fiqh, astronomi, secara tekstual tidak ada dalam al-Qur’aan. Namun, - menurut para ahlinya – ilmu tersebut telah tersirat dalam al-Qur’an. Begitu pula kata Jallab dan Sallaab, yang secara tekstual, tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Namun, keduanya telah mengisyaratkan adanya kemampuan makhluk yang dapat dikategorikan kepada sallab dan jallab.
Jallaab adalah kata yang berasal dari bahasa arab, serta sebagai kata jadian dari : جَلَبَ  menarik, membawa, mendatangkan. Dan kemudian kata  جَلاَّب memiliki arti : Penarik /pedagang/ yang mendatangkan. Sepert istilah yang sering kita dengar tentang doa atau usaha jalbur rizqi (doa/ atau usaha yang dapat menarik / mendatangkan rizqi). Dan sallaab sebagai kata jadian dari : سَلَبَ  (salaba) merampas, merampok, mencuriDan kemudian kata  سَلاَّب (salaab) memiliki arti perampas, pencabut, perampok, pencuri. Dengan kata lain,sallaab memiliki arti mencabutmengambil, mencuri atau makna lain yang sepadan; dan jalaab memiliki artimendatangkan, menambah, meningkatkan, menaikkan atau makna lain yang sepadan. Kata  جَلَبَ (jalaba) : mendapatkan ataumemperoleh, dan  جَلاَّب (jalaab)   dapat diartkan prang yang mendapatkan atau memperoleh. Seperti kata-kata : جَلَبَ لآِهْلِهِ  :mendapatkan nafkah untuk keluarganya.
Jallaab dan sallaab memiliki makna umum dan khusus. Makna umum dapat dimiliki oleh setiap makhluk. Misalnya, air dapat men-salaab (merampas) rasa haus, serta dapat men-jalaab (mendangkan) kesegaran tenggorokan atau tubuh, api dapat men-jalaab (mendatangkan, membuat) masakan menjadi masak, serta dapat men-salaab air (membuat air berubah menjadi uap). Jika, seseorang memahami kekuatan air atau api keluar dari diri air atau api (tanpa izin dari Allah Swt, tanpa didasari prinsip billah) itu sendiri, maka iman orang tersebut masih bercampur dengan paham syirik.  Sedangkan makna khusus hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang dikehendaki oleh Allah Swt, dan sangat berkaitan dengan sesuatu yang gaib, seperti kondisi ahwal [100] setiap salik atau keimanan seseorang. Misalnya, bila dalam lingkungan suatu kaum terdapat seorang Ulama atau Kiyai, maka iman masarakat akan meningkat, atau bila dalam lingkungan masarakat terdapat tempat maksiat, maka iman sebagian masarakat akan melorot. Jika dipahami dengan paham yang syirik, maka timbul kesimpulan bahwa iman manusia dapat naik atau turun bukan disebabkan oleh kekuasaan Allah Swt, namun oleh manusia lain atau oleh lingkungan.
Didalam kaidah Islam, tidak ada makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra) yang memiliki kekuatan untuk mendatangkan manfaat atau menolak kerugian tanpa izin Allah Swt. Jika makhluk dapat mendatangkan manfaat atau menolak kemadlaratan, baik untuk dirinya atau untuk yang lainnya, semata-mata hanya atas izin dan kehendak dari Allah Swt. Sebagaimana yang tercermin dalam
1.                Firman Allah Swt, Qs. al-A’raf : 108 :
       قُلْ لاَ أَمْلِكُ لنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرَّا إِلاَّ مَاشَاءَ اللهُ.
            Katakanlah (Muhammad) : Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatn dan menolak kemadlaratan untuk diriku, kecuali sesuatu yang telah dikehendaki oleh Allah.
2.                Firman Allah Swt, Qs.   :
ومَا النَصْرُ إِلاَّ مِنْ عِنْدِ اللهِ العَزِيْزِ الحَكِيْمِ
Tidak ada pertolongan kecuali dari sisi Allah Yang Maha Agung lagi Maha bijaksana.
3.                Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah :   :
مَنْ ذَا الذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tidak ada sesuatu (seseorang) dapat menolong disisi-Nya, kecuali atas izin-Nya.
Jallab dapat diartikan “sifat yang meningkatkan”, danSallaab sebagai “sifat mengurangi atau menghilangkan”. Kedua sifat ini secara umum, ada pada setiap mahluk Allah Swt. Hanya saja beda dalam manfaat dan obyeknya. Misalnya, air dapat mencabut (sallaab) rasa haus manusia, serta dapat meningkatkan (jallaab) bagi kesehatan dan kesegaran badan. Racun dapat mencabut nyawa manusia. Obat dapat mencabut (sallab) penyakit manusia serta dapat meningkatkan (jallab) kesehatan manusia. Begitu  pula mahluk lain. Semestinya seluruh kekuatan mahluk itu milik Allah Swt.
Kemampuan sallab jallab ini, tidak akan dapat dipahami oleh mukmin yang memiliki keimanan yang bercampur dengan paham syirik (menyekutukan kekuatan makhluk dengan kekuatan Allah).  Misalnya,  meyakini bahwa kemampuan tersebut semata-mata dari kekuatan al-Ghauts Ra sendiri. Jallab dan sallaabnya al-Ghauts Ra hanya dapat dipahami oleh orang yang imannnya tidak bercampur syirik, orang yang telah memahami ke-Maha Esa-an kekuatan dan kekuasaan Allah Swt dalam alam semesta (memiliki iman Wahidiyah).
Dalam bahasa sehari-hari, pada adat jawa terdapat istilahkuwalat (dengan orang tua atau kiyai) yang artinya sama dengan sallab, dan mendapat berkah sama arti dengan jallab.
Dengan demikian, salaab (mencabut, melorot, menurunkan - iman seseorang) dan jalaab merupakan karomah yang diberikan oleh Allah Swt kepada al-Ghauts Ra. Dan karomah tersebut bukan muncul dan keluar dari pribadi Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra semata. Rasulullah Saw, al-Ghauts Ra, para waliyullah, para ulama dan kiyai atau bahkan semua makhluk hanyalah tempat tajalli (penampakan) kekuasaan Allah Swt.   
Kedua sifat (jalaab dan salaab) ini, sebagai kesimpulan dari beberapa hadits yang berderajat shahih dan hasan, antara lain  :
1)              Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abi Bakrah Ra, Rasulullah Saw bersabda    : [101]
مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ  
Barangsiapa menghina Sultan, maka Allah  akan menghinakannya”
Yang dimaksud mengina sultan dalam hadis ini, kitab Dalil al-falihin juz III dijelaskan, hal-hal yang dapat dikatakan menghina antara lain :menganggap ringan perintahnya. Dan yang dimaksud Allah akan menghinakannya, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
Hadis ini mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah wabil khusus sulthanul auliya.
2)              Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Ra , Rasulullah Saw  bersabda   : 
اِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا, فَقَدْ اَذَ نْتُهُ بِالحَرْبِ  
Sesungguhnya Allah Swt berfirman : Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku  menyatakan perang kepadanya.
Hadis ini juga mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah, dan wabil khusus sulthanul auliya.
3)              Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih Muslim Kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah"),  Rasulullah Saw bersabda :
 مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir)  jahiliyah. 
Hadis ini mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah wabil khusus sulthanul auliya. Sebab keluar dari jamaah sulthanul auliya, menyebabkan mati seperti matinya orang kafir jahiliyah. Artinya, iman akan tercabut (sallab).
4)              HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw, bersabda  :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاع اللهَ وَمَنْ عَصانِي فَقَدْ عَصَى اللهُ وَمَنْأَطَاع أَمِيْرِي فَقَدْ أطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْري فَقَدْ عَصَانِي
Barang siapa taat kepada-Ku (Rasulullah), berarti ia taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada-Ku,  berarti ia durhaka kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada Amir-Ku, berarti taat kepad-Ku, dan barang siapa yang durhaka kepada Amir-Ku, berarti ia durhaka kepada-Ku
Apabila kata “amir” dimaknai dengan ulama, waliyullah atau sulthanul auliya’, maka hadis ini mengisyaratkan adanya sifat sallab dan jallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah, dan wabil khusus sulthanul auliya.
 Makna kata sulthan yang berkaitan dengan iman dan Islam, para ulama kaum sufi tidak memaknainya dengan sulthanul balad (pimpinan pemerintahan) Pendapat ini didasarkan kepada :
Hadis riwayat Tirmidzi dan Nasai, Rasulullah Saw :
وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُلْطَانِ قُرْبًا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا
Tidaklah seseorang semakin bertambah dekat hubugannya dengan penguasa, melainkan dia semakin jauh dari Allah. [102]
Dan hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud, Rasulullah Saw :
مَنْ أَتَى أَبْوَابَ السَلاَطِيْنَ أُفْتُتِنَ
Barang siapa mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia akan mendapat ujian.
          Kedua hadis ini, menujukkan sultan, selain sulthanul auliya, bukan tempat tajalli Allah Swt.
5)              Hadis riwayat Muslim (dalam Shahih, bab ‘iyadatu maridl”) Rasulullah Saw bersabda : Allah berfirman :
إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ لاِبْنِ أَدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ : يَا بْنَ أَدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي, قَالَ يَارَبِّ كَيْفَ عَدْتُ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ : أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا قَدْ مَرِضَ وَإِنْ عَدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِيْنِي قَالَ: يَارَبِّ سَقَيْتُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَسْقَاكَ وَإِنْ سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَطعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي, قَالَ : يَارَبِّ كَيْفَ اُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ, قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَطْعَمَكَ وَإِنْ اَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ.
Sesungguhnya Allah pada hari kiamat bersabda : Hai anak Adam, Aku sakit, mengapa kamu tidak membesuk-Ku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku membesuk-Mu, sedangkan Paduka adalah Penguasa alam?.Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama (fulan/ .....) sedang sakit. Jika kamu membesuknya, niscaya kamu akan menemukan AKU disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu, dan mengapa kamu tidak mau memberi minum Aku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi minum Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?.Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba bernama Fulan, saat itu sedang haus dan mengharapkan minuman dari kamu. Jika kamu memberinya minum, niscaya kamu menemukan Aku disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu,  mengapa kamu tidak memberi-Ku makan. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi makan Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama Fulan saat itu sedang meminta makan kamu. Jika kamu memberinya makan, niscaya kamu akan menemukan Aku disisinya.

6)              Hadis riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda  : [103]
   إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah.
7)             Hadis yang sepadan arti, Rasulullah Saw bersabd : [104]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Hadis riwayat Muslim (5), Thabrani (6) dan Ahmad (7) diatas dengan jelas, menjelaskan adanya sifat jallab yang dimiliki oleh para guru ruhani, waliyullah dan khususnya al-Ghauts Ra.

8)              Imam Abul Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata :makna shirathul mustaqim, dalam surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[105]
Kaum sufi, didukung oleh beberapa hadits dan  al-Qur’an, menerangkan bahwa yang dimaksud  “amir” atau “sulthan” dalam hadits diatas, adalah waliyullah yang berpangkat al-Ghauts Ra.  Dan dengan kata lain, hadits diatas dapat diterjemahkan dengan :
Taat kepada Al-Ghauts Ra,  berarti taat kepada Rasulullah Saw,  yang sekaligus taat kepada Allah Swt. Dan, durhaka kepada Al-Ghauts Ra, berarti durhaka kepada Rasulullah SAW yang sekaligus durhaka kepada Allah Swt.Ketaatan mukmin akan mendatangkan peningkatan iman dan kesadaran kepada Allah Swt. Dan kedurhakaan kepada Beliau Ra, akan menjadikan turunnya iman dan makrifat seseorang”.
Syeh Muhammad Wafa (w. 801 H), Guru Agung Pemandu kaum sufi pada zamannya, menyimpulkan makna hadits diatas sebagai berikut :
قلْبُ العَارِفِ حضْرَةُ اللهِ فمَنْ تقَرَّ بَ اِلَيْهِ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتحَتِ لَهُ أَبْوَابُ الحَضْرَةِ
Hati orang arif (apalagi Amirul Arifin/ al-Ghauts RِِِِA) itu, hadrah (lambang kehadiran) Allah. Barang siapa mendekat kepadanya dengan cara pendekatan yang semestinya, maka akan terbukalah baginya pintu-pintu kehadiran (Allah)”.
Dalam kitab ‘Awarif al-Ma’arif -nya al-Ghauts fii Zamanihi Syekh Syihabuddin Suhrawardi Ra, dalam bab ke 10), diterangkan  :
َ          الشَّيْخُ يُعْطِي بِاللهِ وَيمْنَعَُ بِاللهِ. بَلْ هُوَ مَعَ مُرَادِ الحَقِّ وَالحَقُّ يَعْرِفُهُ مُرَادَهُ فَيَكُوْنُ فِي الاَشْيَاءِ بِمُرَادِ اللهِ تَعَالَى لاَبِمُرَادِ نَفْسِهِ.
Syekh (al-Ghauts Ra), memberi atas kehendak Allah, dan menolak atas kehendak Allah. Bahkan dia bersama kehendak Allah. Dan Allah mengetahui segala kehendaknya. Maka kehendak Syekh dalam segala sesuatu dengan kehendak Allah Swt, dan bukan dengan kehendaknya sendiri.

Jallab dan sallab yang dimiliki makhluk.
b.        Sallab Malikat Izrail As.
Sebagaimana diketahui, setiap kematian, pencabut (sallab) nyawa adalah malikat Izrail As. Namun secara hakiki yang mematikan dan yang menghidupkan makhluk hanyalah Allah Swt semata.
c.        Jallab Malikat Mikail As.
Sebagaimana yang telah diketahui, pembagi (jalab) serta pengambil (salab) rizki, baik rizki lahir atau batin, setiap makhluk, secara hakiki hanyalah Allah Swt, sedangkan secara lahiriyah atau syriat adalah malikat Mikail As.
d.        Jallab Malikat Jibril As.
Dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas Ibn Malik  dijelaskan, ketika menjelang keberangkatan Rasulullah Saw melaksanakan mi’raj ke langit, malaikat Jibril atas perintah Allah Swt, meningkatkan (jalaab) iman Rasulullah Saw. Sebagaimanaketerangan dalam sabda Rasulullah Saw  :
فُرِجَ عَنْ سَقْفِ بَيْتِي فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَرَجَ صَدْرِي ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ جَاء بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مُمْتَلِئٍ حِكْمَةً وَإِيْمَانًا فَأَفْرَغَهُ فِي صَدْرِي ثُمَّ أَطْبَقَهُ
Atap rumah-Ku terbuka, saat itu Aku berada di Makkah. Jibril turun dan membelah dada-Ku. Kemudian mencucinya dengan air zamzam. Kemudian didatangkan satu bejana yang terbuat dari emas, yang berisi hikmah dan iman. Lalu (iman dan hikmah) jibril menuangkannya kedalam dada-Ku, kemudian (dada-Ku) jibril menutupnya kembali.
Perbuatan Jibril As “menuangkan”  iman dan hikmah kedalam dada Rasulullah Saw, dapat dikatakan perbuatanJalllab, yang secara lahiriyah dilakukan oleh mahluk (Jibril As). 
e.        Jalaabnya ayat-ayat al-Qur’an.
Firman Allah Swt, Qs. al-Anfal : 2 – 4 :
إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ إِذَا ذُكِرَاللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَليْهِمْ أَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman,ketika nama Allah disebut, bergetar hatinya, dan ketika dibacakan ayat-ayat Tuhan bertambah imannya, serta kepada Tuhannya mereka berserah diri.  
Secara lahirinya, ayat-ayat Allah memiliki kemampuan jallabul iman(meningkat iman), namun secara hakiki yang meningkatkan iman, hanyalah Allah Swt semata.
f.         Setan/ Iblis dapat menghilangkan (sallab) iman
Firman Allah Swt (Qs. Az-Zukhruf : 36 – 37) :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan barang siapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan menghalangi mereka dari jalan kebenaran serta mereka (manusia) akan mengira sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah .
Ayat ini jika salah memahaminya, akan menyimpulkan bahwa pencabut iman bagi orang berkawan dengan iblis, adalah iblis dan bukan Allah Swt. Namun secara hakiki, pencabut dan pemberi iman, hanyalah Allah Swt semata.


g.        Sallab Jallab Rasulullah Saw.
Sahabat Dzul Khuwairitsah at-Tamimi memiliki keturunan yang merugikan Islam, setelah menyakiti hati Rasulullah Saw serta mendapat efek dari sallab jallab.
Sepulang dari perang thaif dan hunain, kaum muslimin mendapat ghanimah yang banyak . Rasulullah Saw membaginya kepada para sahabat. Masing-masing mendapatkan sesuai kadar pengabdian dan jasa yang mereka berikan. Namun dalam pandangan al-Khuwairitsah, terdapat keputusan kurang adil, yakni kepada Abu Sufan yang baru masuk Islam, mandapatkan bagian lebih besar bila dibandingkan  bagian Abu Bakar dan Umar, yang notabene masuknya Islam lebih dahulu. Kepada Rasulullah Saw al-Khuwasirah berkata : Wahai Muhammad, berbuat adillah kamu. Beliau Saw menjawab : Wahai, khuwairitsah : Mana mungkin manusia akan berbuat adil, jika aku tidak berbuat adil.
Umar bin Khatthab ketika melihat kejadian ini, berdiri serta berkata : Wahai Rasulullah Saw, biar kupenggal leher orang itu. Beliau Saw bersabda :  Biarkan orang itu.
Mendengan ucapan Umar, Dzul Khuwasirah pergi meninggalkan ruang persidangan. Kemudian Rasulullah Saw bersabda : Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam seperti keluarnya anak panah yang menembus binatang buruan. Mereka memerang orang Islam serta membiarkan kaum penyembah berhala. Jika aku menemui mereka niscaya kepenggal lehernya, seperti halnya kauj Ad(HR. Muslim). [106]
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim juga, Rasulullah Saw bersabda :  Mereka itu sejelek-jelek makhluk, bahkan sejelek-jelek binatang. Mereka tidak termasuk golongan-Ku, dan Aku tidak termasuk golongan mereka.
Lahirnya keturunan buruk dari Dzul Khuwaisirah, secara hakiki disebabkan dari sallab jallabnya Allah Swt semata, yang dipancarkan melalui Rasulullah Saw.
h.        Sallab Jallab para Waliyullah Ra :
Sebelum Wali Songo memperjuangkan Islam di Indonesia, masarakat tidak memiliki keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Dan setelah mereka berjuang di Indonesia dan khususnya tanah Jawa, masarakat hatinya memiliki keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Iman masarakat dapat dikatakan sebagai Jallab dari para waliyullah tersebut.
Hadis riwayat Thabrani, Rasulullah Saw bersabda :
لاَيَزَالُ أَرْبَعُوْنَ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي قُلُوْبُهُمْ عَلَى قَلْبِ إِبْرَاهِيْمَ يَدْفَعُ اللهُ بِهِمْ عَنْ أَهْلِ الأَرْضِ يُقَالُ لَهُمْ الأَبْدَالُ, إِنَّهُمْ لَمْ يُدْرِكُوْهَا بِصَلاَةٍ وَلاَ بِصَوْمٍ وَلاَ بِصَدَقَةٍ, قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللهِ فَبِمَ أَدْرَكُوْهَا ؟. قَالَ : بِالسَخَاءِ وَالنَصِيْحَةِ لِلْمُسْلِمِيْنَ.
 Tidak sepi ….
Syeh Sya,rani menjelaskan bahwa Ibnu Makhalla  salah satu diantara beberapa al-Ghauts Ra yang buta huruf. Diantara fatwa Syeh Ibnu Makhala  :
لِلْوَلِيِّ نُورَانِ نٌُورُ عَطْفٍ وَرَحْمَةٍ يَجْذِبُ بِهِ أَهْلَ العِنَايَةِ وَنُورُ قَبْضٍ وَعِزَّةٍ وَقَهْرٍ يَدْفَعُ بِهِ أَهْلَ البُعْدِ وَالغَوَايَةِ
Setiap Wali memiliki  dua cahaya batin : (1) nur yang bersifat menarik dan kasih, dengan nur ini tertariklah orang-orang yang mendapat pertolongan (Allah wa Rasulihi Saw), (2) nur yang bersifat genggaman, peninggian dan pemaksaan, dimana dengan nur wali  ini tertolaklah orang-orang yang yang jauh dan tersesat (dari Allah wa Rasulihi Saw).[107]

Al-Ghautts Radan para waliyullah menjaga (dengan doa dan sirri batiniyah) kelestarian alam semesta.
Telah banyak hadits shahih yang menjelaskan tugas ini. Antara lain hadits riwayat Imam Ahmad, Thabrani  dan Abu Nuaim dari ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُون
 Tidak sepi dalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, manusia diberi hujan, dan manusia tertolong. [108]
Demikian pula dalam keyakinan setiap pengamal tarekat (apapun jenisnya), misalnya tarekat “Qadiriyah” meyakini Syeh Abdul Qadir memiliki karomah Sallaab dan Jallab. Sebagaimana yang disamapiakan oleh Syeh Abdul Qadir berkata  :
 أَنَاَ سَلاَّبُ الاَحْواَلِ
Aku adalah pencabut kondisi batiniyah seseorang.
(Kitab Lujain ad-Daani, bab “fatwa dan karamah”).
Dalam kitab al-Fatawi al-Haditsiyah, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, menerangkan : Syeh Ibnu as-Saqaa, menjadi murtad setelah menyakiti hati dan suul adab kepada al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Ya’kub Yusuf al-Hamadzani Ra (guru al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul al-Jailani Ra).

i.             Sallab Jallab para Ulama.
Setiap daerah yang ditempati oleh seorang ulama, sudah tentu iman dan ketekunan ibadah masarakat akan meningkat. Ini dapat dikatakan sebagai karomah Jallab yang dimiliki oleh setiap ulama.
Demikian uraian dalam makalah ini. Dan makalah inipun kami akhiri. Semoga dapat menambah motifasi yang positif kepada kita semua dalam berkhidmah kepada Perjuangan Wahidiyah, dan khususunya kepada Beliau Kenjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Kota Kediri Jawa Timur, sebagai Guru Ruhani kita semua.


Al-Fatihah                                                    x  1
Yaa Ayyuhal Ghautsu Salamullah               x  3
Yaa Sayyidi Yaa Ayyuhal Ghauts               x  7
Al-Fatihah                                                    x  1






[1].     Kata-kata dalam al-Qur’an yang sepadan dengan makna al-Ghauts Ra  :

a.           Khalifah/  خَلِيْفَةً  =:  Firman Allah   قال رَبُّكَ لِلْمَلاَ ئِكَةِ اِنِّي جَاعِلٌ فِي الاَرْضِ خَلِيْفَةً Tuhanmu bersabda kepada malaikat : Sesungguhnya Aku menjadikan khalifah (wakil Tuhan) dibumi). Qs.al-baqarah/ 30.

Yang dimaksud khalifah, Imam Shawi dalam kitab tafsir Shawi menerangkan :

    وَاَمَّا بِاعْتِبَارِعَالَمِ الاَجْسَادِ فَهُوَ اَبُوالْبَشَرِ اَدَمُ عَلَيْهِ السَلاَمُ وَاَمَّا بِاعْتِبَارِ عَالَمِ الاَرْوَاحِ فَهُوَ مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم   

Apabila dipandang dari sudut jasmani, khalifah pertama adalah bapak manusia yaitu Nabi Adam As, jika dipandang dari sudut ruhani adalah Nabi Muhammad Saw.

Dan dalam Qs. as-Shaad/ 26 : إناَّ جَعَلْنَأكَ خَلِيْفَةً فِي الاَرْضِ فَاحْكُمْ بِالعَدْلِ وَلاَ تَتَّبِعْ الهَوَى    :  Aku telah menjadikan engkau (Daud) sebagai khalifah dibumi, maka putuskanlah dengan adil dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu.

b.    Ulil Amri,  Qs. al-Maidah/ 35   أطِيْعُوا الله وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الآمْرِ مِنْكُمْ   Taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan Ulil amri.

c.     Imam /إِمَام  (pimpinan) Qs. al-Furqan/ 74 :   وَاحْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا :  Dan jadikanlah kami sebagai imam orang yang bertaqwa.Dan Qs. al-baqarah : 124).

 قَالَ اِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَالِمِيْن  : Tuhan bersabda (kepada Nabi Ibrahim As) : Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai Imam bagi manusia. Ia menjawab : dan dari keturunanku. Tuhan bersabda : Tidak akan memperoleh perjanjian-Ku (khalifah, imam), orang yang dlalim.

[2].     Sedangkan  dalam hadis kata  yang sepadan arti dengan makna al-Ghauts, antara lain   :

a.     Kata  khair / خَيْر  :, Rasulullah Saw bersabda   : إِنَّ خَيْرَالتَابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَاُلُ لَهُ اُوَيْسٌ  :   Sebaik-baiknya para tabi’in adalah lelaki yang disebut Uwais (HR. Imam Muslim, dari Umar Ibn Khatthab Ra).  

b.      Kata Aimmah  الائمةRasulullah Saw bersabda  إِنَّكُمْ اَيُّهَا الرَهْطُ أَئِمَّةٌ يَقْتَدِي بِكُمْ  Sesungguhnya kamu semua, wahai sekelompok manusia, terdapat imam yang senantiasa mengikuti kamu semua.(HR. Imam Malik/ kitab al-Muwattha’).

c.      Kata Wahid/ وَاحِد , Rasulullah Saw bersabda :

إِنَّ فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثُمِائَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ ءَادَمَ, ولله فِيِ الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ  مُوسَى, ولله سَبْعَةٌ فِيِ الخَلْقِ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ  إِبْرَاهِيْمَ, ولله فِيِ الخَلْقِ خَمْسَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ جِبْرِيْلَ, ولله فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مِيكَائِيْلَ, وَلله فِي الخَلْقِ- وَاحِدٌ - قَلْبُهُ عَلَى قَلْبِ اِسْرَا فِيْل, فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ ......, , فَبِهِمْ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَيَمْطُرُ وَيُنْبِتُ وَيُدْفَعُ البَلاَءِ.
   (Lengkapnya hadis ini beserta terjemahnya, dapat dilihat dalam makalah ini juga dalam ulasan tentang keberadaan “al-Ghauts Ra secara jasmani dan ruhani” pada makalah ini juga).                 
d.     Kata Malik مَلِك  :    زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي  : Dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku (HR. Imam Bukhari).
e.    Kata “maqaam”. Kata ini merupakan kata jadian dari aqaama (menduduki). Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar as-Shiddiq Ra :  
 إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا فَقَبَضَهُ رَزَقَهُ اللهُ مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ   :  Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika memberi rizki kepada seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam baka, maka rizki tersebut akan diberikan kepada seseorang yamg menduduki jababatannya sesudahnya. (HR. Imam Ahmad).
[3].    Kitab  Jami’ Karamah al-Auliya’  Syeh An-Nabhani, dalam juz I, pasal pertama.
[4].     Kitab Jami’ Karamah al-Auliya, Syeh Yusuf Ismail An-Nabhani, juz I halaman 23,
[5].     Kitab Jami’ al-Ushul fil Auliya’nya  Syeh kamasykhanawi dalam bab muqaddimah.
[6].    Lihat kitab Jami’ karamah al-Auliya’  nya Syeh an-Nabhani  juz I, dalam bab “
[7].     Kitab Taqriib al-Ushuul, karya Syeh Ahmad bin Zaini Dahlan pada ulasan qaul Imam Syadzali Ra, dan kitab al-Yawaqit wal Jawahir nya Syeh Abdullah Sya’rani, juz II dalam bab as-Syadzali., atau kitab Tahrir ad-Duraar-nya KH. Mishbah Zain al-Mushthafa, Bangilan – Tuban – Jawa Timur dalam kisah Imam as-Syadzali”
[8].     Kitab al-Hawi lil fatawi, juz II dalam bahasan ke 69. Dan dalam kitab Syawahid al-Haq nya Syeh Yusuf an-Nabhani dalam pambahasan waliyulla dan al-Ghauts Ra.
[9].     Demikian pendapat David Hume (filusuf kenamaan yang almarhum pada 1776 M), dalam buku Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis, karya Dr. Muhammad Muslehauddin, terbitan PT. Tiara Wacana Yogya, dalam bab 3 pada ulasan Kehancuran Hukum Alam.
[10].    Hadis tersebut tertulis dalam :
1.      Kitab Misykat al-Anwar-nya Imam al-Ghazali.
2.      kitab Awarif al-Ma’arif-nya al-Gahuts fii Zanihi Imam Suhrawardi pada bab 62, atau buku Tafsir Ayat Cahaya, penerbit Pustaka Progresif, Surabaya cet. tahun 1998 M, pada halaman : 33.
3.      Kitab Quut al-Quluub-nya Syeh Abu Thalib al-Makky (w. 386 H) pada ulasan perbedaan ulama dunia dan akhirat.
[11].    Kitab Syamail al-Muhammadiyah-nya Imam Tirmidzi dalam bab ke 55.
[12].    Hadis masyhur yang diriwayatkan para jamaah ahli hadis.
[13]     Dari Abdullah Ibn Amr yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Sunan, nh : 523),  Nasai (Amalul Yaum wal Lailah, nh : 45), Tirmidzi (Sunan, nh : 3614), Muslim (Shahih, nh : 384).  Jala’ al-Afhaam, nh : 104.
[14].    Kitab Jami’ as-Shagir  juz I dalam bab “alif”. Dan dalam hadis lain (Jala’ al-Afhadalam pasal “tempat shalawat ke 24”), Rasulullah Saw bersabda : صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَارَةٌ لَكُمْ Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku, merupakan penebus dosa bagi kamu semua (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dari Anas Ibn Malik Ra). Dan hadis : صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ زَكَاةٌ لَكُمْ :Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku, merupakan pembersih dosa bagi kamu semua (HR. Ibnu Abi Syaibah, dari Abu Hurairah Ra).
[15].    Kitab Khazinatul Asraar, Syeh Muhammad Haqqi an-Nazili dalam bab “shalawat”.
[16].    Kitab  kitab Jalaul Afhaam-nya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, nh : 24, HR. Ibnu Abi ‘Ashim.
[17].    Ibid, riwayat jamaah ahli hadis (para pemilik kita Shahihsunan dan musnad).
[18].    Kitab Afdlalus Shalawat-nya Syeh an-Nabhani Ra, dalam pasal I pada faidah 2. Dalam kitab ini juga diterangkan bahwa Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra adalah al-Ghauts yang ummy (tidak dapat membaca dan menulis).
[19].    Kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam bab III. Dan dalam kitab Tafsir Shawi pada penjelasan ayat 56 surat al-Ahzab juga dijelaskan :
       فَقَدْ وُسِعَتْ رَحْمَةُ النَبِيِّ كُلَّ شَيْئٍ تَبْعًا لِرَحْمَةِ اللهِ فَصَارَ بِذَالِكَ مَهْبَطَ الرَحْمَاتِ وَمَنْبَعَ التَجَلِّيَاتِ.
          Telah diluaskan rahmat Nabi (Saw) kepada segala sesuatu, karena mengikuti rahmat Allah. Maka, (Beliau Saw) sebagai tempat turunnya rahmat dan tempat memancarnya tajalli (Nya).            
[20].    Hadis riwayat Abu Nuaim dari sahabat Ibnu Abbas. Lihat kitab Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul-nya Imam Jalaluddin Suyuthi, dalam penjelasan turunnya surat Yasin ayat 1 – 10.
[21].    Kitab Dalail an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi, juz I pada ulasan pertama.
[22].    Kitab Lubab an-Nuquul fii Asbab an-Nuzuul-nya Imam Suyuthi Ra.       
[23].    Kitab Jami’ Karamah al-Auliya, Syeh An-Nabhani, percet. Darul fikri tahun 1993,  jilid I hlm 16-17.
[24].    Kitab Jalaul Afhaam-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah pasa ulasan tempat shalawat bagian ketika menyebut atau ingat nama Rasulullah Saw.
[25].    Ibid, Jalaul Afham.
[26].    Kitab Thabaqatus Syafi’iyah nya Syeh Tajuddin as-Subkhi. Atau dalam buku “Fiqh Klenik” yang diterbitkan oleh Ponpes Lirboyo Kota Kediri.
[27].    Kitab Sa’adah ad-Darain Syeh an-Nabhani Ra dalam bab rukyatus shalihin
[28].    Kitab Risyalah al-Qusyairiyah nya Syeh Abul Qasim al-Qusyiri (al-Ghauts Ra fi zamanihi), dalam bagian sejarah. Atau kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi juz II, dalam bahasan 69. Atau kitab  al-Yawaqit wal Jawahir nya Syeh Abdullah as-Sya’rani, juz Idalam muqaddimah.
[29].    Kitab al-Insan al-Kaamil fii Makrifah al-Awail wal Awakhir.
[30].    Kitab Saadatud Daraini-Nya Syeh Yusuf an-Nabhani pada halaman  422, dan kitab al-Hawi lil Fatawi-nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi Ra, juz II dalam babtasawuf.
[31].    Syeh Al-Arif Billah wa Ahkamillah Ra, Beliau Hadlratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo dalam suatu fatwa amanat-Nya menjelaskan :Seorang Waliyullah belum tentu al-Arif, tetapi  al-Arif  itu pasti Waliyullah.
[32].   Lihat kitab  Jami’u Karamatil Auliya’ oleh Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani, percetakan  Darul Fikri, Bairut Libanon, tahun 1414 H/  1993 M, juz I halaman 23.
[33].   Didalam kitab Kifayah al-Atqiya hlmn 9, diterangkan bahwa makna lillahdan billah adalah terpadunya antara syari’ah dan hakikahفَالشَرِيْعَةُ وُجُوْدُ الاَفْعَالِ للهِ وَالحَقِيْقَةُ شُهُوْدُالاَفْعَالِ بِاللهِ :  Syariah adalah wujudnya perbuatan yang disertai niat lillah, dan hakikat adalah perasaan menyadari bahwa  wujudnya semua perbuatan lahir dan batin mahluk itu, atas titah Allah .
Imam Sya’rani dalam kitabnya  ‘al-Yawaqit wal Jawahir,  juz  I  halaman  26  juga menjelaskan :
  اِعْلَمْ أَنَّ عَيْنَ الشَرِيْعَةِ هِيَ عَيْنُ الحَقِيْقَةِ, اِذْ الشَرِيْعَةُ لَهَا دَائِرَتَانِ عُلْيَا وَسُفْلَى, فَالعُلْيَا لاَهْلِ الكَشْفِ وَالسُفْلَى ِلاَهْلِ الفِكْرِ فَلَمَا فَتَشَ اَهْلُ الفِكْرِ عَلَى مَا قَاَلُهُ اَهْلُ الكَشْفِ فَلَمْ يَجِدُوهُ فِي دَائِرَةِ فِكْرِهِمْ قَالُوا هَذَا خَارِجٌ عَنِ الشَرِيْعَةِ  فَاَهْلُ الفِكْرِ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الكَشْفِ وَاَهْلُ الكَشْفِ لاَ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الفِكْرِ. فَمَنْ كَانَ ذَا كَشْفٍ وَذَا فِكْرٍ فَهُوَ حَكِيْمُ الزَمَانِ       
Ketahuilah bahwa kenyataan syari’ah adalah hakikat juga. Karena Islam itu memiliki dua sisi. Sisi atas (metafisik) dan sisi bawah (fisik). Sisi atas untuk para ahli kassyaf, sedangkan sisi bawah untuk para ahli pikir.  Jika para ahli pikir memahami tentang sesuatu yang dikatakan oleh para ahli kassyaf, sedang akal fikiran mereka tidak menjangkau maka mereka mengatakan bahwa kesimpulan para ahli kassyaf itu telah keluar dari syariat Islam. Dan mereka (ahli pikir) sering mengingkari sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh para ahli kassyaf. Namun para ahli kassyaf tidak pernah mengingkari sesuatu yang datang dari para ahli pikir. Barang siapa menguasai dan memahami syariah dari kassyaf dan pikir, dialah  Hakimuz  Zaman (al-Ghauts Ra).
[34].  Radaksi kalimat ini juga terdapat dalam kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin Suytuthi, juz II, dalam “kitabul ba’tsi” bahasan ke 70.
[35].   Rasulullah Saw bersabda :  لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَاسِ أَجْمَعِيْن Belum sempurna iman kamu semua, sehingga AKU (Rasulullah) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh menusia.  Lihat kitab Jawaahir al-Bukhaari -nya Mushthafa Muhammad, hadis nomer: 11, kitab Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari.
[36].   Lihat kitab Muhtashar Ihya’ ‘Ulum ad-Din bab II aqidah dan kitab Qawaid al-‘Aqa’id nya al-Ghazali.
[37].   Kitab Jami’ al-Ushul-nya Syeh Kamasykhanawi, dalam bab "bayan al-umum wa al-khusus”.
[38].    Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.
[39].    Lihat juga kitab al-Yawaqit wa alJawahir, juz  II/ 80.
[40].    HR. Muslim (Shahih dalam bab‘Iyadatul Maridl).
[41].    Firman Allah yang sepadan arti juga tedapat dalam Qs : 2/129 dan 151, Qs : 62/2
[42].      Hadis riwayat Imam Bukhari (Shahih Bukahri, nomer hadis : 2896), Imam Tirmidzi (Syamaail al-Muhammadiyah bab 51, hadis nomer hadis : 306, dan Sunan Timidzi, nomer hadis: 2842, Imam Malik (al-Muwaththa’hadis terakhir), Muslim (Shahim Muslim, nomer hadis : 2354). dan KitabJala’ al-Afham,  bab asma Nabi Saw, kitab As-Syifa bab “asma rasul”, kitab Dalil al-Falihin  bab “asma Rasulullah”, dan  kitab Siraj al-Munir  II/18.
[43].      Dalam kitab Lubab an-Nuqul-nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi diterangkan bahwa ayat ini diturunkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang merasa hatinya sudah bersih, tanpa melalui Rasulullah Saw .
[44].      Hadis riwayat ad-Dailami dalam kitab Musnad al-Firdaus.  
[45].      Hadis riwayat : 1. Al-Hakim dalam al-Mustadrak,  2. Imam Baihaqi dalam Dalaa-ilun Nubuwwah, 3. Imam Thabrani dalam kitabnya al-Ausath, 4. Abu Nuaim al-Isfahani dalam kitabnya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah al-ashfiya’, 4. Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya Tarikh Damsyiq, 5. Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Lailil Masnunah,  6. An-Nabhani dalam kitab Syawahid Al Haq Fii al-Istighatsah Bisayyid al-Khalqi wal Basyar Saw, Syeh Abul Fadlol ‘Iyad dalam kitab As Syifa’Bita’rifi Huquq al-Musthafa.
[46].      Hadis riwayat Hakim dan Bazzar dari sahabat Anas, kitab Siraj al-Munir Syarh al-Jami’ as-Shaghiir-nya Syeh ‘Ali Ibn Ahmad al-Azizi (darul fikri, Beirut-Libanon : I/ 517).
[47].      Dalam kitab Siraj al-Munirr, juz I, halaman 517.
[48].      Hadis riwayat Thabrani dalm kitab nya Al-Kabiir, dalam kitab Siraj al-Munir,juz I, halaman 517, dan dalam juz II/ 61, memberi penjelasan makna ulama dalam hadis ini, sebagai berikut  :
    هُمْ الوَاسِطَةُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ لآَنَّ الوَاسِطَ الآَصْلِيَ هُوَالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ وَرَثَتُهُ
Merekalah perantara antara kamu semua dan antara Tuhanmu. Sesungguhnya perantara yang asli adalah Nabi Saw, mereka itu merupakan waris-Nya.
[49].    Kitab Tanwir al-Qulub nya Syeh Muhammad Amin al-Kurdi  (Beirut, “dar al-fikri” cetakan tahun 1414 H) halaman : 410.
[50].    Lihat kitab Dalil al-Falihin  juz III, bab  ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer  : 10.
[51].    Tentang ulasan tentang hadis kenegatifan sultan selain sulthanul auliya, silahkan lihat dalam kitab Minhajul Qashdin-nya Ibnu Qudamah pada bab “bergaul dengan penguasa yang dlalim”
[52].   Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya al-Ghunyah juz II dalam “kitab adabul muridin” pasal II menjelaskan :
       مَحْمُولُ القُدَرِ كُرَّةُ المَشِيْئَةِ, منْبَعُ العُلُومِ وَالحِكَمِ, بَيْتُ الأَمْنِ وَالفَوْزِ, كَهْفُ الأَوْلِيَاءِ وَالأبْدَالِ, مَنْظَرُ الرَبِّ 
(Sufi Sempurna) adalah tempat menyimpan qadar, dan bola (bergulirnya) kehendak, memancarnya ilmu dan hikmah, rumah kemanan dan kemulyaan, guanya para wali dan abdal, dan tempat pancaran cahya cinta Tuhan.
[53].   HR. Abu Nuaim al-Isfahani dalkam kitab al-Hilyah, dan Imam Abul Yaman Ibn Asakir dalam kitab Tarikh Madinah Damsyiq  juz I pada bab “maa ja,a anna bis-syaam yakuunu al-abdaal” dari sahabat Ibnu Mas’ud
[54].   Keterangan yang sepadan juga terdapat dalam kitab Sa’adah ad-Daraini,  Syawahid al-Haq, (Syeh Ismail an-Nabhani Ra), al-Insan al-Kamil, (Syeh Abdul Karim al-Jilliy Ra), Kitab at-Ta’rifat (Syeh Ali Al-Jurjani Ra), Jami’ul Ushul fil Auliya’  (Syeh Ahmad Al-Kamasykhanawi Ra), al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilli.
[55].    Lihat kitab Misykatul Anwar-nya al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Ghazali Ra, dalam pasal kedua. Atau buku Insan Kamil Dalam Islam-nya M. Dawam Raharjo. Atau buku Manusia sempurna, Pandangan Islan Tentang Hakikat Manusia, Murtadha Muthahhari, penerbit Lentera tahun 2001, hal 9–17. Dan buku Manusia Citra Ilahi Oleh Dr. Yusnaril Ali, penerbit Paramadina Jakarta, tahun 1997 halaman 111–128. Dan kitab Kimya’us  Sa’adah nya al-Ghazaliy. Dan juga dalam bukuTasawuf antara agama dan filsatfat, Dr Ibrahim Hilal. Lihat juga dalam kitabJami’ul Ushul Fil ‘Auliya’ ,  hlm  110 – 111.
[56].    Lihat Majmuah Rasail lil Ghazali (cet. I/ tahun 1416. Darul Fikri, Bairut, Libanuon, halaman 283).
[57].    Dalam kitab Sunan ad-Darimi,  juz I  nomer hadis/ atsar :  359).
[58].    kitab Insanul Kamil juz II bab 45, dan dalam kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Nabhani dalam bab IX  tentang “ru’yatun nabi”, halaman 429.
[59] .  Kitab at-Ta’rifat-nya Syeh Ali al-Jurjani, percetakan “Dar al-Kutuub al-Ilmiyah” Beirut – Libanon, cetakan ke 3, tahun 1404 H, bab “qaf”, hlm : 177 – 178.
[60].      Karya Muhammad Ibn Zain Ibn Shamit, perc. Dar al- Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah Bairut, yang dinukil oleh Idrus Abdullah al-Kaf, dalam buku “Bisikan Bisikan Ilahi”, pada bab I, terbitan Pustaka Hidayah Bandung
[61].    Syeh Muhammad Wafa, adalah diantara 4 wali al-Ghauts yang tidak dapat membaca dan menulis.
[62].    Kitab Tanwir al-Qulub Syeh Amin al-Kurdi, hlm 362. Penjelasan lebih lanjut, lihat kitab Tanwirul qulub nya Syeh Amin Al Kurdi, percetakan Bairut, halaman  36.
[63].    Kitab  Bughiyatul  Mustarsyidin, oleh Sayyid Abdur Rahman bin Muhammad Al-Hadlramiy halaman 6 dan  299. Lihat  buku Transendensi Ilahi, terjemahan darimaqhashidul asna Imam al-Ghazaliy, penerbit Pustaka Progressif , Surabaya tahun 1999 M, hlm  9 – 19.  Penjelasan tentang seorang Mujaddid dan sekaligus al-Ghauts Ra, dapat dilihat dalam buku “Kontemplasi Dan Dzikir Dalam Tasawuf”-nya Dr. Mir Valiuddin, atau buku “Bisikan-Bisikan Ilahi” tulisan Dr. Al-Idrus Al-Kaf.
[64].   Kitab Jami’ al-Ushul Auliya’ nya Syeh Kamasykhanawi, hlm 4, kitab at-Ta’rifatnya Syeh Ali al-Jurjani, bab “qaf”, kitab Syawahid al-Haq-nya Syeh Nabhani dalam bab silsilah tarekat Syadzaliyah).
[65].   Sebelum mencapai maqam Abdul Warits ini, setiap hamba Allah Swt yang akan dipilih menjabat wali al-Ghauts, Beliau Ra memasuki maqam Abdul Baqi(hambanya Allah Dzat Yang Abadi).  Dalam ilmu tasawuf, setiap sufi akan memasuki maqam dan akan mendapat hal dari Allah Swt.
[66].   Imam al-Ghazali memandang Fana’ dan Ma’rifat  sebagai “maqam”, sedangkan Imam al-Qusyairi memandang sebagai “hal”.
[67]. Kitab Khazinah aAsraar-nya Syeh Ahmad Haqqi an-Naziliy,  dalam bab
[68].    Lihat kitab Tbaqatul Kubra-nya Imam Sya’rani, juz II dalam bab kisah “Syeh Ibnu Makhala”,
[69].    Kitab Tanwir al-Qulub-nya Syeh Amin al-Kurdi dalam  juz  II pada bab tasawuf .
[70].      Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.
[71].      Banyak para ulama yang telah menjelaskan tentang adab salik kepada Guru Mursyid. Antara lain:
a.      Kitab   al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra.
b.      Kitab Risalah Al-Qusyairiyah-nya Imam Qusyairi.
c.       Kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani.
d.      Kumpulan kitab kecil Imam Ghazali (Majmu’ah Rasail lil Ghazali).
e.      Kitab Bugyah al-Murtasyidin-nya Syeh 
[72].      Kitab al-Ghunyah, Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra, dalam bab “maa yajibu ‘alal mubdi” pasal kesatu.
[73].   Kitab Insan al-Kamil, juz II/75 bab “insan al-kamil”.
[74].    Adab murid kepada Guru Kamil Mukammil, juga terdapat dalam kitab Awarif al-Ma’arif  nya Syeh Suhrawardi, atau kitab al-Anwar al-Qudsiyah as-Sya’rani, kitab  “Misykatul Anwar“ (kitab “Majmu’ah Rasail Al-Ghazali).
[75].    Lihat kitab Dalil al-Falihin  juz III, bab  ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer  : 10.
[76].    HR. Bukhari (Shahih, nh : 6530, dalam kitab “al-fitan”), Muslim (Shahih, nh : dari Ibnu Abbas
[77].    Kitab Mafahim nya  Syeh al-Maliki, kitab Jami as-Shagir.
[78].    Kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi, dalam hadis nomer  :  610.
            Dan dalam kitab ini pula, berkaitan karamah waliyullah/ al-Ghuats Ra yang dimaksud dalam hadis ini, Imam Nawawi (w. 676 H) menceritakan pengalaman pribadinya : “bahwa suatu saat ia bersama rombongan dengan membawa beberapa hewan yang akan dijual. Ditengah jalan, salah satu hewan lepas. Sedangkan para rombongan tidak dapat menangkapnya. Imam Nawawi mengajak seluruh rombongan untuk melaksanakan nida’ (panggilan kepada waliyullah/ al-Ghauts ra tersebut) dengan khusyu’. Dan Allah Swt menampakkan karamah waliyullah tersebut, dengan seketika hewan yang lepas tadi, berhenti tanpa sebab lain, kecuali sebab kalimah nida’ kepada waliyullah tersebut.
[79].    Imam Suyuthi,  Jami’ as-Shagir jilid I dalam bab “alif”.
[80].    Kitab “Tahrir Ad Durar” atau “Manaqib al-Auliya” nya Misbah Zain Al Mushthafa, terbitan maktabah al balagh, Bangilan Tuban jawa timur tanpa tahun, bab “Syamsudin Hanafi” . Kitab ini menukil dari kitab Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, baik juz I atau II
[81].      HR. Muslim dan Bukhari, (kitab Dalil al-Falihin juz III, bab “wujuub tha’at wulah al-amri”, nomer hadis : 09. Dan kitab Al Syifa  Bita’riifi Huquq al Mushthafa -nya Al Qadli Abul Fadlal ‘Iyadl al-Yahshubi (w. 544 H), perct. “dar al-kutub al-‘ilmiyah”, Beirut Libanon, tahun 2004/1424, juz II, dalam bab tha’aturrassul).
[82].      HR. Nasai dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 990.                        
[83].      Ibid, dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 991.
[84].      Kitab as-Syifa’ dalam jilid I bab I pada pasal 1.
[85].      Kitab Thabaqatul Kubra-nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra, juz II dalam bab “Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra”.
[86].      Buku Sufi Dari Zaman Ke zaman dalam bab “tasawuf falsafi”, tertulis keterangan bahwa Syeh Sahal at-Tustari ini adalh wali al-Ghauts pada zamannya.
[87].      Lihat kitab Syawahid al-Haq nya Syeh An-Nabhani, perct. Darul Fikri, Beirut Libanon, tahun 1403 H/ 1983 M, hlm : 221, atau kitab Risyalah al-Qusyairiyah-nya Iam al-Qusyairi Rahlm :  47.
[88].        Para ulama berbeda pandangan tentang asal usul iblis. Sebagian mereka mengatakan; iblis dari kelompok JIN, dengan alasan, kata-kata (إِلاَّ إِبْلِيسُ / Illa iblis = kecuali iblis) dalam ayat tersebut sebagai istitsna’ munqathi’ (yang dikecualikan {iblis} tidak termasuk kelompok kalimat sebelumnya {malaikat}). Sedangkan mayoritas ulama (seperti al-Bughawi, al-Wahidiy, al-Qaadliy ‘Iyadl al-Yahshubi) mengatakan, iblis dari kelompok malaikat yang memiliki nama Azaaziil. (Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diceritakan dari Abdullah bn Abbas (sahabat Nabi Saw yang ahli dalam tafsir al-qur’an). Dan pula para ulama sepakat bahwa iblis awal mulanya sebagai penjaga surga dan pemimpin para malaikat, dengan alasan istitsna’ dalam kalimat tersebut sebagaiistitsna’ muttashil. Yakni yang dikecualikan (iblis) termasuk kelompok kalimat sebelumnya (malaikat). Iblis juga memiliki beberapa nama panggilan, antara lain : al-‘Abid (dilangit pertama), az-Zaahid (dilangit kedua), al-‘Arif (dilangit ketiga), Waliyullah (dilangit keempat), at-Taqi/ orang taqwa kepada Allah (dilangit kelima), al-Khaazin (dilangit keenam),‘Azaaziil (dilangit ketujuh) dan Iblis (dilauh mahfud).
                        (Lihat tafsir al-Futuuhaat al-Ilaahiyah-nya Syeh Sulaiman bin Umar al-‘Ajiiliy, pada ulasan ayat 34 surat al-Baqarahatau fatwa dari Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawi al-Hadiitsiyah, dan Imam Shawi dalam kitabnya Tafsir Shawi fii Haasyiyah ala al-Jalalain, kitab tafsir Ibnu Katsir, atau buku Tafsir al-Mishbah-nya Prof. Dr. M. Qiraisy Syihab).
[89].      Sebagian ulama memberikan makna “kafir” yang diderikan oleh al-Qur’an  kepada iblis, bukan karena ingkar keberadaan Allah Swt, namun karena membangkang perintah-Nya, demikian yang diterangkan dalam kitab “Tafsir al-Mishbah”-nya Prof. Dr. Quraisyi Syihab. Pembangkangan dan  kedurhakaan ini dinilai amat berat karena dilakukan oleh hamba yang telah mengenal-Nya.        
[90].      Qs. al-Baqarah: 30 :  قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ وَيَسْفِكُ الدِمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ Mereka berkata : Apakah Paduka (Tuhan) akan memberikan jabatan khalifah kepada manusia yang suka membuat kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau serta mensucikan Engkau ?. Tuhan bersabda : إِنَّي أَعْلَمُ مَالاَ تَعْلَمُونَ Sesungguhnya Aku lebih mengetahui tentang sesuatu yang kalian tidak mengetahui. Allah Swt menjawab pertanyaan malaikat dengan Aku lebih mengetahui sesuatu yang tidak dapat kamu ketahui, menunjukkan bahwa “seseuatu” tersebut bersifat pasca rasio yang memahaminya tidak bisa melalui akal fikiran, akan tetapi melalui metode hidayah.
Dan dalam ayat yang lain, dijelaskan, setelah kalah dalam berdebat dengan Nabi Adam As, malaikat dapat memahami Nabi Adam As lebih layak menjadi khalifah. Hingga, mereka berkata :
 سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ  Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari ilmu yang Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[91].    Dalam Qs. al-Baqarah : 31, dijelaskan setelah malaikat membanggakan diri terhadap amal dan ilmunya, kemudian Allah Swt menunjukkan kekuasan-Nya dengan memberikan ilmu tentang segala sesuatu kepada Nabi Adam secara langsung (wahyu) tanpa melalui proses belajar. Allah Swt bersabda :  وَعَلَّمَ أدَمَ الآسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى المَلاَئِكَةِ قَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ  Dan (Tuhan) mengajarkan kepada Adam tentang nama benda secara keseluruhan. Kemudian mengkonfrontasikannya kepada malaikat. Tuhan berfirman (kepada malaikat) : Sebutkan kepada-Ku nama benda-benda itu, jika kamu memang kelompok yang benar. Dan kepada Allah Swt para malaikat berkata : قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ    Mereka berkata : Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Paduka ajarkan, Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan akhirnya para malaikat dapat menyadari keterbatasan dirinya serta bersujud kepada Nabi Adam As, Allah Swt bersabda kepada Nabi Adam As :   قَالَ يَأَدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ  (Tuhan) bersabda : Wahai Adam, ceritakan (ajarkan) kepada mereka nama seluruh benda.
[92].    Al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (kitabnya al-Ghunyah juz II bab “ma yajibu ‘ala al-mubtadi”), menjelaskan فَصَارتِ المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ الأشْيَاِ كُلِّهَا malaikat menjadi murid nabi Adam, dan nabi Adam sebagai guru malaikat. Adam mengajarkan  nama-nama segala sesuatu (dalam alam) secara keseluruhan.  
            Ulasan yang sama juga diberikan oleh Imam Shawi : لأَِنَّهُ صَارَ شَيْخُهُمْ وَمِنْ حَقِّ الشَيْخِ التَعْظِيْمُ وَالتَّوْقِيْرُ : Sesungguhnya Nabi Adam menjadi guru bagi mereka. Diantara hak guru adalah menerima penghormatan serta pengagungan.
[93].    Keterangan yang sepadan dengan ulasan Syeh Sulaiman al-Ajili tersebut, terdapat dalam buku tafsir AL-MISHBAH karya Prof. M. Quraisyi Syihab MA, pada ayat dan surat yang sama.          
[94].    Buku tafsir al-Mishbah (Penerbit Lentera Hati, cet. ke IV tahun Agustus 2005, pada halaman 153),  dalam ulasan ayat 34 surat al-Baqarah.
[95].    HR. Ahmad, dan Bukhari (dalam at-Taarikh), Abu Nuaim (dalam Dalail an-Nubuwwah dan al-Hilyah), Ibnu Abi Hatim (dalam Tafsir-nya), al-Haakim, Tirmidzi (dan ia mengatakan : ini hadis hasan dan lagi shahih), al-Haakim dan Ibnu Hibban dari Irbadl bin Sariyah (dalam Shahih-nya).
Yang perlu diperhatikan, diantara para ulama dalam menilai sebuah hadis – sebagaimana kesimpulan dari Dr. KH. Said Aqil Siraj MA (Ketua Umum PBNU tahun 2010 M - ) dan kader NU lainnya -, banyak yang masih beraroma politik (lihat buku Kiai Menggugat Mengadili Pemikiran Kang Said). Seperti tuduhan maudlu’ (lihat buku Ensiklopedi Islam jilid 4 pada bagian “N“, {buku milik negara}), yang dilakukan oleh Abul A’laa al-Afiifiy dan pengikutnya terhadap hadis yang berkaitan dengan keduhuluan Jiwa dan Nur Nabi Muhmmad Saw, bisa dinilai beraroma politik.   
[96].    Para nabi berjanji kepada Allah Swt, bila mana datang seorang rasul bernama Muhammad, mereka akan beriman dan menolongnya. Buku al-Qur’an Dan Terjemahnya, terbitan “al-Mujamma’ al-Malik Fahd lit-Thiba’ al-Mush-haf  as-Syarifah Medinah Munawwarah” Kerajaan Arab Saudi.
[97].    Kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi, dalam juz I bab I pada pasal 7.
[98].    Kitab  kitab al-Anwar al-Muhammadiyah. Kitab as-Syifa’-nya al-Qadli Iyadl, juz I bab I dalam pasal ketujuh. Kitab al-Hawi lil Fatawi-Nya Imam Suyuthi, juz II pada bab “irsal al-nabi ilal malaikah”, diriwayatkan dari Aby Haatim as-Suddiy.
[99].    Kitab al-Haawi lil Fatawi-nya Imam Suyuthi, juz II pada bab “irsaal an-nabiy alal malaikah”
[100].  Dalam prinsip tasawuf terdapat istilah “maqam” dan “hal” (ahwal). Maqam adalah jenjang akhlakul karimah yang harus ditempuh oleh setiap salik dalam pendekatannya kepada Allah Swt. Misalnya, taubat, zuhud, taqwa, qana’ah, ridla, tawakkal, syukur dan lainnya. Jenjang akhlak ini dapat menjadi sempurna jika salik berada dalam bimbingan guru ruhani yang telah berpengalaman dalam permasalahan tersebut. Sedangkan hal (ahwal) adalah kondisi batin yang datangnya dari Allah Swt. Maqam dapat diupayakan oleh salik, sedangkan hal tidak dapat diusahakan, ia semata-mata anugrah Allah Swt kepada salik.
[101].  Lihat kitab Dalil al-Falihin  juz III, bab  ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer  : 10.
[102].  Tentang ulasan tentang hadis kenegatifan sultan selain sulthanul auliya, silahkan lihat dalam kitab Minhajul Qashdin-nya Ibnu Qudamah pada bab “bergaul dengan penguasa yang dlalim”
[103].       . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab “alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[104].  HR. Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[105].  Kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I pada pasal 1.
[106].      Ulasan dari Prof. Dr. KH. Agil Siraj, M.A. (Ketua Umum PB NU 2012) dalam memberikan pengantar  buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahhabi”, penerbit Pustaka Pesantren cet. XX tahun 2012) karya Syeh Idahram. Hadis diatas tertulis dalam Shahih Muslim pada kitab Zakat dan Qismah.   
[107].  Yang dimaksud “wali” disini adalah al-Ghauts Ra. Lihat  penjelasan sebelum dan sesudahnya dalam kitab Thabaqat juz I, pada halaman 188 – 201, percetakan “Darul Fikri”, Beirut – Libanon, tahun Nopember 1954 M.
[108].  Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar